Abstract
INDONESIA:
Epilepsi atau orang Indonesia menyebutnya “Ayan” adalah salah satu penyakit yang banyak berada di Negara Berkembang salah satunya adalah Indonesia. Beberapa persen dari penderita tidak mendapatkan tritmen sama sekali. Serangan yang datang tiba-tiba tidak mengenal waktu dan tempat selain memberikan dampak medis, juga memberikan dampak psikologis bagi penderita. Banyak penderita merasa depresi, mengucilkan diri. Ditambah oleh stigma yang melekat pada masyarakat Indonesia saat ini yang keliru mengenai epilepsi bahwa epilepsi bukan penyakit tetapi akibat dari kekuatan gaib, kutukan, kesurupan bahkan sering dikaitkan dengan penyakit jiwa atau keadaan dengan intelegensi rendah hal tersebut membuat penderita mengalami isolasi sosial sehingga dampak dari semua itu membuat penderita terganggu kebahagiaannya. Padahal, pada dasarnya kebahagiaan mempunyai peran yang penting bagi orang-orang sakit, yakni memberikan umur panjang dan mencegah datangnya penyakit lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memahami kebahagiaan pada Orang Dengan Epilepsi (ODE) dan mengetahui apa saja yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan pada Orang Dengan Epilepsi (ODE).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus. Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang yang mempunyai sakit epilepsi dan keunikan tersendiri. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan wawancara semi terstruktur tipe wawancara mendalam dan observasi. Hasil wawancara mendalam kemudian dibuat dalam bentuk transkip, dikoding dan dianalisis sehingga ditemui poin-poin kebahagiaan dan faktor yang mempengaruhinya.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan makna kebahagiaan yang dirasakan oleh kedua partisipan, walaupun pada dasarnya kedua partisipan merasakan kebahagiaan melalui kepuasan terhadap masa lalu, kebahagiaan pada masa sekarang dan optimism terhadap masa depan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang dimiliki, sepeti dukungan social, emosi, karakter, pola pikir dan sebagainya. Faktor-faktor kebahagiaan yang merujuk pada Teori Seligman semua dirasakan oleh partisipan, kecuali pendidikan, iklim, ras dan jenis kelamin bagi partisipan pertama tidak mempengaruhi kebahagiaan karena kebahagiaan pada dasarnya bergantung pada diri sendiri. Faktor lain keluar dari teori Seligman adalah keluarga, pekerjaan, impian, komunitas dan bahan bacaan. Dalam meraih kebahagiaan, kedua partisipan melalui beberapa tahap, denial, kemarahan, penawaran, depresi, penerimaan dan rekonstruksi kebahagiaan. Bagi partisipan untuk terus memberikan energi positif dan sebagai model bagi semua orang khususnya ODE lain.
ENGLISH:
Epilepsy or Indonesian people call it “Ayan” is one of many diseases in developing countries such as Indonesia. A few percent of patients do not get any treatment at all. The attacks which come suddenly and do not recognize time and place provide medical and psychological impact for the patient. Many sufferers feel depressed and isolate themselves. Coupled by the stigma attached to the current Indonesian people is mistaken about epilepsy that epilepsy is not a disease, but it is the results of supernatural power, curse, possessed, moreover often associated with mental illness or a condition with the low intellegence makes the sufferers experience social isolation with the result that all those impacts make them disturb their happiness. In fact, happiness essentially have an important role for the sick, which provide long life and prevent the arrival of other diseases.
Based on this background, this study aims to understand the happiness on People With Epilepsy (ODE) and find out what are the factors that affect the happiness on People With Epilepsy (ODE).
This study uses a qualitative case study approach. Participants in this study are two people who have epileptic and uniqueness. The method used in the data collection is the semi-structured interviews type of in-depth interviews and observation. The results in-depth interviews are then made in the form of transcripts, coded and analyzed, so that encountered the points of happiness and the factors influencing it.
The result showed differences in the meaning of happiness felt by both participants, althoung basically two participants feel happiness trhough the satisfication with the past, happiness in the present and optimism for the future. It is influenced by various factors, like a social support, emotional, character, mind set and so on. Factors that refer to Seligman’s theory had been felt by all participants, with the exception of education, climate, race and gender. For the first participant did not affect the happiness because it basically depends on themselves. Other factors out of Seligman's theory were for the first participant’s factors came from family and occupation, whilst the second participant’s factors were dream, community and reading materials. In happiness reach, both participants through several stages, it is denial, anger, bargaining, depression, acceptance and reconstruction of happiness. For ODE participants preferably continue to provide positive energy and as a model for all people, especially other ODE
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Epilepsi atau orang
Indonesia sering menyebutnya ayan adalah salah satu penyakit yang dapat
menyerang siapapun, tidak melihat wanita atau pria, anakanak atau dewasa. Pada
dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi karena setiap orang memiliki
otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan
terhadap munculnya bangkitan (Hantoro, 2013: 7). Kata “epilepsi” berasal dari
kata Yunani “epilambanein” yang berarti serangan dan menunjukkan bahwa “sesuatu
dari luar badan seseorang meninmpanya, sehingga ia jatuh”. Epilepsi tidak
dianggap sebagai suatu penyait, akan tetapi sebabnya diduga sesuatu dari luar
badan si penderita, biasanya dianggap sebagai kutukan roh jahat atau akibat
kekuatan gaib yang menimpa seseorang (Harsono, 2005: 119). Sedangkan salah satu
majalah yang ditulis oleh Margaretha (2010: 1) menyatakan bahwa epilepsi
dikenal masyarakat Indonesia dengan berbagai nama seperti penyakit ayan, sawan,
celeng dll. Namun sering kali masyarakat menganggap epilepsi bukan sebagai
penyakit tapi akibat kekuatan gaib, kutukan, kesurupan bahan sering dikaitkan
dengan penyakit jiwa atau keadaan dengan intelegensi rendah. Berdasarkan hasil
statistik kasus Epilepsi menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) (dalam
Prilipko, 2005: 3) epilepsi menyerang 1 persen penduduk 2 dunia, yang juga
mempengaruhi 50 juta orang di seluruh dunia. Dan 80% penderita epilepsi berada
di Negara berkembang, dimana beberapa daerah 80-90 % tidak menerima tritmen
sama sekali. WHO juga menyatakan (dalam Kartika, 2013: 1) Prevalensi epilepsi
rata-rata mencapai 8,2 per 1000 penduduk. Sementara kasus baru epilepsi lebih
banyak terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia yang rata-rata
diperkirakan mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun.
Pada negara maju kasus baru terjadi rata-rata 50 per 100.000
penduduk per tahun. Di Indonesia sendiri, jumlah kasus baru epilepsi terus
bertambah seiring pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang meningkat, Dari
data Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) tahun 2012 (dalam
Kartika, 2013: 1) menyebutkan perkiraan penderita epilepsi aktif saat ini
mencapai 1,8 juta per 220 juta penduduk. Sedangkan perkiraan penderita epilepsi
baru yakni mencapai 250 ribu penderita pada tahun 2012. Data lain yang
menyebutkan penyakit epilepsi di beberapa rumah sakit di Indonesia yakni, pada
penelitian terdahulu yang berjudul “Prevalensi Epilepsi di Poliklinik Saraf
RSUP Fatmawati Jakarta pada Tahun 2004 – 2008” ditulis oleh Putri (2009: 47)
data di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2004-2008 lima tahun yaitu dari tahun 2004
sampai tahun 2008 adalah sebanyak 1959 kasus. Jumlah kasus epilepsi tiap
tahunnya berbeda-beda, terjadi baik peningkatan maupun penurunan. Pada tahun
2004 jumlah kasus epilepsi sebanyak 2809, pada tahun- 3 tahun berikutnya terjadi
penurunan dan peningkatan sehingga pada tahun 2008 penderita epilepsi menjadi
2294. Pada penelitian yang ditulis oleh Putri (2009: 54) juga dapat dilihat
frekuensi maupun persentase kasus baru epilepsi berdasarkan usia selama lima
tahun. Dari jumlah keseluruhan pasien epilepsi selama lima tahun yaitu sebesar
1959, kasus terbesar adalah pada usia 5 - 14 tahun dengan frekuensi sebanyak
588 dan urutan kedua terbanyak adalah pada umur 15-24 tahun dengan frekuensi
sebanyak 517. Sedangkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tjandradjani
dkk (2012: 143) di RS. Anak Bunda Harapan Kita tahun 2008-2010 Dijumpai 141
pasien anak dengan data riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan EEG lengkap.
Didapatkan 54,6% pasien adalah laki-laki, dan 38,3% mengalami kejang pertama
pada usia lebih dari satu bulan. Pada pemeriksaan EEG 82,3% tidak normal.
Sedangkan 53,1% pasien termasuk kelompok sindrom idiopatik epilepsi umum.
Stigma dan mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia membuat kesalahpahaman
bahwa epilepsi bukan sebuah penyakit melainkan kekuatan gaib, kutukan,
kesurupan dan bahkan sering dikatakan sebagai peyakit jiwa.
Dalam hal ini Gunawan dkk (Harsono, 2007: 119) memberikan
konfirmasi bahwa epilepsi merupakan salah satu penyakit tertua di dunia (2000
tahun SM) dan menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan
peredaran darah otak. Epilepsi awal dikenal di China, namun Hipocrates-lah
orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan serangan
epilepsi adalah akibat suatu 4 penyakit otak yang disebabkan oleh keadaan yang
dapat difahami dan bukan akibat kekuatan gaib. Epilepsi menurut World Health
Organization (WHO) (Dalam Gofir dan Wibowo, 2006: 3) merupakan gangguan kronik
otak yang menunjukkan gejalagejala berupa serangan-serangan yang berulang-ulang
yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau
seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka
rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik,
otonom atau psikis yang timbul tibatiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan
listrik abnormal sel-sel otak. Epilepsi merupakan penyakit yang kompleks,
karena tidak hanya cedera medis yang dirasakan penderita, tetapi juga adanya
stigma dan dampak psikososial dialami oleh penderita epilepsi, seperti yang
dinyatakan oleh Ketua Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia Jakarta
(dalam, Robiawan, 2013: 1) bahwa sebagian besar masyarakat masih melihat
epilepsi sebagai penyakit kutukan, itu sebabnya, banyak penderita epilepsi yang
lebih bungkam mengungkapkan statusnya karena takut dianggap aib dalam
masyarakat. Kurangnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat, sedikit banyak
memberikan dampak kepada pederita epilepsi, dimana penderita menjadi
mengucilkan diri dan dikucilkan saat serangan epilepsi datang. Permasalahan
psikososial yang dirasakan oleh penderita epilepsi menjadi lebih besar
dirasakan karena ketika serangan medis datang hal yang berbekas dalam psikis
penderita epilepsi yakni lebih pada rasa malu, takut untuk 5 melakukan sesuatu
dan merasa hidupnya banyak mempunyai masalah dan akhirnya merasa depresi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Merpaung dalam penelitiannya bahwa penderita
epilepsi mempunyai depresi yang cukup berat, pada beberapa tipe epilepsi,
epilepsi dengan kejang tonik klonik tingkat keparahan depresinya berat. Kejang
tonik klonik adalah serangan epilepsi yang tiba-tiba dan tidak mengenal waktu
karena banyak penderita epilepsi mengalami ketakutan dalam beberapa hal seperti
mengendarai motor. Penelitian lain menunjukkan (dalam Loney, 2008: 237) bahwa
ada hubungan kuat antara depresi dengan gangguan kecemasan dan epilepsi,
sekitar setengah dari semua orang dewasa yang mengalami epilepsi mereka
mengalami depresi. Dampak-dampak yang dirasakan oleh penderita epilepsi seperti
isolasi sosial, stigmatisasi atau ketidakmampuan memberikan efek juga bagi
perkembangan psikologisnya dan kesejahteraan sosial. (Hantoro, 2013: 11).
Seperti halnya kebahagiaan yang terganggu dilihat dari kualitas hidup penderita
epilepsi. Mustamira Sofa Salsabila (2012: 170) menulis penelitian tentang
“Kualitas Hidup Pada Pasien Epilepsi”, dinyatakan bahwa kualtas hidup pada
penderita epilepsi di usia dewasa awal mengalami perubahan, yang di dalamnya
juga melibatkan adaptasi diri dan penerimaan diri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pada pasien epilepsi yakni mencakup keadaan
keluarga, faktor ekonomi, kesempatan kerja, kecemasan, dan stigmatisasi. Dalam
6 penelitian ini, kecemasan merupakan faktor paling besar yang menentukan
kualitas hidup pasien penderita epilepsi. Penelitian yang dilakukan oleh Hawari
pada tahun 2005 untuk menilai kualitas hidup penderita epilepsi dengan judul
“Penilaian Kualitas Hidup Penderita Epilepsi dengan Instrumen Quality of Life
in Epilepsy (QOLIE)-31)” hasil menunjukkan ternyata dari 145 reponden mempunyai
kualitas hidup yang rendah.
Hawari menyatakan bahwa tingkat pendidikan berhubungan kuat dengan
kekhawatiran dan kecemasan akan datangnya serangan epilepsi, faktor lain yang
berhubungan kuat dengan seringnya serangan epilepsi datang (Hawari, 2010: 1).
Pada pasien epilepsi dengan status lama menderita epilepsi dengan durasi lebih
dari 10 bulan mempunyai kualitas hidup yang buruk, karena dengan rentang waktu
yang lama penderita epilepsi memiliki trauma fisik dan emosional yang
signifikan yang telah membatasi kegiatan sehari-hari mereka dengan kurang
perhatian. Penderita juga mengalami khawatir akan kejang, kelelahan, gangguan
memori dan keputusasaan kesehatan (Isti’rafat, 2014: 7). Penderita epilepsi
cenderung merasa bosan dan khawatir adanya efek dari pengobatan yang terus
dijalani, selain itu penderita epilepsi juga merasa tidak berguna bagi
masyarakat sekitar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Baker juga
mengungkapkan bahwa beberapa responden yang mempunyai frekuensi kejang yang
sering, merasakan pengaruh yang disebabkan oleh epilepsi di berbagai aspek
kehidupannya (Baker, 1997: 357). Penelitian Baker 7 menyimpulkan bahwa
mengontrol kejang dan mengurangi efek samping dari kejang tersebut bisa melalui
meningkatkan kualitas hidup (Baker, 1997: 357). Kualitas hidup adalah penilaian
individu sejauh mana hidup berisi hal-hal yang memuaskan dan berarti.
Csikzentmihaly (dalam Salsabila, 2012: 171) menemukan bahwa kualitas hidup
seseorang dipengaruhi oleh kebahagiaan yang dirasakan individu ketika terlibat
dalam aktivitas positif yang disukai dan menghabiskan waktu luangnya dengan
aktivitas tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melihat kualitas
hidup maka terlihat juga bagaimana kebahagiaan pada individu. Kebahagiaan
sesungguhnya merupakan suatu hasil penilaian terhadap diri dan hidup, yang
membuat emosi positif, seperti kenyamanan dan kegembiraan yang meluap-luap,
maupun aktivitas positif yang tidak memenuhi komponen emosi apapun, seperti
absorbs dan keterlibatan (Seligman, 2005: 45). Seligman juga menyatakan bahwa
kebahagiaan memiliki beberapa faktor. Faktor-faktor itu antara lain uang,
status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif,
pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat
religiusitas seseorang (Seligman, 2005: 140). Kesehatan menjadi salah satu hal
yang mempengaruhi kebahagiaan. Setiap individu pada dasarnya menginginkan
kesehatan dalam hidupnya, karena jika kesehatan sudah terganggu, maka segala
aktivitas yang dijalani seseorang pun akan menjadi terganggu. Begitu juga
dengan kesehatan fisik, kesehatan fisik dan kesehatan mental keduanya saling
berkaitan. Ketika sakitnya mempengaruhi 8 kehidupan sehari hari, menimbulkan
rasa kekhawatiran, cemas bahkan rasa malu tidak dipungkiri juga bahwa ada
beberapa orang yang menjadi sulit dalam beradaptasi mengenai kesehatannya
(Seligman, 2005: 168). Setiap individu juga mempunyai prioritas sendiri dalam
kehidupannya, tujuan hidup dan unsurunsur/nilai-nilai kehidupan dan tentu
berbeda pada masing-masing individu.
Melalui hal ini, dapat disimpulkan bahwa setiap individu
menginginkan kebahagaiaan dalam hidupnya sesuai dengan tujuan hidup dan
nilai-nilai yang dimiliki oleh individu. Pada orang yang sehat dan dapat
beraktivitas secara normal tanpa hambatan pencapaian kebahagiaan dapat ditempuh
dengan mudah, tetapi berbeda pada orang yang mempunyai sakit menahun dan
mempunyai status yang tidak bisa dipastikan kesembuhannya yakni orang dengan
epilepsi (ODE) dan penyakit lain yang serupa. Pencapaian kebahagiaan orang
dengan epilepsi (ODE) tentunya membutuhkan tenaga dan usaha yang benyak
melibatkan emosi, selain itu dalam meraih kebahagiaan penderita epilepsi
melalui beberapa proses dan tahapan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
Arriza bahwa orang yang mempunyai sakit menahun melalui beberapa tahapan meraih
kebahagiaan yakni adanya krisis, isolasi, kemarahan, titik balik, rekonstruksi,
depresi sementara dan baru kemudian pembaharuan kehidupan (Arriza, 2011: 115).
Berdasarkan pemaparan gambaran konsep si atas sesuai dengan wawancara awal yang
peneliti lakukan dengan DO yang bertempat tinggal di Perumahan Akasia Permai
B21 Gadang Malang pada tanggal 01 Januari 2015 9 ditanggapi dengan baik dengan
DO, sudah banyak yang DO alami selama ini, seperti hampir jatuh dari motor dan
kemudian tidur di pinggri jalan, kejang di kantor, di kamar mandi, hingga
terdapat 27 sariawan di mulut karena kejang. Dampak yang diberikan oleh
epilepsi juga membuat DO tidak berani mengendarai motor. Sama hal nya yang
dirasakan oleh partisipan kedua Banyak prestasi yang DM punya, ia tidak luput
dari pengalaman yang pahit, DM pernah merasakan patah jari tengah tangan
kanannya, pernah merasa malu karena sakitnya, dan sakit-sakit lain yang membuat
DM menjadi bangkit. “Pernah saking hebatnya kejang dan membentur tembok
sehingga menyebabkan jari tengah tangan kanan patah sehingga tidak bisa
digunakan untuk beraktifitas” (DM. LS1. P8b). “ALLAH memberi UJIAN tambahan,
Tiba-tiba keluar bintik-bintik merah di seluruh tubuh seperti pada anak-anak
yang terkena "Tampek"(DM. LS2. P2a) “Dari hasil cek lab SGOT, SGPT 30
X nilai normal dan USG abdomen tampak pembengkakan pada lever” (DM. LS2. P3a)
“Dari hasil lab, saya terkena sakit typus. Setelah Ujian sakit epilepsi berulang,
tampek, pembengkakan lever kini diuji dengan sakit typus dengan suhu tubuh
mencapai 41 C serta terkena diare dihari ke 7-8 (S.d 14 kali BAB)” (DM. LS2.
P5a), (DM. LS2. P5b). Tidak hanya dampak medis yang dirasakan kedua partisipan,
dampak psikososial juga ikut dirasakan oleh kedua partisipan. Meskipun
mengalami efek psikologis maupun medis seperti rasa takut, cemas, dan malu
seiring dengan penerimaan dan penyesuaian yang dilakukan, kedua partisipan
dapat merasakan kebahagiaan. 10 Kebahagiaan juga merupakan konsep yang
subjektif, setiap individu mengartikan kebahagiaan dengan berbeda-beda dan
dengan tolak ukur yang berbeda-beda. Pun setiap orang memiliki faktor-faktor
yang berbeda sehingga dalam dirinya merasakan kebahagiaan (Seligman, 2005: 24).
Misalnya seseorang memandang kebahagiaan ketika orang tersebut ikut terlibat
aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, lain lagi dengan orang lain yang mungkin
memandang kebahagiaan ketika banyak uang Kebahagiaan yang diraskaan oleh kedua
partisipan ini berupa rasa bersyukur, Saat DO menerima sakitnya, terkadang rasa
jengkelnya memang ada, tetapi DO bersyukur karena saat kejang DO tidak
membahayakan orang lain, DO bahagia ketika DO kejang dan tidak membahayakan
orang lain. “untungnya yaa bersyukurnya itu jatuhnya itu engga, engga apa ya..
engga sampe yang membahayakan. Takut, terus sama orang gitu, kaya naik motor
jatuh, kecelakaan gitu kan ga bagus ya.. ya untungnya engga gitu hehe” (DO. W1.
53b). Selain rasa syukurnya itu, DO juga tidak menyalahkan dirinya atas sakit
yang diderita, dan DO menerima sakitnya dengan yakin bahwa apa yang Allah
berikan adalah hal yang baik. “Iya, gitu aja sih.. engga lah mbak, engga mau
terlalu nyalahin diri sendiri juga, engga mau.. wis engga penting lah kayaknya
kaya gitu.. hehehe, ntar jadi stress sendiri hehehe” (DO. W1. 54). 11 “Ya..
menerima vi, aku yakin apa-apa yang diberi Allah kan baik” (DO. W2. 80).
Seligman (2005: 177) juga menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai ketika
individu mengalami emosi positif terhadap masa lalu, pada masa kini, dan
terhadap masa depannya, memperoleh banyak bersyukur dan menggunakan kekuatan
dalam diri untuk mendapatkan sesuatu yang penting untuk memaknai hidup.
Untuk memahami kebahagiaan, perlu juga memahami kekuatan dan
kebajikan personal. Ketika kebahagiaan berasal dari keterlibatan kekuatan dan
kebijakan, hidup akan terisi dengan auntensitas. Kekuatan dan kebajikan adalah
karakteristik positif yang menimbulkan perasaan senang dan gratifikasi. Para
ilmuwan di Mayo Clinic, Rochester, Minnesota, meneliti pasien yang meminta
layanan kesehatan, mereka menjalani serangkaian tes psikologi dan fisik, salah
satunya adalah tes optimisme. Dari pasien-pasien tersebut, mereka yang optimis
lebih panjang umurnya 19% dalam konteks perkiraan jangka usia mereka dari pada
pasien yang pesimis (Seligman, 2005: 71). Dalam hal ini DM mempunyai kekuatan
untuk bangkit, kekuatan itu berasal dari anak-anak dan keluarganya. DM juga
telah mampu mengubah sakit epilepsi menjadi sesuatu yang baru dan tidak
menakutkan. Selain itu DM banyak bersyukur mempunyai istri yang penyabar dan
penuh semangat, dan juga DM 12 bersyukur terhadap apa yang Allah berikan kepada
DM, ikhlas, pasrah dan tetap berjuang. Optimis dan motivasi yang telah
dibangunnya sehingga sampai saat ini dilakukan dengan berbagai cara, dengan
keterlibatannya bersama orang-orang yang berhubungan dengan epilepsi, pemuka
agama, psikolog dan sebagainya. “Setiap ada kesempatan pergi ke toko buku,
explore di internet, dialog dengan keluarga, teman-teman, dokter, psikolog, motivator,
pemuka agama, akupunturis & herbalist” (DM. LS3. P2a). Selain itu DM juga
melakukan self terapi kepada dirinya sendiri, dan tidak lupa dengan keyakinan
religius yang dimiliki. Bentuk self terapi yang DM lakukan adalah dengan
membaca kisah, menonton hal tentang motivasi, memodel perjuangan dan semangat
orang lain, melakukan pengulangan kata-kata positif, hal yang dilakukan ini
membuat ghati lebih ikhlas dan menerima.
“Beberapa tehnik SELF TERAPI
yang dilakukan adalah: Membaca kisah, menonton klip orang-orang yang diuji
namun masih tetap berprestasi” (DM. LS3. P5a) “Memodel perjuangan dan antusias
mereka” (DM. LS3. P5b) “Melakukan pengulangan kata-kata positif” (DM. LS3. P5c)
Orang yang berbahagia tidak saja lebih mampu menanggung rasa sakit dan melakukan
langkah-langkah pencegahan masalah kesehatan dan keamanan, tetapi emosi positif
juga menetralkan emosi negative (Seligman, 2005: 136). Saat ini DM dan istrinya
bertekad untuk menyebar dan membangkitkan motivasi kepada orang yang
membutuhkan. Ini adalah salah satu bentuk aktivitas disengaja yang dalam Linley (2004: 131) masuk
dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Dikatakan bahwa aktivitas
disengaja adalah aktivitas yang disengaja dan latihan usaha, seperti
latihan-latihan kognitif (mengadopsi sikap optimis atau positif). Kebahagiaan
yang diraskan oleh individu dapat berpengaruh juga terhadap kesehatannya dan
panjang umur, ketika individu merasakan kebahagiaan maka kesehatan semakin baik
dan pada akhirnya memperpanjang umur individu tersebut, hal ini dibuktikan pada
penelitian yang dilakukan oleh Veenhoven (2008: 449) beberapa studi menyatakan
bahwa kesehatan dapat meningkatkan kebahagiaan, tetapi pada penelitiannya yang
berjudul “Healthy happiness: effects of happiness on physical health and the
consequences for preventive health care” menemukan bahwa kebahagiaan juga
justru membuat kehidupan jauh lebih baik dan menjadikan panjang umur, dan
dikatakan bahwa kebahagiaan bukan menyembuhkan penyakit yang telah ada, tetapi
kebahagiaan adalah hal yang dapat melindungi atau mencegah penyakit-penyakit
yang kemungkinan akan datang. Dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Elliott dkk (2015: 32) dalam studi korelasi menemukan bajwa orang yang tidak
berbahagia mengalami lebih banyak serangan epilepsi sedangkan orang yang
berbahagia hanya 4% mengalami serangan epielpsi, dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pada dasarnya kebahagiaan dan kesehatan saling berkaitan.
Kebahagiaan dapat 14 mencegah terjadinya penyakit lain yang mungkin dapat
muncul seperti kejang, dan dapat memperpanjang umur. Kebahagiaan mempunyai
status menjadi lebih penting untuk individu yang mempunyai penyakit karena
dapat membuatnya terlindungi dari sakit-sakit lain yang akan muncul dikemudian
hari. Mendukung dari penelitian sebelumnya Primadi (2010: 128) menyatakan bahwa
penderita epilepsi membutuhkan hal positif sebagai usaha untuk menguasai,
mengurangi, ataupun usaha yang memungkinkan individu untuk bertoleransi dan
beradaptasi terhadap masalah yang muncul dalam hidupnya, sehingga penderita
epilepsi mampu menjalankan aktivitas sesuai dengan fungsinya, dengan kata lain
penderita epilepsi mampu menjalani hidup normal dan bahagia. Berdasarkan
paparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat gambaran kebahagiaan pada
oranng dengan epilepsi, hal unik yang ada pada partisipan I dan partisipan II
juga menambahkan ketertarikan untuk mengkaji lebih dalam bagaimana kebahagiaan
pada penderita epilepsi. Penelitian ini dilakukan mengingat pentingnya
mengetahui kebahagiaan pada orang dengan epilepsi guna memberikan informasi dan
sebagai model. Menggali kebajikan-kebajikan positif yang ada dalam kebahagiaan
dapat membuat orang epilepsi lebih memiliki kualitas hidup yang baik dan
bahagia. Maka deskripsi di atas menjadi dasar peneliti untuk melakukan penelitian
yang berjudul “Kebahagiaan Pada Orang Dengan Epilepsi (ODE)”.
B.
Rumusan
Masalah
Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di
atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana kebahagiaan pada Orang Dengan Epilepsi (ODE)?
2. Apa faktor-faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan menurut perspektif Seligman pada orang dengan epilepsi
(ODE)?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan amasalah yang ada, tujuan penelitian adalah:
1. Mendeskripsikan
kebahagiaan pada orang dengan epilepsi (ODE)
2. Menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan pada
orang dengan epilepsi (ODE)
D. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian dan gambaran data awal yang
sudah dipaparkan di atas, maka fokus utama penelitian ini adalah kebahagiaan pada
penderita epilepsi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis a. Pengembangan penggunaan dari sumber kajian
teori kebahagiaan psikologis bagi disiplin ilmu psikologi terutama dalam bidang
klinis b. Pengembangan penggunaan dari sumber kajian teori kebahagiaan
psikologis bagi peneliti yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai
kebahagiaan psikologis pada penderita epilepsi 16 c. Pengembangan literatur
psikologi klinis dalam konteks kebahagiaan psikologis
2.
Manfaat Praktis a. Sebagai model untuk penderita epilepsi agar dapat menjalani
kehidupan lebih baik dan layak b. Sebagai informasi untuk orangtua ataupun
orang disekitar penderita epilepsi untuk dapat melayani dan memberi dukungan
positif kepada penderita epilepsi
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Kebahagiaan pada Orang Dengan Epilepsi (ODE)" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
2 comments:
curry 4
balenciaga sneakers
nmd
ferragamo belt
moncler jackets
michael kors outlet
yeezy shoes
adidas stan smith sneakers
moncler jackets
iniki
شركة تنظيف بالرياض
نقل عفش بمكة
شركة نقل عفش بجدة
شركة تنظيف خزانات بالرياض
شركة تنظيف خزانات بمكة
شركة نقل عفش بالمدينة المنورة
Post a Comment