Abstract
INDONESIA:
Pengajaran merupakan hal penting dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pengajaran Sebagai sarana penting dalam usaha membangun sumber daya manusia dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan sehingga tercipta manusia yang memiliki moral, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keahlian dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya sebuah konsep pengajaran yang mapan untuk dijadikan acuan yang paten. Konsep pengajaran yang dimaksud adalah konsep pengajaran ideal.
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Adapun jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (library reseach). Metode pengggumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi, dan analisa datanya menggunakan analisis isi (content analisis) Adapun metode analisa datanya dalam skripsi ini menggunakan metode diskripsi, deduksi, induksi, kesinambungan historis dan serta menggunakan metode komparasi. Sedangkan tekhnik pemeriksaan keabsahan data menggunakan triangulasi.
Hasil penelitian ini adalah (1) Pemikiran pengajaran Al-Ghazali bercorak religius-etik. Corak tersebut dipengaruhi oleh penguasaannya di bidang sufisme, dalam kepribadiannya penuh nilai-nilai Islami, ajaran tasawuf dan metafisika. Ia lebih menekankan pada budi pekerti dan spiritualitas manusia. Tujuan pengajarannya adalah taqarrub kepada Allah yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat, mengembangkan potensi manusia serta membentuk manusia yang berakhlak. Dalam rumusan garis-garis kebijakan dalam rencana pengajarannya sesuai dengan klasifikasi kelompok, golongan, nilai nilai materi pelajaran, secara hirarkis sesuai dengan tingkat manfaat dan bahaya yang ditimbulkannya. Dan metode dianjurkan menggunakan metode yang bervariasi dan harus disesuaikan dengan usia, karakter dan daya tangkap siswa. Adapun macamnya ada dua: pengajaran agama meliputi hafalan, pemahaman, keyakinan, dan pembenaran; metode pengajaran akhlak yakni metode keteladanan dan metode pembiasaan, Serta diikuti dengan evaluasinya. (2) pemikiran Konsep yang ditawarkan oleh John Dewey bersifat radikal, lebih mengedepankan kebebasan manusia secara mutlak. Dikatakan radikal karena berangkat dari perjuangannya yang melawan berbagai bentuk pengajaran yang tidak berdasarkan pada keinginan peserta didik. Menurutnya manusia sebagai subyek yang mampu merubah realitas. Ia lebih mengandalkan pada kebebasan manusia secara mutlak, tanpa adanya pengakuan bahwa penciptanya yang memiliki hak mutlak tersebut. Dalam rumusan garis-garis kebijakan dalam rencana pengajarannya penuh pertimbangkan, penyesuaian sungguh-sungguh dalam hubungan antara cabang-cabang pengetahuan dengan keadaan kapasitas pengalaman peserta didik. Metodenya pun juga tidak mengesankan pada penanaman nilai-nilai budi pekerti, ia lebih mengarah pada pengajaran yang kontekstual, non naratif dan lebih pada realitas kehidupan. Metode yang ia gunakan adalah metode problem solving, learning by doing dan metode disiplin; serta diikuti dengan evaluasi, reflektif, observasi, riwayat hidup dan expresiv (3) Komparasi dari pengajaran Al-Ghazali dan John Dewey dapat dilihat dari sisi persamaan maupun perbedaannya. Persamaannya secara ekplisit terletak pada pengakuannya tentang eksistensi manusia yang mana dengan fitrah, impulse kemanusiaannya mampu melakukan sesuatu untuk tujuan hidupnya. Selain itu keduanya sama-sama muncul dari sosio-kultural yang inhuman (kolonialisasi pemikiran). Sehingga pendapat-pendapat yang digunakan bersumber dari kenyataan dalam hidup dan pengalaman mereka masing-masing. Perbedaannya adalah Al-Ghazali dalam pemikirannya memiliki corak religius- etik, ia mencetuskan konsep berbasis Islami, yang menekankan pada sisi spiritualitas dan nilai-nilai moral. Sedangkan John Dewey dengan corak radikalnya mencetuskan konsep pengajaran pembebasan (demokrasi) dalam usaha kesadaran kritis menuju humanisasi.
Akhirnya, skripsi ini bermuara pada harapan bahwa pengajaran lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar hidup, dalam prosesnya memberikan kesempatan berefleksi kepada siswa atas setiap pengalaman yang diperolehnya. Hal ini tidak hanya tanggung jawab guru sebagai pendidik, namun lebih jauh merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan sekolah. Mudah-mudahan konsepsi ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi masa depan guru.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk yang berpikir
atau “homo sapiens” mahluk yang berbentuk “homo faber” mahluk yang dapat di
didik/perkembang “homo educandum” dan dengan kedudukannya sebagai mahluk yang
berbeda dengan mahluk lainnya haruslah menempatkan manusia sebagai pribadi yang
utuh dalam kaitannya dengan kepentingan perkembangan kognitif, psikomotorik dan
afektif. 1 Nilai dasar menjadi manusia sesungguhnya adalah berfungsinya potensi
dasar manusia secara optimal sehingga sanggup menjalankan aktifitas kehidupan,
dan cara untuk mengoptimalisasi, tidak lain melalui rangsangan pengajaran dan
pendikan. Manusia dapat menjadi manusia karena pengajaran dan pendidikan. 2
pengajaran maupun pendidikan pada hakikatnya merupakan proses budaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ini menunjukkan bahwa manusia akan
menjadi manusia karena pegajaran maupun pendidikan. atau dengan kata lain bahwa
pegajaran maupun pendidikan berfungsi untuk memanusiakan manusia. 3 1 Sunarto Dan
Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik. Cetakan: 1 (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1999), hlm. 2-3 2 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik, Upaya
Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (Jogjakarta: IRCISOD,
2004), hlm. 143. 3 A. Weherno Susanto, “Pendidikan Dan Peningkatan Martabat
Manusia”, Jurnal Pendidikan, Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang No. 39 th. XIII,
Juli- September, 1995, hlm. 36. 1 18 Di dalam pengajaran maupun pendidikan
itulah terjadi proses interaksi belajar mengajar antara guru dan murid untuk
mendapatkan transfer kognitif, psikomotorik dan afektif sehingga orang yang
melakukan proses interaksi pengajaran maupun pendidikan tersebut menjadi
manusia yang utuh. Manusia yang secara utuh adalah manusia sebagai pribadi yang
merupakan pengejawantahan manunggalnya berbagai ciri atau karakter hakiki atau
sifat kudrati manusia yang seimbang antar berbagai segi, yaitu antara segi
individu dan social, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat. Keseimbangan
hubungan tersebut menggambarkan keselarasan hubungan antara manusia dengan
dirinya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam sekitar atau
lingkugnannya, dan manusia dengan tuhan merupakan hal yang secara mutlak
disandang oleh manusia, sehingga setiap manusia pada dasarnya sebagai pribadi
atau individu yang utuh.
Sampai saat ini proses interaksi pengajaran
maupun pendidikan juga masih dianggap sebagai kekuatan utama dalam komunitas
sosial untuk mengimbangi laju berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Pengembangan eksistensi pengajaran maupun
pendidikan menuntut sistem pengajaran maupun pendidikan yang lebih dinamis dan
lebih responsif terhadap berbagai persoalan dan perubahan dalam dunia proses
interaksi pengajaran maupun pendidikan. Dalam hal ini, mungkin orang akan
mempertanyakan konsep filosofik yang melandasi sistem proses interaksi
pengajaran maupun pendidikan yang sedang dilaksanakan atau 4 Sunarto Dan Agung
Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Cetakan: 1 (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1999) hlm. 2-3 5 A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. V 19 mungkin juga konsep-konsep
operasionalnya ditinjau dan di kritik serta di perbaharui agar tetap relevan
dengan tuntutan perubahan dan perkembangan kehidupan manusia. 6 Dalam UU RI No.
20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, bab I pasal 1 dijelaskan bahwa pengajaran
maupun pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses belajar mengajar agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kpribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 7 Akan tetapi selama
ini yang terjadi adalah betapa proses interaksi pengajaran maupun pendidikan
selalu tidak sejalan dengan kenyataan yang di hadapi oleh siswa maupun anak
didik, maupun tingkat lokal. Padahal proses pengajaran maupun pendidikan
sesungguhnya dijalankan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumber
daya manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang
melingkupinya. Dalam artian, setiap proses seharusnya mengandung berbagai
bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan kebutuhan
masyarakat. Sehingga out put pengajaran maupun pendidikan adalah manusia yang
sanggup memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi masyarakat.
8 6 Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidkan Islam (Yogyakarta: Infinite
Press, 2004) hlm. 1. 7 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 (Bandung: Fokus Media, 2003), hlm. 3. 8 Firdaus M.Yunus, Pendidikan
Berbasis Realitas Sosial, Paulo Friere & YB. Mangun Wijaya (Jogjakarta:
Logung Pustaka, 2005) hlm. X. 20 Mangun Wijaya, mengatakan bahwa pengajaran
maupun pendidikan di dalam paradigma neokolonial Indonesia saat ini hanya
diajukan demi fungsi terhadap kebutuhan penguasa, tidak demi masyarakat.
Sehingga setiap pengambilan keputusan selalu harus menunggu datang dari
penguasa, masyarakat tidak pernah menjadi pemikir yang kreatif dan terampil
untuk setiap saat mengadakan penyesuaian dalam perbagai alternatif yang
mungkin.
Meminjam istilah Azyumardi Azra, terjadi
semacam situasi anomaly atau bahkan krisis identitas ideologis. 10 Sistem
proses interaksi pengajaran maupun pendidikan di Indonesia sudah memiliki
ideologi sendiri, yaitu pancasila. Namun implementasinya dalam penyelenggaraan
pengajaran maupun pendidikan, walaupun sudah ada Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional, masih belum jelas arahnya. Terbukti masih banyak
mengadopsi strategi dari ideologi pengajaran dan pendidikan lain. Dengan
pertimbangan menghadapi globalisasi memanfaatkan strategi orang lain sah-sah
saja, dengan maksud untuk meningkatkan mutu proses interaksi pengajaran maupun
pendidikan nasional yang saat ini tertinggal dari negara-negara lain selama
strategi itu tidak menggoyahkan ideologi sendiri, maka tidak masalah. 11 Hasil
investigasi dari beberapa lembaga internasional yang menunjukkan bahwa proses
interaksi pengajaran maupun pendidikan di Indonesia memiliki kwalitas yang
masih sangat rendah. Penyebab rendahnya kwalitas pengajaran maupun pendidikan
di Indonesia ini, menurut penelitian Darmaningtyas, karena 9 Firdaus M. Yunus,
Ibid, hlm. 10. 10 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi Dan ModernisasiMenuju
Millenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 33. 11 Achmadi,
Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm. 9. 21 pengajaran maupun pendidikan (hanya) dijadikan alat
untuk melanggengkan kekuasaan dan mendukung ideology militeristik. Karena
itulah menurut H. A. Tilaar, proses interaksi pengajaran maupun pendidikan yang
dikembangkan orde baru tidak mungkin dapat melahirkan generasi yang ideal.
Sebaliknya melalui pengajaran maupun pendidikan seseorang malah masuk perangkap
setan, anak kehilangan kejujuran, tipisnya rasa kemanusiaan, kurangnya jiwa
makarya, hilangnya pribadi yang mandiri dan rendahnya disiplin diri. 12
Strategi pembangunan yang mengadopsi barat dan meletakkan model kapitalisme
sebagai kiblat yang harus ditiru telah memberikan implikasi terciptanya
masyarakat yang hedonistik, individualistik dan materialistik. 13 Padahal
tujuan pengajaran maupun pendidikan yang diharapkan tidak seperti itu, sesuai
dengan Undang-Undang NO. 20 Tahun 2003, Bab II Pasal 3 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pengajaran maupun pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. 14 12 Nurul Huda, Cakrawala Pembebasan Agama, Pendidikan Dan Perubahan
Sosial (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 150-151. 13 Muslih Musa,
Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1991), hlm. 10. 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang
Guru Dan Dosen Serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 76. 22
Disisi lain, dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (1) disebutkan bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan pengajaran maupun pendidikan. Dalam ayat (4) juga
disebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan skurang-kurangnya
dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari
Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional. 15 Tetapi pada kenyataannya pendidikan nasional untuk saat
ini sepertinya semakin jauh dari visi kerakyatan. Bahkan dengan gerakan otonomi
sekolahsekolah tinggi semakin jelas menunjukkan gejala kapitalisme pendidikan.
Saat ini pengajaran maupun pendidikan dikelola dengan menggunakan manajemen
bisnis yang kemudian menghasilkan biaya yang melangit. Biaya pendidikan makin
mahal, bahkan terkesan telah menjadi komoditas bisnis bagi kaum pemilik modal
(kapitalis). 16 Dengan menggunakan label "sekolah unggulan",
"sekolah favorit", sekolah panutan dan sebagainya biaya pendidikan
semakin mencekik "wong cilik". Pendidikan kita semakin menindas
terhadap kaum marginal.
Rakyat lemah tidak lagi mampu
mengenyam pengajaran maupun pendidikan bermutu akibat mahal-nya biaya
pendidikan itu. Kita tentunya masih ingat dengan kasus Haryanto, seorang murid
Sekolah Dasar Muara Sanding VI Garut yang putus asa lalu bunuh diri dengan
menggantung diri akibat tidak mampu membayar biaya kegiatan ekstrakurikuler.
Orang tuanya tidak mampu memberikan biaya kegiatan yang hanya sebesar dua 15
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Dan Amandemennya (Bandung: Fokus Media,
2004), hlm. 23. 16 Mu'arif, Wacana Pendidikan Kritis Menelanjangi Problematika,
Meretas Masa Depan Pendidikan Kita (Jogjakarta: IRCISOD, 2005), hlm. 115. 23
ribu lima ratus rupiah. Ia kemudian putus asa lalu menggantung diri. Inilah
salah satu dari sekian potret kaum marginal yang serba dalam kesulitan. 17
Akibat eksklusivitas pengajaran maupun pendidikan tersebut, masyarakat miskin
pun menjadi sulit untuk mengubah kehidupannya. Mereka pun akhirnya sering
diidentikkan dengan kebodohan. Parahnya, sifat fatalistik yang begitu kuat
melekat pada masyarakat kita menyebabkan kemiskinan dianggap sebagai nasib atau
takdir yang harus diterima. Masyarakat miskin dengan tabah menjalani nasibnya,
tanpa ada perlawanan terhadap sistem yang telah membuat mereka miskin.
Seharusnya kondisi ini tidak terjadi, jika masyarakat kita sadar bahwa
kemiskinan itu bisa dicegah melalui proses pengajaran maupun pendidikan.yang
dibangun dari komunitasnya sendiri. pengajaran maupun pendidikan seharusnya
menjadi alat perlawanan bagi kaum tertindas untuk melawan kemiskinan dan
kesewenang-wenangan dari penguasa yang tidak berpihak pada rakyat jelata.
Menurut aktivis pendidikan Boy Fidro, pengajaran maupun pendidikan seharusnya
menjadi alat untuk membangun kesadaran yang kritis, sehingga dia menjadi
individu yang begitu peka terhadap lingkungannya. Jika masyarakat kita sudah
mencapai kesadaran maka mereka tidak akan lagi memposisikan kemiskinan sebagai
sesuatu yang harus diterima apa adanya. Mereka akan mempertanyakan mengapa
kemiskinan tersebut terjadi pada mereka.
Jika sikap Jika ditarik kebelakang, kondisi yang terjadi
di atas juga memiliki beberapa kesamaan dalam beberapa hal pada masa Al-Ghazali
dan John dewey. Pada masa Al-Ghazali terdapat gerakan ilmiah yang sangat
radikal dan berkelanjutan. Proses pengajaran maupun pendidikan mengacu
capaian-capaian kebendaan, hedonis, materialistik 19 , dan terjadinya kerusakan
moral. 20 Dalam situasi kekacauan seperti ini, Al-Ghazali terdorong oleh rasa
tanggung jawabnya untuk memperbaiki kekacauan pikiran dan perbuatan yang
menggoncangkan kehidupan, sehingga pemikiran Al-Ghazali tentang Proses
pengajaran maupun pendidikan secara makro merupakan koreksi terhadap sistem
pengajaran maupun pendidikan output yang dihasilkan. Sebenarnya Al-Ghazali
telah menyusun konsep pengajaran maupun pendidikan yang ideal dan lengkap untuk
mendidik manusia secara utuh. Kesamaan pada masa John dewey, ia mengubah
sekolah tradisional yang dianggapnya sudah tidak layak untuk dijalankan, karena
dalam sekolah tradisional terdapat kekacauan dan kesalahan, diantaranya:
pertama, ia membrantas dengan keras kesalahan sekolah tradisional dan
memasukkan “kerja” dalam ruangan sekolah; kedua, dalam sekolah lama jarak
antara pengajaran dan penghidupan anak sangat jauh. Dialah yang mendekatkan
kehidupan anak di sekolah dengan 18 Pikiran Rakyat, Saatnya Siswa Menjadi
Subyek Pendidikan, Opini (Http: Www. Yahoo. Com, Diakses 7 April 2006) 19
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqat Pandangan Hidup Imam Al-Ghazali (Surabaya: Pustaka
Himah Perdana, 2002), hlm. 29. 20 Ali Al-Jumbulati dan A. Futuh At-Tuwanisi,
Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 128. 25
kehidupan masyarakat. Ia mengubah sekolah kuno yang pasif mati itu menjadi
sekolah baru, yang aktif hidup, hingga anak dapat menambah pengetahuan dan
kecakapannya serta menemukan skill dan bakatnya dengan baik. Ketiga, di sekolah
kuno pelajaran tiap tahun selalu berlangsung sama, tetapi pengajaran proyek
mengubah keadaan yang statis itu menjadi dinamis, tiap tahun pengajaran maupun
pendidikan berganti sesuai dengan masalah yang diambil dari masyarakat yang
selalu hidup dan berubah, dan sesuai dengan perkembangan perhatian anak.
Keempat, anak dilatih belajar sungguh-sungguh dan bekerja sama, tidak seperti
di sekolah kuno. Di sekolah tradisional anak hanya mengahafal dan berbuat untuk
kepentingan diri saja. 21 Untuk dapat menguasai dunia sekitarnya, manusia
memerlukan alat berupa pengetahuan dan tekhnologi. Selain menguasai dunia
sekitarnya, ia perlu mengetahui dirinya sendiri.
Pengetahuan akan diri sendiri,
kemampuan dan keterbatasan diri merupakan syarat untuk mengetahui dan
mengeksploitasi dunia sekitar. Pengembangan potensi diri ini merupakan salah
satu proses penting menuju terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya. Subyek
yang menjadi pusat lingkungan bukanlah berdiri di ruangan kosong. Dia berada
dalam lingkungan hidup bersama yang berbudaya dengan konfigurasi nilai-nilai.
Dia adalah produk, pendukung, sekaligus penggerak kebudayaan dan nilai-nilai
yang di kandungnya. 22 21 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang
Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey (Yogyakarta, Safiria Insani Press,
2004) hlm. 63-64. 22 HR. Tilaar, Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional
Menyongsong Abad XXI (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 71. 26 Seorang
pemikir Islam Al-Jundi, sebagaimana dikutip Mohammad Arkoun mengatakan, manusia
bebas atau kebebasan manusia merupakan satu diantara ciri khas Islam, karena
Islam adalah agama yang pertama kali menganjurkan kebebasan manusia. 23 Menurut
Islam kebebasan merupakan sikap dasar manusia dan salah satu wujud jati diri
manusia yang sebenarnya jika dibandingkan dengan makhluk lain. Jati diri inilah
yang manusia seutuhnya, berkarakter dan mandiri. Sebenarnya untuk mewujudkan
fungsi dari Proses pengajaran maupun pendidikan harus berusaha mengembangkan
potensi yang telah ada pada diri manusia, yang dibawanya sejak menghirup udara
kehidupan di dunia ini, agar manusia benar-benar menjadi manusia. Sebab tanpa
adanya usaha stimulatif yang bersifat eksternal terhadap perkembangan potensi
tersebut, manusia sulit dan jauh untuk menjadi manusia yang sempurna. 24 Bagi
Al-Ghazali, pengembangan potensi diri (fitrah) manusia tersebut harus dilakukan
dan menjadi keharusan dari pengajaran dan pendidikan. Menurutnya, sasaran
pengajaran dan pendidikan. menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani
didunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai pada kesempurnaan hanya dengan
melalui sifat keutamaan melalui jalur ilmu, sehingga menjadi bahagia dunia dan
akhirat
Menurut konsep ini, dapat dinyatakan bahwa
semakin lama seseorang duduk di bangku pendidikan atau mendapatkan pengajaran,
semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin dekat kepada Allah. Tentu
saja, untuk mewujudkan hal itu bukanlah sistem pengajaran maupun pendidikan dan
pendidikan sekuler yang memisahkan ilmu-ilmu keduniaan dari nilai-nilai kebenaran
dan sikap religius, juga bukan pengajaran maupun pendidikan Islam tradisional
yang konservatif. Tetapi sistem Proses pengajaran maupun pendidikan yang
memadukan keduanya secara integral. Sistem inilah yang dapat membentuk manusia
mampu melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya. Bahkan lebih jauh, hakekat ilmu
menurut Al-Ghazali mengandung makna menghilangkan pengertian ilmu secara
terpisah. Karena sentralisasi ilmu ada pada Tuhan sebagai pemiliknya dan
manusia (hanya) sebagai pengembangannya. Sehingga jelas tercipta hubungan satu
arah yakni ilmu untuk Allah dan ilmu untuk manusia oleh manusia yang berporos
kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 32 : (. .ÃÞ
Â) . Ô ü Æ ¾È û ¾ ¾ û ÔÂã ¾ Artinya: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha bijaksana“.
Ide luhur ini akan memberikan
tetesan-tetesan kebawah (Trickle down effects) apabila Proses pengajaran maupun
pendidikan sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju tataran ideal
tersebut dibangun melalui pola 28 ignasian, cara seorang pendidik dalam
mendampingi para pelajar dengan mengenalkan refleksi sebagai unsur essensial.
26 Munculnya Ide cemerlang “Paedagogi of the Oppresed“ 1978, merupakan angin
segar bagi perkembangan teori pengajaran maupun pendidikan, dan secara politis
memberikan alternatif solusi yang ‘bersemangat‘ atas kebuntuan yang melanda
praktek pengajaran maupun pendidikan di seantero dunia. Democration,
Conscientizacao dan Humanism adalah asumsi dasar yang digunakan oleh John dewey
“pendidik revolusioner” dalam mega proyek pemberantasan sekolah tradisional di
negaranya (Amerika). Apa yang telah digagas oleh John Dewey bukan semata-mata
sebatas wacana Proses pengajaran maupun pendidikan saja. Namun lebih jauh John
dewey telah menggunakan pendekatan filosofis yang kemudian membangun paradigma
konsep pengajaran dan pendidikan yang pragmatis dan progresiv. Setiap Proses
pengajaran maupun pendidikan, baginya merupakan proses masyarakat mengenal
diri. Dengan perkataan lain, pengajaran maupun pendidikan adalah proses agar
masyarakat menjadi hidup dan dapat melangsungkan aktivitasnya untuk masa depan.
Dengan demikian, Proses pengajaran dan pendidikan adalah proses pembentukan
impulse (perbuatan yang dilakukan atas desakan hati).
pengajaran maupun pendidikan pragmatisme John
Dewey lebih menekankan pada futuralistik (sebuah pendidikan yang berwawasan
masa depan). Karena sifatnya yang future oriented, pragmatisme menolak model
pengajaran maupun pendidikan yang ingin kembali ke masa lampau. Dari karakter
yang demikian, maka pengajaran maupun pendidikan pragmatisme sering disebut
sebagai pengajaran maupun pendidikan modern. pengajaran maupun pendidikan modern
menganjurkan agar yang berbuat, yang menghasilkan, dan yang mengajar adalah
peserta didik sendiri. Sedangkan peran pendidik lebih berfungsi sebagai
fasilitator dan pembimbing. 28 Hakekat pengajaran maupun pendidikan. menurut
pragmatisme adalah menyiapkan anak didik dengan membekali seperangkat keahlian
dan ketrampilan teknis agar mampu hidup di dunia yang selalu berubah dan
berkembang. pengajaran maupun pendidikan diyakini mampu merubah kebudayaan baru
dan dapat menyelamatkan masa depan manusia yang semakin kompleks dan menantang.
pengajaran maupun pendidikan adalah tempat pembinaan manusia untuk survive
menyesuaikan diri dengan perubahan cultural dan tantangan zaman.
Pragmatisme berkeyakinan bahwa
pengajaran maupun pendidikan dapat menolong manusia menghadapi periode transisi
antara pola pikir tradisonal dengan pola pikir progresif (modern) yang selalu
berubah. Fase ini merupakan permulaan bagi periode revolusi menuju tata hidup
sosial, teknologi, dan moral yang semakin modern. 30 Konsep pengajaran maupun
pendidikan Dewey yang 28 Hasan Langgulung, Pendidikan Dan Peradaban Islam:
Suatu Analisa Sosio-Psikologis, (Grafindo: Jakarta, 1985), hlm. 28. 29 Ali
Maksum Dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal Di Era Modern
Dan Post-Modern. ( IRCISOD: Yogyakarta, 2004), hlm. 259. 30 Mohammd Noor Syam,.
Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. (Usaha Nasional:
Surabaya, 1988), hlm. 228. 30 berlandaskan pada filsafat pragmatisme, menilai
suatu pengetahuan dalam masyarakat. Yang diajarkan adalah pengetahuan yang
segera dapat dipakai dalam penghidupan masyarakat sehari-hari. 31 Dari latar
belakang di atas, terdapat dua konsep pengajaran yang berbeda antara Al-Ghazali
dan John dewey. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan
sosio kultural yang berbeda. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk
mengkaji kedua tokoh tersebut dengan judul “Komparasi Konsep Pengajaran Antara
Al-Ghazali Dan John Dewey" agar menemukan titik relevansinya sebagai
kajian yang aktual dalam moment inovasi yang terjadi di negara ini.
B.
Rumusan
Masalah
Bertitik tolak dari deskripsi di atas, penulis
merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep pengajaran Al-Ghazali?
2. Bagaimanakah konsep pengajaran John Dewey? 3. Bagaimanakah komparasi konsep
pengajaran antara al-Ghazali dan John Dewey?
C. Tujuan Penelitian
Dalam pembahasan ini penulis mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mendiskripsikan konsep
pengajaran Al-Ghazali 2. Untuk mendiskripsikan konsep pengajaran John Dewey 3.
Untuk mengetahui komparasi konsep pengajaran Al-Ghazali dan John Dewey. Dari
proses penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada peneliti secara pribadi
dan manfaat bagi semua pihak, antara lain: 1. Bagi penulis Penelitian ini
sebagai suatu wacana untuk memperluas cakrawala pemikiran tentang konsep atau
teori pengajaran.
2. Bagi khalayak umum Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sebuah informasi dan memperkaya khasanah keilmuan yang
dapat dibaca, dikonsumsi dan dikaji oleh khalayak umum, khususnya para kaum
terpelajar yang ingin mengetahui tentang konsep pengajaran Al-Ghazali dan John
dewey.
3. Bagi pengembangan ilmu pendidikan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi proses perkembangan
keilmuan pendidikan, sekaligus menjadi sumbangan pemikiran bagi dunia
pendidikan, terutama dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Untuk Mendownload Skripsi "Pendidikan Agama Islam" :Komparasi konsep pengajaran antara Al-Ghazali dan John Dewey" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
5 comments:
pandora charms
kobe basketball shoes
goyard handbags
golden goose
ray ban sunglasses
cheap jordans
ultra boost
adidas ultra boost
prada glasses
nike air huarache
nike flyknit trainer
adidas iniki runner
off white clothing
lacoste online shop
balenciaga
air max 2018
irving shoes
nike mercurial
pandora bracelet
lebron 15 shoes
nike air huarache
kyrie shoes
nike air max
nmd
christian louboutin shoes
nike shox for men
cheap nba jerseys
moncler jackets
yeezy boost 350
hermes belts for men
شركة نقل عفش بالطائف
شركة تنظيف فلل بالرياض
شركات نقل اثاث بالرياض
نقل عفش بالمدينة المنورة
شركات نقل العفش بجدة
شركات نقل عفش بالمدينة المنورة
Great reading yyour blog
Post a Comment