Abstract
INDONESIA:
Kemajuan dunia pakaian (fashion) yang semakin pesat dan beragam, membuat mahasiswi sekarang ini memilliki ketertarikan yang cukup besar untuk mengikute mode yang beredar dipasaran yang menyebabkan mahasiswi membeli tanpa memperhatikan kegunaan barang tersebut, atau dengan kata lain adanya kecenderungan untuk melakukan pembelian impulsif. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah karakteristik konsumen yang meliputi kepribadian terkait dengan konsep diri, yang mana konsep diri dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam membeli.
Penelitian ini betujuan untuk mengetahui tingkat pembelian impulsif (impulsive buying) produk pakaian pada mahasiswi UIN MALIKI MALANG, untuk mengetahui konsep diri pada mahasiswi UIN MALIKI MALANG, serta untuk mengetahui ada tidaknya hubungan konsep diri dengan pembelian impulsif (impulsive buying) terhadap produk pakaian pada mahasiswi UIN MALIKI MALANG.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Subjek penelitian adalah seluruh mahasiswi UIN MAlIKI MALANG angkatan 2012-2013. sampel sebanyak 317 mahasiswi. Instrumen penelitian ini menggunakan skala pembelian impulsif (impulsive buying) dan skala konsep diri.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1). Tingkat pembelian impulsif terhadap produk pakaian pada mahasiswi UIN MALIKI Malang menunjukkan pada kategori sedang dengan prosentase sebesar 42%, sebanyak 130 mahasiswi. 2). Konsep diri mahasiswi UIN Malang berada pada kategori sedang dengan prosentase 49%, sebanyak 154 mahasiswi. 3). Ada hubungan negatif antara konsep diri dengan pembelian impulsif (impulsive buying) pada mahasiswi UIN MALIKI MALANG terhadap produk pakaian. Dengan korelasi sebesar -0,609 dengan nilai signifikan 0,000. Artinya semakin positif konsep diri pada mahasiswi maka pembelin impulsif (impulsive buying) rendah, sebaliknya semakin negatif konsep diri pada mahasiswi maka pembelian impulsif (impulsive buying) akan semakin tinggi. Adapun besar sumbangan efektif konsep diri dalam mempengaruhi pembelian impulsif (impulsif buying) terhadap produk pakain adalah 37,9%.
ENGLISH:
The advancement of clothing (fashion)is rapidly increasing and diverse, make the students today has considerable interest to follow the fashion that outstanding in the market which causes the student buy without consider good usability, or in other word there are tendency to impulsive purchases. One of thefactors that influence is a consumer characteristic which includes personality related to self concept, which can affect the self concept someone in the purchasing concept decision.
This research is to determine the level of impulse purchases (impulsive buying) clothing product on the students of UIN MALIKI MALANG, to know the concept of self the students UIN MALIKI MALANG, as well as to determine whether there is the concept of self with impulsive purchases (impulsive buying) for clothing product on the students UIN MALIKI MALANG.
This research used quantitative method. Subject of the research is all of the students UIN MALIKI MALANG class of 2012-2013, sample of 317 students. This research instrument using the scale purchases impulsive (impulsive buying) and the scale of self concept.
The result of the research indicate that: 1) impulsive purchase rate on students clothing product UIN MALIKI MALANG show the medium category with the percentage of 42% as many as 130 students. 2) Self concept of the students UIN Malang is in the middle category with percentage 49% as many as 154 students. 3) There is a negative relationship between self concept and impulsive purchase (impulsive buying) to the students of UIN MALIKI MALANG for clothing product. With correlation of -0,609 with the significant value 0,000. It means that more positive self concept of the students then impulsive purchase (impulsive buying) low, otherwise more negative self concept to the students so impulsive purchase (impulsive buying) will be higher. As for the contribution of self concept in influence the purchase impulsive (impulsive buying) for clothing product are 37,9%.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kebutuhan dan
keinginan individu yang ingin selalu terpenuhi, membuat individu melakukan
sesuatu upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya tersebut. Aktivitas
yang biasa dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya adalah
dengan berbelanja. Belanja merupakan kegiatan yang hampir setiap hari selalu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terutama dalam memenuhi
kebutuhan fisiologis, karena kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan mendasar
yang harus dipenuhi dalam mempertahankn hidup. Seperti halnya pada teori Maslow
“hirarki kebutuhan” yang menyatakan ada lima tahapan kebutuhn hidup manusia,
antara lain; kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosial,
kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri (Burns,
1993:35). Apabila tahapan kebutuhan yang paling rendah terpenuhi maka akan
mendorong terpenuhinya tahapan kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan yang
paling mendasar adalah kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan akan bahan pokok,
sandang, pangan hingga biologis. Kegiatan belanja sebagai salah satu bentuk
konsumsi, saat ini telah mengalami pergesaran fungsi. Dulu berbelanja hanya
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi saat ini belanja juga sudah
menjadi gaya hidup, sehingga belanja tidak hanya untuk membeli kebutuhan pokok
yang diperlukan, namun belanja dapat pula menunjukkan status sosial seseorang,
karena belanja berarti memiliki materi. Dalam situasi tertentu membeli atau
berbelanja bisa jadi tanpa perencanaan. Remaja menurut Piaget dalam Hurlock
(1980:206) adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam
masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di
bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak
sejajar. Pada masa peralihan ini, status remaja dapat dikatakan tidak jelas dan
terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Apabila diperhatikan dan
diikuti pertumbuhan anak sejak lahir sampai besar, akan didapatilah bahwa anak
itu tumbuh secara berangsur-angsur bersamaan dengan bertambahnya umur. Demikian
pula halnya dengan pertumbuhn identitas atau konsep diri juga berkembang
seiring dengan bertambahya berbagai pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya
baik dari pendidikan, keluarga, sekolah maupun dari masyarakat di mana ia
tinggal (Panuju, 1999:83-84). Remaja cenderung memiliki keinginan untuk tampil
menarik. Hal tersebut dilakukan remaja dengan dengan menggunakan busana dan
aksesoris, seperti sepatu, tas, jam tangan, dan sebagainya yang dapat menunjang
penampilan mereka. Para remaja juga tidak segan-segan untuk membeli barang yang
menarik dan mengikuti trend yang sedang berlaku, karena jika tidak mereka akan
dianggap kuno, kurang “gaul” dan tidak trendy. Akibatnya, para remaja tidak
memperhatikan kebutuhannya ketika membeli barang. Mereka cenderung membeli
barang yang mereka inginkan bukan yang mereka butuhkan secara berlebihan dan
tidak wajar. Sikap atau perilaku remaja yang mengkonsumsi barang secara
berlebihan dan tidak wajar inilah yang disebut dengan perilaku konsumtif.
Tambunan (2001) dalam Wardhadi (2009) menjelaskan bahwa bagi produsen, kelompok
usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain
karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu,
remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak
realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja
inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.
Kebutuhan akan mengerti diri dan memahami diri sendiri bagi remaja sangat erat
kaitannya dengan kemantapan rasa harga diri. Mengerti diri sendiri merupakan
suatu keadaan, dimana seseorang mengetahui sikap-sikapnya, sifat-sifatnya,
kemampuan-kemampuannya, dan sebagainya (Panuju, 1999:154). Pakaian menurut
Mouton (2008) dalam Wathani (2009:17) adalah satu jenis produk yang disinyalir
dapat membius dan membuat individu berpikir untuk membeli tanpa pertimbangan
panjang. Hal ini didukung oleh pernyataan Alia (2008) bahwa pakaian termasuk
salah satu kebutuhan primer manusia sejak dahulu kala. Menurut Alia (2008)
dalam Wathani (2009:18) mengatakan pada saat ini industri pakaian mulai
berkembang dengan amat pesat, produk pakaian jadi (ready to wear) sebagian
besar dibuat untuk konsumn perempuan. Fenomena ini disebabkan oleh tendensi
peminat pakaian peremuan yang jauh lebih banyak dari pada pakaian pria. Sebagian
besar perempuan menilai keberagaman pakaian sebagai kebutuhan karena mereka
tumbuh melihat figur ibu yang dituntut harus berdandan demi kedudukan dalam
lingkaran sosial, sehingga perempuan menganggap pakaian yang mereka kenakan
merupakan cerminan dari pribadi merek. Menurut Jung dalam Wathani (2009:18),
tingkah laku perempuan yang terlihat umumnya jauh lebih personal dari
laki-laki, sehingga laki-laki jarang membeli pakaian berdasarkan keinginan
melainkan sebagai suatu kebutuhan. Kemajuan dunia fashion yang semakin pesat
dan beragam membuat para konsumen menginginkan berbagai produk fashion terbaru.
Dunia remaja memang tidak bisa dilepaskan dari tren fashion, berbagai produk
fashion seperti tas, pakaian, sepatu, hingga aksesoris menjadi kebutuhan yang
selalu ingin dipenuhi oleh remaja. Hal ini disebabkan karena para remaja ingin
selalu tampil menjadi pusat perhatian. Salah satu hal penting yang mendukung
presentasi remaja adalah fashion. Dalam hal pakaian, remaja laki‐laki
maupun perempuan memiliki minat yang sama. Remaja perempuan lebih
menitikberatkan pakaian sebagai simbol status, sedangkan remaja laki‐laki
menggunakan pakaian sebagai simbol individualitas (dalam Larasati & Budiani
2014). Hoult (dalam Hurlock, 1974) menyatakan bahwa pakaian menentukan
dikelompok mana seseorang diterima sebagai anggota. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa remaja mengkonsumsi produk fashion terutama karena
berdasarkan perasaan dan emosi ingin diterima dalam kelompok dengan
mempresentasikan diri melalui penampilan mereka. Karena dorongan tersebut,
remaja akan lebih mudah melakukan impulsive buying pada produk fashion yang
selalu berubah setiap waktu akibat memori mengenai pembentukan image melalui
penampilan yang akan dipresentasikan (Anin F, dkk. 2008) Remaja biasanya
membeli produk yang berkaitan dengan simbol kesukaan, gaya hidup dan identitas,
alasan seorang remaja membeli secara impulsif adalah karena tertarik bentuknya,
warnanya atau karena banyak teman temannya juga memiliki (Bourdieu &
Featherstone dalam Astasari & Sahrah 2006). Hasil penelitian Schiffman dan
Kanuk (2000) dalam Astasari & Sahrah 2006) menunjukkan bahwa remaja putri
pada usia 16- 21 tahun tergolong konsumen yang konsumtif, karena dalam membeli
suatu produk hanya ditunjukkan untuk prestige dan harga diri. Melihat kondisi
tersebut, nampak bahwa remaja putri cenderung memebeli suatu produk bukan
berdasar pada kebutuhan yang sebenarnya, tetapi hanya berdasar keinginan untuk
tampil menarik, untuk menjaga prestige dan harga diri.
Penelitian
Helga, Dittmar, Beattie & Friese dalam Gani (2005) menemukan bahwa seorang
remaja membeli secara impulsif jika mereka mempersepsikan aspek dirinya kurang
ideal terutama dalam penampilan. Adapun barang-barang yang berhubungan dengan
image diri seperti make- up dan fashion (pakaian, sepatu, dan tas) akan
memancing pembelian impulsif remaja putri. Survey sebuah pemasaran yang
dilakukan oleh Budistiawan (2003), sebesar 88% dari pembelanjaan impulsif
difokuskan pada kategori produk yang memenuhi secara langsung maupun tidak
langsung pada peningkatan penampilan seperti kosmetik, parfum, anting, dan
produk fashion lainnya. Penelitian siswandari (2005) menemukan bahwa pakaian
adalah produk yang paling banyak dikonsumsi secara impulsif dengan presentase
sebesar 42,42% dalam Astasari & Sahrah (2006). Menurut Hurlock (1991)
Pakaian dipandang dapat menunjang penampilan juga sebagai simbol status yang
memiliki efek pada konsep diri remaja. Aspek-aspek dari perilaku konsumtif
yaitu pembelian yang tidak rasional, pembelian yang sia-sia,dan yang terakhir
pembelian secara spontan atau biasa disebut impulse buying.Aspek perilaku
konsumtif yang ketiga ini merupakan perilaku yang paling rawan terjadi untuk
pembelian produk fashion. Impulsive buying secara umum dikenal sebagai
pembelian yang terjadi karena munculnya hasrat (desire) secara tiba-tiba tanpa
diikuti dengan proses berpikir mengenai konsekuensi yang kemungkinan akan
muncul setelah pembelian. Prilaku pembelian impulsif atau impulsive buying
Menurut Sterns (1962) dalam Bung (2011:5) menyatakan bahwa belanja impulsif
adalah suatu pembelian yang dilakukan konsumen tanpa direncanakan sebelumnya
(impulsive buying is a purchase that made by consumers without being
intentionally planned before). Hirshman dan Stern dalam Bisnis (2007) berpendapat
bahwa pembelian impulsif adalah kecenderungan konsumen untuk melakukan
pembelian secara spontan, tidak terefleksi, secara terburu-buru dan didorong
oleh aspek psikologis emosional terhadap suatu produk dan tergoda oleh persuasi
dari pemasar. Menurut Bohm Bawerk (1898) dalam Fisher dan Rook (1995).
Menyatakan bahwa Perilaku impulsive memiliki sejarah panjang yang diasosiasikan
dengan ketidakdewasaan, primitivisme, kebodohan, kecerdasan yang lebih rendah,
dan bahkan penyimpangan sosial dan kriminalitas. Dalam kasus ekstrim, perilaku
impulsif hampir seluruhnya stimulus didorong; Akibatnya, pembelia impulsif
kemungkinan untuk bertindak atas kemauan dan untuk merespon tegas dan segera.
Impulsive buying seringkali terjadi pada produk-produk yang dirasa cukup menarik
bagi konsumen. Salah satuya produk pakaian, karena pakaian bukan hanya sekedar
berfungsi sebagai pelindung tubuh saja, namun pakaian juga dapat digunakan
sebagai sarana dalam meningkatkan self image atau mood, melalui pakaian yang
dikenakan, tidak terkecuali remaja, terutama remaja putri. Sering ditemui
sekumpulan remaja putri yang berjalan-jalan dipusat perbelanjaan. Rencana
pertama hanya ingin berjalan-jalan saja, tetapi tanpa disadari saat melihat
barang yang menarik perhatian mereka langsung tertarik untuk membelinya.
Walaupun tidak ada rencana sebelumnya untuk membeli sesuatu. Menurut Horney
dalam Astasari & Sahrah (2006) mengatakan bahwa remaja putri lebih mudah
terpengaruh oleh bujukan teman untuk membeli sesuatu, remaja putri juga lebih
emosional dalam melakukan pembelian sehingga lebih cenderung impulsif. Para
peneliti terdahulu berhasil merumuskan belanja impulsif ke dalam lima kategori,
yaitu: Pertama, karakteristik belanja impulsif oleh Virvilaite, Saladiene,
Bagdonaite (2009); Rick, Cryder, Loewenstein (2008); Ridgway, Kukar-Kinney,
Monroe (2008); Saraneva dan Saaksjarvi (2008); Sharma, Sivakumaran,
Marshall(2006); Verplanken, Herabadi, Perry, Silvera (2005); Kwak, Zhinkan,
Roushanzamir (2005). Karakteristik belanja impulsif kadangkala dilihat sebagai
perilaku menyimpang yang sering mengambil keputusan spontan dan tanpa rencana
sebelumnya serta keputusan tergesa-gesa di tempat yang disebut dengan
Compulsive Buying, dikatakan sebagai pembawaan psikologis, penyakit kronis,
tindakan yang tidak mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya. Kategori kedua,
adalah prediktor belanja impulsif, yang para penelitinya adalah Herabadi,
Verplanken, dan Knippenberg (2009); Zhang dan Shrum (2009); Hansen dan Olsen
(2008); Silvera, Lavack,dan Kropp (2008); Arocas (2008); Lee dan Yi (2008);
Chen (2008); Piron III dan Robert (2007);Park (2006); Lin dan Lin (2005).
Prediktor belanja impulsif diambil dari faktor-faktor yang melekat pada
seseorang, misalnya usia, jender, budaya etnik (ethnicity), kepribadian, kesenangan
berbelanja, emosi, pertimbangan-pertimbangan subyektif, affective,cognitive,
social esteem, self esteem, self discrepancy dan sebagainya. Ketiga, kategori
determinan Belanja Impulsif dipengaruhi berbagai faktor luar, seperti stimulus
lingkungan, faktor sosial, tujuan ekstrinsik, media massa, program-program
promosi dalam toko, keramaian yang diadakan (arousal) (dalam Soeseno Bong,
2011). Peneliti konsumen dan kesehatan mental semakin terbuka tentang bagaimana
kaitan antara perilaku membeli atau dorongan membeli dengan keuangan,
perkawinan, kerja, konsekuensi sosial dan psikologis dan parahnya lagi
impulsive buying termasuk dalam kategori DSM-IV Kriteria diagnostik untuk
belanja kompulsif, digariskan oleh Mc Elroy et al (1995) ada 3 meliputi: 1.
keasyikan atau sering berbelanja, dorongan yang tertahankan dan tidak masuk
akal, 2. jelas membeli lebih dari yang dibutuhkan 3. Stress yang berhubungan
dengan perilaku pembelian. Kriteria ini konsisten dengan yang digunakan untuk
mendiagnosis gangguan kontrol impuls lain seperti patologis, perjudian,
kleptomania dan trikotilomania. Fenomenologi pada gangguan ini juga mirip
dengan yang lain. Gangguan kontrol impuls dalam laporan pasien keasyikan dengan
membeli dan rasa sebelumnya ketegangan, difokuskan baik pada pembelian item
tertentu, atau beli pada umumnya, yang lega dengan tindakan pembelian. Perasaan
kekuasaan, kesenangan, kebahagiaan, bantuan atau emosional mati rasa menemani
tindakan membeli, dan berbagai konsekuensi berikut. Frekuensi bermasalah
episode belanja kompulsif dapat berkisar dari sekali bulan untuk sekali sehari
dan jumlah yang dibelanjakan per episode bervariasi, tergantung pada dana yang
tersedia, metode pembayaran (kartu kredit dibandingkan uang tunai) dan jenis
benda biasanya dibeli. Item umum yang kompulsif dibeli meliputi pakaian,
make-up, seni, perhiasan, peralatan komputer, buku, dan kerajinan (Koran dan
Hartston, 2002). Penelitian Dittmar dkk. (1995) dalam Wathari (2009),
menyimpulkan bahwa pembelian impulsif seseorang dibedakan melalui pemilihan
produk terkait dengan peran gender seseorang dimana peran gender maskulin lebih
memilih produk-produk berdasarkan fungsinya sedangkan pada individu dengan
peran gender feminim lebih berdasarkan pada kenyamanan emosional yang
dimunculkan oleh produk tersebut. Kepribadian akan ikut berpengaruh terhadap
prilaku pembelian. Konsep diri merupakan pendekatan untuk menggambarkan
hubungan antara konsep diri konsumen dengan image merek, image penjual. Setiap
orang mmiliki kepribadian salah satunya adalah rasa percaya diri dan konsep
diri yang berbeda-beda, sehingga memungkinkan adanya pandangan yang berbeda
terhadap suatu barang (Swastha dan Handoko, 1987). Kepribadian dan konsep diri
sangat berpengaruh pada prilaku pengambilan keputusan untuk membeli produk, minuman,
mobil, warna pakaian dan kegiatan yang sifatnya rekreasional. Bangunan mal yang
berlantai banyak, lengkap dengan pendingin ruangan didalamnya, tanpa disadari
telah membawa sebuah realisme baru sebagai tempat berkumpulnya dan
beraktivitasnya warga kota sepanjang hari. Mall telah menciptakan kebanggaan
dan gengsi tersendiri bagi pengunjungnya, terutama bagi anak muda (Halim,
2008:129). Disamping itu, pola konsumtif ini juga dipengaruhi oleh tuntutan
dari gaya hidup baru yang mementingkan penampilan fisik sebagai saripati dan
nilai utamanya. Maka tidak heran bila warga kota menjadi terobsesi dengan
hal-hal yang “harus lebih” harus lebih bagus, harus lebih mahal, harus lebih
beda, dan sebagainya.
Hal-hal fisik
pun menjadi objek yang tiada habisnya untuk dipoles, didandani, serta diberikan
citra mewah dan ekslusif. Mal tentu akan menyambut hangat keinginan warga kota
tersebut sehingga mal tidak lagi sekadar menjadi tempat belanja, namun juga
sudah menjadi lingkungn hidup warga kota di mana mereka mengalami transformasi
dari sekadar pengunjung menjadi konsumen yang mencandu (shopping addict)
(Halim, 2008:136). Salah satu pemicu perilaku impulsive buying adalah pemasaran
dan karakteristik produk yang dapat dilakukan melalui iklan dan bersifat sangat
sugetisbel. Dari sejumlah hasil riset, sebagian besar sasaran utama iklan
adalah remaja karena karakteristik remaja yang masih labil menyebabkan mereka
mudah dipengaruhi untuk melakukan impulsive buying, terutama pada produk
fashion karena fashion merupakan salah satu elemen penting dalam mendukung
penampilan dan presentasi diri remaja dengan harapan akan diterima dalam
kelompok yang dikehendakinya. Banyaknya diskon yang ditawarkn oleh gerai-gerai
fashion tersebut merupakan salah satu bentuk stimulus yang dapat menimbulkan
perilaku impulsive buying. Fenomena Impulsive Buying terhadap poduk pakaian
juga terjadi pada mahasiswa UIN MALIKI Malang. Hal ini terlihat dari hasil
observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa
responden. Observasi dan wawancara dilakukan peneliti pada tanggal 03 s/d 07
November 2014 dengan 12 responden. Dari observasi yang peneliti lakukan
terlihat mahasiswi UIN MALIKI seringkali berpenampilan modis dengan fashion
yang digunakan selalu mengikui mode (up to date). Mahasiswi UIN MALIKI Malang
juga antusias pada saat ada teman yang menawarkan barang daganganya berupa
pakaian, dan langsung membeli barang dagangan tersebut, hal ini membuat
peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh apakah ini fenomena impulsive
buying. Untuk mengetahui lebih dalam peneliti melakukan wawancara. Hasil dari
wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 03 s/d 07 November 2014 dengan
12 responden, menunjukkan delapan dari dua belas orang mengaku sering membeli
pakaian hanya didasarkan pada rasa suka, karena barang yang dibeli “lucu” dan
terlihat bagus bila dikenakan oleh responden. Pada saat membeli responden tidak
memikirkan dampak selanjutnya. Apabila melihat pakaian yang dirasa cocok pasti
ada dorongan kuat untuk segera membelinya. Bahkan empat orang mengatakan bahwa
setiap kali responden pergi ke pusat perbelanjaan pasti responden akan pulang
dengan membawa belanja berupa pakaian, meskipun pada saat pergi responden hanya
berniat untuk jalan-jalan. Berdasarkan hal tersebut peneliti bermaksud meneliti
tentang hubungan konsep diri dengan pembelian impulsif (impulsive buying)
produk pakaian pada mahasiswi UIN MALIKI Malang. Peneliti ingin mengadakan
penelitian terutama tentang keterkaitan konsep diri dalam impulsive buying,
karena konsep diri merupakan faktor pribadi yang ikut menentukan impulse buying
behavior terhadap produk pakaian dengan konsep diri pada mahasiswi UIN MALIKI
Malang.
Penelitian ini menggunakan variabel bebas
konsep diri. Adapun jenis dari konsep diri itu sendiri ada yang positif dan
negatif. Seseorang dengan konsep diri negatif penerimaan terhadap diri sendiri
cenerung rendah. Seseorang yang mempunyai konsep diri negatif akan sering kali
merasa gagal dan cenderung bersikap persimistik terhadap kehidupan dan
kesempatan yang dihadapinnya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan,
namun lebih sebagai halangan. Seseorang dengan konsep diri negattif, akan mudah
menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan,
entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang
lain. Seseorang dengan konsep diri negatif akan berupaya dengan berbagai cara
agar dapat menaikkan self image. Salah satunya dalam melakukan pembelian
terhadap produk pakaian. Melalui pakaian juga dapat digunakan sebagai sarana
dalam meningkatkan self image atau mood. Konsumen berbelanja bukan karena
kebutuhan, tetapi lebih untuk kesenangan. Seolah-olah seseorang dinilai dari
apa yang dipakai, dikonsumsi dan dibeli, merk dapat meningkatkan status sosial
bahkan identitas seseorang. Berbeda dengan seseorang dengan konsep diri
positif, seseorang dengan konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang
sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan untuk bisa
dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta menganggap bahwa hidup
adalah suatu proses penemuan.
Seseorang
dengan konsep diri negatif cenderung bersifat optimistik dan percaya diri.
Seseorang dengan konsep diri positif akan berfikir secara realitas dalam
melakukan pembelian. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti bermaksud meneliti
Hubungan konsep diri dengan pembelian impulsif (impulsive buying) produk
pakaian pada mahasiswi UIN MALIKI Malang.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
tingkat pembelian impulsif (impulsive buying) terhadap produk pakaian pada
mahasiswi UIN MALIKI MAlANG? 2. Bagaimana konsep diri pada mahasiswi UIN MALIKI
MALANG ? 3. Apakah ada hubungan antara konsep diri dengan pembelian impulsif
(impulsive buying) terhadap produk pakaian pada Mahasiswi UIN MALIKI MALANG
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui
tingkat pembelian impulsif (impulsive buying) terhadap produk pakaian yang
terjadi pada mahasiswi UIN Malang. 2. Untuk mengetahui konsep diri pada
mahasiswi UIN MALIKI MALANG 3. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
konsep diri dengan pembelian impulsif (impulsive buying) terhadap produk
pakaian pada mahasisiwi UIN MALIKI MAlANG.
D. Manfat
penelitian
Penelitin ini diharapkan dapat memberi
manfaat:
1.
Manfaat
Teoritis.
Penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi terutama psikologi konsumen
yang berkaitan denan prilaku membeli, dan konsep diri konsumen. 2. Manfaat
Praktis Secara praktis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan informatif tentang impulsive buying pada konsumen berkaitan dengan
konsep diri
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan konsep diri dengan pembelian impulsif (impulsive buying) produk pakaian pada mahasiswi UIN MALIKI Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
1 comment:
It’s nearly impossible to find knowledgeable men and women on this topic, but the truth is appear to be do you know what you’re talking about! Thanks cambuse.net
Post a Comment