Abstract
INDONESIA:
Pendidikan merupakan modal utama dalam menghadapi perkembangan dunia yang semakin kompleks di era globalisasi. Oleh sebab itu, untuk membekali generasi penerus agar mampu menjadi generasi yang bertanggung jawab terhadap diri dan negara maka diperlukan pendidikan yang bermutu yaitu pendidikan yang efektif dan efisien. Metode pembelajaran yang aktif tampaknya merupakan alternatif atas permasalahan rendahnya hasil belajar. Salah satunya adalah dengan menerapkan model pembelajaran Quantum Teaching pada pelajaran matematika. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana tingkat hasil belajar kognitif pada kelompok yang menggunakan model Quantum Teaching? (2) Bagaimana tingkat hasil belajar kognitif pada kelompok yang menggunakan metode ceramah? (3) Apakah ada perbedaan hasil belajar kognitif antara kelompok yang menggunakan model Quantum Teaching dengan kelompok yang menggunakan metode ceramah pada pelajaran matematika?
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian berjumlah 34 siswa kelas V dibagi menjadi kelompok yang menggunakan model Quantum Teaching dan kelompok yang menggunakan metode ceramah. Masing-masing kelompok berjumlah 17 siswa. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah tes hasil belajar kognitif pelajaran matematika, dokumentasi dan bahan perlakuan (RPP) dengan 18 kali pertemuan. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan independent sample t-test. Uji-t sampel independen dilakukan dengan cara membandingkan nilai rata-rata dari dua kelompok yang dibantu dengan aplikasi SPSS 20.00 for windows.
Berdasarkan hasil post-test kelompok yang menggunakan Quantum Teaching diperoleh data 4 siswa (23,5%) memiliki hasil belajar yang tinggi, 9 siswa (53%) memiliki hasil belajar yang sedang dan 4 siswa (23,5%) memiliki hasil belajar yang rendah. Sedangkan hasil post-test pada kelompok yang menggunakan metode konvensional diperoleh data bahwa dari 16 siswa didapatkan 4 siswa (25%) memiliki hasil belajar yang tinggi, 10 siswa (62,5%) memiliki hasil belajar yang sedang dan 2 siswa (12,5%) memiliki hasil belajar yang rendah. Output uji-t yang dilakukan dengan bantuan SPSS 20.0 diketahui nilai F=0,152 dengan signifikansi 0,700. Berdasarkan kriteria statistik data dikatakan homogen jika signifikansi dari F > 0,05. Oleh karena itu tabel selanjutnya yang dilihat adalah pada kolom equal variances assumed yang menunjukkan nilai thit = -1,016 pada df = 31 dengan signifikansi = 0,318, thit < ttab (-1,016 < 2,039) dan signifikansi 0,318 > 0,05. Hal itu berarti H0 diterima dan Ha ditolak, dengan kata lain tidak ada perbedaan antara rata-rata nilai hasil belajar kognitif pada kelompok yang menerapkan model Quantum Teaching dengan kelompok yang menggunakan metode ceramah.
ENGLISH:
Education is the main capital in the face of an increasingly complex world development in the era of globalization. Therefore, to equip the next generation to be able to be the generation responsible for themselves and the country needed a quality education that is effective and efficient education. Active learning method which seems to be a lack of alternatives to the problems of learning outcomes. One is to apply the learning model of Quantum Teaching at math. Therefore, the formulation of the problem in this study were: (1) What level of cognitive learning outcomes in the group that uses the model of Quantum Teaching ? (2) What level of cognitive learning outcomes in those who use the lecture method ? (3) Are there differences in learning outcomes between the groups using the cognitive model of Quantum Teaching with groups who use the lecture method in math ?
This study used a descriptive quantitative approach. Subjects numbered 34 fifth grade students were divided into groups using a model of Quantum Teaching and groups who use the lecture method. Each group numbered 17 students. Data collection instruments used were the cognitive achievement test math ,documentation and treatment materials (RPP) with 18 meetings. Testing this hypothesis using independent sample t - test. Independent samples t-test was done by comparing the average values of the two groups who assisted with 20:00 SPSS for windows.
Based on the results of post-test group using the data acquired Quantum Teaching There are 4 students (23.5 %) had a high learning outcomes, 9 students (53 %) had moderate learning outcomes and 4 students (23.5 %) had learning outcomes lower. While the post-test results in the group using conventional methods of data obtained from 16 students found that 4 students (25 %) had a high learning outcomes, 10 students (62.5 %) had moderate learning outcomes and 2 students (12.5 %) has a low learning outcomes. Output t-test were performed using SPSS 20.0 is known values F = 0.152 with a significance of 0.700. Based on the data statistical criteria of significance is said homogeneous if F > 0.05. Therefore the next table which is seen on the field equal variances assumed that demonstrate the value of thit = -1.016 , df = 31, with significance = 0.318 , thit < ttab ( -1.016 < 2.039 ) and significance 0.318 > 0.05. That means that H0 is accepted and Ha is rejected, in other words there is no difference between the average value of cognitive learning outcomes in the group that implements the model of Quantum Teaching with groups who use the lecture method.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab (UU Sisdiknas 2003, BAB II, pasal 3).
Sumber daya manusia akan berkualitas apabila didukung oleh sistem pendidikan
yang baik. Sistem pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan berkarakter.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia karena merupakan dasar
dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa yang tidak mengabaikan
nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling
membantu, dan lain sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi yang
unggul dalam kognitif dan juga memiliki karakter untuk mencapai kesuksesan.
Pendidikan merupakan modal utama dalam menghadapi perkembangan dunia yang
semakin kompleks di era globalisasi. Tanpa pendidikan, generasi penerus tidak
mampu mengimbangi laju perkembangan IPTEK. Oleh sebab itu, untuk membekali
generasi penerus agar mampu menjadi generasi yang bertanggung jawab terhadap
diri dan negara maka diperlukan pendidikan yang bermutu yaitu pendidikan yang
efektif dan efisien. Pendidikan efektif dan efisien adalah pendidikan yang
memungkinkan siswa untuk dapat belajar dengan mudah, mengembangkan kreativitas,
menyenangkan, sesuai dengan tingkat perkembangan siswa sehingga dapat tercapai
tujuan pendidikan sesuai dengan harapan, dan tepat waktu serta mampu
menggunakan sumber daya yang ada secara maksimal. Setiap proses belajar
mengajar, guru dan siswa akan saling berkomunikasi dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan hasil belajar siswa maka model
pembelajaran konvensional yang masih banyak digunakan perlu dipertimbangkan
kembali dan diperlukan kajian yang lebih mendalam. Saat ini Pemerintah sedang
mengupayakan pembelajaran yang berpusat pada siswa dalam kurikulum baru, yakni
Kurikulum 2013 yang dilaksanakan secara bertahap pada tahun 2014. Namun, hanya
beberapa sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 selebihnya masih menggunakan
kurikulum lama. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Prof. Dr. Ir
Musliar Kasim, MS mengatakan, “Kurikulum sebelumnya dianggap kurang mampu
meningkatkan kemampuan berkomunikasi siswa, kemampuan siswa dalam berpikir
jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan,
dan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab. Akibatnya siswa
kurang memiliki minat yang luas dalam kehidupan, tidak memiliki kesiapan untuk
bekerja, tidak memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, dan kurang
memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan." Selanjutnya Musliar
juga menjelaskan bahwa pada kurikulum 2013, proses belajar mengajar dimulai
dari pengamatan, menanyakan, mengolah, menalar, menyajikan materi, menyimpulkan
materi dan terakhir siswa diharapkan mampu menciptakan pemikiran sendiri
terkait materi yang dibahas. Pembelajaran juga tidak hanya berlangsung di ruang
kelas saja tetapi bisa di lingkungan sekolah atau lingkungan sekitar. Guru juga
bukan satu-satunya sumber belajar sehingga siswa dapat belajar dari lingkungan
ataupun pemanfaatan internet.
Elemen penilaian juga tidak hanya
dari hasil tugas atau ujian, tetapi lebih pada penilaian berbasis kompetensi.
(http://www.unm.ac.id/berita-unm/26-kegiatan/422-kurikulum-2013
penyempurnaan-kurikulum-sebelumnya.html). Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan
bagian dari strategi meningkatkan pencapaian pendidikan. Orientasi Kurikulum
2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap
(attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Hal ini sejalan
dengan amanat UU No. 20 Tahun 2003 sebagaimana tersurat dalam penjelasan Pasal
35: “Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah
disepakati.” Sejalan juga dengan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi
yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu (Sumber: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Menurut (Kompas, 2012)
rencana pendekatan kurikulum 2013 untuk jenjang sekolah dasar (SD) dan
sederajat menggunakan metode tematik integratif. Materi ajar tidak disampaikan
berdasarkan mata pelajaran tertentu, melainkan dalam bentuk tema-tema yang
mengintegrasikan seluruh mata pelajaran. Contohnya, tentang air yang mengalir
dapat menjadi generator untuk menghasilkan listrik (IPA). Nyala listrik dapat
menerangi rumah-rumah, sehingga kehidupan sosial lebih bagus (IPS). Berdasarkan
pengamatan peneliti ketika melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL), masih
terdapat beberapa sekolah yang belum menjalankan pendidikan secara maksimal.
Salah satunya adalah MI Miftahul Ulum, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. MI
Miftahul Ulum merupakan salah satu lembaga pendidikan yang juga menjunjung
keberhasilan pembelajaran, sehingga siswa yang dihasilkan mampu berperan dalam
persaingan global. Usaha ke arah tersebut sudah dilakukan oleh pihak lembaga
terkait, dengan harapan akan mampu menciptakan manajemen pembelajaran yang baik
hingga pada akhirnya akan menjadi sekolah yang berkualitas. Namun, pada
kenyataannya usaha yang dilakukan pihak sekolah belum cukup membuahkan hasil.
Hal itu dapat dilihat dari rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa.
Dalam proses belajar mengajar, pada umumnya siswa kurang berminat terhadap
pelajaran yang disampaikan oleh guru. Siswa lebih mementingkan hal lain
daripada belajar, seperti menggambar, berbicara sendiri dan mengganggu
teman-teman di dekatnya. Kondisi demikian tentu akan sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa. Menurut Benyamin Bloom (2010) hasil belajar
mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil
belajar ranah kognitif meliputi hasil belajar yang berhubungan dengan
intelektual, ranah afektif meliputi sikap dan minat dalam mengikuti
pembelajaran, sedangkan ranah psikomotorik tampak dalam bentuk keterampilan
(skill) dan kemampuan bertindak. Berbagai permasalahan yang mengakibatkan
menurunnya prestasi belajar siswa salah satunya terjadi pada pembelajaran
matematika. Banyak dari kalangan pelajar mengatakan bahwa matematika merupakan
pelajaran yang menakutkan, sulit atau bahkan telah menjadi momok. Matematika
dikatakan sebagai pelajaran yang rumit karena membutuhkan pemahaman dan
konsentrasi yang penuh dalam mempelajari dan mengerjakan agar menghasilkan
nilai yang maksimal, penuh dengan lambang-lambang, rumus-rumus yang sulit dan
sangat membingungkan. Akibatnya, matematika tidak lagi menjadi disiplin ilmu
yang objektif-sistematis, tapi justru menjadi bagian yang sangat subjektif dan
kehilangan sifat netralnya. Tahun 2000 lalu, International Association of
Educational Evaluation in Achievement (IEA) menerbitkan hasil survei prestasi
belajar matematika dan IPA bagi siswa-siswa sekolah usia 13 tahun di 42 negara.
Indonesia berada pada posisi ke 39 untuk kemampuan IPA dan urutan ke 40 untuk
prestasi belajar matematika. Ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia
memang sangat mengkhawatirkan (Masykur, 2009:35).
Sedangkan berdasarkan hasil
penelitian di Indonesia (Kompas, 2001) ditemukan bahwa tingkat penguasaan
peserta didik dalam matematika pada semua jenjang pendidikan masih sekitar 34%.
Namun, tidak sedikit siswa yang sukses dalam pelajaran matematika. Hal ini
terbukti dari banyaknya putra putri bangsa yang mengaharumkan nama Negara
melalui kejuaraan olimpiade fisika dan matematika, mengalahkan peserta dari
berbagai negara. Tentunya, ini menunjukkan bahwa sebenarnya anak-anak Indonesia
mempunyai potensi yang luar biasa asalkan ditunjang dengan mutu pendidikan yang
baik. Matematika dianggap sulit oleh siswa dikarenakan adanya beberapa faktor
yang mempengaruhi. Hasil penelitian Ali (2009) dalam (Susanti&Rohma, 2011),
ada tiga faktor dalam proses belajar mengajar yaitu faktor pengelolaan kelas,
disiplin kelas, dan penyajian materi pelajaran. Menurut Santosa, dalam
(Susanti&Rohma, 2011), pada proses belajar matematika di sekolah, guru
cenderung melakukan tiga hal. Pertama, guru menuliskan teori di papan tulis,
dilanjutkan contoh penerapan teori dalam menyelesaikan soal, sementara siswa
mencatat materi yang dijelaskan guru. Kedua, guru menuliskan soal-soal di papan
tulis dan siswa diminta mengerjakan. Ketiga, guru meminta siswa untuk
menuliskan hasil pekerjaannya di papan tulis. Kondisi demikian bagi siswa yang
pandai tidak menjadi masalah, tetapi bagi siswa yang kurang memiliki kompetensi
matematika atau membenci matematika, keikutsertaannya dalam proses
belajarmengajar dalam kondisi seperti itu tidak menyenangkan. Pranoto (Wirasto,
1987), salah satu pemerhati pendidikan matematika dan dosen Matematika ITB
menyebutkan, “Selain kurang bervariasinya pola pengajaran yang ada, ketakutan
anak didik pada matematika juga disebabkan oleh pola pengajaran guru yang otoriter
yang menganggap siswa banyak bertanya sebagai hal yang kurang ajar dan tidak
patuh pada pola pengajaran guru. Di samping itu, juga disebabkan oleh tekanan
berlebihan pada hafalan, kecepatan berhitung dan prestasi individu, serta
banyaknya guru pengajar mata pelajaran ini yang tidak mengetahui proses
terpenting dalam bermatematika adalah nalar, bukan kemampuan berhitung, dan
mereka menganggap siswa yang tidak bisa berhitung tidak pintar matematika.”
Selama ini kita sering beranggapan, bahwa cara terbaik untuk mempelajari dan
mengingat suatu fakta baru adalah dengan mengulangnya berkali-kali. Pernyataan
ini salah. Sekalipun mengulang informasi masih jauh lebih baik dari pada tidak
melakukan apapun, namun cara ini relatif tidak efektif untuk belajar. Siswa
dapat menyerap informasi secara lebih mudah dan mengingatnya lebih lama ketika
menghubungkan informasi tersebut dengan hal-hal yang telah mereka ketahui.
Strategi efektif dapat dilakukan dengan melakukan elaborasi (elaboration),
yakni penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk mengembangkan
suatu ide baru (Jeanne Ellis, 2009:8). Pembelajaran matematika tidak hanya
memerlukan pengetahuan konsep saja, melainkan dengan penguasaan dan
keterampilan dalam mengerjakan soal matematika. Terkadang ada soal yang
langsung mudah dijawab karena tidak terdapat kesulitan dalam menjawab namun ada
juga soal yang sulit dipecahkan sehingga diperlukan penguasaan konsep untuk
bisa menjawab soal itu. Kesulitan dalam mengerjakan soal matematika tentunya
akan mempengaruhi hasil belajar yang dicapai siswa. Berdasarkan permasalahan
yang dipaparkan di atas, maka diperlukan penggunaan metode pembelajaran yang
mampu membuat seluruh siswa terlibat dalam suasana pembelajaran. Salah satu
alternatif yang dapat dilakukan guru guna mengaktifkan dan meningkatkan
prestasi belajar siswa di kelas yaitu dengan menggunakan metode Quantum
Teaching. Model Quantum Teaching merupakan aplikasi dari Kurikulum 2013/2014
yang diharapkan mampu membentuk siswa yang pintar, terampil dalam berkarya,
unggul dalam sikap, serta beragama (Hans, 2013). Pendekatan Quantum Teaching
menekankan pada pembelajaran yang menyenangkan dan mengutamakan pengalaman
langsung agar siswa mampu mengaktualisasi dirinya dalam pembelajaran guna
memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan
Quantum Teaching diharapkan siswa akan mengalami pembelajaran yang menarik,
menyenangkan, bermakna, dan efektif sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai. Hasil penelitian skripsi Mudlihatul Ulya (2009) menyatakan, bahwa
implementasi model Quantum Teaching dapat meningkatkan kecakapan hidup (life
skill) pada siswa. Hal ini tampak dari adanya peningkatan kecakapan hidup dari
nilai rata-rata pre-test 1,45 menjadi 3,45 pada post-test atau meningkat menjadi
137,93%. Namun, karena Quantum Teaching masih merupakan model pembelajaran
baru, maka masih jarang sekolah yang menerapkan model ini dalam melaksanakan
pembelajaran. Hasil evaluation research dari Bagus Achmad Riyadhi (2009)
menyebutkan, bahwa Quantum Teaching tidak dijalankan secara keseluruhan pada
setiap pelajaran, tergantung metode guru dalam menerapkan pelajaran yang
dipegangnya sehingga dibutuhkan kreativitas dari masing-masing guru mata
pelajaran. Model pembelajaran Quantum Teaching meliputi penggubahan belajar
yang meriah dengan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar
situasi belajar. Interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang
mempengaruhi kesuksesan siswa, mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa
menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan orang lain DePorter
juga menjelaskan, bahwa prinsip-prinsip Quantum Teaching yaitu (1) segalanya
berbicara, (2) segalanya bertujuan, (3) pengalaman sebelum pemberian nama, (4)
akui setiap usaha, (5) jika layak dipelajari, layak pula dirayakan.
Dalam pembelajaran Quantum Teaching
dikenal kerangka rancangan belajar yang disebut TANDUR yang merupakan singkatan
dari Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan (DePorter,
2011:16). DePorter (mengutip Magnesen, 1983) mengemukakan, bahwa siswa belajar
10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang
dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan dengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan
90% dari apa yang dikatakan dan lakukan (2010:94). Hal ini menunjukkan, bahwa
siswa lebih mampu memahami materi dengan cara mempraktekkan kegiatan yang
berhubungan dengan materi tersebut dibandingkan hanya melihat dan membaca.
Pendekatan Quantum Teaching memerlukan persiapan yang matang dalam melaksanakan
pembelajaran, mulai dari lingkungan belajar yang mencakup ruang kelas, alat
bantu mengajar, pengaturan bangku, dan musik dalam pembelajaran, hingga
pembelajaran itu sendiri. Semua hal tersebut tentunya disesuaikan dengan
kondisi siswa dan lingkungan belajar yang ada sehingga dapat melaksanakan
kegiatan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan guna meningkatkan proses
dan hasil belajar siswa. Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh DePorter, dkk
(2000) dan supercamp (sebuah program pemercepatan nasional) menunjukkan, bahwa
pemercepatan Quantum Teaching dapat meningkatkan beberapa hasil dari proses
pembelajaran, yaitu (1) 68% meningkatkan motivasi belajar siswa, (2) 73%
meningkatkan prestasi belajar siswa, (3) 81% meningkatkan rasa percaya diri
siswa, dan (4) 98% melanjutkan penggunaan keterampilan. Penelitian DePorter di
atas sesuai dengan hasil penelitian Bayu Aji Prastyo dan Amir Fatah, S.Pd, M.Pd
yang menunjukkan bahwa penerapan strategi pembelajaran Quantum Teaching dalam
pembelajaran Dasar Otomotif di kelas X Program Keahlian Teknik Mekanik Otomotif
SMK Ma’arif Al-Munawwir dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa pada
kelas eksperimen. Hasil penelitian lainnya yang juga mendukung adalah
penelitian tindakan kelas oleh Danang Jumiyanto, yang menunjukkan, bahwa
tingkat motivasi belajar siswa dalam kelompok mengalami kenaikan pada setiap
siklusnya. Hal ini menunjukkan, bahwa Quantum Teaching dapat meningkatkan minat
dan motivasi siswa dalam belajar yang berpengaruh terhadap hasil belajar
kognitif siswa. Penelitian terkini pada otak menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara keterlibatan emosi, memori jangka panjang dan belajar. Salah satu ranah
dari hasil belajar adalah ranah kognitif. Ranah kognitif adalah ranah yang
mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Benyamin S. Bloom dan D.Krathwohl
(1964) dalam taksonominya, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah
termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif terdapat enam aspek atau
jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah (pengetahuan) sampai
dengan jenjang yang paling tinggi (evaluasi). Ranah kognitif berhubungan dengan
kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami,
mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Melalui
model Quantum Teaching diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
aktivitas kognitif pada pelajaran matematika, mengingat ada hubungan positif
antara keterlibatan emosi yang diciptakan dalam Quantum Teaching dengan
kemampuan kognitif. Subyek pada penelitian ini adalah siswa kelas V SDN Karang
Duren III. Karakteristik siswa usia kelas V memiliki rasa ingin tahu yang besar
dengan cara berfikir yang kongkrit. Siswa sudah dapat berfikir logis secara
sistematis untuk dapat memecahkan masalah yang ada, dengan tetap memperhatikan
kondisi fisik dan perseptual. Siswa kelas V juga mulai mampu mengatasi masalah
yang dihadapinya di lingkungan sekitar dan mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitar. Siswa mulai memahami, bahwa belajar juga dapat diperoleh
dari alam/lingkungan. Siswa juga dapat memahami suatu peristiwa hanya melalui
gambar yang ditunjukkan. Oleh karena itu, peneliti memanfaatkan lingkungan
sebagai sarana membantu siswa dalam hasil belajar sehingga pembelajaran lebih
bermakna. Suharjo (2006: 37) mengemukakan bahwa anak Sekolah Dasar (SD) yang
berusia antara 6-12 tahun memiliki karakteristik pertumbuhan kejiwaan sebagai
berikut: 1. Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat.
Hal ini sangat penting peranannya bagi
pengembangan dasar yang diperlukan sebagai makhluk individu dan sosial. 2.
Kehidupan sosialnya diperkaya dengan berbagai kemampuan dalam bekerja sama
dengan kelompok sebaya. 3. Semakin tumbuhnya keinginan, kesadaran diri,
perasaan dan minat tertentu. 4. Kemampuan berpikirnya masih dalam tingkatan
persepsional. 5. Dalam bergaul, bekerja sama dan kegiatan bersama tidak
membedakan jenis, tetapi yang menjadi dasar adalah perhatian dan pengalaman
yang sama. 6. Mempunyai kesanggupan untuk memahami hubungan sebab akibat. 7.
Ketergantungan kepada orang bisa semakin berkurang dan kurang memerlukan
perlindungan orang dewasa. Jean Piaget, pakar psikologi kognitif dan psikologi
anak mengatakan bahwa proses belajar akan mengikuti pola dan tahap-tahap
perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkis,
artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat
belajar sesuatu yang berbeda di luar tahap kognitifnya (C.Asri Budiningsih,
2005:36-39). Piaget juga menyatakan, bahwa anak secara aktif membangun
pemahaman mengenai dunia melalui empat tahapan perkembangan kognitif, yakni
tahap sensori motor (0-2 tahun), tahap pra operasional (2-7 tahun), tahap
operasional konkret (7-11 tahun), dan tahap operasional formal (11
tahun-dewasa). Anak beradaptasi dalam dua cara, yaitu melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi terjadi saat anak menggabungkan informasi ke dalam
pengetahuan yang telah mereka miliki. Sedangkan akomodasi terjadi bila anak
menyesuaikan pengetahuan mereka agar cocok dengan informasi dan pengalaman baru
(Santrock, 2007:49). Pada umumnya anak SD berada pada usia 5-13 tahun. Oleh
karena itu, siswa kelas V termasuk dalam tahapan Operasional Konkret (7-11 atau
12 tahun). Pada tahapan ini, anak sudah dapat mengetahui simbol-simbol
matematis, tetapi belum dapat mengenal hal-hal yang abstrak. Egosentris anak
juga berkurang secara bertahap dan lebih mengarah pada sosiosentris dengan
membentuk peer group (Nandang Budiman, 2006:44). Kardi juga mengemukakan, bahwa
sifat anak SD kelompok umur 9-12 tahun adalah senang dan sudah dapat
mempergunakan alat-alat dan benda-benda kecil. Hal ini terjadi karena anak
telah menguasai koordinasi otot-otot halus. Pada pelajaran matematika,
kegiatan-kegiatan yang tepat dan disenangi misalnya mengubah bangun dengan
menggunting dan menyusun untuk mempelajari dan menemukan suatu rumus. Sedangkan
pada sifat sosial, anak mulai dipengaruhi oleh tingkah laku kelompok.
Persaingan antara kelompok anak laki dan kelompok anak perempuan dalam
menyelesaikan tugas pekerjaan rumah maupun kompetisi dalam permainan mulai
terlihat. Anak juga mulai mempunyai bintang idola (Pitadjeng, 2006: 9-11).
Berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki pada siswa kelas V yang termasuk ke dalam
tahapan operasional konkret, maka model Quantum Teaching dapat digunakan dalam
pembelajaran. Model pembelajaran inovatif yang menciptakan lingkungan belajar
efektif dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan
belajarnya, melalui interaksi yang ada di kelas dan menguraikan cara-cara baru
yang memudahkan proses belajar siswa lewat pemaduan seni dan
pencapaian-pencapaian yang terarah. Berangkat dari latar belakang di atas, maka
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “EFEKTIVITAS MODEL QUANTUM
TEACHING DAN METODE CERAMAH TERHADAP HASIL BELAJAR KOGNITIF SISWA PADA PELAJARAN
MATEMATIKA DI SDN KARANG DUREN III”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat hasil belajar kognitif
pada kelompok yang menggunakan model Quantum Teaching?
2. Bagaimana tingkat hasil belajar
kognitif pada kelompok yang menggunakan metode ceramah?
3. Apakah ada perbedaan hasil
belajar kognitif antara kelompok yang menggunakan model Quantum Teaching dengan
kelompok yang menggunakan metode ceramah pada pelajaran matematika?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat hasil belajar kognitif
pada kelompok yang menggunakan model Quantum Teaching
2. Mengetahui tingkat hasil belajar
kognitif pada kelompok yang menggunakan metode ceramah
3. Mengetahui perbedaan hasil
belajar kognitif antara kelompok yang menggunakan model Quantum Teaching dengan
kelompok yang menggunakan metode ceramah pada pelajaran matematika
D. Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu
sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan informasi ilmiah yang berarti dalam
disiplin ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan. Bagi peneliti lain,
dapat dijadikan sebagai motivasi/ bahan rujukan untuk mengadakan penelitian
yang lebih mendalam tentang penerapan model pembelajaran Quantum Teaching.
2. Manfaat Praktis Secara praktis,
diharapkan penerapan model Quantum Teaching dapat meningkatkan hasil belajar
kognitif siswa. Metode ini dapat juga digunakan untuk menumbuhkan minat,
motivasi, dan kepercayaan diri siswa serta melatih diri agar lebih aktif dalam
kegiatan belajar mengajar.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Efektivitas model quantum teaching dan metode ceramah terhadap hasil belajar kognitif siswa pada pelajaran matematika di SDN Karang Duren III" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment