Abstract
INDONESIA:
Kebahagiaan dalam berumahtangga merupakan hal yang sangat diharapkan oleh setiap pasangan pernikahan. Pada usia dewasa muda, tugas perkembangan yang harus diselesaikan adalah intimacy versus isolation tetapi ketika tugas perkembangan pada tahap dewasa muda tidak terlaksanakan dengan baik, maka akan membuka kemungkinan konflik dalam rumah tangga dan ketika konflik tersebut tidak dapat termanage dan terselesaikan dengan baik dapat berakhir dengan sebuah perceraian. Oleh sebab itu, diperlukan adanya persiapan pernikahan agar mendapati kehidupan pernikahan yang lebih berbahagia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kebahagiaan pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan. Subjek penelitian ini adalah anggota komunitas Young Mommy Tuban dengan sampel penelitian sebanyak 44 orang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Pengambilan data menggunakan dua skala, yaitu skala adaptasi dari Authentic Happiness Scale yang disusun oleh Martin Seligman (1980) terdiri dari 23 item dan skala Persiapan Pernikahan yang disusun berdasarkan teori Blood (1978) yang terdiri dari 26 aitem. Metode analisis yang digunakan adalah analisis uji-T.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil sebagai berikut: pada pasangan pernikahan dengan persiapan terdapat kategori memiliki kebahagiaan tinggi 100% dari total 22 orang dan pasangan pernikahan tanpa persiapan terdapat katagori tinggi sejumlah 45.5% dengan jumlah 10 orang dari total 22 orang. Sedangkan pada hasil uji-T diketahui pasangan yang menikah dengan persiapan memiliki mean 153.50 sedangkan pasangan yang menikah tanpa persiapan memiliki Mean= 87.50. hal ini menunjukkan terdapat perbedaan, kebahagiaaan pasangan yang menikah dengan persiapan lebih tinggi daripada pasangan tanpa persiapan.
ENGLISH:
Happiness in a household is feeling expected by every couple. In young adultery, development role that must be done is intimacy versus isolation however when development role in young adultery does not well implemented, household conflicts are relatively happen. When those conflicts does not well managed as well as well solved, encourage the divorce. Thus, marriage preparation is highly needed to gain happier marriage.
This analysis attempts to discover happiness differences between prepared couple and unprepared couple. Subject of this analysis is the members of Young Mommy Community Tuban using forty four respondents.
Method used in this analysis is qualitative method using sampling technique of purposive sampling. Data are taken from two scales including adaptation scale from Authentic Happiness Scale proposed by Martin Seligman (1980) which consists of 23 items. While the second is prepared marriage which is arranged based on Blood Theory (1978) including 26 items. Method used in this analysis is T-test.
Based on result in this analysis, discover the results as: in prepared couple categorized have high level of happiness 100 % from total 22 people and unprepared couple has high category of 45.5 % from the sum of 22 people . While the result of T-test proposes prepared young adultery own mean of 153.50. While unprepared marriage couple own mean of 87.50. This creates the difference; happiness of prepared couple is higher than unprepared marriage couple.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang memiliki
keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan tidak dapat hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia diciptakan untuk hidup
berpasangpasangan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi dengan
memiliki pasangan. Hubungan yang terjalin dapat berupa hubungan pertemanan,
persahabatan, hidup bersama (cohabitation), dan hubungan pernikahan melalui
institusi pernikahan. Meskipun dengan hidup bersama dapat menjadi alternatif
untuk menggantikan pernikahan, tetapi sebagian besar manusia tetap memilih
untuk menjalani pernikahan, karena pernikahan diikat dalam sebuah institusi
yang legal. Dalam hubungan pernikahan tidak menjadi rahasia umum lagi, bahwa
sebuah bahtera rumah tangga tidak pernah lepas dari konflik. Rumah tangga yang
dibangun dengan ikatan pernikahan ibarat sebuah kapal yang berlayar dengan
suami sebagai nahkoda dan istri sebagai assistennya, yang suatu saat akan oleng
jika diterpa oleh ombak samudera kehidupan. Pernikahan menurut Duvall & Miller
adalah “Socially recognized relationship between a man and woman that provider
for sexual relationship, legitimates childbearing and establishes a division of
labour between 2 spouses” .1 "Hubungan antara seorang pria dan wanita yang
diakui oleh lembaga sipil, dengan tujuan untuk hubungan seksual, melegitimasi
melahirkan keturunan dan menetapkan pembagian kerja antara pasangan ".
Didasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pernikahan adalah jembatan
antara pria dan wanita untuk menyatukan visi dan misi hidup mereka dengan
bekerjasama, saling bahu membahu untuk mencapai tujuan yang sama yaitu
kebahagiaan dalam rumah tangga. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang
menjadi tujuan dan diharapkan dari sebuah pernikahan. Dalam mencapai suatu
kebahagiaan pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah karena kebahagiaan
pernikahan akan tercapai apabila pasangan suami istri memiliki kualitas
interaksi pernikahan yang tinggi. Dalam suatu pernikahan terkadang apa yang
diharapkan oleh masing-masing individu tidak sesuai dengan kenyataan setelah
individu tersebut menjalani bahtera rumah tangga. Pernikahan menuntut adanya
perubahan gaya hidup, menuntut adanya penyesuaian diri terhadap tuntutan peran
dan tanggungjawab yang baru baik dari suami maupun istri. Ketidakmampuan untuk
melakukan tuntutan-tuntutan tersebut tidak jarang menimbulkan pertentangan,
perselisihan dan bahkan berakhir dengan perceraian.2 Suatu hubungan pernikahan
dapat berjalan langgeng selamanya dan dapat pula bercerai di tengah
perjalanannya. Pernikahan yang berhasil 1 Dra.Sri Supriantini. (2002). Hubungan
Antara Pandangan Peran Gender Dengan Keterlibatan Suami Dalam Kegiatan Rumah
Tangga. Tesis. Fakultas Kedokteran Program Studi Psikolgi Universitas Sumatera
Utara: digitized by USU digital library 2 Eva Meizara Puspita Dewi, Basti.
(2008). Konflik perkawinan dan model penyelesaian konflik pada pasangan suami
istri. Jurnal Psikologi Vol:2. No:1. P:43 3 merupakan hal yang diharapkan
setiap pasangan. Ada beberapa kriteria yang diungkapkan oleh para tokoh dalam
mengukur keberhasilan pernikahan. Kriteria tersebut diantaranya: (a)awetnya
suatu pernikahan, (b)kebahagiaan suami dan isteri, (c)kepuasan pernikahan,
(d)penyesuaian seksual, (e)penyesuaian pernikahan, dan (f) kesatuan pasangan. 3
Menurut Erikson, pada usia dewasa muda, tugas-tugas perkembangan yang harus
diselesaikan adalah intimacy versus isolation4 . Menurut Hall & Lindzey
pada tahap ini, dewasa muda siap untuk menjalin suatu hubungan intim seperti
persahabatan dan hubungan kerja serta hubungan cinta seksual. Mereka siap untuk
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memenuhi komitmen dengan orang
lain, walaupun harus disertai dengan kompromi dan pengorbanan. Komitmen yang
dimaksud adalah komitmen pribadi dalam hubungan intim, yang salah satunya
berupa pernikahan. Jika dewasa muda tidak dapat mengembangkan hubungan intim
dengan orang lain, maka yang terjadi adalah isolasi. Diantaranya hal yang
menghambat pengembangan hubungan intim dengan orang lain adalah ketidakmampuan
untuk memikul tanggung jawab5 . Akan tetapi ketika tugas perkembangan pada
tahap dewasa muda tidak terlaksanakan dengan baik, maka akan membuka
kemungkinan konflik dalam rumah tangga yang bisa datang dan menghampiri
keharmonisan hubungan setiap pasangan. Bahkan ketika konflik tersebut tidak
dapat termanage dan 3 Iis Ardhianita, Budi Andayani. (2009). Kepuasan
Pernikahan Ditinjau dari Berpacaran dan Tidak Berpacaran. Jur psikologi.
Vol.32, No.2. P:102 4 Diane, E.P., Sally, W.O., Ruth, D.F. (2004). Human
development. (9th ed). USA: Mc Graw-Hilll Companies, Inc. h:684. 5 Ibid. h:684.
4 terselesaikan dengan baik akan berakhir dengan sebuah perceraian. Dag
Hammarskjold menyatakan konflik pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak
dapat dihindarkan.6 Pasangan suami istri biasanya berusaha menghindar dari
konflik dan pertengkaran yang lebih lanjut, misalnya pergi tidur bila istri
atau suami telah memulai suatu pertengkaran atau pergi keluar rumah agar
pertengkaran tidak bertambah berat. Menurut Wright pernikahan yang tidak
bahagia dan banyak mengalami konflik merupakan penyebab serius terjadinya
depresi. Roy menyebutkan bahwa lebih dari 50% penderita depresi melaporkan
masalah-masalah pernikahan.7 Saat menghadapi konflik, setiap pasangan lebih
berusaha menyelesaikannya. Tetapi dalam rumah tangga, tidak semua pasangan
mampu menghindari konflik atau mampu mengelola konflik yang sudah terjadi
dengan baik. Konflik yang terus dipendam suatu saat akan memuncak dan
menyebabkan suatu pertengkaran yang hebat. Perasaan kecewa, frustasi, dan
stress yang dipendam akan menyebabkan timbulnya penyakit seperti maag,
ketegangan otot, denyut jantung meningkat.8 Hasil penelitian Coney juga
mengungkapkan bahwa depresi berkaitan erat dengan adanya kekacauan pernikahan,
yang ditandai dengan adanya ketergantungan yang berlebihan, hambatan dalam
berkomunikasi, menarik diri, perasaan benci dan amarah yang meluap, friksi atau
perselisihan, serta berbagai perasaan negatif yang kuat. Gove mengungkapkan
bahwa salah satu faktor penentu kesehatan mental 6 Sawitri S. Sadarjoen.
(2005). Konflik Marital. Bandung: PT.Refika Aditama. h:3 7 Erni Pujiastuti
& Sofia Retnowati. (2004). Kepuasan Pernikahan dengan Depresi Pada Kelompok
Wanita Menikah yang Bekerja Dan Tidan Bekerja. Humanitas: Indonesian
Psychologycal Journal Vol.1 No.2. P:2 8 Sawitri S. Sadarjoen. Op.Cit. h:2 5
seseorang adalah kualitas afeksi terhadap pernikahannya, atau dengan kata lain
adanya kepuasan pernikahan. Bila seseorang merasa puas dan bahagia akan
pernikahan yang dijalani, maka dapat berpengaruh pada cara pendangnya terhadap
diri, lingkungan, maupun masa depannya, juga terhadap kesehatan mental dan
fisik.9 Konflik dalam pernikahan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, baik
dalam ruang lingkup yang besar maupun yang kecil, konflik dapat terjadi tanpa
mengenal lama atau barunya usia pernikahan tersebut. Konflik seringkali terjadi
karena ketidaksiapan seseorang untuk menerima perbedaan, misalnya seperti
perbedaan kebiasaan sehari-hari, perbedaan pola pandang, perbedaan etnis
ataupun kebudayaan dari daerah asal mereka dan tidak jarang konflik dalam rumah
tangga diakibatkan oleh hal-hal yang sepele.
Menurut Sadrajoen,
konflik-konflik yang muncul pada pernikahan dapat ditelusuri dari
harapan-harapan kedua pasangan tentang apa pernikahan dan apa yang seharusnya tidak
terjadi pada pernikahan tersebut. Pada umumnya, pasangan pernikahan tidak
mengungkapkan harapan-harapannya secara terbuka untuk mengidealkan setiap
harapan-harapannya tentang pernikahan. Akibatnya, harapan kedua pasangan
mungkin tidak akan terpenuhi sehingga akhirnya membuat mereka mengalami
gangguan ilusi tentang status pernikahannya.11 9 Erni Pujiastuti & Sofia
Retnowati. Loc.Cit. h:2 10 Sawitri S. Sadarjoen. Op.Cit. h:35. 11 Ibid. h:6 6
Ada banyak sekali pemicu konflik dalam pernikahan diantaranya permasalahan
emosi, sosial, ataupun ekonomi.12 Menurut Walgito, masalah penghasilan adalah
masalah pemicu konflik yang paling besar yang umumnya terjadi pada pasangan
suami istri dalam kehidupan rumah tangga. Penghasilan suami lebih besar dari
istri adalah hal biasa. Bila yang terjadi kebalikannya, bisa timbul masalah.
Suami merasa minder karena karena tidak dihargai penghasilannya, sementara
istri merasa di atas sehingga jadi sombong dan tidak menghormati suami.13
Seperti halnya yang sekarang sering diberitakan ditelevisi banyak sekali
konflik yang terjadi pada pasangan selebriti yang menikah dan berujung pada
perceraian. Selain masalah penghasilan, hal lain yang dapat memicu konflik
dalam rumah tangga dan dapat berujung pada perceraian adalah pernikahan di usia
dini. Pernikahan dini juga ditengarai banyak mengundang masalah yang tidak
diharapkan dikarenakan dari segi psikologis pasangan menikah tersebut belum
matang khususnya bagi perempuan. Pernikahan dini juga menjadi problema psikis
dan sosial yang penting bagi laki-laki dan perempuan karena masing-masing harus
berusaha untuk melakukan penyesuaian diri dengan pasangannya dan kehidupan
pernikahannya. 14 Menurut Basri dalam bukunya yang berjudul Keluarga Sakinah
mengatakan secara fisik biologis yang normal seorang remaja telah mampu
mendapatkan keturunan, tetapi dari segi psikologis remaja masih labil dan 12
Bimo Walgito. (2002). Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: CV. Andi
Offset. h:7 13 Ibid. h:30 14 Dr.Kartini Kartono. (2006). Psikologi Wanita.
Bandung: Mandar Maju. h:217 7 kurang mampu mengendalikan bahtera rumah tangga
di samudera kehidupan. Berapa banyak keluarga dan pernikahan terpaksa mengalami
nasib yang kurang beruntung dan bahkan tidak berlangsung lama karena usia
terlalu muda, baik salah satu atau kedua pasangan. 15 Pernikahan yang terlalu
muda juga bisa menyebabkan neuritik depresi karena mengalami proses kekecewaan
yang berlarut-larut dan karena ada perasaan-perasaan tertekan yang berlebihan.
Kematangan sosial-ekonomi dalam pernikahan sangat diperlukan karena merupakan
penyangga dalam memutarkan roda dalam berumah tangga sebagai akibat pernikahan.
Pada umumnya umur yang masih muda belum mempunyai pegangan dalam hal
sosial-ekonomi, sedangkan individu tersebut telah dituntut untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa pakar pernikahan
menghasilkan data empirik yang membuktikan adanya hubungan yang erat antara
hancurnya pernikahan dengan hancurnya sistem keluarga. Banyak pula penelitian
yang memberikan data empirik mengenai korelasi yang positif antara kondisi
perselisihan pada pernikahan (marital discord) serta tekanan pada pernikahan
(marital distress), yang merupakan suatu kondisi dan iklim pernikahan beberapa
waktu sampai jatuhnya keputusan bercerai17 . Suka duka dalam kehidupan
pernikahan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Berkaitan dengan
hal tersebut, Hammarskjold mengungkapkan bahwa setiap pernikahan tidak akan
terhindar dari konflik. 15 Hasan Basri. (2004). Keluarga Sakinah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. h:6 16 Bimo Walgito. Op.Cit. h:30 17 Sawitri S. Sadarjoen.
Op.Cit. h:3 8 Dua orang yang tinggal dalam satu atap tidak mungkin hidup tanpa
adanya konflik, kecuali apabila salah satu pasangan atau bahkan kedua pasangan
memutuskan untuk mengalah daripada berkonfrontasi. Walaupun salah satu pasangan
memutuskan untuk mengalah, bukan berarti konflik tidak terjadi, karena
sekalipun ketidak sesuaian tidak diungkap secara konfrontatif, konflik akan
tetap muncul dalam hati yang paling dalam dan mendasari iklim relasi yang
selanjutnya tercipta dengan pasangannya.18 Sebelum memutuskan untuk menikah,
para calon pengantin pada umumnya akan menjalani masa transisi menuju
pernikahan. Faktor yang terpenting dari masa transisi ini adalah kesiapan menikah.
Berdasarkan hasil penelitian Booths dan Edwards dalam Wisnuwardhani dan Sri
mengungkapkan bahwa terdapat beberapa hal yang secara signifikan berhubungan
dengan kesiapan menikah, yaitu usia saat menikah, tingkat kedewasaan pasangan,
waktu pernikahan, motivasi untuk menikah, kesiapan untuk sexual exclusiveness,
dan tingkat pendidikan serta aspirasi pekerjaan dan derajat pemenuhannya.19
Usia dan tingkat kedewasaan kematangan merupakan indikator yang penting dalam
mengevaluasi kesiapan untuk menikah. Boots dan Edwards dalam Wisnuwardhani dan
Sri menemukan bahwa tingkat ketidakstabilan pernikahan pada pria dan wanita
yang menikah saat mereka berada pada usia remaja ternyata lebih tinggi. Remaja
biasanya memiliki ketidakmatangan
emosi dan tidak mampu
mengatasi permasalahan atau stress pada masa awal pernikahan.20 Persiapan
pernikahan butuh pemikiran dan pemantapan dari tiap-tiap bagian yang diinginkan.
Mempersiapkan pesta pernikahan, baju pengantin, tata rias, dan mas kawin yang
akan digunakan. Persiapan-persiapan yang telihat secara fisik seperti hal
tersebut bisa diserahkan atau diwakilkan kepada pihak yang sudah profesional,
yang biasa disebut dengan wedding organizer, meskipun demikian tetap saja ada
persiapan yang tidak bisa diwakilkan, seperti persiapan mental setiap pasangan,
persiapan keilmuan, fisik, dan juga finansial. Keempat persiapan itu sangatlah
penting dimiliki oleh tiap pasangan. Setiap pasangan haruslah memiliki mental
yang kuat untuk menghadapi suatu pernikahan, menerima segala kekurangan dan
kelebihan dari masing masing pasangan. Menurut Wisnuwardhani
persiapan-persiapan pernikahan yang harus dimiliki oleh pasangan yang hendak
menikah adalah: Persiapan mental yakni pasangan harus memiliki mental yang kuat
untuk menghadapi suatu pernikahan, menerima segala kekurangan dan kelebihan
dari masing-masing pasangan. Persiapan keilmuan yakni untuk memperlajari
bagaimana hidup dengan pasangannya nanti. Persiapan fisik yakni untuk saling
menjaga kesehatan agar nantinya memperoleh keturunan yang sehat. Dan persiapan
terakhir adalah persiapan finansial, bagi para calon pengantin tidak mungkin
mengandalkan orang lain untuk menutupi biaya pernikahan maupun kehidupan rumah
tangga, karena jika persiapan finansial ini tidak 20 Ibid. h:93 10 dipikirkan
matang maka akan menimbulkan banyak permasalahan di masa mendatang.21
Kematangan emosi merupakan aspek yang juga sangat penting untuk menjaga
kelangsungan pernikahan. Keberhasilan rumah tangga banyak ditentukan oleh
kematangan emosi, baik suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya pernikahan
maka status sosial pasangan akan diakui sebagai pasangan suami istri dan sah
secara hukum. Batas usia dalam melangsungkan pernikahan sangatlah penting. Hal
ini karena pernikahan menghendaki kematangan psikologis. Usia pernikahan yang
terlalu muda dapat meningkatkan kasus perceraian karena kurangnya kesadaran
untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga.22 Atwater dan Duffy
menyatakan bahwa kebahagiaan pernikahan tergantung pada apa yang terjadi saat
pasangan memasuki kehidupan pernikahan yaitu seberapa baik mereka mengalami
kesesuaian atau kecocokan. Kebahagiaan adalah keadaan dimana seseorang lebih
banyak mengenang peristiwa-peristiwa yang menyenagkan daripada yang sebenarnya
terjadi dan mereka lebih banyak melupakan peristiwa buruk.23 Hal yang paling
penting dalam meraih kebahagiaan yaitu fleksibilitas dan keinginan untuk
berubah dari setiap pasangan atau biasanya disebut dengan istilah dengan
penyesuaian pernikahan (marital adjustment). 24 Penyesuaian pernikahan adalah
21 Ibid. h:94 22 Ibid. h:93 23 Martin Seligman. (2005). Authentic Happines.
Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. Bandung: Mizan Media Utama.
h:48. 24 Coleman, M., Ganong, L., & Fine, M. (2000). Reinvestigating
remarriage: Another decade of progress. Journal of Marriage and the Family,
62(4), 1288-1307 11 keterampilan sosial yang diperlukan bagi pasangan yang
meraih kebahagiaan atau kepuasan pernikahan. 25 Hurlock menyatakan bahwa pada
dasarnya keberhasilan sebuah pernikahan adalah keberhasilan suami-istri dalam
mewujudkan penyesuaian pernikahan.26 Kebahagiaan pernikahan sangatlah erat
kaitannya dengan persiapan dalam melakukan pernikahan. Pernikahan yang
dilakukan tanpa persiapan emosi, fisik, sosial, maupun material yang memadahi
dapat berdampak pada perjalanan rumah tangga yang dijalani dan nantinya juga
berpengaruh pada tingkat kebahagiaan yang diperoleh pasangan pernikahan tersebut.
Pada komunitas Young Mommy Tuban, peneliti menemukan bawasanya
terdapat beberapa anggota komunitas yang kurang dapat menyelesaikan konflik
ataupun memanage konflik pernikahan dengan baik, sehingga beberapa dari mereka
memutuskan untuk bercerai. Mereka yang memutuskan untuk bercerai dengan
pasangannya diketahui bahwasanya tidak memiliki persiapan yang cukup ketika
hendak melakukan pernikahan dengan pasangannya. Ada pula diantara mereka yang
terpaksa harus menikah dikarenakan perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang
tuannya serta ada yang terpaksa harus segera menikah dikarenakan mengalami
Married by Accident atau hamil sebelum menikah.27 25 Miranda, S. (1995).
Kelekatan (attachment) dengan penyesuaian perkawinan: studi penjajakan mengenai
pengaruh kelekatan terhadap penyesuaian perkawinan suami-istri pada masa
perkawinan dua tahun pertama. Skripsi sarjana. Depok: Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. 26 Elizabeth, B.Hurlock. (1997). Psikologi perkembangan:
suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi kelima) (Terjemahan).
Jakarta: Penerbit Erlangga. h:286 27 Wawancara subjek 1 12 Berdasarkan latar
belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Perbedaan
Kebahagiaan Pasangan Pernikahan dengan Persiapan dan Tanpa Persiapan Pada Komunitas
Young Mommy Tuban”.
Persiapan yang dimaksud
adalah kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kesiapan model
peran, kesiapan finansial yang cukup serta kesiapan waktu dan jika tidak
memenuhi katagori persiapan pernikahan yang telah disebutkan atau karakteristik
tersebut disimpulkan sebagai kondisi tanpa persiapan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat
kebahagiaan pada pasangan menikah dengan persiapan? 2. Bagaimana tingkat
kebahagiaan pada pasangan menikah tanpa persiapan? 3. Adakah perbedaan tingkat
kebahagiaan pada pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan
untuk memberi jawaban dari hal yang menjadi fokus permasalahan sejak awal
sebagaimana dipertanyakan dalam rumusan masalah. sehingga tujuan penelitian ini
adalah untuk: 1. Mengetahui tingkat kebahagiaan pada pasangan pernikahan dengan
persiapan. 2. Mengetahui tingkat
kebahagiaan pada pasangan pernikahan tanpa persiapan. 3. Membuktikan perbedaan
tingkat kebahagiaan pada pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa
persiapan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan
memberi manfaat untuk kepentingan teoritis dan praktis. Secara teoritis
diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan, dalam bidang
Psikologi Pernikahan, Sosial maupun Perkembangan serta dapat bermanfaat untuk
pengembangan kajian ilmu Psikologi karena menyangkut permasalahan dalam masa
dewasa saat memasuki fase kehidupan baru (pernikahan). Secara praktis hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi tambahan bagi
penelitianpenelitian sejenis dalam bidang Psikologi Sosial maupun perkembangan.
b.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai bahan kebijakan
dalam hal pembinaan kebahagiaan pernikahan, serta dapat digunakan sebagai
antisipasi untuk menekan meningkatnya kasus pertengkaran ataupun perceraian
dalam pernikahan. c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai gambaran yang jelas tentang perbedaan tingkat kebahagiaan pada
pasangan yang menikah dengan persiapan dan tanpa persiapan sehingga dapat
bermanfaat bagi orang-orang yang hendak melakukan pernikahan
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Perbedaan kebahagiaan pasangan pernikahan dengan persiapan dan tanpa persiapan pada komunitas Young Mommy Tuban" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment