Abstract
INDONESIA:
Kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional, karena itu pribadi yang yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak. Champel dan Leigh menyebutkan kepuasan pernikahan sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Dewasa tengah adalah mereka yang berusia 35-60 tahun, yang mengalami perkembangan selama hidupnya Banyaknya kasus perceraian di Banyuwangi salah satu faktor penyebabnya perselisihan tiada henti yang diakibatkan rendahnya kepuasan pernikahan dan kematangan emosi yang dimiliki individu setiap pasangan. Adapun rumusan masalah yang diambil yaitu bagaimana tingkat emosi pada masa dewasa tengah, bagaimana tingkat kepuasan pernikahan pada masa dewasa tengah, dan apakah ada pengaruh kematangan emosi terhadap kepuasan pernikahan pada masa dewasa tengah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kematangan emosi dan kepuasan pernikahan pada pasangan dewasa tengah di Dusun Sumbersuko-Kesilir – Siliragung - Banyuwangi. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh kematangan emosi terhadap kepuasan pernikahan dan seberapa besar pengaruh kematangan emosi terhadap kepuasan pernikahan pada pasangan menikah dewasa tengah.
Penelitian ini mengambil subyek pasangan dewasa tengah di Dusun Sumbersuko yang berjumlah 71 pasangan menikah dan diambil sampel menyeluruh (N=142 orang atau N=71 pasangan). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif korelasi sebab-akibat dimana untuk mengetahui suatu pengaruh dari suatu variabel terhadap variabel lainnya. Untuk melihat pengaruh kematangan emosi terhadap kepuasan pernikahan, penelitian ini menggunakan analisa regresi linear sederhana dengan persamaan Y = a + bX.
Hasil analisa Regresi ditemukan thitung sebesar 58,568 Adjusted r square sebesar 0,290, R square sebesar 0,295 , nilai konstansa sebesar 49,369 dan untuk b (koofesiensi regresi) sebesar 0,543 dan persamaan regresi Y = a + b X. Hasil penelitian ini menunjukkan kematangan emosi berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan pernikahan yang ditunjukkan oleh thitung>ttabel (58,568 > 6,315) dengan sig F 5% (0,000 < 0,05). Hal ini menjelaskan bahwa ada pengaruh signifikan kematangan emosi terhadap kepuasan pernikahan. Persamaan regresi yang didapat yaitu Y= 49,369 + 0,543X menunjukan perubahan sebesar satu skor kematangan emosi nol dapat memprediksi perubahan 49,369 pada kepuasan pernikahan. r square sebesar 0,295 yang berarti bahwa 29,5% dari kepuasan pernikahan ditentukan kematangan emosi dan 70,5 % ditentukan variabel lain.
ENGLISH:
Emotional maturityisa state or condition reached a level of maturity of emotional development, since it concerned personal emotional patterns no longer display sinap propriate for children. There are several factors that influence the emotional maturity, according to Young, among others: environmental factors, factorsof experience an dindividual factors. Champel and Leigh mention marital satisfaction as a subjective evaluation of the quality of the overal lwedding. Individuals who experience marital satisfaction felth is life meaning and more complete than ever before. The number of divorce cases in Banyuwangi one contributing factor endless disputes caused lower marital satisfaction and emotional maturity of the individual each pair. The problem to take such as a level of emotional maturity in adult couple in the middl, level of marital satisfaction in adult couple and was an effect on maritas satisfaction on emostional maturity.
This research aims to determine the level of emotional maturity and marital satisfaction in adult couple in the middle of the hamlet in Sumbersuko- Kesilir – Siliragung - Banyuwangi. To determine whether there was an effect on marital satisfaction of emotional maturity and how much influence the emotional maturity to marital satisfaction in middle adult married couples.
This research takes the subject of adult couples in the middle of Hamlet Sumbersuko – Kesilir – Siliragung - Banyuwangi, which amounts to 71 couples married and taken a thorough sample (N =142 or N=71 pairs). This research uses quantitative research correlation causation where to find an effect of avaiabel to another variable. To see the effect of emotional maturity to marital satisfaction, this study uses a simple line arregression analysis with the equation Y=a +bX.
The reasearch get a results of regression analysis found thitung 58.568 AdjustedRsquare of 0.290, R square of 0.295, konstans avalue of 49.369 and for b (koofesiensi regression) of 0.543 and the regression equation Y=a +bX. The results of this study demons trate emotional maturity significantly affect marital satisfaction indicated by tcount > ttable (58.568 > 6.315) with sig F 5% (0.000 <
0.05). It is clear that there is a significant effect on marital satisfaction of emotional maturity. Obtained regression equation is Y = 49.369 + 0,543 X shows changes by as core of zero emotional maturity canpredict changes in marital satisfaction 49.369. Rsquare of 0.295 which means that 29.5 % of the specified marital satisfaction and 70.5% emotional maturity is determined by other variables.
0.05). It is clear that there is a significant effect on marital satisfaction of emotional maturity. Obtained regression equation is Y = 49.369 + 0,543 X shows changes by as core of zero emotional maturity canpredict changes in marital satisfaction 49.369. Rsquare of 0.295 which means that 29.5 % of the specified marital satisfaction and 70.5% emotional maturity is determined by other variables.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Akhir-akhir ini, di berbagai media baik cetak
maupun elektronik, kita sering mendengar kabar satu demi satu rumah tangga
artis pecah yang diakibatkan sang suami menikah lagi atau berselingkuh. Mereka
diantaranya adalah pasangan suami-istri Ahmad Dhani dan Maia Estianty, Farhat
Abbas dan istrinya Nia Dhaniati atau artis vena Melinda dan suaminya.Tidak
hanya para artis kita juga sering mendengar kasus-kasus penganiyaan suami atau
istri karena berselingkuh atau memiliki orang idaman lain. Di sekitar kita juga
tak sedikit pria maupun wanita yang kedapatan berselingkuh, sehingga bukan saja
rumah tangga mereka terguncang melainkan juga urusannya sampai ke Kepolisian
(kompas.com). menurut Santrock hal ini tidak akan terjadi jika pasangan
suami-istri memiliki kematangan emosi yang tinggi dan memliki kepuasan dalam
pernikahannya (Santrock, tahun). Periode masa dewasa tengah merupakan masa
terpenting bagi individu di mana dirinya dituntut untuk menyesuaikan diri
terhadap pola-pola hidup dan harapan yang baru (Hurlock, 1997), serta
menjalankan peran-peran yang baru dan tumbuh menjadi pribadi yang matang
(Duvall dan Miller, 1985). Periode masa dewasa tengah dimulai pada usia tiga
puluh lima (35 tahun) dan berakhir di usia enam puluh (60 tahun). Sebagaimana
didukung oleh Hurlock (1997) bahwa sejak 2 generasi-generasi terdahulu apabila
anak laki-laki dan wanita mencapai usia dewasa secara resmi, maka hari-hari
kebebasan mereka telah berakhir dan saatnya telah tiba untuk menerima tanggung
jawab sebagai orang dewasa serta menjalankan tugas perkembangan pada masa
tersebut. Periode masa dewasa tengah karena banyaknya para ahli psikologi
memaparkan usia dewasa tengah ini pada bebagai usia, terdapat Hurlock dkk
menjelaskan usia dewasa tengah mencakup usia 35 – 50 tahun, sedang tokoh lain
menjelaskan usia dewasa tengah mencakup 40-60 tahun. Karena begitu banyak
pendapat tentang rentan usia dewasa tengah maka Suntrock menggolongkan usia
dewasa tengah mencakup usia berkisar antara 35 – 60 tahun (Suntrock : 2002),
hal ini juga dijelaskan oleh Subekti EB mencakupkan usia dewasa tengah pada
usia 35-60 tahu (Subakti :2002). Menurut Havighurst, tanggung jawab yang di
tempuh oleh individu yang dewasa adalah individu mulai bekerja, individu mulai
memilih pasangan suami atau istri dan belajar hidup bersama pasangannya,
mengelola rumah tangga dan mengasuh anak. Tugas-tugas perkembangan tersebut
termanifestasikan dalam bentuk pernikahan dimana dalam pandangan Islam,
pernikahan merupakan ikatan yang amat suci yang mana dua insan yang berlainan
jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat. Fase
pernikahan tidak hanya melibatkan pembangunan satu system pernikahan baru,
tetapi juga penyusunan kembali hubungan dengan keluarga jauh dari teman-teman
untuk melibatkan pasangan. Peran perempuan yang berubah, dan meningkatnya
jumlah pernikahan pasangan dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, 3 serta
meningkatnya jarak antar tempat tinggal anggota keluarga menambah beban berat
pada pasangan untuk mendefinisikan hubungan mereka bagi diri mereka sendiri
dibandingkan dengan yang terjadi di masa lampau (Aulia : 2010). Pernikahan
adalah bentuk perikatan manusia paling tua di dunia ini, karena telah ada sejak
manusia pertama menghuni alam semesta ini. Patut diketahui pernikahan tidak
tebentuk secara kebetulan atau dibangun berdasarkan mimpi, melainkan melalui
proses, analisis, pengetahuan, pengalaman, kerja keras, dan perjuangan yang
terkadang tidak mudah. Seyogyanya setiap pasangan usia tengah baya menghargai
dan menghormati pernikahan mereka, karena pernikahan mengandung nilai-nilai
luhur yang sakral (Subakti, 2002). Duvall dan Miller menjelaskan bahwa
pernikahan adalah hubungan yang secara sosial diakui antara laki-laki dan
perempuan dimana melegalkan hubungan seksualitas, pengasuhan dan membagi peran
antara pasangan suamiistri. Kesuksesan dalam pernikahan dapat dilihat dari
sejauh mana pasangan suami istri merasakan kepuasaan dalam pernikahan, dengan
saling memenuhi kebutuhan fisik, biologis, dan psikis. Kepuasan pernikahan adalah
suatu hal yang di cari dan diharapkan oleh pasangan menikah, karena kepuasaan
itu sendiri dapat membuat suksesnya atau bahagia suatu pernikahan (Aulia,
2010). Di dalam pernikahan sudah pasti setiap pasangan memiliki tujuan yang
ingin dicapai, yaitu agar dapat terpenuhinya sebagian besar kebutuhan pribadi,
karena setiap orang yang memasuki kehidupan pernikahan pastilah berdasarkan 4
kebutuhan, harapan dan keinginan sendiri-sendiri.
Pemenuhan kebutuhan psikologis adalah alasan
terpenting untuk memasuki pernikahan. Tujuan yang jelas untuk membimbing
pasangan suami – istri untuk membina keluarga yang harmonis, karena
keharmonisan dalam keluarga tidak lepas dari tujuan awal menikah. Semua
pasangan suami istri ingin memperoleh kepuasan dalam pernikahannya. Dan kepuasan
pernikahan akan terpenuhi dengan adanya pemenuhan kebutuhan biologi, psikologis
dan sosial (Aulia, 2010). Faktanya di desa Kesilir dusun Sumbersuko kecamatan
Siliragung Banyuwangi pasangan dewasa tengah dengan 30% pasangan nikah cerai
dan tidak sedikit pula yang sering mengalami perselisihan antara suami – istri,
sedangkan menurut teori yang dijelaskan Suntrock dalam bukunya pasangan dewasa
tengah pada periode ini mulai berkurangnya perselisihan dan mampu mengatasi
setiap masalah dalam kehidupan. Pasangan yang sudah menikah bertahun – tahun
dan pada masa dewasa tengah memiliki emosi pada masa ini cenderung stabil dan
mengesampingkan sifat egosentris pada diri sendiri. Dan tidak sedikit pasangan
yang bercerai menikah lagi dengan pasangan yang memiliki karakteristik yang
hampir mirip dengan pasangan yang sebelumnya. Seperti contoh kasus hasil survey
yang peneliti lakukan dan wawancara pada pihak kelurahan dan KUA
Kesilir-Silirangung sebagai berikut seorang pria paruh baya yang berusia 45
tahun memutuskan bercerai dengan istrinya yang berusia 40 tahun, memiliki dua
orang anak perempuan dan laki-laki dengan yang perempuan ikut sang pria dan
yang laki-laki dibawa sang istri. Dua tahun kemudian sang pria menikah kembali
dengan janda satu anak, dengan usia di atas dua tahun dari putrinya. Di rumah
lain 5 seorang pasangan suami-istri yang tetap mempertahankan pernikahan walau
setiap hari berselisih bahkan seringkali tidak berbicara satu sama lain
(wawancara september : 2014). Bagi banyak orang, pernikahan selalu dianggap
sebagai hal yang membahagiakan dan berharga. Namun dalam sebuah hubungan baik
itu pernikahan, masalah tidak dapat dihindarkan karena pada dasarnya sebuah
pernikahan terdiri dari dua orang yang mempunyai kepribadian, sifat, dan
karakter yang berbeda (Rini, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Parrot &
parrot menunjukkan bahwa sekitar (49%) empat puluh sembilan persen pasangan
mengalami masalah pernikahan. Pasangan yang merasa tidak dapat mengatasi
masalah yang terjadi dalam pernikahan akan memilih jalan keluar, salah satunya
adalah bercerai (www.About.Psikologi.com). Kepuasan pernikahan bagi pasangan
suami-istri menjadi hal penting dalam perjalanan pernikahannya, menurut Pinsof
dan Lebow ( dalam Fenny, T. 2013) kepuasan perkawinan merupakan pandangan
subyektif mencakup perasaan dan sikap yang didasari faktor dari dalam diri
individu yang mempengaruhi interaksi atau hubungan dalam pernikahan. Dalam
kepuasan pernikahan terdapat beberapa faktor anatara yaitu socioeconomi,
tingkat pendidikan, lama pernikahan, hubungan dengan keluarga dan kehadiran
anak, emosi yang dimiliki. Begitu banyak faktor yang dihubungkan dengan
kepuasan pernikahan, terganntung pada apa yang menjadi fokus peneliti dalam
studynya. Beberapa peneliti ada yang memfokuskan pada karakteristik individual
(seperti kepribadian, atribusi, afek).
Sementara peneliti yang lain menitik
beratkan pada dinamika hubungan (seperti 6 komunikasi, kepuasan seksual dan
konflik). Dan ada yang menitik beratkan pada konteks yang lebih luas dari
hubungan pernikahan (seperti peran anak). Dalam penelitian ini, peneliti akan
menfokuskan pada aspek kematangan emosi dalam kepuasan pernikahan pada pasangan
dewasa tengah (Fenny, T. 2013). Dalam pernikahan yang bahagia karna
terpenuhinya kepuasan pasangan dalam pernikahan, pada titik tertentu di masa
dewasa tengah pasangan yang bertahan utuh dengan tujuan dan kepentingan yang
berubah (Birhler, 1992). Seorang peneliti keluarga (Campbell, 1980) dalam buku
Santrock mengatakan bahwa fase dalam siklus kehidupan yaitu stabilitas
(stability), sedang peneliti lainnya mengatakan working through (berhasil
mengatasi sesuatu). Stabilitas dalam pernikahan dapat dicapai apabila pasangan
sudah mencapai fase-fase perintaan dan perjuangan kekuasaan hingga pada titik
dimana akhirnya pasangan menerima segala kelebihan dan kekurangan pada
pasangannya (Santrock, 2002). Beberapa peneliti yang meneliti mengenai kepuasan
pernikahan, diantaranya, telah dilakukan Rismawati mengenai kematangan emosi
dan kepuasan pernikahan (studi kelompok pada kelompok istri kerja dan kelompok
istri tidak bekerja). Hasilnya menunjukkan adanya hubungan signifikan antara
kepuasan pernikahan dengan kematangan emosi. Hal ini berarti bahwa semakin
matang secara emosional maka kepuasan pernikahan akan semakin meningkat. Dan
penelitian yang dilakukan oleh Aulia Safitri tentang kematangan emosi dan
rentang usia pernikahan terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal. Dimana
didapatkan hasil adanya pengaruh yang signifikan pada kematangan emosi dan 7
rentang usia pernikahan terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal. Serupa
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gurin, Geroff, field (1994) bahwa
sebesar 45% orang yang sudah menikah mengatakan bahwa dalam kehidupan bersama
akan muncul berbagai masalah. Karena didalam semua perkawinan terdiri dari
individu yang unik, maka keunikan inilah yang sering menyulitkan suami-istri
untuk saling mengerti, memahami dan mengakomodasi (dalam Agustin,2011). Dalam
penelitian Agustin Harum Sari (2011) menunjukkan hasil bahwa adanya pengaruh
yang signifikan antara komunikasi dan pemecahan masalah terhadap kepuasan
pernikahan pada wanita yang melakukan pernikahan dini. Dalam arti bahwa
kemampuan komunikasi dan kemampuan memecahkan masalah pada wanita yang menikah
pada usia muda memengaruhi kepuasan pernikahan sebesar 89,5%, semakin tinggi
kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah maka semakin tinggi pula kepuasan
pernikahannya. Penelitian yang dilakukan Rahma Khairani dan Dona Eka putri
(2008) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan kematangan emosi pria dan wanita,
dimana didapatkan hasil yang sangat signifikan. Artinya kematangan emosi pria
dan wanita yang menikah muda memiliki perbedaan yang signifikan dalam
kematangan emosinya Idealnya pernikahan membuat individu bahagia karena tujuan
pernikah dalam UU perkawinan pasal 1 tahun 1974 adalah membentuk keluarga
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa (Idris Ramulyo, 2004). 8
Beberapa pendapat mengatakan orang akan merasa lebih bahagia dan sehat setelah
menikah, dengan di cirikan bertambahnya berat badan yang ideal dan lebih
terurus dan rapi (bagi laki-laki). Namun pada kenyataanya, mempertahankan dan
pemeliharaan perkawinan agar bahagia hingga dapat mencapai kepuasan dalam
pernikahan itu sendiri tidaklah semudah orang bilang. Kepuasaan pernikahan
setiap pasangan selalu naik turun mengikuti kurva U, kepuasan menurun sampai
anak pertama lahir dan tidak akan meningkat sampai anak termuda meninggalkan
rumah (Fledman,1997).
Sedang menurut pandangan islam dalam
surat Ar-Rum ayat 21 bahwa pernikahan dapat diciptakan ketrentaman lahir dan
batin antara suami –istri dalam kehidupan rumah tangga yang tentram, nyaman,
damai dan sejahtera, ketika terpenuhi hak dan kewajiban suami – istri dengan
baik. Karena kepuasan pernikahan yang ingin dicapai oleh setiap orang muncul
dengan sendirinya, tetapi hal tersebut harus diusahakan dan diciptakan oleh
kedua belah pihak pasangan suami – istri. Adapun pengertian kepuasan pernikahan
adalah suatu pengalaman subyektif, perasaan yang kuat dan yang didasarkan pada
faktor dalam individu yang mempengaruhi kualitas interaksi dalam pernikahan,
menurut Weiss,2005 (agustin harum, 2011). Menurut Verof dalam Atwater 1985
(Aulia, 2010) mengatakan bahwa peningkatan ketidak puasan dalam pernikahan pada
pasangan berdampak pada perceraian. Banyak pasangan yang menghadapi kesulitan
dan merasa tidak puas dengan pernikahannya. Verof juga mengatakan bahwa
bagaimanapun kebahagiaan pasangan secara langsung tergantung pada kepuasaan
pasangan 9 dalam aspek-aspek pernikahan. Hal ini menunjukkan betapa penting
kepuasan dalam pernikahan, untuk menciptakan kebahagiaan secara keseluruhan
dalam rumah tangga. Pentingnya kepuasan pernikahan ini dipertegas oleh Lavenson
dkk (Aulia, 2010) disana dijelaskan dalam penelitian Lavenson menunjukkan bahwa
kepuasan pernikahan bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik. Ada banyak
faktor yang memengaruhi kepuasan pernikahan salah satunya menurut Duvall dan
Miller (1985) mengelompokan faktor-faktor kepuasan pernikahan dalam dua
kelompok, pertama faktor sebelum pernikahan, kedua faktor sesudah pernikahan.
Salah satu faktor sebelum pernikahan adalah usia dan kematangan emosi. Menurut
Stinett (1984) bukan hanya usia saja yang memengaruhi kepuasan pernikahan
tetapi juga termasuk kematangan emosi. Lebih lanjut Blood dan Blood (1979)
menyatakan bahwa mereka yang matang secara emosional memiliki kemampuan untuk
menjalin dan mempertahankan hubungan personal, dan hal ini memengaruhi
bagaimana pasangan saling berinteraksi satu sama lain. Di samping itu pada faktor
setelah pernikahan pada Duvall dan Miller disebutkan bahwa kematangan emosi
yang memiliki aspek kepribadian turut berpengaruh dalam mencapai kepuasan
pernikahan. Selain itu bahwa salah satu ciri kematangan emosi dalam pernikahan
adalah adanya keinginan dan kemampuan untuk mengatasi konflik, bukan untuk
mengakhiri hubungan antara pasangan suami istri oleh David Knox dalam Rismawati
, (2009). Kematangan emosi adalah kemampuan menerima hal-hal negatif dari
lingkungan tanpa membalasnya dengan sikap yang negatif, melainkan dengan 10
kebijakan. Adapun menurut Chaplin kematangan emosi adalah suatu keadaan atau
kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional dan oleh karena
itu individu yang memiliki kematangan emosi tidak lagi menunjukan pola emosinal
yang pantas untuk anak-anak. Hurlock juga menjelaskan kematangan emosi pada
seseorang dapat terlihat apabila individu dapat menilai secara kritis terlebih
dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi berfikir seperti halnya
orang yang tidak memiliki kematangan emosi (Aggraini, W. A 2002). Dapat kita
lihat bahwa kematangan emosi sangat diperlukan dalam berumah tangga, jika kita
melihat seseorang yang memiliki kematangan emosi mampu mengendalikan emosinya
dengan stabil tidak cenderung berubah-ubah hatinya. Maka bangsa negara ini
insya ALLAH akan damai karena memiliki rakyatnya yang memiliki kematangan
emosi, dan mengurangi tingkat perselingkuhan dan perceraian. Banyaknya kasus
perceraian dibanyuwangi menunjukkan bahwa kurangnya kematangan emosi antar
pasangan suami istri dengan adanya tidak memiliki kebahagiaan atau kepuasan
dalam pernikahan, seperti yang di jelaskan oleh pihak KUA kecamatan Siliragung
dari tahun 2007 tingkat perceraian 30% persennya adalah mereka yang berusia 35
tahun keatas. Sedang selama kurun waktu periode januari 2013-hingga agustus
2014, terdapat tertinggi usia menikah pada usia dewasa tengah dan mereka tidak
sedikit pernah menikah sebelumnya. Dari sekian kasus perceraian yang ada dan
konsultasi rumah tangga hanya 10% yang dapat dimediasi.
Setiap individu memiliki kematangan emosi yang
berbeda pada masa dewasa tengah, tak sedikit dari pasangan dewasa tengah
memilih untuk 11 bercerai. Namun banyak pula dari mereka malah justru bahagia
dan semakin harrmonis, oleh karena itu peneliti melakukan penelitian ini untuk
mengetahui “apakah ada pengaruh kematangan emosi terhadap kepuasan pernikahan
pada usia dewasa tengah”. Bukankah pasangan dewasa tengah memiliki pemikiran
jauh lebih dewasa dan matang dalam berfikir maupun emosinya, namun tak jarang
kita menemui pasangan dewasa tengah memilih untuk bercerai. Berlandasan dari
pemaparan di atas maka peneliti mengkaji lebih dalam mengenai “Pengaruh
kematangan emosi terhadap kepuasaan pernikahan pada pasangan dewasa tengah”
B.
Rumusan
Masalah
1 Bagaimana tingkat kematangan emosi
pada masa dewasa tengah?
2 Bagaimana tingkat kepuasan pernikahan pada
dewasa tengah?
3 Apakah ada pengaruh tingkat kematangan emosi
terhadap tingkat kepuasan pernikahan pada pasangan dewasa tengah?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tingkat emosi
pada masa dewasa tengah.
2. Untuk mengetahui tingkat kepuasan
pernikahan pada masa dewasa tengah
. 3. Untuk membuktikan pengaruh
tingkat kematangan emosi terhadap kepuasan pernikahan pada masa dewasa tengah.
D. MANFAAT PENELITAN
1. Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang kepuasan pernikahan yang di
pengaruhi oleh emosi. a) Sebagai sumbangan pemikiran yang akan berguna bagi
pihak-pihak yang membutuhkan. b) Sebagai salah satu sumber referensi bagi
kepentingan keilmuan dalam mengatasi masalah yang sama atau yang terkait pada
hal yang sama dimasa yang akan dating.
2. Bagi Praktisi
a) Manfaat praktis, agar pembaca dapat
mengetahui peran kematangan emosi dalam kepuasan pernikahan. b) Agar pembaca
dapat memahami peran dan arti kepuasan pernikahan. c) Agar pembaca dapat
mengetahui pengaruh antara kematangan dengan kepuasan pernikahan.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Pengaruh kematangan emosi terhadap kepuasan pernikahan pada pasangan dewasa tengah di Dusun Sumbersuko Kesilir Siliragung Banyuwangi" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment