Abstract
INDONESIA:
Perkembanganan pembangunan di Indonesia memunculkan banyak perubahan dan kemajuan di berbagai sektor, salah satunya adalah peran serta perempuan dalam dunia kerja. Tidak terkecuali pada pekerja di bidang praktisi kesehatan. Sebagai perempuan, tentunya tidak mudah terlepas dari peran yang dibentuk oleh budaya yakni peran di ranah domestik. Sehingga menjadi tidak mudah pula ketika harus merangkul peran yang lain sebagai perempuan karir di tengah kesibukan sebagai pengatur rumah tangga dan pengasuh anak-anak, atau yang disebut dengan konflik peran ganda. Dalam kondisi konflik peran ini tidak jarang perempuan dihadapkan pada kondisi stres yang berpengaruh pada kesejahteraan psikologis mereka.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konflik peran ganda dan kesejahteraan psikologis perawat perempuan, serta mengetahui hubungan dari konflik peran ganda dengan kesejahteraan psikologis perawat perempuan di Puskesmas Guluk-Guluk.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat konflik peran ganda dan kesejahteraan psikologis perawat perempuan, serta mengetahui hubungan dari konflik peran ganda dengan kesejahteraan psikologis perawat perempuan di Puskesmas Guluk-Guluk.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan jenis penelitian korelasional dengan konflik peran ganda sebagai variabel bebas dan kesejahteraan psikologis perawat perempuan sebagai variabel terikat. Subyek yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh perawat perempuan di Puskesmas Guluk-Guluk yang telah berkeluarga dan memiliki anak dengan jumlah responden 30 perawat perempuan. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah purposive sampling, sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah skala konflik peran ganda, dan skala kesejahteraan psikologis. Analisa data mengunakan analisis korelasi product moment.
Hasil penelitian menunujukkan bahwa diketahui tiga perawat perempuan dengan frekuensi 10% mempunyai tingkat konflik peran ganda yang tinggi, 42% atau 12 responden mempunyai tingkat konflik peran ganda yang sedang, dan 15 perawat perempuan dengan frekuensi 50% mempunyai tingkat konflik peran ganda yang rendah. Kemudian, diketahui 90% atau 28 responden mempunyai tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi, 10% atau dua responden mempunyai tingkat kesejahteraan psikologis yang sedang dan tidak ada responden mempunyai tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan positif antara konflik peran ganda dengan kesejahteraan psikologis yang ditunjukkan oleh nilai p= 0,002 dan nilai r= 0,533.
ENGLISH:
The raised development in Indonesia has led to many changes and progresses in various sectors. One of which is the participation of women in the workforce with no exception to the workers in the field of health.. As a woman, of course, is not easily separated from the role that is shaped by the culture's role in the domestic sphere. So that it becomes difficult when it comes to embrace another role as a career woman in the midst of housekeeper and nanny, or the so-called dual role conflict. Under these conditions of circumtances, it is not uncommon for women in the stress conditions that affect their psychological well-being.
The purposes of this study were to determine the level of conflict and the dual the psychological well-being of female nurses, and to determine the relationship between multiple roles conflict and the psychological well-being of female nurses at health center of Guluk-guluk, Sumenep.
This study uses a quantitative approach and correlational research type with dual role conflicts as the independent variables and psychological well-being of female nurses as the dependent variable. The subjects were taken from all female nurses in health center of Guluk-guluk, Sumenep who have married with children with the number of respondents for 30 female nurses. The sampling technique in this research is purposive sampling. The data collection method used is the dual role conflict scale, and the scale of psychological well-being. The data analysis techque used is correlation analysis of product moment.
This study uses a quantitative approach and correlational research type with dual role conflicts as the independent variables and psychological well-being of female nurses as the dependent variable. The subjects were taken from all female nurses in health center of Guluk-guluk, Sumenep who have married with children with the number of respondents for 30 female nurses. The sampling technique in this research is purposive sampling. The data collection method used is the dual role conflict scale, and the scale of psychological well-being. The data analysis techque used is correlation analysis of product moment.
The results of the study indicated that three female nurses with frequency of 10% had the dual role conflict which was in the high level, 42% or 12 respondents had adversitkonflik dual role conflict which was in moderate level, and 15 female nurses with the frequency of 50% had dual role conflict which was in the low level. Then, 90% or 28 respondents had the high level of psychological well-being, 10% or 2 respondents had moderate level of psychological well-being and 0% or no respondents had a low level of psychological well-being. The analysis showed there was a positive relationship between the dual roles conflict and the psychological well-being indicated by the value of p = 0.002 and r = 0.533.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah Sudah mulai sejak lama,yakni pada
tahun 1960 sebagai era lahirnya feminisme yang ditandai dengan menjamurnya
kelompok feminis, perjuangan akan nasib kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan
praktis menglobalisasi menjadi gerakan dunia. Pertama dimulai dengan paham
feminisme liberal. Paham ini berasumsi bahwa kebebasan dan kesetaraan berakar
pada rasionalitas. Karena perempuan merupakan makhluk rasional, maka mereka
harus diberi hak yang sama dengan lakilaki dan harus dididik agar mampu
bersaing dalam arena kesempatan (Sylvia Walby, 1992, h. 40). Mengacu pada
sejarah munculnya gerakan ini pertama kali di Amerika pada tahun tersebut, yang
selanjutnya merambat ke Eropa, Kanada, dan Australia yang ahirnya menjadi
gerakan yang mengglobal, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk
mendapatkan kesetaraan dan persamaan derajat dengan para laki-laki. Persepsi
global ini menimbulkan berbagai upaya pengkajian atas penyebab ketimpangan
antara peran laki-laki dan perempuan untuk mengeliminasi dan menemukan formula
penyetaraan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan potensi mereka sebagai
manusia. Salah satu fenomena itu adalah semakin besarnya jumlah wanita yang
berhasil memasuki jenis-jenis pekerjaan yang biasanya dimasuki oleh laki-laki
(Anoraga, 1992, h. 119) 2 Paham tersebut membawa perubahan peran perempuan,
yaitu peran ganda antara keluarga dan sebagai wanita bekerja yang ditunjukkan
dengan meningkatnya tingkat pekerja perempuan. Menurut Anoraga, perempuan
berperan ganda adalah mereka yang memiliki peran sebagai perempuan pekerja
secara fisik dan psikis, baik di sektor pemerintahan maupun swasta dengan
tujuan mendatangkan suatu kemajuan dalam kariernya, sekaligus berperan juga
sebagai ibu dan istri yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga. Bekerja
dengan tenaga phisik atau dengan pikiran atau kedua-duanya disebut sebagai
wanita yang bekerja untuk istilah wanita karier (Anoraga, 1992, h. 121).
Berdasarkan data yang dilansir oleh majalah detik Jumlah perempuan yang bekerja
mengalami peningkatan signifikan. Pekerja perempuan pada Februari 2007
bertambah 2,12 juta orang dibanding Februari 2006. Sedangkan jumlah pekerja
laki-laki hanya bertambah 287 ribu orang (Kuswaharja, 2007). Di indonesia
sendiri, salah satu profesi yang banyak digeluti oleh perempuan adalah profesi
perawat. Perawat merupakan sumber daya manusia terpenting di rumah sakit yang
memberikan pelayanan kesehatan secara konsisten dan terus-menerus selama 24 jam
kepada klien (Departemen Kesehatan RI, 2002). Perawat memiliki peran yang besar
dalam memberikan pelayanan kesehatan karena memiliki jumlah profesi yang paling
dominan di Rumah Sakit yaitu sekitar 55%-65% (Agus, 2009). Oleh karena itu,
perawat dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada para
pengguna jasa. 3 Karakteristik perawat yang bekerja di rumah sakit Sumenep
Madura jika dilihat dari jenis kelamin paling banyak adalah perempuan dengan
prosentase 71%, dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 29%. Ditambah lagi
output perawat yang dihasilkan dari perguruan tinggi yang rata-rata juga wanita
lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Dari segi usia, perawat yang
bekerja di puskesmas guluk-guluk Sumenep Madura relatif berusia muda yaitu
kurang 30 tahun sebanyak 69% dan yang berusia diatas 40 tahun sebanyak 31%.
Gambar 1.1 Prosentase Perawat Perempuan Puskesmas Guluk-Guluk Berdasar Usia
Posisi kecamatan guluk-guluk yang berada di ujung paling barat Sumenep
(berbatasan dengan pamekasan), merupakan salah satu kecamatan terluas yang
memilki 13 desa di dalamnya. Hal tersebut menjadikan pusat pelayanan masyarakat
dalam bidang kesehatan bertumpu di Puskesmas Guluk-Guluk. Peran dan tugas
sebagai pelayan kesehatan tentu tidak akan Prosentase Perawat Perempuan
Puskesmas Guluk-Guluk erdasar … ≥30 tahun ≤30 tahun 4 memandang jenis kelamin.
Puskesmas juga memberlakukan jam kerja malam bagi perawat dan pegawai perempuan
lain, yang seluruhnya telah berkeluarga. Dalam wawancara yang dilakukan oleh
peneliti pada responden penelitian yang harus jaga malam pada tanggal 28 Juli
sampai 29 juli 2015, bahwa mereka harus melaksanakan tugas tersebut, karena
sebagai perawat yang masih honorer tentu harus memilki peran yang baik selain
menambah pengalaman pekerja. Sedangkan mereka yang telah PNS mengungkap bahwa
sebagian dari mereka tinggal di luar desa bahkan di luar kecamatan, dan satu
orang responden berasal dari Pamekasan. Adanya jam peraturan untuk piket malam
merupakan tanggung jawab kerja yang harus diterima, walaupun ada tanggung jawab
anak-anak di rumah yang ketika bekerja biasanya diasuh oleh orang tua mereka (wawancara
dengan Jamila, 28 Juli 2015). Adanya tutntutan jam kerja lebih pada profesi
perawat tentu menuntut adanya loyalitas dan daya tahan kerja yang lebih pula
guna menunjang kepuasan dan produktifitas kerja para perawat sebagai pelayan
kesehatan masyarakat. Menurut Keyes (2002), aspek-aspek tersebut dapat didukung
dengan adanya kesejahteraan psikologis pada pekerja. Karena, kesejahteraan
karyawan merupakan prediktor negatif terhadap intensi turnover karyawan
(Zulkarnain & Akbar, 2013). Kesejahteraan psikologis sebagai hasil 5
evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas
pengalaman-pengalaman hidupnya (Ryff, 1989). Sedangkan individu yang sejahtera
adalah individu yang dapat membangun hubungan positif dengan orang lain, yaitu
hubungan interpersonal yang didasari oleh kepercayaan, empati dan kasih sayang
yang kuat (Ryff, 1989). Terkait dengan kepercayaan tersebut, pengalaman menarik
yang didaptkan oleh peneliti ketika berada di lapangan adalah beberapa keluhan
masyarakat terkait kinerja perawat perempuan. Salah satu keluhan yang muncul
dari pasien yang menjalani rawat inap adalah: jarangnya perawat yang
melaksankan tugas malam mengontrol ke ruang rawat inap, perawat perempuan lebih
cepat marah dan tidak ramah, serta tidak cekatan dalam menangani pasien.
Fenomena lain yamg muncul adalah, masyarakat banyak berobat ke tempat praktek
di rumah dari pada di tempat kerja atau puskesmas. Dari hasil wawancara yang
dilakukan kepada salah satu perawat perempuan di puskesmas Guluk-Guluk, Ibu
Maslahatik, bahwa memang lebih optimal menangani pasien yang berobat langsung
ke tempat praktek di rumah daripada di puskesmas. Menurutnya, melayani pasien
di puskesmas akan mengalami kendala waktu dimana pada saat jam pulang kerja
suami dia harus sudah berada di rumah. Sedangkan pasien yang datang ke rumah
akan lebih mudah ditangani tanpa harus meninggalkan pekerjaan di rumah.
Dari fenomena di atas, menunjukkan
bahwa adanya kepuasan dalam bekerja didapat ketika kepuasan dalam menjalankan
peran sebagai ibu rumah tangga juga berjalan. Hal ini sejalan dengan teori yang
menjelaskan bahwa kepuasan dalam kehidupan keluarga berkontribusi terhadap
kepuasan dalam kehidupan pekerjaan, sehingga dengan demikian keduanya saling
mempengaruhi. Hal inilah yang menuntut setiap individu untuk selalu
mengupayakan kesejahteraan di dalam kehidupan keluarganya agar kebahagiaan di
tempat kerjanya pun tercapai (Amstad, 2011). Keberhasilan seseorang dalam
bekerja berawal dari keluarganya. Hal ini berarti bahwa kebahagiaan di tempat
kerja berkaitan dengan kepuasan kehidupan karyawan dengan orang-orang di
sekitarnya, termasuk keluarga (Keyes, Hysom, & Lupo, 2000) Jika keluarganya
harmonis, maka seseorang tidak dipusingkan oleh berbagai masalah yang terjadi
dalam rumah tangganya. Akan tetapi, kecenderungan perempuan untuk berkarir
menimbulkan banyak implikasi salah satunya adalah merenggangnya ikatan
keluarga. Kondisi seperti ini potensial memunculkan konflik, terutama pada
perempuan pekerja yang sudah menikah. Banyak laki-laki terutama yang
berpenghasilan rendah mengalami saat-saat yang sulit menerima istri mereka
bekerja Sebagai contoh dalam suatu penelitian, banyak suami yang istrinya
bekerja melaporkan bahwa mereka lebih suka memiliki istri yang berada di rumah
sepenuhnya. Meskipun suami menghargai penghasilan istri mereka, mereka
kehilangan pelayanan dari 7 orang yang sepenuhnya mengurus rumah tangga,
seorang yang ada di rumah pada saat mereka pulang, yang masak semua makanan
mereka, dan yang menyetrika pakaian mereka (Santrok, 1995, h. 100). Lebih jauh
lagi diasumsikan bahwa keluarga adalah sebuah unit pengambilan keputusan dimana
terdapat strategi pekerjaan rumah tangga yang bukan berdasarkan
individu-individu yang terpisah yang kebetulan tinggal bersama dalam suatu
keluarga. Para teoritisi kapital menyatakan bahwa pembagian seorang anggota
keluarga dewasa berkonsentrasi pada pekerjaan domestik dan yang lain pada
pekerjaan dengan upah didasarkan pada kepentingan keluarga itu sendiri. Akan
lebih efisien pula pembagian pekerjaan yang terspesialisasi dari pada suami
istri bersama-sama mengerjakan semua pekerjaan. Saat keputusan suadah diambil,
bahwa seseorang akan menjadi pengurus rumah tangga atau bekerja penuh di luar,
maka perannya akan sulit dibalik, karena investasi yang sudah dan sedang
dilakukan (Sylvia Walby, 1992, h. 43) Diantara kerugian yang mungkin tejadi
pada pernikahan dengan karir ganda adalah tuntutan adanya waktu dan tenaga
tambahan, konflik antara pekerjaan dan keluarga, persaingan kompetitif antara
suami dan istri, dan jika keluarga memilki anak-anak perhatian terhadap
kebutuhan anak sulit dipenuhi. Untuk itu perlu bagi perempuan beprofesi yang
menikah dan memilki anak, juga memilki kemampuan menyeimbangkan peran antara
kerja dan keluarga. Ketidakseimbangan antara pekerjaan dan keluarga disebut
sebagai work-family conflict, yaitu konflik yang mengacu 8 pada sejauh mana
hubungan antara pekerjaan dan keluarga saling terganggu (Greenhaus &
Beutell, 1985).
Greenhaus dan Beutell (1985)
menjelaskan bahwa konflik muncul ketika waktu yang digunakan untuk memenuhi
suatu peran menghambat pemenuhan peran lainnya, yang kedua tuntutan suatu peran
yang mengarah pada ketegangan, kelelahan, dan mudah marah, akan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk menjalankan peran lainnya, dan yang ketiga adanya
tuntutan perilaku disuatu peran yang bertentangan dengan harapan berperilaku di
peran yang lain. Tiga kondisi ini akan menghambat indidividu untuk mengatur
prilaku sesuai dengan apa yang dia harapkan, Sebagaimana menurut Ryff (1989),
bahwa aspek otonomi merupakan dimensi penting dalam kesejahteraan psikologis.
Selanjutnya, Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan bahwa terdapat tiga
dimensi work family conflict, yaitu: time-based conflict, merupakan konflik
yang terjadi ketika waktu yang tersedia untuk memenuhi peran di pekerjaan tidak
dapat digunakan untuk memenuhi peran di keluarga, dengan kata lain pada waktu
yang sama seorang yang mengalami work family conflict tidak akan bisa melakukan
dua atau lebih peran sekaligus. Kondisi ini dapat mengurangi kesejahteraan
sebagai pekerja, sebagaimana Grandey, Bryanne, dan Ann (2005) menyatakan bahwa
work family conflict dapat menghabiskan waktu dan energi seseorang sehingga
menyebabkan munculnya perasaan terancam dalam 9 diri seseorang serta perilaku
negatif dalam pekerjaannya (Dalam Zulkarnain, 2013). Selain motivasi internal,
pengaruh peraturan juga berperan dalam tuntutan kerja perawat. Banyak puskesmas
yang mengahruskan adanya ketentuan jam untuk pulang dan datang sesuai jadwal,
dimana saat ini di Puskesmas Guluk-Guluk sendiri menggunakan finger print
sebagai pengontrol jam kerja. Peraturan atas dasar kedisplinan dan tuntutan
pekerjaan yang maksimal menjadikan sebagaian besar waktu para pekerja berada di
tempat kerja. Tuntutan peran yang menyebabkan pekerja menghabiskan waktunya
sepanjang hari untuk bekerja akan kehilangan motivasi untuk memenuhi tuntutan
keluarga (Aslam, Shumaila, Azhar, & Sadaqat, 2011). Fenomena di atas jika
mengacu pada perspektif psikologi, dalam teori Hurlock (1980) dikatakan bahwa
pada usia 18-40 tahun individu sudah memasuki tugas dan tanggung sebagai orang
dewasa atau yang disebut dengan dewasa awal. Hurlock membagi tugas perkembangan
pada individu dewasa awal, diantaranya: mulai bekerja, memilih pasangan, mulai
membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung
jawab sebagai warga negara, dan, mencari kelompok sosial yang menyenangkan.
Tugas perkembangan untuk mulai berkomitmen di dunia kerja dan membina keluarga
dalam satu waktu membawa fenomena yang berbeda 10 antara laki-laki dan
perempuan. Dalam meniti karir, wanita mempunyai beban dan hambatan lebih berat
dibanding pria (Anoraga, 1992, h. 121). Selanjutnya, menurut Anoraga dalam
bukunya, bagi wanita yang bekerja mereka juga adalah ibu rumah tangga yang
sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Perbedaan itu juga diperjelas
dengan adanya panca dharma wanita Indonesia yang menuntut perempuan dapat
melakukan lima tugas, yaitu sebagai istri/pendamping suami, sebagai pengelola
rumah tangga, sebagai penerus keturunan, sebagai ibu dari anak-anak dan sebagai
warga negara. Dengan peran ini tidak semua dapat berjalan dengan baik dan sulit
mencapai hasil maksimal. Banyak perempuan yang tidak mampu mengatasi itu,
sekalipun mempunyai kemampuan teknis yang cukup tinggi, Sebagaimana Frone
(1992) mengatakan kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan
kesulitan dalam memenuhi peran tuntutan peran yang lain (keluarga). Dalam
perspektif psikologi perkembangan yang lain, Santrock (2002) mengatakan masa
dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Sedangkan pada tahap perkmbangan psikososial Erikson dituntut untuk membentuk
keintiman (intimasi versus isolasi). Jika seorang dewasa awal tidak dapat
membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain, maka mereka akan
terisolasi dan selfabsorb (terpaku pada kegiatan dan pikirannya sendiri).
Ketika mereka berusaha menyelesaikan tuntutan saling berlawanan dari intimasi,
11 kompetisi, dan jarak, disebut Erikson sebagai pemahaman etis sebuah tanda
kedewasaan. ( Papalia, 2008, h. 684). Keluarga merupakan ruang membentuk yang
paling penting dalam membentuk intimasi yang diikat oleh seks, cinta, kesetiaan
dan pernikahan, dimana wanita berfungsi sebagai istri, dan pria berfungsi
sebagai suami. Dilihat dari segi naluri, dorongan paling kuat bagi wanita untuk
menikah ialah cinta dan mendapatkan keturunan dari orang yang dicintainya
(Kartono, 2007, h. 6) Keluarga memberikan pada wanita arena bermain dan jaminan
untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewanitaannya. Semakin mantap wanita memainkan
berbagai peranan sebagai istri, partner seksual, pengatur rumah tangga, ibu
dari anak-anak dan pendidik maka semakin positif dan produktiflah dirinya.
Kesuksesan dalam memainkan peran tersebut membawa kesejahteraan dan kestabilan
jiwa dalam hidupnya. Sebaliknya, kurangnya kemampuan wanita dalam memainkan
beberapa peran atau peran ganda yang berbeda-beda dalam styatus perkawinan
menjadikan mereka menderita (
Sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan Ahmad (2003) dengan judul ”Work – Family Conflict : A Survey of
Singaporean Workers” yang meneliti tentang bagaimana work family conflict
terjadi pada pekerja di Singapura, menunjukkan bahwa pekerja wanita lebih
sering mengalami work family Conflict dibandingkan dengan pria (dalam Chandra,
2011). Penelitian lain yang dilakukan oleh Triaryati (2003) dengan judul
“Pengaruh 12 Adaptasi Kebijakan Mengenai work family conflict terhadap absen
dan turn over”, menyatakan bahwa karyawan wanita telah terbukti menderita
depresi dan mengalami stres lebih cepat dibandingkan pria. Stres kerja yang
terjadi karena ketidak mampuan pekerja perempuan dalam menyeimbangkan peran
(konflik peran ganda) merupakan faktor yang menghambat terhadap tercapainya
kesejahteraan psikologis (Handayani, 2014). Padahal, keberhasilan suatu
organisasi salah satunya ditandai dengan karyawan yang merasa sejahtera di
tempat kerjanya (Keyes, Hysom, & Lupo, 2000). Menurut Ryff (1989),
kesejahteraan dapat didapat jika Individu sudah mampu membangun hubungan
positif dengan orang lain, memilki otonomi terhadap dirinya sendiri dalam
menentukan sikap dan tindakan, dan kemampuan untuk memilki rasa akan
pertumbuhan dan pengembangan pribadi secara berkelanjutan. Karena faktor yang memilki
peran dalam menimbulkan kesejahteraan pada dunia kerja adalah kepuasan dalam
kehidupan berkeluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Dalam studi klasik yang
dilakukan tahun 1986, pada wanita Inggris menunjukkan bahwatanda-tanda
psikiatrik lebih banyak ditunjukkan oleh wanita yang tidak bekerja (74%)
daripada wanita yang bekerja (14%). Ini berarti tekanan hidup lebih banyak
dirasakan oleh wanita yang tidak bekerja dibandingkan dengan wanita yang
bekerja. Sepertinya kesibukan bekerja bagi wanita bekerja dapat melindungi
mereka daritanda-tanda psikiatrik. Wanita yang bekerja di rumah lebih otonom,
memiliki physical effort yang 13 lebih baik, lebih rutin, tekanan waktu yang
lebih rendah dan rasa tanggung jawab yang kurang daripada wanita yang bekerja
diluar rumah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Magdalena (2015), mendapati
bahwa ternyata perawat termasuk dalam enam pekerjaan yang memilki tingkat
kepuasan kerja, kesehatan fisik, dan kesejahteraan psikologis yang paling
rendah. Padahal, komitmen terhadap pekerjaan akan didapat jika karyawan sudah
mampu mencapai kesejahteraan dalam pekerjaannya (Annisa & Zulkarnain,
2013). Dalam penelitian yang lain, hasil penelitian menunjukkan responden
dengan tingkat konflik pekerjaan-keluarga tinggi di RSUD Daya Kota Makassar
sebanyak 28 responden (52,8%), sedangkan responden dengan tingkat konflik
pekerjaan-keluarga rendah sebanyak 25 responden (47,2%). Selanjutnya untuk
variabel konflik keluarga-pekerjaan, responden dengan tingkat konflik
pekerjaan-keluarga rendah yaitu sebanyak 29 responden (54,7%), sedangkan
responden dengan tingkat konflik pekerjaan-keluarga tinggi hanya sebanyak 24
responden (45,3%). Presentase responden dengan kelompok umur terbanyak adalah
kelompok umur 21-30 tahun dengan jumlah 29 responden (54,7%), sedangkan yang
terendah berada pada kelompok umur 41-49 tahun sebanyak 4 responden (7,5%).
(Sari, 2013). Berdasarkan pemaparan dia atas mengenai teori dan fenomena
keperempuanan khususnya tentang mereka dengan profesi perawat, peneliti ingin
mengetahui tingkat konflik peran ganda yang mereka alami dan tingkat
kesejahteraan psikologis sebagai pekerja perempuan yang juga 14 memilki rumah
tangga, serta mengetahui dengan jelas hubungan konflik peran ganda dengan
kesejahteraan pskologis perempuan dengan profesi perawat di puskesmas.
B.
Rumusan
Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas maka
penyusunan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagimana tingkat konflik peran ganda pada perawat wanita di GulukGuluk Madura?
2. Bagaimanakah tingkat kesejahteraan psikologis perawat wanita di Guluk-Guluk
Madura? 3. Apakah ada hubungan konflik peran antara peran sebagai istri dalam
keluarga dan tuntutan kerja dengan kesejahteraan psikologis perawat wanita di
Guluk-Guluk Madura?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat konflik
peran ganda perawat wanita di Guluk-Guluk Madura.
2. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan
psikologis perawat wanita di Guluk-Guluk Madura.
3. Untuk menguji hubungan negatif konflik
peran ganda dengan kesejahteraan psikologis perawat wanita di Guluk-Guluk
Madura.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
manfaat secara teoritis maupun praktis
1. Secara Teoritis Penelitian ini
diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan khususnya dalam bidang
kesejahteraan psikologis dan tentang konflik peran ganda pada perempuan.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak
akademisi maupun fakultas psikologi khususnya mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan Psikologis.
2. Secara Praktis Penelitian ini
diharapkan dapat memberi kontribusi positif pada organisasi-organisasi baik
organisasi non profit dan organisasi yang di bawah instansi pemerintahan
khususnya yang memilki misi dalam pemberdayaan perempuan dan melibatkan peran
perempuan dalam ranah publik agar mampu tetap mempertahankan atau bahkan
meningkatkan kesejahteraan psikologis dalam kinerja perempuan dan mengetahui
aspek protektif pada faktor-faktor kesejahteraan psikologis pada perempuan.
Sehingga diharapkan komitmen perawat 16 sebagai praktisi kesehatan dalam
menjalankan tugas dan wewenang dapat berjalan dengan maksimal
DOWNLOAD
1 comment:
kobe 9
nike react
yeezy boost 350 v2
air max 90
red bottoms
mlb jerseys
yeezy shoes
longchamp outlet
michael kors handbags
moncler outlet
Post a Comment