Abstract
INDONESIA:
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pengalaman individual dan upaya-upaya yang dilakukan sebagai persiapan ibu-ibu dewasa madya yang menjadi anggota majelis taklim untuk menghadapi kematian. Persiapan menghadapi kematian yang dimaksud adalah segala bentuk perlengkapan, perencanaan, upaya, tindakan, usaha, dan pengalaman sadar individu untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Peneliti menggunakan studi fenomenologi-psikologis dimana Observasi dan deskripsi sistematis digunakan untuk menemukan makna-makna psikologis pada pengalaman individu yang sadar saat mempersiapkan diri dan proses kesiapan menghadapi kematian, meliputi persepsi, perasaan, ingatan, gambaran, gagasan, dan berbagai hal lain yang hadir dalam kesadaran individu. Teknik Purposive Sampling digunakan dalam penelitian ini untuk memilih partisipan. Sedangkan metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan melakukan observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Dari hasil analisis penelitian dapat disimpulkan bahwa Persiapan Menghadapi Kematian ibu-ibu dewasa madya yang menjadi anggota Majelis Taklim Nurul Habib terbagi dalam dua bentuk persiapan, yakni Persiapan Material dan Persiapan Non-Material. Adapun Persiapan Material terdiri dari kain kafan, jarik, kapur barus, papan, cendana, kapas, sabun, sampho, dan minyak wangi. Sementara Persiapan Non-Material terbagi dalam empat unsur yang ada dalam diri manusia, yakni Koginitif (berupa gagasan, kesadaran, dan proses mengingat), Emotif-Afektif (rasa nikmat dan syukur, menangis dan bersedih lalu terdorong untuk memperbaiki diri), Sosiokultural (mengemban tanggung jawab sosial, menjadi anggota dan atau penyelenggara majelis taklim, berbakti kepada suami dan atau orangtua, memakai cadar, membiasakan amalan sunnah dalam lingkungan keluarga, dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia), dan Spiritual (menjadi pengikut Ulama Salaf, Habaib, dan para Auliya’, menambah ilmu, membuat wasiat, dan memperbaiki hubungan dengan Allah).
ENGLISH:
This study aimed to describe individual experiences and efforts undertaken in preparation for middle age women who are members taklim to face death. Preparations for the deaths in question are all forms of equipment, planning, effort, action, and experience conscious individuals to prepare for death.
Researchers using phenomenological-psychological study in which observation and systematic description used to find meanings in the psychological conscious individuals experience when preparing and preparedness process of death, covering perceptions, feelings, memories, images, ideas, and a variety of other things that are present in individual. Purposive sampling technique used in this study to select the participants. While the data collection method used is by observation, interview, and documentation.
From the analysis it can be concluded that the Preparatory Face Death middle age women who are members of the Majelis Taklim Nurul Habib divided into two forms of preparation, namely Preparation Materials and Preparation of Non-Material. As for the Preparation of Material consisting of a shroud, jarik, camphor, wooden board, sandalwood, cotton, soap, Sampho, and perfumes. While the Preparation of Non-Material is divided into four elements existing in human, namely cognitive (in the form of ideas, awareness, and the process of remembering), Emotive-Affective (feeling of pleasure and gratitude, cry and grieve then driven to improve themselves), Sociocultural (carry social responsibility, become a member and or organizer taklim, devoted to her husband or parents, wearing long-veil, get used to the practice of the Sunnah in the family environment, and improve relations with fellow human beings), and Spiritual (become followers of the Ulama Salaf, Habaib, and the Auliya', increase knowledge, making a will, and improve the relationship with God).
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Takut mati bukanlah ketakutan yang normal,
akan tetapi ia merupakan bentuk fobia atau kecemasan yang bercampur dalam satu
waktu sekaligus dengan perasaan takut, panik, gentar, dan ngeri. Fobia mati
bukanlah kecemasan jauh yang menanti kita di akhir jalan, akan tetapi ia
merupakan kecemasan laten yang terpendam di dalam relung-relung perasaan hingga
kita nyaris mencium aroma kematian di segala sesuatu (Rashed, 2008: 1). Sekeras
apapun upaya kita untuk mencoba melupakan realitas kematian, atau sengaja
mengabaikan wacana kefanaan (annihilation), cepat atau lambat kita tetap
mendapati diri kita termenung sedih memikirkan realitas kematian dan terkurung
dengan kecemasan akan kebinasaan (annihilation). Pada tataran realitas, merujuk
pada hasil pengamatan seorang filsuf dan penyair asal Spanyol (1864-1936 M),
Miguel de Unamuno (dalam Rashed, 2008: 2), mengungkapkan bahwa: ―Pikiran akan
kematian dapat mengganggu kenyenyakan tidur manusia, menggelisahkan pikirannya,
dan hampir terusmenerus membuntutinya dimanapun ia berada, hingga batinnya
selalu merinding oleh getaran aneh yang disebabkan oleh kematian dan apa yang
datang setelahnya.‖ 2 Saat ini banyak orang melakukan siaga bencana, siaga perang,
siaga banjir, dan siaga-siaga lainnya, tapi mereka lupa bersiaga dari kematian.
Padahal kematian adalah sebuah misteri. Ia akan merenggut siapa saja di dunia
ini dengan tidak mengenal usia. Bukan hanya orang tua, tetapi anak muda,
remaja, bahkan bayi sekalipun dapat meninggal tanpa diprediksi. Kematian juga
tidak mengenal apakah orang itu sakit atau sehat, sebab, terbukti bahwa orang
yang sehat, segar, dan bugar juga bisa mengalami mati mendadak (Abdurrahman,
2014: 19). Weenelson (2005: 16) mengingatkan pada kita, jika maut selalu
mengancam sepanjang hidup kita. Perang, AIDS, sakit paruparu, kecelakaan lalu
lintas, kelaparan, pes, pembunuhan, dan berbagai ancaman—semuanya tidak memilih
umur.
Kematian merupakan suatu perkara
yang tidak mungkin bisa dipungkiri oleh manusia, karena Allah subhanahu wa
ta’ala sebagai Sang Pencipta seluruh makhluk telah mengabarkan kepada kita
dalam firman-Nya bahwa maut akan menghampiri siapa pun, dimana pun, dan kapan
pun: … Artinya: ―Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendati pun di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…‖ (QS. An-Nisa’ [4]: 78).
Kematian begitu dekat dengan kita, sedekat hidup yang kita nikmati sekarang.
Padahal jika seorang telah meyakini bahwa suatu saat ia akan mati, maka sudah
selayaknya ia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi 3 kematian. Sebagai suatu
ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada pengalaman dunia. Psikologi
tidak melihat kehidupan manusia setelah mati, melainkan mempelajari bagaimana
sikap dan pandangan manusia terhadap masalah kematian, serta bagaimana jiwa
manusia di saat-saat menjelang kematian. Ketakutan akan tiba-tiba meninggal
dunia atau mendadak mati menjadi satu diantara sejumlah sumber penyebab
perempuan usia tengah baya mengeluh sulit tidur pada malam hari, karena takut
tidak bangun lagi atau meninggal dunia sewaktu tidur (Surbakti, 2012: 42).
Demikian halnya dengan individu yang berpenampilan sehat dan baik-baik saja,
kematian yang diyakini sebagai suatu kepastian menjadi hal yang merisaukan. Hal
tersebut penulis temui saat berada di sebuah majelis taklim, saat penulis
mencoba membuka topik bahasan mengenai kematian, respon yang cukup mengejutkan
ditimbulkan oleh salah satu perempuan usia tengah baya (45 tahun) yang menjadi
anggota majelis taklim dengan mengatakan, “Hush, ngomongin apa sih, kok
mati-mati gitu, sudah-sudah, cari topik bahasan yang lain saja.” (30 Agustus
2014). Irfani (2008: 3) mengatakan bahwa peningkatan kesadaran mengenai
kematian muncul sejalan saat mereka beranjak tua, yang biasanya meningkat pada
masa dewasa tengah, yang mengindikasikan bahwa usia paruh baya merupakan saat
dimana orang dewasa mulai berpikir lebih jauh mengenai berapa banyak waktu yang
tersisa dalam hidup mereka. 4 Gusmian (2011: 53) menyatakan bahwa kesadaran
akan kematian dipahami sebagai sikap antidunia yang menenggelamkan seseorang ke
dalam kesibukan ritual keagamaan yang bisa menghambat kreativitas dan membuat
orang malas bekerja. Kedua, kesadaran akan kematian hanya cocok untuk orangtua
yang tidak kreatif lagi. Pemahaman akan kematian yang hanya akan mengunjungi
orang yang berusia lanjut ini yang selayaknya perlu dibenahi. Demikian halnya
dengan penelitian terdahulu yang bertemakan kematian, acap kali individu lansia
yang menjadi partisipannya, (Harapan, P. dkk., 2014; Larasati, T. dan
Saifuddin, M., 2014; Pamungkas, A., Sri W., dan Rin W.A., 2013). Padahal,
kematian tidak pandang usia. Kekeliruan pandangan ini jelas menghambat
kesadaran kita tentang pentingnya mempersiapkan kematian sejak usia muda.
Psikologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku
seseorang melihat kematian sebagai suatu peristiwa dahsyat yang sesungguhnya
sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ada segolongan orang yang
memandang kematian sebagai sebuah malapetaka. Namun ada pandangan yang
sebaliknya bahwa hidup di dunia hanya sementara, dan ada kehidupan lain yang
lebih mulia kelak, yaitu kehidupan di akhirat. Pandangan tersebut melahirkan
dua mazhab psikologi kematian. Pertama, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak
yakin adanya kehidupan setelah mati. Kedua mazhab religius, yaitu yang
memandang bahwa keabadian setelah mati itu ada. Kehidupan di dunia perlu
dinikmati, tetapi bukan tujuan 5 akhir dari kehidupan. Apa saja yang dilakukan
di dunia dimaksudkan untuk investasi kejayaan di akhirat (Hidayat, 2006).
Fenomena maut adalah salah satu
fenomena yang paling jelas dan kuat bagi makhluk hidup. Semakin teguh keyakinan
individu pada mazhab religiusnya, maka tentu semakin banyak pula investasi yang
dilakukan untuk bekal di akhirat, karena apa-apa yang dilakukan individu
tersebut, sematamata dilakukan hanya untuk pencapaian tujuan akhir kehidupan.
Leming (1994) berpendapat bahwa: ―Religiusitas memiliki peran penting dalam
menghalau kecemasan dan ketakutan yang terjadi sebagai akibat dari
ketidakpastian dan ketidaktahuan yang dialami dalam hidup.‖ (Wicaksono dan
Meiyanto, 2003: 59) Untuk mengobati masalah ini (ketakutan akan kematian),
Rashed (2008: 9) menyatakan bahwa manusia harus menghilangkan sikap
pengabaiannya pada kematian dan babak baru setelah kematian, untuk kemudian
mengakui dan mengimani kekekalan ruh (nyawa). Lebih lanjut ia menekankan jika
sebagai seorang individu, manusia harus membangun dan memupuk keimanan dalam
dirinya bahwa kematian adalah kehidupan yang kedua, dan hal ini dapat dilakukan
dengan kembali ke pangkuan agama. Berkaitan dengan hal tersebut, tugas
perkembangan yang harus dijalani oleh individu dewasa madya menurut Havighurst
(dalam Yusuf, dkk., 2006) adalah mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu
senggang. Sejalan dengan tugas perkembangan dewasa madya yang berkaitan dengan
sosialpribadi, terdapat tuntutan dimana pada masa ini individu harus mampu 6
mengemban tanggung jawab dalam keluarga dan mengembangkan kegiatankegiatan
sosial yang bermanfaat. Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama
lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan
perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial. Sebagai
bagian dari Sistem Pendidikan Nasional non-formal (UndangUndang RI No. 20 Tahun
2003, pasal 26, ayat 4), majelis taklim melaksanakan fungsinya pada tataran
non-formal, yang lebih fleksibel, terbuka, dan merupakan salah satu solusi yang
seharusnya memberikan peluang kepada masyarakat untuk menambah dan melengkapi
pengetahuan yang kurang atau tidak sempat mereka peroleh pada pendidikan
formal, khususnya dalam aspek keagamaan. Tabel 1.1 Majelis Taklim di Indonesia
No 2006/2007 2008/2009 Majelis Taklim Peserta Pengajar Majelis Taklim Peserta
Pengajar 1 153. 357 9.867.873 375.095 161.879 9.670. 272 366.200 Peserta
Laki-Laki 4.002.434 Peserta Perempuan 5.667.838 Sumber: Data diolah dari
Laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama Tahun 2006 dan
Tahun 2008. Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa jumlah majelis
taklim di Tanah Air mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke
tahun. Salah satu hal yang menarik diperhatikan adalah ternyata dari sejumlah
9.670. 272 orang menjadi anggota majelis taklim di tahun 2008 sebanyak
5.667.838 (58,6%) adalah perempuan atau kaum ibu, baru sisanya laki-laki atau
bapak- 7 bapak sebanyak 4.002.434 (41,4%). Hal ini tentu semakin menguatkan
asumsi bahwa majelis taklim cenderung menjadi ajang berkumpul, berinteraksi dan
arena belajar bagi kalangan perempuan atau ibu-ibu (Anitasari, 2010). Individu
yang tergabung dalam sebuah majelis taklim tentu memiliki motivasi religius
yang tinggi. Leming (1994) (dalam Wicaksono dan Meiyanto, 2003: 59) berpendapat
bahwa keyakinan religius memiliki hubungan yang negatif terhadap kecemasan
terhadap kematian. Individu yang memiliki motivasi religius yang tinggi akan
memiliki kecemasan terhadap kematian yang rendah. Akan tetapi, penulis
menemukan kenyataan yang tidak begitu selaras dengan apa yang disampaikan
Leming (1994) (dalam Wicaksono dan Meiyanto, 2003). Berikut beberapa respon
yang diberikan ibuibu anggota majelis taklim saat penulis menanyakan
kesiapannya untuk menghadapi kematian: “InsyaAllah. Mohon do’anya, karena ini
kami masih berusaha dalam hal ini, jadi saya belum berani menjawab siap,
afwan.‖ (KT, NA, 03/09/2014) ―Mau tidak mau kita harus siap. Tapi sebagaimana
manusia, siap tidak siap, ajal pasti datang. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni
dosa-dosa saya.‖ (KT, SA,03/09/2014) ―Sejujurnya saya belum siap.
Tapi sebagaimana manusia, siap tidak siap,
ajal pasti datang. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni dosa-dosa saya, amiin.‖
(KT, SG,03/09/2014) ―Belum. Karena saya merasa ibadah saya masih kurang.‖ (KT,
ZA,03/09/2014) ―InsyaAllah siap, karena mati itu pasti.‖ (KT, SU,03/09/2014) 8
―Mau tidak mau harus siap, karena kematian pasti terjadi. Mudah-mudahan kita
semua meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Amiin.‖ (KT, NM, 03/09/2014)
―Jika kita dapat melakukan amal kebaikan dengan ikhlas dan ridho, maka kelak
kalau kita mati, maka ruh kita mendapat sambutan malaikat rahmat dan dibawa
menghadap Allah dengan penuh hormat dan dikembalikan lagi dengan penuh ridho
Allah.‖ (KT, FB,03/09/2014) Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa
anggota dalam Majelis Taklim Nurul Habib di atas menunjukkan keragaman
individual terkait kesiapannya untuk menghadapi kematian. Masing-masing dari
anggota majelis taklim tersebut akan memunculkan keunikan individual sesuai
dengan pengalaman masing-masing, meskipun mereka secara bersama-sama mengikuti
kajian-kajian kitab yang disampaikan oleh seorang ustadzah. Sebagaimana hasil
wawancara yang telah penulis paparkan di atas, menunjukkan bahwa dua orang
partisipan menyatakan, ―belum siap‖, satu orang menyatakan ―belum berani bilang
siap‖, satu orang ―tidak menyatakan kesiapannya‖, satu orang menyatakan,
―InsyaAllah siap‖, dan dua orang lainnya menyatakan, ―Mau tidak mau harus
siap‖. Kesenjangan antara pendapat Leming (1994) dengan realitas yang ada di
Majelis Taklim Nurul Habib nampak dengan jelas bahwa, meskipun individu yang
memiliki motivasi religius tinggi dengan menjadi anggota majelis taklim, hal
tersebut tidak selalu membuat individu menjadi siap dengan kematian. Bahkan,
kesiapan menghadapi kematian menjadi beragam maknanya bagi setiap individu. 9
Martinsusilo (dalam Siahaan, 2009) membagi tingkat kesiapan berdasarkan
kuantitas keinginan dan kemampuan bervariasi dari sangat tinggi hingga sangat
rendah.
Tingkat kesiapan ibu-ibu anggota
majelis taklim di atas memiliki empat variasi jawaban, yakni (1) belum siap,
(2) tidak menyatakan kesiapan, (3) insyaAllah siap, dan (4) mau tidak mau harus
siap. Munculnya variasi tingkat kesiapan dapat disandarkan pada dua komponen,
yakni kuantitas keinginan dan kemampuan individual dalam menghadapi situasi
tertentu–situasi untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian. Pada umumnya
orang berusaha keras untuk menemukan arti hidup dari kehidupan mereka di dunia.
Ada yang menemukan arti hidup dengan cara siap menerima kematian, karena kesiapan
dalam menghadapi kematian memberikan artian positif pada makna hidup itu
sendiri, yang bisa membuat kehidupan individu sungguh berarti. Namun kematian
juga bisa diartikan sebagai ancaman kepada ketiada-berartian yang membawa
kecemasan hidup yang merupakan karakteristik dasar manusia sebagai satu-satunya
makhluk yang sadar dengan kematian (Indriana, 2012: 98). Berdasarkan pernyataan
Indriana (2012) diatas, persiapan menghadapi kematian menjadi hal tidak bisa
diremehkan. Hal tersebut didukung dengan adanya dua kemungkinan ketika individu
menyadari ia akan menghadapi kematian; pertama, kesadaran akan kematian akan
membawa individu untuk semakin memaknai sisa waktu hidupnya untuk mempersiapkan
diri menghadapi kematian, hingga individu akan mencapai tingkat kesiapan yang
tinggi karena persiapan-persiapan yang dilakukan. Kedua, kesadaran akan 10
kematian akan membawa individu pada perasaan cemas dan terancam akan kehilangan
diri dari dunia, ia juga akan kehilangan makna dari persiapanpersiapan
menghadapi kematian yang telah dilakukan, hal tersebut dapat membuat individu
berada pada tingkat kesiapan yang rendah. Melalui pendekatan fenomenologi
psikologis, penulis melakukan observasi dan deskripsi sistematis atas
pengalaman individu yang sadar dalam mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Data fenomenal yang dieksplorasi dalam penelitian ini mencakup persepsi,
perasaan, ingatan, gambaran, gagasan, dan berbagai hal lain yang hadir dalam
kesadaran individu (Misiak dan Sexton, 2005: 20). Dengan kata lain,
fenomenologi berusaha menemukan makna-makna psikologis yang terkandung dalam
fenomena melalui penyelidikan dan analisis contoh-contoh hidup (Giorgi dan
Giorgi dalam Smith, 2009: 53). Berdasarkan latar belakang yang telah penulis
paparkan di atas, maka penulis merasa tertarik dan perlu untuk melakukan
penelitian melalui pendekatan psikologi fenomenologi yang berjudul, ―Persiapan
Menghadapi Kematian: Studi Fenomenologi Psikologis pada Ibu-ibu Dewasa Madya di
Majelis Taklim Nurul Habib Bangil.
B.
Masalah
Penelitian
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di
atas, maka masalah yang melatarbelakangi penelitian ini adalah, ―Mengapa
seseorang yang berada di lingkungan religius tapi ia mengatakan tidak siap
untuk menghadapi kematian?‖. Sedangkan rumusan masalah yang sesuai dengan
tujuan penelitian ini adalah, ―Bagaimana anggota majelis taklim mempersiapkan
diri untuk menghadapi kematian?‖
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah
mengeksplorasi persiapan menghadapi kematian yang dilakukan ibu-ibu usia dewasa
madya dalam Majelis Taklim Nurul Habib, Bangil, Pasuruan. Adapun tujuan
khususnya adalah mendeskripsikan pengalaman individual dan upaya-upaya yang
dilakukan sebagai persiapan ibu-ibu dalam majelis taklim untuk menghadapi
kematian.
D.
Batasan
Penelitian
Pembatasan masalah disebut juga ruang lingkup
masalah yang akan diteliti, sebagai upaya membatasi masalah penelitian agar
tidak terlalu luas dan membingungkan. Adapun penelitian ini memiliki pembatasan
masalah sebagai berikut: 1. Lokasi: Penelitian ini dilakukan di salah satu
majelis taklim di kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan. Majelis taklim khusus
perempuan ini merupakan salah satu komunitas religi yang berada di kecamatan
Bangil. Mayoritas anggota majelis taklim ini adalah ibu-ibu yang bersuku-bangsa
Arab yang lahir di negara Indonesia. 2. Partisipan: Partisipan dalam penelitian
ini adalah ibu-ibu usia dewasa madya (40-60 tahun) yang menjadi anggota Majelis
Taklim Nurul Habib. 12 Partisipan dipilih secara purposive sampling, dimana
anggota majelis taklim yang memenuhi kriteria tertentu yang bisa menjadi
partisipan dalam penelitian. 3. Peristiwa: Didasarkan pada pendekatan
fenomenologi psikologis, penulis melakukan observasi dan deskripsi sistematis
pada kesenjangan yang terjadi antara penelitian terdahulu dengan realitas di
lapangan penelitian. Sehingga muncul pertanyaan, mengapa seseorang yang berada
di lingkungan religius tapi ia mengatakan tidak siap untuk menghadapi kematian?
4. Proses: Penelitian ini difokuskan pada makna dan esensi psikologis dari
pengalaman sadar partisipan penelitian dalam mempersiapkan diri menghadapi
kematian (mencakup persiapan dan kesiapan individu). Teknik dan instrument
pengumpulan data menggunakan open-ended questionnaire (saat penggalian data
awal), wawancara dengan pedoman umum, observasi, dan dokumentasi. Data
fenomenal yang dieksplorasi dalam penelitian ini mencakup persepsi, perasaan,
ingatan, gambaran, gagasan, dan berbagai hal lain yang hadir dalam kesadaran
individu terkait dengan persiapannya menghadapi kematian.
DOWNLOAD
1 comment:
paul george shoes
nike free
adidas outlet
true religion
off white
cheap jordans
cheap jordans
zx flux
yeezy shoes
air max 270
Post a Comment