Abstract
INDONESIA:
Proses pembinaan pada narapidana dinilai tidak efektif melihat banyaknya permasalahan internal yang terjadi di lembaga pemasyarakatan sehingga menyebabkan berbagai permasalahan psikologis dan aktivitas pelanggaran di lingkungan lapas merupakan gambaran ketidakberhasilan pembinaan narapidana yang memicu timbulnya perilaku mengulangi kejahatan. Di lain sisi, terdapat narapidana yang memiliki aktivitas produktif maupun peningkatan perilaku positif yang bisa jadi merupakan keberhasilan pembinaan.
Harapan merupakan kemampuan diri pada seseorang dalam keadaan sulit untuk merencanakan jalan keluar diiringi dengan motivasi guna mencapai tujuan. Narapidana yang menunjukkan perubahan perilaku lebih baik merupakan individu dengan harapan positif pada masa depan sehingga mengurangi potensi untuk mengulangi kejahatan setelah bebas. Kecenderungan residivis merupakan kecenderungan pengulangan menjadi pelanggar hukum dalam berbuat satu atau lebih kejahatan yang sama atau berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh harapan terhadap kecenderungan residivis. Sampel dalam penelitian ini adalah narapidana baru dan residivis yang menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas I Malang dengan jumlah sebanyak 133 orang. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah simple random sampling. Data diperoleh melalui alat ukur harapan (hope) yang mengacu pada teori R. Snyder (2000) dan PCL-R (psychopathy checklist-revised) yang disusun oleh Robert D. Hare (1970) untuk mengukur kecederungan residivis. Analisis yang digunakan adalah menggunakan analisis regresi sederhana.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat harapan yang tinggi pada narapidana mencapai 77% dengan jumlah 102 orang narapidana dan tingkat kecenderungan residivisme yang rendah mencapai 100% dengan jumlah 133 orang narapidana. Analisis data menunjukkan Fhitung sebesar 7,780 (F = 0,006). Diketahui Ftabel sebesar 6,314 (signifikansi = 0,05). Data menunjukkan Fhitung > Ftabel (0,006 < 0,05) yang artinya ada pengaruh yang signifikan antara harapan (hope) tehadap kecenderungan residivis pada narapidana. Sumbangan efektif variabel harapan (hope) terhadap kecenderungan residivis dengan koefisien determinan R2 sebesar 0,056 atau 5,6% menunjukkan bahwa kecenderungan residivis sebesar 5,6% dipengaruhi oleh harapan (hope), sedangkan sisanya sebesar 94,4% dipengaruhi oleh faktor lain.
ENGLISH:
The process of rehabilitation tends to be ineffective because of internal problems that occurred in a prison that causes various of psychological problems which describe that rehabilitation is uneffective so that triggering the behavior of repeating the crime. In another side, there are several prisoners who have productive activities which showing the improvement of the positive behavior that could be the effect of rehabilitation.
Hope is human ability in difficult situation that involves pathways by motivation to accomplish goals. Prisoner who shows behavior positively change has positive expectation to his future and focused on changing himself to be a better person so decrease potential to repeating the crime. Tendency of recidivism is dispose to repeat to be prisoner in one or more the same or different crime.
This research is to find out the hope toward tendency of recidivism. The sample in this research is new prisoners and recidivism prisoners totally 133 persons. The data gained by simple random sampling. Data obtained through a measuring hope instrument by R. Snyder (2000) and PCL-R (Psychopathy Checklist-Revised) by Robert D. Hare (1970) to measure tendency of recidivism. The analysis used simple regression analysis.
The results of research shows the high level of hope on the convict reach 77 percent with the number of people 102 convicts and low level of the recidivism tendency reached 100 percent with the number of convicts 133 convicts. Data analysis showed Fcount is 7,780 (F = 0,006). Known by 6,314 Ftable (significance = 0.05). The data shows Fcount > Ftable (0,006 < 0,05) which means there is a significant influence between hope towards recidivism tendency on the convicts. Variable effective contribution of hope for the recidivism tendency to R2 0,056 or coefficient determinant of 5.6% indicates that this recidivism tendency around 5.6% is influenced by hope and the remaining at 94,4% is influenced by other factors.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia hidup dalam era yang terus berkembang.
Semakin hari semakin banyak perubahan dalam bidang apapun. Permasalahan dalam
kehidupan yang semakin kompleks begitu berpengaruh dan menghasilkan perilaku
kejahatan yang beragam. Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari
waktu ke waktu, bahkan sejak adam dan hawa kejahatan sudah tercipta, sehingga
kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan
(Yesmil & Adang, 2010:200). Kejahatan dapat terjadi dimanapun, kapanpun,
dan pada siapapun. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan
bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut
terjadi. Adapun angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan
masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi dari
proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan, dan penentangan kebudayaan,
ideologi, politik, agama, ekonomi (Yesmil & Adang, 2010:200). Semua aspek
tersebut begitu beragam, kompleks serta memiliki potensi yang berbeda-beda.
Dari data Badan Pusat Statistik pada tahun 2013, tindak kejahatan pencurian
dengan pemberatan terhadap total jumlah kejahatan secara ratarata lebih dari
13%. Proporsi untuk kejahatan pencurian kendaraan bermotor di atas 12% dan
untuk kejahatan narkoba sebesar 4%. Gambaran tindak 2 kejahatan secara
kewilayahan selain data kejadian berdasarkan data polri, tindak kejahatan juga
dapat dilihat berdasarkan ruang lingkup kewilayahan (desa/kelurahan). Bagian
ini akan melihat gambaran situasi dan perkembangan tindak kejahatan yang
dialami oleh masyarakat berdasarkan cakupan jumlah desa/kelurahan yang terdapat
kejadian kejahatan. Cakupan kejadian kejahatan pencurian selama tahun 2005-2011
mencapai lebih dari 36% dari jumlah total desa/kelurahan di Indonesia. Cakupan
kejadian untuk kejahatan lainnya paling tinggi hanya sekitar 10,1% yaitu untuk
kejahatan perjudian. Peristiwa kejahatan yang terjadi selama periode tahun
2005-2011 pada setiap provinsi secara umum mempunyai pola yang hampir serupa
dengan pola secara nasional. Tindak kejahatan yang paling menonjol pada
masing-masing provinsi selama periode tersebut berturut-turut adalah kejahatan
pencurian, penganiayaan dan perampokan (Badan Pusat Statistik, 2013). Data di atas
menjelaskan bahwa terdapat peningkatan angka tindak kejahatan pada beberapa
jenis kejahatan antara lain perjudian, pencurian, penganiayaan, dan perampokan.
Hal ini menggambarkan bahwa kondisi pada lingkungan masyarakat secara umum
cukup tidak aman dari tindak kejahatan. Tindak kejahatan dilakukan seakan-akan
hal yang biasa merupakan indikator menurunnya nilai moral pada masyarakat dan
ketidakpedulian terhadap hukum pidana yang berlaku. Perilaku kejahatan telah
dilakukan oleh para pelaku kejahatan semata-mata untuk meraih keuntungan
pribadi atau kelompok dan dengan tujuan tertentu. Pelaku yang 3 melakukan
perbuatan kejahatan atas dasar keyakinan diri sendiri atau karena terdorong
oleh kondisi personal atau sosial tidak akan merasa takut akan ancaman pidana
(Moerings, 2012:248). Optimisme terhadap efektivitas pidana kiranya hanya
berlaku terbatas, yaitu berhadapan dengan pelaku potensial yang mengejar
kekuasaan dan uang atau harta (Moerings, 2012:248). Para pelaku kejahatan
secara sadar atau tidak telah melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian
bagi orang lain serta tidak dapat berperan secara aktif untuk mendukung
kesejahteraan dan rasa aman pada masyarakat terutama di lingkungannya.
Hukum pidana erat kaitannya dengan
perilaku kriminal. Hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan menghasilkan suatu akibat
berupa pidana (Yesmil & Adang, 2010:23). Hukum pidana dibentuk dengan
harapan kejahatan akan lenyap dengan penjatuhan hukuman yang cukup berat.
Maksud atau tujuan-tujuan penjatuhan hukuman termasuk di dalamnya untuk
memperkuat nilai-nilai kolektif, perlindungan kepada masyarakat melalui
penghilangan kapasitas fisik si pelaku dalam melakukan aksi berikutnya
(physical incapacitation of the convicted offenders), rehabilitasi si pelaku,
penangkalan terhadap si pelaku dari mengulangi perbuatannya (dikenal sebagai
“specific deterrence”), dan berfungsi sebagai suatu contoh untuk menangkal
orang lain dari melakukan perbuatan jahat yang dilakukan di pelaku (dikenal
sebagai “general deterrence”) (Santoso, 2012:214). 4 Pelaku kejahatan yang
ditindak oleh pihak berwajib akan mendapatkan sanksi dan binaan di lembaga
pemasyarakatan setempat. Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Simon R. &
Sunaryo, 2011:5). Pembinaan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kejahatan yang selanjutnya
disebut dengan narapidana. Keberhasilan sistem pemasyarakatan tidak jauh dari
peran serta masyarakat. Adapun tiga pilar pemasyarakatan ialah narapidana,
petugas pemasyarakatan, dan masyarakat yang memegang peran untuk menentukan
kriteria apakah sistem pemasyarakat berjalan dengan baik (Simon R. & Sunaryo,
2011:37). Narapidana sebagai warga binaan pemasyarakatan diharapkan memiliki
potensi untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik dengan bantuan petugas
pemasyarakatan dalam proses pembinaan.
Masyarakat merupakan tempat
kembalinya narapidana menjadi warga yang merdeka pun memiliki peran untuk
mendukung keberhasilan pembinaan narapidana. Pembinaan narapidana tidak hanya
ditujukan kepada pembinaan kemandirian atau keterampilan, tetapi juga pembinaan
spiritual atau kepribadian (Simon R. & Sunaryo, 2011:7). Pembinaan yang
dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan, sesuai peraturan formal, dibedakan
menjadi dua program, yaitu pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.
Pemasyarakatan mengintervensi sisi psikologis, pandangan diri, dan
spiritualitas dari narapidana, dengan kegiatan-kegiatan keagamaan dan 5
konseling dalam pembinaan kepribadian. Sementara pembinaan kemandirian,
ditujukan untuk mempersiapkan kapasitas narapidana dalam ekonomi saat bebas
dari pidana penjara, melalui pelatihan maupun kegiatan kerja selama berada di
dalam Lapas (Sulhin & Hendiarto, 2011:364). Sumber daya yang ada pada warga
binaan pemasyarakatan telah difasilitasi secara cukup untuk mendukung
keberhasilan pembinaan narapidana. Pemasyarakatan secara institusional juga
menjadikan fungsi sebagai lembaga pendidikan dan pembangunan yang memiliki ciri
terbuka dan produktif, yaitu lembaga pendidikan yang mendidik warga binaan
pemasyarakatan dalam rangka terciptanya kualitas manusia dan lembaga
pembangunan yang mengikutsertakan warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia
pembangunan yang produktif (Simon R. & Sunaryo, 2011:30). Namun, hukuman
kurungan atau pembinaan pelaku kejahatan di lembaga pemasyarakatan pun dinilai
tidak efektif melihat banyaknya permasalahan internal yang terjadi pada lembaga
pemasyarakatan. Beberapa permasalahan yang khas di lembaga pemasyarakat tidak
dapat menghasilkan binaan yang baik pada narapidana, diantaranya persoalan
sumber daya yang ada pada lembaga pemasyarakat, kelebihan kapasitas penghuni,
maupun kerusuhan dan konflik internal. Begitu pula dengan pola pembinaan
diberlakukan secara umum terhadap seluruh narapidana dewasa, menimbulkan
kemungkinan program pembinaan yang diberikan justru tidak diperlukan oleh
narapidana (Sulhin & Hendiarto, 2011:364). Hal tersebut 6 memicu terjadinya
kegagalan lembaga pemasyarakatan dalam membina narapidana, sehingga tidak ada
perubahan yang cukup baik pada pelaku kejahatan setelah melewati masa pembinaan
di lembaga pemasyarakatan.
Permasalahan yang terjadi pada
lembaga pemasyarakatan menyebabkan proses pembinaan tidak efektif, sehingga
perlu diadakan evaluasi atas program pembinaan yang disesuaikan dengan
kebutuhan dari narapidana dan sejauh mana program-program dirancang dengan
memperhatikan kebutuhan narapidana untuk meminimalisir resiko akan timbulnya
potensi perilaku kejahatan kembali. Secara garis besar tugas pemasyarakatan
dihadapkan atas dua faktor yaitu pemberian hukuman dan pemberian pembinaan yang
berarti di dalam suatu pemberian hukuman terkandung suatu pemberian pembinaan
dan di dalam suatu pemberian pembinaan tersirat suatu pemberian hukuman (Simon
R. & Sunaryo, 2011:39). Munculnya tindak kejahatan yang diulang oleh
narapidana merupakan dampak atas ketidakjeraan atas hukuman maupun binaan yang
tersirat dalam lembaga pemasyarakatan. Adanya prisonisasi sebagai sesuatu hal
yang buruk menjadi pengaruh negatif terhadap narapidana dimana pengaruh itu
berasal dari nilai dan budaya penjara (Azriadi, 2011:18). Didukung juga dengan
lingkungan masyarakat tempat kembalinya mantan narapidana serta respon dari
masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakat
kemudian menimbulkan stigma negatif terhadap individu yang melakukan tindak
kejahatan tersebut. Stigma negatif masyarakat akan menimbulkan 7 sikap acuh
mantan narapidana akan menimbulkan perilaku kejahatan yang sama ataupun
berbeda. Andrews dan Bonta (Sulhin & Hendiarto, 2011:358) menjelaskan
beberapa faktor resiko yang berpengaruh kepada para pelaku kejahatan adalah
sikap anti sosial, rekan (asosiasi), dan riwayat perilaku anti sosial..
sedangkan menurut Gendreau, Little dan Goggin (Sulhin & Hendiarto, 2011:
358), faktor resiko mencakup kepribadian, karakteristik keluarga, pendidikan
dan pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Sulhin & Hendiarto di tahun
2011 tentang “Identifikasi Faktor Determinan Residivisme” pada 100 reponden
yang dipilih, 9% adalah pelaku pencurian dan 65% pelaku pencurian dengan
pemberatan sementara 26% merupakan pelaku pencurian dengan kekerasan. 79%
responden berasal dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, sedangkan sisanya
berasal dari kabupaten/kota lain di Jawa dan Sumatera.
Adapun dari 6 faktor yang diuji
dalam penelitian ini, yaitu riwayat kejahatan, pendidikan dan pekerjaan,
keuangan, keluarga, narkoba dan alkohol, serta emosi dan kepribadian, tidak
semua memiliki hubungan yang signifikan. Asumsi bahwa pendidikan dan pekerjaan
berhubungan bahkan mempengaruhi munculnya kejahatan (riwayat kejahatan)
terbukti tidak berhubungan dengan analisis ini. Demikian pula hubungan antara
faktor keuangan dengan riwayat kejahatan dengan pendidikan dan pekerjaan, serta
antara riwayat kejahatan dengan keuangan. 8 Menurut penelitian lainnya yang
dilakukan oleh B. Benda, Corwyn, dan J. Toombs di tahun 2001 yang dilakukan
selama 2 (dua) tahun pada 414 orang remaja berusia 17 tahun tentang
“Residivisme pada Pelaku Kejahatan Serius pada Remaja”, prediksi terkuat atas
alasan pada pengurungan awal ialah angka usia mengawali perilaku kriminal,
kelompok geng, angka usia mengawali komsumsi alkohol atau narkoba, skor MMPI
dan skor penggunaan bahan kimia terlarang. Capaldi & Patterson (1996)
menyatakan 4 (empat) prediksi yang merupakan potensi residivisme ialah
pengurungan pertama, jenis kelamin, usia pada awal melakukan perbuatan
kriminal, dan usia pada awal mengkonsumsi narkoba. Ras dan struktur keluarga
juga memiliki hubungan yang kuat untuk memicu residivisme (B.Benda, Corwyn,
Toombs., 2001:593). Jumlah narapidana di Indonesia menurut Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementrian Hukum & HAM pada Oktober 2014
mencapai 109.711 orang. Jumlah ini merupakan angka yang cukup tinggi dimana
seluruh jumlah dengan total 33 kantor wilayah di Indonesia, 25 kantor wilayah
diantaranya jumlah penghuninya melebihi kapasitas. Jumlah narapidana di kantor wilayah
jawa timur mencapai 10.147 penghuni yang tersebar di 24 lembaga pemasyarakatan
dan 14 rumah tahanan. Pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Malang, jumlah
narapidana mencapai 1.299 orang yang tergolong melebihi kapasitas yang
seharusnya berkapasitas 936 orang. 9 Sebagian besar lembaga pemasyarakatan
maupun rumah tahanan di Indonesia melebihi kapasitas penghuni, sehingga terjadi
ketidakseimbangan dalam berbagai hal diantaranya masalah fasilitas kebersihan,
kesehatan, maupun tempat tinggal. Fasilitas kebersihan diantaranya tersedianya
air bersih dan kebersihan kamar mandi berpengaruh pada kondisi kesehatan
penghuni. Fasilitas kesehatan yang terbatas diantaranya tidak tersedianya
poliklinik maupun tenaga medis yang dibutuhkan dan tempat tinggal yang padat karena
penghuninya melebihi kapasitas. Tak jarang pelaku kejahatan yang telah dibina
dalam lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan akan melakukan kejahatan
kembali dan beberapa kali keluar masuk lembaga pemasyarakatan atau rumah
tahanan. Pembinaan tidak terlaksana secara maksimal dikarenakan kurangnya
fasilitas narapidana dalam mengembangkan diri.
Fasilitas merupakan hak-hak yang
seharusnya didapatkan oleh warga binaan lembaga pemasyarakatan tidak semua
didapat pada masing-masing lembaga di seluruh Indonesia. Seperti masalah yang
ada pada lembaga pemasyarakatan Mataram dalam penelitian Chandra (2013),
diantaranya kurangnya sarana ibadah bagi narapidana yang beragama kristen dan
budha, kurangnya pelayanan kesehatan, kurangnya kesempatan berasimilasi dan cuti
mengunjungi keluarga, kurang mendapat upah atas pekerjaan yang di lakukan,
kurangnya mendapat bahan bacaan dan siaran media, tidak ada cuti menjelang
bebas. Keadaan yang serba kekurangan dalam lembaga pemasyarakatan menyebabkan
narapidana tidak mendapatkan pembinaan 10 secara baik sehingga belum siap
menghadapi kehidupan bermasyarakat secara positif dan memiliki potensi untuk
mengulangi perilaku kejahatan setelah bebas kelak. Pelaku kejahatan tersebut
akan menjadi kelompok residivis. Menurut Sitohang, narapidana yang lebih dari
dua kali menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan merupakan narapidana yang
melakukan kejahatannya kembali, sehingga terkena hukuman pidana kembali di
lembaga pemasyarakatan disebut dengan residivis (Nurrahma, 2012:6). Di Indonesia,
angka residivis mengalami penaikan dan penurunan yang tidak pasti. Pada periode
tahun 1994 sampai tahun 1996 angka residivis mencapai 5,61%, sedangkan pada
tahun 1997 sampai tahun 1999 terjadi kenaikan mencapai 6,63% dan selanjutnya
pada tahun 2000 mengalami menurunan sebesar 5,27% kemudian tahun 2001 penurunan
mencapai 2,84% (Priyatno, 2013:125). Narapidana dapat kembali ke masyarakat
setelah masa pembinaan dan dapat berkontribusi positif terutama untuk
orang-orang di sekitarnya yaitu keluarga. Banyak pelajaran yang dapat diambil
oleh para narapidana ketika menjalani masa pengadilan dan hukuman kurungan.
Keadaan yang tidak nyaman serta menjadi individu yang tidak merdeka dalam
lembaga pemasyarakatan menjadi motivasi tersendiri bagi narapidana untuk memperbaiki
kesalahan atas pelanggaran yang telah diperbuat. Permasalahan internal dalam
lapas secara pribadi maupun dengan lingkungan lapas dapat mengakibatkan masalah
psikologis bagi narapidana.
Narapidana akan berusaha bertahan
dalam keadaan sesulit apapun sesuai 11 dengan kemampuan masing-masing.
Aktivitas yang tidak berguna dalam lapas bahkan adanya pelanggaran di
lingkungan lapas merupakan gambaran narapidana yang kurang berhasil dalam
pembinaan sedangkan narapidana yang memiliki aktivitas produktif bahkan menunjukkan
peningkatan perilaku positif merupakan keberhasilan pembinaan. Warga binaan
pemasyarakatan yang menunjukkan perubahan perilaku ke arah positif tersebut
merupakan individu dengan harapan positif pada masa depan. Mereka tidak lagi
memperkarakan masalah yang pernah manimpa, sehingga perubahan menjadi pribadi
yang lebih baik menjadi langkahnya. Menurut Seligman (Carr, 2004:1) perasaan
positif pada seseorang dikategorikan pada 3 (tiga) kategori yaitu sesuatu yang
berhubungan dengan masa lalu, saat sekarang, dan masa depan. Perasaan emosi
antara lain sikap positif, harapan, percaya diri, keyakinan dan kepercayaan.
Kepuasan, kebanggaan, kepuasan, ketentraman merupakan perasaan positif yang
berhubungan dengan masa lalu. Kesenangan pada setiap momen dan kepuasan yang
kekal merupakan perasaan positif pada saat sekarang. Sedangkan optimis dan
harapan merupakan perasaan positif yang berhubungan dengan masa depan.
Teori yang dianggap relevan sebagai kerangka
analisa potensi untuk menjadi residivis pada narapidana yaitu teori harapan.
Harapan terhadap masa depan dari narapidana dalam masa pembinaan pun cukup
berpengaruh. Harapan dalam psikologi berarti memiliki keyakinan akan kekuatan
dalam diri untuk berubah (Olson, 2005:347). Motivasi untuk 12 menjadi pribadi yang
lebih baik dan mencapai impian yang diinginkan dapat memberikan harapan pada
narapidana. Mempunyai perencanaan yang baik akan berpengaruh dalam upaya
mencapai impian.
Narapidana dalam proses pembinaan di
lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat menjalani proses dengan baik dan
setelah bebas akan berperan aktif sebagai anggota masyarakat yang produktif
dalam pembangunan bangsa. Menurut Bastiar dan Supriyono (2013) dalam
penelitiannya tentang “Proses Kualitas Hidup Narapidana yang Mendapatkan Vonis
Hukuman Mati” bahwasanya kualitas hidup narapidana ditentukan oleh persepsi
individu terhadap proses yang pernah dialami dan terjadi dalam hidupnya dengan
harapan, tindakan dan hal yang ingin dicapai dalam kehidupannya. Harapan pada
narapidana akan tampak sebagai mental set pada masingmasing individu. Para
narapidana yang memiliki tujuan yang positif akan terlihat pada perilakunya.
Menurut Pickering & Gray (dalam Bastiar dan Supriyono, 2013), tujuan atau
cita-cita yang tampak pada perilaku merupakan proses kontrol dari sistem
syaraf. Dikendalikan oleh the behavioral inhibing system (BIS) dan the
behavioral activation system (BAS), dimana BIS merupakan pemikiran untuk
merespon hukuman dan akan memberikan perintah untuk berhenti sedangkan BAS
merupakan pemikiran atas penghargaan dan akan memberikan perintah untuk maju
terus (Snyder & J.Lopez, 2007:192).
Narapidana dengan hukuman dan pembinaan yang
diberikan merupakan suatu petunjuk untuk menghentikan perilaku yang tidak baik
13 serta merugikan orang lain, sedangkan penghargaan atas hidup dengan damai
dan berkumpul dengan orang-orang yang disayangi akan memberikan petunjuk untuk
melanjutkan hidup secara positif.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada
latar belakang masalah di atas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat harapan pada
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Malang?
2. Bagaimana tingkat kecenderungan residivis
pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Malang?
3. Bagaimana hubungan harapan
terhadap kecenderungan residivis pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IA Malang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang
telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui tingkat harapan
pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Malang
2. Untuk mengetahui tingkat
kecenderungan residivis pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Malang
3. Untuk mengetahui pengaruh harapan
terhadap kecenderungan residivis pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas
I Malang
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat diantaranya :
1. Secara teoritis, hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan
psikologi pada umumnya dan pengembangan kriminologi dan hukum pidana pada
khususnya serta dapat digunakan sebagai pedoman dalam penelitian yang lebih
lanjut.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat berkontribusi terhadap pengembangan intervensi orientasi di
masa depan pada narapidana serta dapat berkontribusi terhadap aparat penegak
hukum, khususnya kepolisian untuk menjadi bahan masukan dalam mengambil
langkah-langkah preventif maupun kuratif guna menanggulangi pengulangan
kejahatan pada narapidana yang berpotensi menjadi residivis.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Pengaruh harapan terhadap kecenderungan residivis pada narapidana di Lapas Klas I Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment