Abstract
INDONESIA:
Setiap tahap perkembangan manusia biasanya disertai dengan berbagai tuntutan psikologis yang harus dipenuhi. Demikian pula pada usia SMA/SMK yang berada dalam masa remaja (adolescence). Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa yang berjalan antara usia 12-21 tahun. Remaja akan merasa gembira, harmonis, dan produktif apabila tuntutan psikologis dapat terpenuhi secara baik. Sebaliknya apabila tuntutan psikologis tidak terpenuhi secara baik maka akan timbul permasalahan yang berdampak munculnya perilaku menyimpang pada remaja. Semua permasalahan yang dialami oleh remaja akan mempengaruhi perkembangan dan kesejahteraannya.
Kesejahteraan psikologis (psychological well being) suatu keadaan dimana individu mampu menerima keadaan secara positif dimana individu mengaktualisasikan diri dengan potensi-potensinya dan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya.Religiusitas menjadi salahsatu faktor yang turut serta memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan psikologis. Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan untuk mengkaji tentang hubungan tingkat religiusitas dengan kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui tingkat religiusitas siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang (2) Untuk mengetahui kesejahteraan psikologis (psychological well being) SMK siswa Muhammadiyah 2 Malang (3) Untuk mengetahui hubungan antara tingkat religiusitas dengan kesejahteraan psikologis (psychological well being) siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson. Variabel bebas (X) adalah tingkat religiusitas dan variabel terikat (Y) adalah kesejahteraan psikologis. Skala yang digunakan adalah dengan skalLikert. Uji validitas serta reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach. Pengolahan data tersebut diolah menggunakan program IBM SPSS 20.0 for windows. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK 2 Muhammadiyah Malang sebanyak 65 siswa.
Berdasarkan analisa penelitian, pada variabel tingkat religiusitas rata-rata remaja berada dalam kategori sedang sebesar 69% (45 subjek) dan pada variabel kesejahteraan psikologis siswa berada dalam kategori sedang sebesar 76% (49 subjek). Hubungan tingkat religiusitas dengan kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang diperoleh nilai koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,420 serta pada taraf signifikan 0,000 ≤ 0,05 (5%) yang berarti bahwa adanya hubungan positif menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya religiusitas siswa maka dengan sendirinya tingkat kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang semakin meningkat.
ENGLISH:
Every step of human development is usually accompanied by many kinds of psychological demands. Likewise, when they are in adolescence. Adolescence is a transitionperiod of children into adulthood that runs between the ages of 12-21. A teenager will feel happy, harmonious, and productive if the psychological demands can be well fulfilled. On the other hand, deviant behaviors will occur if they can not. All the problems experienced by adolescents will affect their development and welfare.
Psychological well-beingis a situation in which an individual can receive it positively so that he is able to actualize himself with his potentialities and individual evaluation of his life satisfaction. Religiosity is also one factor that able to influence the psychological well-being. Therefore, that phenomenon inflicts some questions reviewingThe Relationship between Religiosity Level and Psychological Well-being of the Students at SMK Muhammadiyah 2 Malang.
The purposes of this study are (1) To determine the religiosity level of the students at SMK Muhammadiyah 2 Malang (2) To know the psychological well-being of the students at SMK Muhammadiyah 2 Malang(3) To determine the relationship between religiosity level and psychological well-being ofthe students at SMK Muhammadiyah 2 Malang.
This study uses a quantitative method with Product Moment correlation technique from Carl Pearson. The independent variable (X) is religiosity level, and the dependent variable (Y) is psychological well-being. The scale used is Likert scal. While the validity test and reliability are using Cronbach Alpha formula. The data is processed by using IBM SPSS 20.0 program for windows. The samples are 65students of SMK 2 Malang class XI.
Based on research analysis, in the variable of religiosity level, the teenagers are in the medium category at 69% (45 subjects), while in the variable of psychological well-being, the students are in the medium category at 76% (49 subjects). The relationship between religiosity level and psychological well-being of the students at SMK Muhammadiyah 2 Malang obtained the correlation coefficient (r xy) of 0.420 and the significant level of 0.000 ≤ 0.05 (5%), which means that there is a positive relationshipindicating that the higher the religiosity level of a student is,the higher he will get the psychological well-being.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Setiap individu tumbuh dan
berkembang selama perjalanan kehidupannya melalui beberapa periode atau
tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan manusia biasanya disertai
dengan berbagai tuntutan psikologis yang harus dipenuhi. Sebagian besar pakar
psikologi setuju, bahwa jika berbagai tuntutan psikologis yang muncul pada
tahap perkembangan manusia tidak berhasil dipenuhi, maka akan muncul dampak
yang secara signifikan dapat menghambat kematangan psikologisnya di tahap-tahap
yang lebih lanjut. Berbagai tuntutan psikologis pada remaja dimana hal ini
terkait dengan tugas perkembangan yang ada pada remaja. Havigrust (1961)
mengartikan tugas-tugas perkembangan sebagai suatu tugas yang muncul pada
periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat
berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan
tugas-tugas berikutnya; sementara apabila gagal, maka akan menyebabkan
ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan
masyarakat, dan kesulitan dalam menuntaskan tugas-tugas berikutnya. Adapun tuntutan
psikologis terkait dengan tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1991)
dalam Ali dan Asrori adalah berusaha: 1) 2 mampu menerima keadaan fisik 2)
mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa 3) mampu membina hubungan
baik dengan anggota kelompok berlainan jenis 4) mencapai kemandirian emosional
5) mencapai kemandirian ekonomi 6) mengembangkan konsep dan keterampilan
intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota
masyarakat 7) memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan
orang tua 8) mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa 9) mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan 10)
memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga. Demikian
pula pada usia SMA/ SMK yang berada dalam masa remaja (adolescence). Remaja
yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin
adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Menurut
Hurlock (1980: 206) adolescence mencakup kematangan mental, emosional, sosial,
dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas, mereka sudah
tidak masuk ke golongan orang anak-anak tetapi masuk ke golongan orang
dewasa.akan tetapi belum mampu memegang tugas sebagai orang dewasa. Wills
(2008: 35), mengatakan bahwa pada masa ini amat baik untuk mengembangkan segala
potensi positif yang mereka miliki seperti bakat, kemampuan dan minat. Selain
itu masa ini merupakan masa pencarian jati diri, sehingga mereka cenderung bertingkah
laku labil. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa 3
yang berjalan antara usia 12-21 tahun.
Periode ini dianggap sebagai
masamasa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam
pembentukan kepribadian seseorang. Pada masa transisi inilah yang menjadikan
emosi remaja kurang stabil. Hall menyebut masa ini sebagai masa topan badai
(“Strum and Drang)” yaitu sebagai periode yang berada dalam dua situasi: antara
kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan otoritas orang dewasa
(Yusuf 2009: 185), dengan ciri-ciri sering dan mulai timbul sikap untuk
menentang dan melawan terutama dengan orangorang yang dekat, misalnya orang
tua, guru dan sebagainya (Mulyono 1993: 16). Menurut Erikson, dalam tiap tahap perkembangannya
individu akan dihadapkan suatu krisis. Krisis ini bukanlah suatu bencana tapi
merupakan suatu titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi,
yang mempunyai kutub positif dan negatif. Semakin berhasil indvidu mengatasi
kritis, akan semakin sehat perkembangannya (dalam Desmita 2006). Masa remaja
adalah masa yang sangat rawan terhadap berbagai permasalahan.Santrock
menyebutkan ada beberapa permasalahan yang rawan terjadi pada remaja
diantaranya masalah penyalahgunaan obat terlarang, alkohol; kenakalan remaja
(meliputi kekerasan dan kriminalitas), seks pranikah, bunuh diri dan depresi
(Santrock, 2007). Banyaknya konflik yang terjadi pada masa remaja, yang menurut
Sarwono (2003) sebagai masa transisi dari periode anak ke dewasa. Dalam masa
transisi ini, remaja mulai menjajaki ruang lingkup kehidupan yang lebih 4 luas,
seperti cinta, dunia kerja, dan mulai terlibat dengan lingkungan orang dewasa.
Remaja juga cenderung bertindak berdasarkan keinginannya. Keadaan itu
menunjukkan bahwa remaja mengalami berbagai perubahan, yang merupakan proses
pematangan diri untuk menjadi orang yang dewasa. Kurniawan (1998) berpendapat
bahwa remaja mengalami perubahan dalam sejumlah aspek perkembangan, baik itu
fisik dan fisiologis, emosi, mental, sosial, maupun moral. Perubahan-perubahan
tersebut menuntut remaja mengadakanperubahan besar dalam sikap dan perilaku
sesuai dengan tugas perkembangannya dengan cara yang adaptif. Teori
perkembangan Erikson menyebutkan, masa remaja dalam tahap psikososial yang sangat
penting yaitu pembentukan identitas (identity formation), dimana pada tahap itu
setiap individu diharapkan menemukan siapa dirinya dan kemana arah dan tujuan
hidupannya (Santrock, 2007). Pembentukan identitas merupakan tugas perkembangan
utama bagi remaja. Jika remaja gagal maka mereka akan mengalami “peperangan”
dalam dirinya, sehingga berdampak pada munculnya perilaku menyimpang
(delinquent), melakukan kriminalitas, atau menutup diri dari masyarakat.
Berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) yang dilakukan terhadap 4.500
remaja di 12 kota besar seluruh Indonesia juga menemukan 93% remaja pernah
berciuman, dan 62,7% pernah berhubungan badan, dan 21% remaja telah melakukan
oborsi. (www.kompas.com, 2010). Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013, anak usia 10-14 tahun yang telah
melakukan 5 aktivitas seks bebas atau seks di luar nikah mencapai 4,38%, sedang
pada usia 14-19 tahun sebanyak 41,8% telah melakukan aktivitas seks bebas. Data
lain mengatakan bahwa tidak kurang dari 700.000 siswi melakukan aborsi setiap
tahunnya. Selain itu dikalangan pelajar narkoba cukup mengkhawatirkan yaitu
sebanyak 921.695 (4,7%) pelajar dan mahasiswa adalah pennguna narkoba.
(Mahardika, 2013) Dadang Hawari mengatakan dalam problematika kenakalan remaja
68% masyarakat Indonesia terjerumus ke dalam penyalahgunaan napza (narkotika,
alcohol, psikotrofika, dan zat adiktif) atau yang biasa disebut dengan narkoba,
dan ini sebagian besar dikonsumsi oleh para remaja. Bahkan suatu lembaga
bonafid Amerika yang bernama, The National Institute of Drug Abuse melaporkan
bahwa masyarakat Amerika merupakan drug oriented society, suatu masyarakat yang
beriontasi kepada narkoba, sehingga 1 dari 6 pelajar di Amerika telah
terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba (Sukayat, 2001: 193). Sekretaris
Utama Badan Nasional Narkotika (BNN) Irjen Pol Bambang Abimanyu mengatakan
jumlah pecandu narkoba di Indonesia telah mencapai 3,8 juta jiwa. “Sekarang
narkoba sudah merambah ke seluruh tingkatan, tidak saja orang dewasa, tapi
anak-anak, bahkan beberapa pejabat yang saat ini menjalani rehabilitasi.”
Menurutnya, sebagai orang tua dituntut waspada dan terus melakukan komunikasi
dengan anak. Bila ternyata sudah menjadi pemakai dihimbau untuk segera
melaporkan ke BNN guna mendapatkan rehabilitasi.
(kemenkopmk, 2010) Selain
itu balai riset Synovate Research tahun 2004 melakukan survey tentang perilaku
seksual remaja di 4 kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan dengan
jumlah responden 450 orang, dengan kisaran usia 15-24 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan pengalaman berhubungan seks dimulai sejak usia 16-18 tahun sebanyak
44% sementara 16% melakukan hubungan seks pada usia 13-15 tahun. Selain itu
rumah menjadi tempat favorit (40%) untuk melakukan hubungan seks. Sisanya
mereka memilih hubunga seks di kos (26%) dan hotel (26%). Kasus terbaru pada 16
September 2014 yang terjadi di kota Malang yaitu seorang siswa berinisial AY
kelas II SMA mencuri sepeda motor milik seorang mahasiswa di sebuah kafe di
wilayah Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Kasus tersebut terjadi
karena si pelaku tidak memiliki uang untuk bermain game online di sebuah warung
internet (warnet) dekat rumah si pelaku. Tidak hanya sekali AY mencuri sepada
motor tetapi sudah tiga kali menurut pengakuannya. (kompas, 2014) Semua
permasalahan yang dialami oleh remaja di atas akan mempengaruhi kemampuan
remaja untuk dapat berfungsi secara efektif didunia ini dan juga dapat
membahayakan orang lain. Selain itu permasalahan yang dihadapi remaja juga akan
mempengaruhi perkembangan dan kesejahteraannya (Santrock, 2007). Menurut Ali
dan Asrori (2011: 161) bahwa pada dasarnya setiap remaja menghendaki semua
kebutuhannya dapat terpenuhi secara wajar. 7 Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
tersebut secara memadai akan menimbulkan keseimbangan dan keutuhan pribadi.
Remaja yang kebutuhannya terpenuhi secara memadai akan memperoleh suatu
kepuasan hidup. Selanjutnya, remaja akan merasa gembira, harmonis, dan
produktif manakala kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi secara memadai.
Sebaliknya, jika kebutuhannya tidak terpenuhi remaja akan mengalami kekecewaan,
ketidakpuasan, atau bahkan frustasi, marah, menyerang orang lain, minum-minuman
keras, narkotika, dan tingkah laku negatiflainnya yang sangat merugikan diri
sendiri dan orang lain yang pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya. Hal ini dapat menyebabkan remaja merasa tidak puas dalam hidup
sehingga dapat berpengaruh pada kesejahteraan psikologis remaja. Kesejahteraan
psikologis terdiri dari kepuasan hidup dan juga perasaaan yang positif seperti
rasa senang, gembira dan puas. Seseorang yang ingin memiliki kualitas hidup
yang baik idealnya juga memiliki kesejahteraan psikologis yang baik pula dalam
dirinya. Ryff menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai suatu keadaan
dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan
yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial,
mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup serta mampu
merealisasikan potensi dirinya secara kontinu. Ryff (dalam Papalia dkk, 2002:
434) juga mengatakan bahwa individu yang memiliki kesehatan psikologis
mempunyai sikap yang positif terhadap dirinya dan orang lain, mereka 8 memiliki
keputusan sendiri dan mengatur kebiasaan mereka serta mampu memilih dan
membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhankebutuhan mereka. Mereka juga
memiliki tujuan yang menjadikan hidup mereka lebih bermakna dan adanya dorongan
untuk megembangkan segala potensi yang dimiliki secara penuh. Sedangkan Hurlock
(1980: 19) menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis (PWB) atau kebahagiaan
tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A kebahagiaan” yaitu acceptance
(penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, salah satu
diantaranya adalah religiusitas.
Hal ini sejalan dengan
penelitian Seligman (2002) yang menyatakan bahwa individu yang religius merasa
lebih bahagia terhadap kehidupannya dibandingkan dengan individu yang tidak
religius (Muslim dan Nashori, 2007: 6). Selain itu, terdapat faktor yang
berasal dari diri internal individu yang dapat memberikan pengaruh pada
evaluasi seseorang akan peran dikehidupannya, misalnya faktor kepribadian.
Religiusitas menurut Glock & Sttrak (dalam Sari, Yunita dkk 2012: 312)
adalah tingkat konsepsi seseorang terhadap agama dan tingkat komitmen seseorang
terhadap agamanya. Tingkat konseptualisasi adalah tingkat pengetahuan seseorang
terhadap agamanya, sedangkan yang dimaksud dengan tingkat komitmen adalah
sesuatu hal yang perlu dipahami secara menyeluruh, sehingga terdapat berbagai
cara bagi individu untuk menjadi religius. 9 Konsep religiusitas yang
dirumuskan oleh Glock dan Stark ada lima macam dimensi keagamaan, yaitu 1)
dimensi keyakinan (the ideological dimension) 2) dimensi praktek agama (the
ritualistic dimension) 3) dimensi ihsan dan penghayatan (the experiental
dimension) 4) dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimensi 5) dimensi
pengamalan dan konsekuensi (the consequential dimension) (Ancok & Suroso,
1994: 77). Adapun perkembangan religiusitas pada manusia dibedakan menjadi
empat tingkatan usia, salah satunya perkembangan religiusitas pada remaja. Pada
tahap ini, perilaku agama pada remaja sudah dilandasi dengan kepercayaan yang
mantap serta semakin banyak merenungkan dirinya sendiri. Hal ini disebabkan
karena adanya kematangan organ jasmani, emosi dan pikiran pada remaja tersebut.
Kesadaran akan dirinya akan mengarahkan pada remaja berfikir secara mendalam
tentang ajaran dan perilaku agama. Timbul hasrat tampil ke depan umum termasuk
dalam bidang agama sehingga para remaja termotivasi terlibat dalam berbagai
organisasi keagamaan (Jalaluddin, 2010: 73-78). Keyakinan religius remaja akan
begitu terasa dan dibutuhkan dalam kehidupannya ketika remaja mengalami
peristiwa yang mengancam dirinya, membuatnya gelisah dan berada dalam keadaan
terjepit maka akan lebih membuat para remaja sadar akan butuhnya kekuatan yang
lebih besar dari manusia. Hal ini sesuai dengan konsep seeking spiritual
support (mencari dukungan spiritual), dimana individu akan berusaha mencari
kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih Tuhan (Trimulyaningsih &
Rachmana, 10 2008). Remaja yang sadar akan keberadaan hidupnya merupakan
anugerah dari Tuhan maka ia akan menggunakan masa remajanya ke arah yang
positif. Milanesi dan Aletti (dalam Waruwu, 2003) menjelaskan bahwa kaum remaja
berupaya menemukan berbagai potensi yang ada dalam dirinya dan mencoba mencapai
suatu integrasi baru dan mengolah seluruh keberadaannya hingga kini, termasuk
juga keyakinan-keyakinan religiusnya. Menurut Desmita (2008: 208), dibandingkan
dengan masa anak-anak keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang
cukup berarti.Pada masa remaja, mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep
yang lebihmendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman
remajaterhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan
kognitifnya. Agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.Manusia
religius adalah manusia yang struktur mental secara keseluruhan dan secara
tetap diarahkan kepada pencipta nilai mutlak, memuaskan, dan tertinggi yaitu
Tuhan. Manusia membutuhkan agama untuk memenuhi kebutuhan rohani serta mendapat
ketentraman dikala mereka mendekatkan diri dan mengabdi kepada yang Maha Kuasa
(Jalaluddin, 2005: 67). Adams dan Gullota (1983) (dalam Desmita 2008: 208)
mengatakan bahwa agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat
seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat 11 menstabilkan
tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang
berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi
remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya. Berdasarkan uraian tersebut,
dapat dikatakan bahwaagama memiliki arti yang cukup penting bagi seorang
remaja. Agama juga dapat membantu remaja dalam menghadapi suatu masalah.
Penelitian yang dilakukan Ellison (dalam Trankle, 1991: 29) menyebutkan bahwa
terdapat hubungan antara ketaatan beragama (religiosity) dengan psychological
well-being. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa individu dengan tingkat
religiusitas yang kuat menunjukkan tingkat psychological well-being yang lebih
tinggi dan lebih sedikit mengalami traumatik. Penelitian ini juga didukung oleh
penelitian Koening, Kvale dan Ferrel (dalam Papalia dkk, 2002: 419) menunjukkan
bahwa individu yang tingkat religiusitasnya yang tinggi mempunyai sikap yang
lebih baik, lebih merasa puas dalam hidup dan hanya sedikit mengalami rasa
kesepian. Penelitian ini dilakukan oleh Coke, 1992; Walls & Zarit, 1991
(dalam Papalia dkk, 2002: 419) bahwa individu yang merasa mendapatkan dukungan
dari tempat peribadatan cenderung mempunyai tingkat psychological well-being
yang tinggi. Pada penelitian selanjutnya yaitu Hubungan Religiusitas dengan
Kesejahteraan Psikologis pada lanjut usia. Populasi penelitian ini adalah para
lanjut usia yang berada di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru pada Desember 2010.
Hipotesis yang diajukan adalah terdapat hubungan 12 Religiusitas dengan
Kesejahteraan Psikologis.Teknik yang digunakan adalah teknik Purposive sampling
yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan kriteria tertentu
dengan jumlah sampe1 sebanyak 100 orang.Validitas skala Religiusitas 0,292
sampai 0,578 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,883.Pada skala
kesejahteraan psikologis diperoleh validitas yang berkisar antara 0,277 sampai
0,530 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,873. Berdasarkan hasil analisis
data maka diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,694 (dengan nilai p= 0,000).
Hasil penelitian kemudian diolah dengan menggunakan teknik koefisien korelasi
product moment dad Karl Pearson. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa, terdapat
hubungan yang positif antara Religiusitas dengan Kesejahteraan Psikologis pada
lanjut usia. SMK Muhammadiyah 2 Malang merupakan sekolah kejuruan yang berbasis
Islam, jadi selain diajarkan tentang keahlian kerja, para siswa juga diajarkan
tentang agama lebih dari sekolah kejuruan pada umumnya. Di antaranya diajarkan
tentang kajian keislaman, fiqih Islam, dan pembelajaran kemuhammadiyahan.
Seluruh siswa juga melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang wajib maupun
sunnah seperti sholat jamaah dhuha, dzuhur, dan sholat jumat bagi siswa
laki-laki, membaca surat al-Qur’an sebelum pelajaran dimulai, puasa ramadhan,
pondok ramadhan, puasa sunnah, memberikan amal jariyah, zakat, dzikir dan
istighosah. Penulis mencoba melihat fenomena yang ada di SMK Muhammadiyah 2
Malang dengan melakukan observasi dan wawancara 20 September 2014 13 pada
beberapa siswa menunjukkan bahwa siswa rutin melaksanakan kegiatankegiatan
keagamaan Islam di sekolah diantaranya adalah sholat berjamaah, sholat sunnah,
sholat wajib, membaca al-Qur’an, puasa, mengikuti kegiatan pondok ramadhan, dzikir
& istighosah.
Hal ini dapat dikatakan bahwa siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang
secara keagamaan/religius lebih baik berdasarkan beberapa hal yang tersebut
dalam dimensi-dimensi religiusitas. Namun yang menarik disini, (wawancara
dengan bapak Lukman Hakim selaku wakil kepala sekolah bidang kesiswaan)
berkaitan dengan masalah yang sering dilakukan siswa dimana hal ini
bertentangan dengan nilai-nilai religi remaja serta dapat mempengaruhi
perkembangan dan kesejahteraan siswa terdapat beberapa permasalahan pada siswa
antara lain: pelanggaran aturan-aturan sekolah, dimana para siswa merasa bahwa
mereka sudah besar dan tidak mau diatur seperti anak kecil, terlambat masuk
sekolah, mencontek, membolos sekolah, merokok di lingkungan sekolah, mencuri,
konflik antar teman yang berujung pada perkelahian (wawancara, 20 September
2014). Dan hasil wawancara dengan beberapa siswa kelas XI (wawancara dengan
siswa Rizki dan Irwan) mereka mengakui, bahwa pernah melanggar tata tertib
sekolah, seperti bolos sekolah, tidak mengikuti pelajaran, mencontek pada waktu
ujian, pencurian, perkelahian antar siswa, merokok, bahkan terdapat tindakan
siswa dimana siswa dalam satu kelas berani membolos kegiatan sekolah secara
bersamaan yang akhirnya mendapatkan hukuman berdiri dan dijemur di lapangan
pada pukul 07.00 hingga 09.00. Serta terdapat kasus siswa membolos hingga 12
kali, sehingga 14 siswa tersebut dikeluarkan dari sekolah, berkelahi,
mengintimidasi teman, dan kasus pergaulan bebas atau seks bebas (wawancara, 30
September 2014). Beberapa kasus lain terkait dengan dimensi penerimaan diri
pada beberapa siswi bahwa mereka terkadang merasa minder dengan keadaan
dirinya. Hal ini menunjukkan secara individu remaja belum sepenuhnya mampu
menerima apapun kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri remaja, menghargai
potensi diri, menciptakan hubungan interpersonal yang baik dengann temanteman
sebayanya, menjalin interaksi secara akrab dan saling menghargai, mampu
mengarahkan diri, bersikap mandiri dan sadar akan tanggung jawab, memiliki tujuan
dan pandangan dalam hidupnya, sehingga apabila dikatikan dengan aturan-aturan
sekolah dalam lingkungan sekolah siswa yang merupakan seorang remaja belum
sepenuhnya peduli dan mau menerima peraturan-peraturan sekolah, berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan sekolah, bersikap hormat terhadap guru, pemimpin
sekolah dan staf lainnya, serta siswa membantu sekolah dalam merealisasikan
tujuan-tujuannya. 15 Berdasarkan pemaparan di atas tidak menutup kemungkinan
bagi remaja yang berada pada tahap berproses dan menyesuaikan keadaannya yang
baru memiliki kemampuan berhadapan dengan berbagai tuntutan yang
dihadapinyadiantara tuntutan perubahan fisik, tuntutan dari masyarakat serta
tuntutan dari adanya perubahan nilai dan aspirasi yang dipegang, dan cenderung
mampu bereaksi secara sesuai dengan setiap tuntutan yang berasal dari
perubahan-perubahan disekelilingnya mengarahkan remaja kepada tercapainya
kesejahteraan psikologis pada usianya. Oleh karena itu, kesejahteraan
psikologis penting untuk dilakukan karena nilai positif dari kesehatan mental
yang ada di dalamnya membuat seseorang dapat mengidentifikasi apa yang hilang
dalam hidupnya. Kebahagiaan yang dialami setiap individu itu bersifat subjektif
karena setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan yang berbeda-beda setiap
individu juga memiliki faktor yang berbeda sehingga mendatangkan kebahagiaan
yang diinginkannya sendiri. Hal ini didukung oleh beberapa hasil penelitian
yang menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis dapat membantu remaja untuk
menumbuhkan emosi positif, merasakan kepuasan hidup dan kebahagiaan, mengurangi
kecenderungan mereka untuk berperilaku negatif, dimana religiusitas merupakan
salah satu faktor yang turut serta memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan
psikologis. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji tentang
hubungan tingkat religiusitas dengan kesejahteraan psikologis siswa SMK
Muhammadiyah 2 Malang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat religiusitas siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang?
2. Bagaimana tingkat kesejahteraan psikologis siswa SMK
Muhammadiyah 2 Malang? 3. Apakah ada hubungan antara tingkat religiusitas
dengan timgkat kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka dapat diambil tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui tingkat religiusitas siswa SMK Muhammadiyah 2
Malang.
2. Untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan psikologis SMK siswa Muhammadiyah 2 Malang.
3. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat religiusitas dengan
tingkat kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang.
D. Manfaat Penelitian
Dari adanya penelitian ini
maka diharapkan mendapatkan beberapa manfaat, antara lain: 1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan keilmuan psikologi
khususnya psikologi perkembangan, psikologi agama, dan pikologi 17 pendidikan.
2. Secara Praktis a. Bagi Sekolah Sebagai
bahan informasi dalam usaha sekolah untuk menciptakan interaksi sosial antara
guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan karyawan sehingga
tercipta susasana belajar yang kondusif demi terciptanya tujuan belajar. Dan
juga dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam membantu siswa memecahkan
masalahnya yang berhubungan dengan kesejahteraan psikologis sehingga secara
individu siswa mampu menerima apapun kelebihan dan kekurangan yang ada pada
diri siswa, menghargai potensi diri, mampu menciptakan hubungan interpersonal
yang baik dengann teman-teman sebayanya, menjalin interaksi secara akrab dan
saling menghargai, maampu mengarahkan diri, bersikap mandiri dan sadar akan
tanggungjawab, memiliki tujuan dan pandangan dalam hidupnya serta dalam
lingkungan sekolah yang berkaitan dengan aturan-aturan sekolah siswa akan
bersikap peduli dan mau menerima peraturan-peraturan sekolah, berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan sekolah, bersikap hormat terhadap guru, pemimpin
sekolah dan staf lainnya, serta siswa membantu sekolah dalam merealisasikan
tujuan-tujuannya. b. Bagi Peneliti Dapat menambah pengetahuan/ wawasan dan
mengaplikasikan ilmunya secara langsung dengan menghadapi kondisi secara nyata
di lapangan dan 18 mengasah kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian
dengan metode ilmiah. c. Bagi Universitas Islam Negeri Malang Penelitian ini
dapat dijadikan sebagai salah satu sumber untuk mengembangkan kegiatan keilmuan
dan pendidikan, khususnya untuk jurusan psikologi.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan tingkat religiusitas dengan kesejahteraan psikologis siswa SMK Muhammadiyah 2 Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment