Abstract
INDONESIA:
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain., kemampuan untuk bertahan menghadapi frustasi, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan beban berpikir, serta berempati dan berdoa. Sedangkan stress kerja merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi emosi, pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Guru mempunyai banyak tugas dalam dunia pendidikan, seperti mendidik, membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik. Akan tetapi dalam menjalani tugasnya guru menghadapi beberapa kendala, diantaranya adalah perilaku negatif siswa, lingkungan kerja tidak nyaman, beban kerja yang berlebihan, adanya konflik dengan atasan. Akibat dari beberapa kendala tersebut maka guru merasa tertekan dan/atau kurang nyaman dalam menjalankan tugas, mudah lelah yang mengakibatkan kemarahan pada, kurang adanya kesadaran atas beban tugasnya sebagai pendidik.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional pada guru MI 02, MTs dan MA Mazra’atul Ulum Paciran – Lamongan, 2) untuk mengetahui tingkat stres kerja pada guru MI 02, MTs dan MA Mazra’atul Ulum Paciran – Lamongan, 3) untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja pada guru MI 02, MTs dan MA Mazra’atul Ulum Paciran – Lamongan.
Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Instrumen yang digunakan yaitu skala kecerdasan emosional dan skala stress kerja yang disebarkan pada 66 subjek penelitian. Skala kecerdasan emosional terdiri dari 28 aitem dan skala stress kerja terdiri dari 22 aitem. Analisa data yang digunakan adalah korelasi product moment.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional diperoleh presentase tinggi 93,9%, sedang 4,5%, dan rendah 1,5%. Sedangkan untuk stres kerja diperoleh presentase tinggi 18,2%, sedang 75,2%, dan rendah 6,1%. Hasil korelasi variabel adalah r = -,293* p = 0,017, yang artinya hipotesis dalam penelitian ini diterima. Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan stress kerja. Semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah stres kerja pada guru MI 02, MTs, dan MA Mazraatul Ulum Paciran – Lamongan, dan sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional maka semakin tinggi stres kerja MI 02, MTs, dan MA Mazraatul Ulum Paciran – Lamongan.
ENGLISH:
Emotional intelligence is the ability to recognize one’s own feeling and the feelings of others, the ability to motivate oneself and managing emotions well in dealing with others, the ability to withstand frustration, set the mood and keep the load stress in order not to cripple the burden of thinking , and empathize and pray. On the other hand, job stress is a condition that affects the emotions, thoughts, and physical condition. Teachers have many tasks in education, as educators, nurtures and developers towards the skills of learners. However, in carrying out their duties, teachers face several obstacles, including the negative behavior of the students, the work environment uncomfortable, excessive workload, conflict with superiors. As a result of some of these constraints, the teachers feel depressed and / or less comfortable in the line of duty, tiredness which resulted in anger, lack of awareness of the burden of his duties as an educator.
The purpose of this study was 1) to know the level of emotional intelligence in MI 02 teachers, MTs and MA Mazra'atul Ulum Paciran, Lamongan, 2) to know the level of work stress on teachers of MI 02, MTs and MA Mazra'atul Ulum Paciran, Lamongan, and 3) to know the relationship between emotional intelligence and job stress on teachers of MI 02, MTs and MA Mazra'atul Ulum Paciran, Lamongan.
The method of the study used is quantitative approach. The instrument used is the scale of emotional intelligence and job stress scale distributed at 66 research subjects. Emotional intelligence scale consisted of 28 items and job stress scale consisted of 22 items. Data analysis used is product moment correlation.
Results of the study showed that emotional intelligence obtained high percentage for 93.9%, medium for 4.5%, and low for 1.5%. As for the high percentage of job stress gained about 18.2%, medium of 75.2%, and low for 6.1%. The result of variable correlation is r = -, 293 * p = 0.017, which means that this hypothesis is accepted. There is a negative relationship between emotional intelligence and job stress. The higher the emotional intelligence, the lower work stress on teachers of MI 02, MTs, and MA Mazraatul Ulum Paciran, Lamongan, and conversely, the lower the emotional intelligence, the higher work stress on teachers of MI 02, MTs, and MA Mazraatul Ulum Paciran, Lamongan.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masa depan bangsa adalah tanggung jawab bersama, yaitu pemerintah
dan seluruh komponen masyarakat. Apabila seluruh komponen masyarakat
menjalankan fungsinya dengan benar maka akan terbentuklah suatu masyarakat yang
sejahtera. Selain itu membangun bangsa ini ke depan tentu diperlukan generasi
muda yang handal dan tangguh. Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh
kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Guru
merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan yang
mempunyai posisi strategis maka setiap usaha peningktan mutu pendidikan perlu
memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru baik dalam segi jumlah
maupun mutunya. Guru adalah figur manusia, sumber manusia, sumber yang
menempati posisi dan memegang peran penting dalam pendidikan. Ketika semua
orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru mesti terlibat dalam
agenda pembicaraan utama yang menyangkut tentang persoalan lembaga pendidikan
formal di sekolah. Pendidik atau guru merupakan tenaga professional yang
bertugas merencanakan dan 2 melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal tersebut
tidak dapat disangkal karena lembaga pendidik formal adalah dunia kehidupan
guru. Sebagian besar waktu guru ada di sekolah, sisanya ada di rumah dan di
masyarakat. Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam
pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa, guru sering dijadikan tokoh
teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. Guru merupakan unsur yang
sangat memengaruhi tercapainya tujuan pendidikan selain unsur murid dan
fasilitas lainnya. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan
oleh kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan
belajar mengajar. (Saondi, 2010: 4). Kualitas guru merupakan salah satu pilar
dalam mendorong pencapaian mutu pendidikan. Riset Oxley pada tahun 1983 di 29 negara,
mutu pendidikan yang dinilai dari prestasi belajar siswa sangat ditentukan oleh
guru. Negara yang sedang berkembang kontribusi guru terhadap mutu pendidikan
adalah 34% (Nugroho, 2006). Disisi lain guru juga adalah manusia yang hidup
dalam masyarakat yang mau atau tidak guru juga mengalami dan merasakan keadaan
sosial tertentu yang mempengaruhi keadaan fisik dan psikis. Terkadang seorang
guru yang keadaan ekonominya kurang harus bekerja di tempat lain demi
tercukupinya kebutuhan keluarganya. Di 3 dalam keadaan bagaimanapun guru tetap
dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik bagi siswanya dalam proses belajar
mengajar, di luar kelas bahkan di luar gedung sekolahpun guru tidak lepas dari
tugasnya sebagai guru. Label guru melekat selama seseorang yang berprofesi
sebagai guru tersebut berinteraksi dengan masyarakat. Jadi guru harus bersikap
sebagai guru bukan hanya di sekolah tetapi juga dalam kehidupan bermayarakat.
Guru memiliki peranan penting bagi siswanya dan tentu bagi penerus bangsa. Guru
memiliki tanggung jawab yang besar untuk memberikan pengajaran yang layak bagi
berkembangnya generasi penerus bangsa, maka guru tidak lepas dari kemungkinan
mengalami stres dalam bekerja. Dalam pepatah mengatakan “guru digugu lan
ditiru” yang artinya adalah seorang guru adalah seseorang yang didengar
nasehatnya dan perilakunya merupakan contoh teladan. Keadaan seperti ini bukan
tekanan yang kecil bagi seorang individu sehingga memungkinkan guru mengalami
stres kerja. Menurut Sutherland dan Cooper (Smet,1994) stres kerja dapat
berlangsung dari pekerjaan dan dapat berasal dari interaksi antara lingkungan
sosial dan pekerjaan. Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang memengaruhi
emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang terlalu berat
dapat mengancam kemampuan seseorang untuk mengahadapi lingkungan. Stres
merupakan istilah umum yang diterapkan pada tekanan perasaan hidup 4 manusia.
Sebagai akibatnya, pada diri pekerja berkembang berbagai macam gejala stres
yang dapat menganggu prestasi kerja mereka. Stres dapat menjadi sesuatu yang
positif maupun negatif terhadap performasi pekerjaan tergantung dari taraf
stres itu sendiri. Bila tidak terdapat stres, tantangan terhadap pekerjaan
menjadi tidak ada dan prestasi kerja menjadi rendah. Adanya peningkatan stres,
prestasi kerja cenderung menjadi naik, karena stres dapat membantu individu
dalam menggali potensi diri untuk mengatasi tantangan pekerjaan. Hal tersebut
merupakan stimulus sehat karena mendorong karyawan untuk merespon tantangan
yang ada. Sebaliknya, taraf stres kerja yang terus menanjak bersamaan dengan
kemampuan yang maksimal pada kerja sehari-hari, stres yang terjadi tersebut
cenderung tidak memberikan dampak kemajuan. Bahkan, jika stres terus bertambah
tinggi maka akan terjadi penurunan prestasi kerja. Selain itu, guru tidak dapat
membuat suatu keputusan dan bertingkah laku tak menentu yang menyebabkan
produktivitas guru turun. Jika stres telah menembus point ini maka prestasi
kerja menjadi nol, guru mempunyai gangguan, menjadi terlalu sakit untuk
bekerja, dipecat, berhenti atau menolak datang bekerja untuk menghadapi stres
tersebut (Davis dan Newstorm, 1994: 256). Stres timbul setiap kali terjadi
perubahan dalam keseimbangan sebuah kompleks manusia-mesin-lingkungan. Stres
dapat dibangkitkan dari berbagai sebab yang sederhana maupun yang rumit.
Beberapa bukti yang ditunjang oleh sejumlah besar literatur telah menunjukkan
bahwa 5 unsur-unsur tertentu seperti suara gaduh, suhu udara yang tinggi atau
terlalu rendah dan banyak kondisi penghambat lain kemungkinan yang tak
terelakkan sebagai penyebab stres di dalam lingkunga kerja dan tak dapat
disangsikan bahwa di mana terdapat kondisi demikian stres akan muncul (Fraser,
1992: 77-78). Menurut Mangkunegara (2005: 28) menjelaskan bahwa penyebab stres
antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang
mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat,
autoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan tanggung jawab, dan konflik
kerja. Faktor-faktor yang memengaruhi stres kerja adalah faktor internal yang
meliputi : fisik, perilaku, kognitif, dan emosional. Stres kerja oleh para ahli
perilaku organisasi, telah dinyatakan sebagai agen penyebab dari berbagai
masalah fisik, mental, bahkan output organisasi. Pada gilirannya dapat
berdampak besar pada guru di lembaga tertentu dalam mencapai tujuannya,
misalnya: dampak psikis pada guru yang terkena stres menjadi seorang individu
yang mempunyai perasaan sensitive, frustasi, dan cepat marah akan menganggu
kinerja guru dan akan menurunkan efektivitas dalam mengajar. Puncak stres di
kalangan guru dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: puncak profesional dan
puncak pribadi. Puncak profesional terbagi menjadi dua bagian yakni
perserikatan kerja dan perubahan. Sedangkan puncak pribadi terbagi dalam 5
bagian, di antaranya adalah kesehatan, 6 perhubungan, keuangan, taraf hidup,
aktiviti rendah (Kesehatan Kompasiana, April 2013). Menurut Harian Tribun Timur
edisi 18 Februari 2009 disebutkan bahwa sekitar 30 persen guru di Sulawesi
Selatan stres berat, stres kerja sedang mencapai angka 48,11 persen dan stres
kerja kurang serius mencapai 21,62 persen (Syahrun Budhi AM , 2009). Salah satu
faktor yang diduga dapat berperan dalam mengungkap stres adalah kecerdasan
emosional. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh NIOSH (National
Institute For Occupational Safety And Health) yang menyatakan bahwa penyebab
stres dapat berasal dari dalam diri individu yaitu usia, kondisi fisik, dan
faktor kepribadian maupun dari luar individu baik dari lingkungan kerja,
lingkungan keluarga, cita-cita maupun ambisi (Muchtar, 2006) (dikutip dari
naskah publikasi, Deltanni, 2009: 8)
Bardberry dan Greaves (2007)
menjelaskan bahwa lebih dari 70 persen karyawan memiliki kesulitan dalam
menghadapi stres dan tantangan kerja. Konflik di tempat kerja akan cenderung
memburuk ketika secara pasif menghindari masalah atau ketika masalah dihadapi
secara agresif sehingga situasi yang terjadi kemudian melampaui proporsi
seharusnya. Maka sangatlah diperlukan kemampuan untuk mengelola emosi
(Deltanni, 2009: 9) Menurut Cardwel & Flanagan, (2005) stres terjadi ketika
adanya permintaan lingkungan yang tidak sesuai dengan kemampuan individu 7
dalam mengatasinya. Ketika permintaan dari lingkungan tersebut tidak mampu
dipenuhi maka individu tersebut akan merasa sulit melakukan kontrol terhadap
dirinya sendiri. Kurangnya kontrol diri sendiri dapat menimbulkan terjadinya
stres. Hal ini dikarenakan individu tersebut tidak mampu mengatur dirinya
sendiri (Dalam Karima, 2014: 29). Oleh karena itu, kecerdasan emosional sangat
diperlukan dalam mengontrol stres kerja yang sedang dihadapi oleh para guru.
Adapun penyebab stres pada guru MI 02, MTs, dan MA Mazra’atul Ulum
Paciran – Lamongan di antaranya dikarenakan perilaku negatif siswa, beban kerja
yang berat, konflik dengan atasan, konflik peran, peran kerja yang ambigu,
fasilitas mengajar yang tidak memadai, lingkungan kerja yang tidak nyaman, dan
penghargaan kinerja yang rendah. (Wawancara, November 2014) Berdasarkan wawancara
yang dilakukan oleh peneliti dapat diketahui bahwa kondisi stres yang dialami
oleh guru MI 02, MTs, dan MA Mazra’atul Ulum Paciran-Lamongan antara lain: 1)
merasa tertekan dan/atau kurang nyaman dalam menjalankan tugas sehingga mudah
lelah yang mengakibatkan kemarahan pada siswa. 2) bersikap dingin pada kegiatan
lain di luar tugas mengajarnya. 3) kurang adanya kesadaran atas beban tugasnya
sebagai pendidik (Wawancara, November 2014). Akibatnya apabila guru mengalami
stres kerja maka yang terkena efek dari stres tersebut adalah murid, murid
sering diterlantarkan dalam kegiatan lain misalnya pada kegiatan
ekstrakurikuler. Begitu juga dengan 8 tuntutan pekerjaan dapat menyebabkan
seseorang mengalami stres. Resiko pekerjaan yang tinggi, tidak sesuai dengan gaji
yang diterima, tingkat kesulitan pekerjaan yang tinggi, waktu kerja yang lama,
lingkungan kerja yang buruk, beban kerja yang tinggi merupakan beberapa kondisi
yang cenderung menyebabkan guru mengalami stres. (Wawancara, November 2014)
Tinggi rendahnya stres kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor
kecerdasan emosi. Kemampuan individu untuk mengerti, memahami, dan mengelola
emosi akan membantu individu dalam mengatasi dan mengelola stres kerja dengan
baik. Kecerdasan selalu diartikan sebagai suatu keunggulan intelektual dan
diyakini sebagai sumber keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
pendidikan. Seolah-olah mereka mempunyai kecerdasan intelektual tinggi diyakini
akan mengalami keunggulan dalam segala aspek kehidupan. Kenyataannya, ternyata
seseorang yang dianggap mempunyai kecerdasan tinggi, tidak memiliki keunggulan
secara keseluruhan. Dalam konsep sekarang, kecerdasan itu tidak hanya terbatas
pada keunggulan intelektual akan tetapi pada aspek non-intelektual seperti
emosi, sosial, spiritual, dsb. Goleman (1995) mengemukakan konsep kecerdasan
emosi sebagai sumber keunggulan seseorang. Secara lebih eksplisit Goleman
mengembangkan konsep kecerdasan emosi sebagai suatu sumber daya internal dalam
diriseseorang yang mendorong untuk berperilaku dalam rangka memperoleh
kelangsungan hidup. Dengan emosi itulah semua 9 makhluk dpat mengendalikan diri
untuk memperoleh kelangsungan hidup. Pada manusia, emosi kemudian berkembang
dengan kekuatan akalnya sehingga menghasilkan perilaku yang berupa pikiran
emosional disamping pikiran rasioanal. Masuknya unsur kecerdasan dalam kawasan
emosional individu maka perilakunya dapat lebih terkendali sehingga mampu
mewujudkan kehidupan yang bahagia dan afektif. Sebaliknya kehidupan emosi yang
kurang disertai aspek kecerdasan hanya akan menghasilkan perilaku yang
dikendalikan oleh hawa nafsu.
Dengan konsep ini “kecerdasan emosional” merupakan keterpaduan
antara unsur emosi dan rasio dalam keseluruhan perilaku individu yang akan
mengandalikannya ke arah yang lebih bermakna dalam proses kelangsungan
hidupnya. (Surya, 2013: 76). Emosi merupakan suatu perasaan tertentu yang
dialami seseorang dan berpengaruh terhadap pikiran dan perilaku orang tersebut.
Menurut Goleman (2000) mengemukakan bahwa emosi mendorong seseorang untuk
segera bereaksi ketika berhadapan dengan permasalahan. Misalnya seorang guru
yang merasa bahwa beban kerjanya terlalu berat akan berpikir tidak mampu
menyelesaikannya, sehingga guru tersebut akan merasa berat dalam melakukan
pekerjaan tersebut yang pada akhirnya pekerjaannya tidak selesai (Surya, 2013:
76). Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali
perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan
mengelola emosi dengan baik pada diri 10 sendiri dalam berhubungan dengan orang
lain., kemampuan untuk bertahan menghadapi frustasi, mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan beban berpikir, serta berempati dan
berdoa. Dalam proses pendidikan, kecerdasan emosional mempunyai peranan yang
besar dalam mencapai hasil pendidikan secara lebih bermakna. Hal ini akan
mengandung bahwa makna kecerdasan intelektual saja belum memberikan jaminan
penuh bagi sukses pendidikan, akan tetapi perlu didukung oleh kecerdasan
emosional secara optimal. Dengan kecerdasan emosional yang tinggi seseorang
akan mampu mengendalikan potensi intelektualnya dalam pendidikan sehingga
terwujud dalam sukses yang bermakna (Surya, 2013: 76).
Pada akhir-akhir ini media masa selalu saja memaparkan beritaberita
kurang baik yang dapat memburukan image profesi guru. Noriah (2002) memaparkan
beberapa contoh berkaitan dengan tingkah laku kurang beretika dan kurang
bertanggungjawab di kalangan guru-guru di sekolah. Seperti guru menghukum dan
mendenda murid secara keterlaluan, sehingga meninggalkan dampak negatif
terhadap perkembangan psikologis, mental dan fisik siswa. Media juga memaparkan
tentang ketidakmampuan guru mengendalikan marah mereka sehingga sampai
merusakan barang-barang aset sekolah, yang seharusnya dijaga dengan baik untuk
kepentingan dan keperluan pendidikan. (Berita Harian Agus 2004; Berita Harian
15 Agus 2005; Harian Metero 19 Mei 2005; Noriah 11 2003; The Sun Ogos 1999,
Disember 1999; Utusan Malaysia 24 Februari 2004) (dikutip oleh Syafrimen, 2010).
Kejadian seperti ini menunjukkan bahwa sebagian guru tidak dapat
mengendalikan emosi mereka ketika berhadapan dengan berbagai tingkah laku siswa
di sekolah. Sehingga mereka melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kecederaan
fisik dan psikologis terhadap siswa. Yang mengakibatkan sebagian dari siswa
merasa takut untuk datang ke sekolah akibat kelakuan guru seperti itu. Dalam
kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri guru sebagai salah satu faktor
penting untuk mencerdaskan anak bangsa, maka penulis tertarik untuk meneliti
”hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja pada guru MI 02, MTs
dan MA Mazra’atul Ulum Paciran - Lamongan”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional pada guru MI 02, MTs dan
MA Mazra’atul Ulum Paciran - Lamongan?
2. Bagaimana tingkat stres kerja pada guru MI 02, MTs dan MA
Mazra’atul Ulum Paciran - Lamongan?
3. Adakah hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja
pada guru MI 02, MTs dan MA Mazra’atul Ulum Paciran - Lamongan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat
kecerdasan emosional pada guru MI 02, MTs dan MA Mazra’atul Ulum Paciran –
Lamongan.
2. Untuk mengetahui tingkat stres kerja pada guru MI 02, MTs dan MA
Mazra’atul Ulum Paciran - Lamongan.
3. Untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan
stres kerja pada guru MI 02, MTs dan MA Mazra’atul Ulum Paciran – Lamongan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis Untuk menambah wawasan keilmuan di bidang
psikologi pada umumnya, khususnya dalam ranah psikologi industri dan
organisasi.
b.
Secara Praktis Dapat menjadi acuan bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan terutama guru untuk mengurangi stres kerja pada guru. Adanya
penelitian ini diharapkan para guru dapat mengelola stres kerja dengan efektif
sehingga tidak meberikan pengaruh negatif pada kinerja mengajar.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja pada guru MI 02, Mts, dan MA Mazra'atul Ulum Paciran - Lamongan" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment