Abstract
INDONESIA:
Motivasi belajar merupakan hal yang pokok dalam melakukan kegiatan belajar, sehingga tanpa motivasi seseorang tidak akan melakukan kegiatan pembelajaran. Jumlah ABK di Indonesia cukup tinggi, mencapai 6,6 juta orang atau tiga persen dari jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa. Anak Berkebutuhan Khusus juga merupakan ketidak mampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian. Attachment adalah hubungan kelekatan antara individu yang satu dengan individu yang lain yang spesifik, yang mengikat dalam rentang waktu tertentu, kelekatan yang terjadi pada anak tergantung pada respons ibu mengenai kebutuhan buah hatinya masing – masing. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tingkat attachment orang tua dengan anak berkebutuhan khusus, tingkat motivasi belajar anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif.
Jenis penelitian ini menggunakan kuantitatif, yang terdiri dari attachment sebagai variabel bebas dan motivasi belajar sebagai variabel terikat. Jumlah populasi sebanyak 32 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan: angket, observasi, dan dokumentasi. Penilaian angket dalam penelitian ini menggunakan skala likert. Jumlah sampel yaitu 32 orang ABK (anak berkebutuhan khusus) dari 2 lembaga sekolah inklusif yaitu SDN Sumbersari 1 dan 2 Malang. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu skala attachment sebanyak 16 aitem dan skala motivasi belajar sebanyak 20 aitem. Untuk menganalisis data mengguanakan teknik koefisien Korelasi Pearson Product Moment melalui program SPSS 6.0 for windows.
Hasil Penelitian menunujukan bahwa : 1. Tingkat Attachment yang terjadi antara orang tua dengan anak berkebutuhan khusus berada pada kategori sedang, yaitu sebesar 56,25%. 2. Tingkat motivasi belajar anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif beradapada kategori sedang yaitu 50%. 3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara attachment dengan motivasi belajar. Hal tersebut terlihat dari p < α, yakni 0.000 < 0.01 dan ditunjukkan oleh nilai r sebesar 0,739, artinya bahwa semakin tinggi tingkat attachment yang ada antara orang tua dan anak berkebutuhan khusus maka semakin tinggi pula tingkat motivasi belajar anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. Artinya hipotesis tentang hubungan antara attachment dengan motivasi belajar anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif dapat diterima.
ENGLISH:
Learning motivation is a significant factor in conducting learning activities, without the motivation of a person will not do the learning activities. The number of ABK in Indonesia is quite high, reaching 6.6 million people or three percent of the population of approximately 220 million people. Children in need Special is also an inability in linking various information originating from different parts of their brains. This weakness seems in some ways, such as difficulty in speaking and writing down things, coordination, self-control or attention. Attachment is relations between individuals one with the other individual-specific, binding in a specific span of time, togetherness, which occurs in children depending on the mother's response regarding the needs of their children respectively. Based on the background, researchers want to find out more the level of attachment of parents with children in need special, the level of motivation of learning children in need special inclusive school.
This type of research uses quantitative, consisting of attachment as free variables and bound variables as learning motivation. Population numbers as many as 32 people. Data collection methods were used: the now, observation, and documentation. The appraisal question form in this study using a likert scale. The number of samples that is 32 people ABK (children in need special) of the inclusive school institutions 2 IE 1 and 2 Sumbersari SDN Malang. Research instrument used i.e. scale attachment 16 aitem motivation scale and learned as many as 20 aitem. Use data to analyze the correlation coefficient technique Pearson Product Moment through the program SPSS 10.0 for windows.
The result of this research that: 1. the degree of Attachment between parents with children in need of special is on the category medium, i.e. amounting to 56,25%. 2. The level of motivation of children in need of special study in school is inclusive category being that is 50%. 3. There was a significant positive relationship between attachment with the motivation to learn. It is visible from p α, namely 0000 < < 0.01 and indicated by the r value of 0,739, meaning that the higher the level of attachment that exists between parents and children in need of special then the higher levels of learning motivation of children in need of special inclusive school. This means that hypotheses about the relationship between attachment with the motivation of learning children in need special inclusive school is acceptable.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Motivasi dan belajar adalah
dua hal yang saling berkaitan. Motivasi belajar merupakan hal yang pokok dalam
melakukan kegiatan belajar, sehingga tanpa motivasi seseorang tidak akan
melakukan kegiatan pembelajaran. Motivasi sebagai penggerak seseorang untuk
melakukan suatu hal untuk tujuan yang dikehendaki oleh para siswa. Bermula dari
motivasi belajar seseorang memiliki semangat untuk menjadi lebih baik dari
kegiatan belajar tersebut. Motivasi belajar dapat dikatakan sebagai keseluruhan
daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang
menjamin kelangsungan dari kegiatan dan yang memberikan arah pada kegiatan
belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat
dicapai. (Sardiman, 2001 dalam Pramitasari, 2011). Djamarah, 2002 bahwa
gangguan yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan belajar dapat berupa
sindrom psikologis yang dapat berupa ketidak mampuan belajar (learning
disability). Sindrom berarti gejala yang muncul sebagai indikator adanya
ketidaknormalan psikis yang menimbulkan kesulitan belajar anak. Anak merupakan
anugerah terindah yang diberikan Alloh SWT kepada orang tua yang telah melalui
jenjang pernikahan. anak adalah amanah yang dititipkan dari Alloh kepada
hambaNya untuk dirawat, dididik, dijaga, dan 2 dibimbing dengan sebaik-baiknya.
Anak adalah termasuk impian bagi orang tua, setiap orang tua mempunyai impian
mempunyai anak normal, terlebih cerdas. Anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang memiliki kebutuhan yang berbeda daripada teman sebayanya. Anak dikatakan
berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam
dirinya. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keistimewaan
sehingga memerlukan penanganan khusus sehubungan dengan gangguan perkembangan
dan kelainan yang dialami anak. (Rasido, Iklas, Hj. Shofyatun AR. 2013).
Menurut Novianto, 2014. Anak berkebutuhan khusus melakukan kesalahan sensory
memory dikarenakan banyak hal, yaitu memori mereka hanya pendek sekali
jaraknya, mudah lupa. Dalam interkasi sosialnya dengan orang lain yang terlihat
yaitu kurang kontak mata, represif, sulit berinteraksi baik dengan teman-teman
maupun para guru, tak bisa berempati dengan baik, kesulitan memahami maksud
orang lain, interaksi, kesulitan menyampaikan keinginan, takut dan cenderung
menghindari orang lain dan sulit memahami isyarat verbal dan nonverbal.
Fakta dari anak berkebutuhan
khusus adalah sebenarnya bisa memberi respon terhadap sesuatu dalam
pembelajaran, tetapi respon yang terjadi terhadap anak berkebutuhan khusus
sulit menghadapi situasi baru. Anak Berkebutuhan Khusus juga merupakan ketidak
mampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai
bagian otak mereka. Kelemahan ini tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan
dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau
perhatian. Kesulitan-kesulitan ini tampak ketika melakukan kegiatan-kegiatan
sekolah, dan 3 menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang
seharusnya dilakukan. Dalam beberapa kasus, kesulitan ini juga memengaruhi
banyak bagian dari kehidupan penderitanya, baik itu di sekolah, pekerjaan,
rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, bahkan terkadang dalam hubungan
persahabatan dan bermain. Berdasarkan data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik
tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah
penduduk sebesar 2.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut
24,45% atau 361.860 diantaranya anak-anak usia 0-18 tahun dan 21,42% atau
317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-8 tahun). Sekitar 66.610 anak
usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari total keseluruhan anak penyandang
cacat) ini terdaftar dalam catatan Sekolah Luar Biasa (SLB) seluruh Indonesia.
Hal ini berarti menunjukan ada 295.250 anak penyandang cacat 85,6% ada di
masyarakat di bawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga dan pada
umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan sebagimana mestinyapada
tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di sekolah meningkat menjadi
85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif
sebanyak 15.144 anak. Sedangkan pada tahun 2013 pervalensi tunagrahita di
Indonesia saat ini 1-3 dari dari penduduk Indonesia, sekitar 6,6 juta jiwa.
Dari Tabel Proyeksi Data tingkat Sekolah Dasar Luar Biasa Indonesia (Sumber
Pusat Data Informasi Pendidikan-Balitbang, 2004) ( data diperbaharui th
2006-2007) dapat dilihat bahwa di tahun 2010, diperkirakan ada 30.487.727
peserta didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyyah (SD+MI), dan 35.980
peserta didik ada 4 di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Perkiraan pada tahun 2015,
akan ada 31.828.508 peserta didik di SD+MI, 39.881 peserta didik di SDLB. Dari
persentase penyandang cacat berumur 5 tahun keatas menurut tipe daerah dan
pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2003, di daerah Pedesaan+perkotaan
43, 31 % tidak/belum bersekolah, 25,08 % tidak/belum tamat SD, 16,58% sampai
SD, 7,36% di tingkat SMP dan 6,67% di tingkat Sekolah Menengah keatas (SM+).
Data tentang keberadaan penyandang cacat atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di
dunia pendidikan mencerminkan keberadaannya yang semakin menurun. Tidak saja
jumlah kuantitasnya, tetapi kualitas hidup dan pelayanan pendidikan yang
diberikan juga masih sangat jauh dari memadai. Kondisi kecacatan yang
bervariasi, berbeda antar kecacatan maupun inter kecacatan, membuat kebutuhan setiap
anak penyandang cacat juga berbeda serta memerlukan perhatian dan perlindungan
yang layak. (Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, 2013). Jumlah tunagrahita
atau cacat mental di Indonesia cukup tinggi, mencapai 6,6 juta orang atau tiga
persen dari jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa. "Kelainan bawaan
lahiriah seperti autis dan hiperaktif serta cacat mental retardasi (idiot)
cukup banyak diderita oleh anak di Indonesia (Ketua Umum Federasi Nasional
Untuk Kesejahteraan Cacat Mental (FNKCM), Sunartini Hapsara, 2007)
Menurutnya penyebab cacat mental atau tunagrahita adalah faktor
keturunan atau gen yang berasal dari pihak perempuan. Selain itu juga bisa
disebabkan karena pada saat kehamilan banyak mengonsumsi alkohol, narkotika,
dan zat adiktif lainya. Penderita cacat mental ini perlu mendapatkan perhatian
khusus dengan 5 cara membantu mereka agar timbul sikap percaya diri, mandiri,
menjadi manusia yang produktif, memiliki kehidupan yang layak, dan aman
terlindungi serta bahagia lahir batin. (Antara News, 2013) Fenomena yang telah
dilakukan oleh Triana, 2010, yaitu tentang keluarga yang menyekolahkan anak
tunagrahita di salah satu tunagrahita di salah satu SLB di Semarang. Pertama,
keluarga yang memiliki anak tunagrahita di SLB tersebut kurang maksimal memberikan
perhatian terhadap putra putrinya. Kedua, keluarga cenderung menyerahkan begitu
saja masalah pendidikan anak tunagrahita kepada pihak sekolah. Padahal dari
pihak sekolah telah mengadakan program untuk membantu anak tunagrahita dalam
meraih prestasi. Berdasarkan observasi pertama yang dilakukan peneliti kepada
anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif pada bulan November 2014 terhadap
32 siswa. Anak-anak tersebut di dalam kelas inklusif, pada saat itu anak
berkebutuhan khusus masih mengerjakan soal ujian pada pelajaran pertama ketika
teman lain di kelas sedang menerima pelajaran ketiga. Walaupun seperti itu anak
tersebut tidak menunjukan minder atau menyerah dalam mengerjakan soal ujian,
anak tersebut dengan tenang tetap mengerjakan satu persatu soal yang dibantu
oleh shadow atau guru pendamping, guru pendamping tersebut membantu pelanpelan
dan terkadang membacakan soal yang dirasa sulit dipahami oleh anak berkebutuhan
tersebut. Hal ini yang membuat peneliti ingin lebih lanjut mengenai bagaimana
motivasi belajar anak berkebutuhan khusus. 6 Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Novianto, 2014 bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi
belajar yang dimiliki ABK mengalami fluktuatif tergantung dengan faktor yang
mempengaruhinya. Anak berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan-kebutuhan yang
terpenuhi dan setelahnya akan memunculkan motivasi belajar. Anak memerlukan
motivasi berupa dorongan agar mereka terus belajar dan terus mampu dan mau
untuk melakukan terapi agar mereka tetap bias beradaptasi dengan baik dengan
orang lain di sekitarnya. Peneliti mendapatkan gambaran orang tua murid dari
para guru kelasnya bahwa kebanyakan orang tua yang memiliki anak kesulitan
belajar di sekolah ini sangat antusias dan memperhatikan perkembangan anaknya
baik di dalam kelas maupun di rumah, biasanya ibu dari anak penyandang
tunagrahita, slow learner, autis, dsb sesekali datang ke sekolah mendampingi
anaknya belajar di kelas, membantu membaca dan membacakan pelajaran.
Para orang tua anak berkebutuhan khusus terlihat pro aktif dalam
perkembangan anaknya, selain itu anak berkebutuhan khusus juga diterapi oleh
tenaga ahli di luar jam sekolah. Attachment adalah suatu hubungan emosional
atau hubungan yang bersifat afektif antara individu satu dengan individu lainnya
yang memiliki kelekatan, dari hubungan tersebut Manfaat dari hubungan tersebut
adalah untuk bekal dalam kehidupan bersosial dan engeksplorasi linkungan. Dari
hubungan antara orang tua dan anak sejak dini adalah sebagi bekal awal
bagaimana hubungan selanjutnya. Sebagian besar bayi telah membentuk kelekatan
dengan pengasuh utama (primary 7 care giver) pada usia sekitar delapan bulan
dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain
Sutcliffe, 2002 dalam Ervika 2005. Ainsworth dalam Santrock, 2002 mengatakan
bahwa kelekatan yang aman (secure attachment) pada tahapan perkembangan awal
tahun pertama memberi landasan yang penting bagi perkembangan psikologis di
kemudian hari. Oleh karena itu makalah ini mencoba memberikan gambaran dinamika
faktor kelekatan (attachment) pada remaja awal dengan motivasi belajar siswa
kesulitan belajar di sekolah inklusif. Pengasuhan yang tidak sempurna atau gaya
pengasuhan yang tidak baik memberikan banyak dampak untuk anak, yaitu anak
menjadi tidak percaya dan mengembangkan kelekatan yang tidak aman (insecure
attachment). Kelekatan yang tidak aman dapat membuat anak mengalami berbagai
permasalahan yang disebut dengan gangguan kelekatan (attachment disorder).
Telah disebutkan di atas bahwa gangguan kelekatan terjadi karena anak akan
gagal membentuk kelekatan yang aman dengan figur lekatnya, anak akan tidak
percaya dengan orang disekitarnya terlebih dengan orang lain. Hal ini akan
membuat anak mengalami masalah dalam hubungan sosial, dimana anak akan
berdampak menjadi anak yang tidak memiliki percaya diri yang tinggi dan
terkadang juga merasa minder dengan keadaannya. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa anak yang mengalami gangguan kelekatan memiliki orang tua yang juga
mengalami masalah yang sama dimasa kecilnya. (Sroufe dalam Cicchetty dan Linch,
1995 dalam Ervika 2005). 8 Attachment antara orang tua dan anak dalam hal ini
memiliki peranan penting dalam perkembangan anak, terlebih anak berkebutuhan
khusus, sehingga akan menjadikan manfaat dan dampak yang positif bagi
perkembangan segala hal, seperti perkembangan sosial, interaksi, dan motivasi
belajar. Bentuk attachment ini yaitu berupa memiliki kepercayaan ketika berada
dengan orang tua, memiliki konsep diri yang bagus, merasa nyaman untuk berbagi
masalah dengan orang tua. Dengan adanya attachment yang bagus diharpakan dapat
membangun motivasi belajar yang tinggi terhadap anak berkebutuhan khusus di
sekolah inklusif. Berdasarkan dari hasil penelitian dan permasalahan diatas,
maka sebagai peneliti ingin mengetahui apakah ada “Hubungan Attachment terhadap
Motivasi Belajar Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan attachment antara orang tua dan anak
berkebutuhan khusus? 2. Bagaimana motivasi belajar anak berkebutuhan khusus di
sekolah inklusif? 3. Apakah ada hubungan antara attachment terhadap motivasi
belajar anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan pola attachment antara orang tua dan
anak kesulitan belajar. 2. Untuk mengetahui motivasi belajar anak kesulitan
belajar di sekolah inklusi. 3. Untuk
mengetahui adanya hubungan antara pola attachment antara ibu dan anak terhadap
terhadap motivasi belajar siswa kesulitan belajar di sekolah inklusi.
D. Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini, diharapkan bisa memberikan manfaat dan berguna bagi keilmuan
baik bagi aspek teoritis maupun aspek praktis sebagai berikut:
I. Aspek
Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru atau
pengetahuan mengenai teori psikologi khususnya tentang hubungan antara pola
attachment antara ibu dan anak terhadap terhadap motivasi belajar siswa
kesulitan belajar di sekolah inklusi.
II. Aspek Praktis Penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan untuk bahan bacaan bagi para orang tua
yang memiliki anak kesulitan belajar sehingga dapat selalu meningkatkan
motivasi belajarnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan attachment terhadap motivasi belajar anak berkebutuhan khusus sekolah inklusif di SDN Sumbersari 1 dan 2 Kota Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment