Abstract
INDONESIA:
Locus of control yaitu kecenderungan seseorang untuk percaya bahwa dirinya sendirilah yang dapat menentukan nasib atau keberhasilannya atau faktor eksternal yang berupa takdir, keberuntungan dan bantuan atau kekuasaan orang lainlah yang menentukan nasib atau keberhasilannya. Lalu strategi coping adalah usaha-usaha yang dilakukan individu dalam bentuk perilaku atau emosi yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman-ancaman yang dari stressor. Aktifitas tersebut dapat berupa penyelesaian masalah secara aktif, pengambilan resiko, penyesuaian perasaan dengan kenyataan-kenyataan negatif, mempertahankan keseimbangan emosi memandang masalah secara positif dan mencari dukungan sosial.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan Locus of Control dengan Strategi Coping Stres pada wanita single parent dewasa awal. Peneliti menggunakan penelitian kuantitaif. Skala yang digunakan yaitu skala Locus of Control dari Rotter dan skala coping stress dari Carles R Carver. Skala tersebut disebarkan pada 42 subyek penelitian. Skala Locus of Control terdiri 29 aitem pertanyaan dan skala strategi coping terdiri dari 57 aitem pertanyaan. Analisa data yang digunakan adalah Correllation Product Moment.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas wanita single parent dewasa awal berorientasi pada locus of control internal, untuk strategi coping dari 42 subyek 21 subyek menggunakan problem focused coping dan 21 subyek menggunakan emotional focused coping. Dan ada hubungan antara Locus of Control dengan Strategi Coping Stres pada wanita single parent dewasa awal, hasil analisis uji Pearson Product Moment menunjukkan nilai rxy =.352 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,022 atau Sig (p) < 0,01, yang artinya hipotesis dalam penelitian ini diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kedua variabel. Hasil ini juga menunjukkan bahwa Locus of Control internal berpengaruh positif terhadap Problem Focused Coping.
ENGLISH:
Locus of control is the tendency of a person to believe that he alone can determine the success or luck or external factors such as fate, fortune and power assistance or someone else who determine the fate or success. Then the coping strategies are efforts by individuals in the form of behavior or emotion that aims to eliminate or reduce the threats of the stressor. These activities can be either active problem solving, risk taking, adjusting to the realities feeling negative, maintaining emotional balance look at the matter positively and seek social support.
The purpose of this study was to determine the correlation between Locus of Control with Coping Stress Strategies in early adult female single parent. Researchers used quantitative research. The scale used is the scale Locus of Control of Rotter and stress coping scale of Carles R Carver. The scale distributed at 42 research subjects. Locus of Control Scale item comprises 29 questions and scale of coping strategies consisted of 57 item question. Analysis of the data used is Correllation Product Moment.
The results showed that the majority of single parent women early adult-oriented internal locus of control, coping strategies of 42 subjects 21 subjects use problem focused coping, and 21 subjects using the emotional focused coping. And there is a correlation between Locus of Control with Stress Coping Strategies in early adult female single parent, the results of test analysis Pearson Product Moment shows the value of r xy = .352 and significance value (p) of 0.022 or Sig (p) <0.01, which means this hypothesis is accepted. So it can be concluded that there is a significant correlation between the two variables. These results also indicate that the internal Locus of Control positive effect on Problem Focused Coping.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Memiliki keluarga yang utuh
dan harmonis merupakan dambaan setiap pasangan suami istri, akan tetapi untuk
mewujudkannya bukanlah hal yang mudah. Untuk membangun keluarga yang utuh dan
harmonis diperlukan komitmen dan peran yang jelas dari setiap pasangan.
Munculnya konflik pada pasangan suami istri antara lain disebabkan oleh tidak
adanya komunikasi yang baik, dengan berbagai konflik yang ada hal ini dapat
menyebabkan terjadinya perceraian. Menjadi single parent atau janda pasti
bukanlah hal yang diinginkan oleh semua wanita. Perceraian terjadi mempunyai
sebab yang beranekaragam, dalam penelitian yang dilakukan oleh Nur Bainah
mengungkapkan bahwa beberapa faktor penyebab perceraian adalah faktor
pendidikan yang perbedaannya terlampau jauh, masalah komunikasi, perbedaan
usia, ekonomi yang kurang layak dan KDRT (Bainah, 2013: 1). Hal-hal tersebut
menyebabkan terjadinya perceraian sehingga perpisahan terjadi dan seorang ibu
menjadi janda atau single parent. Single parent biasanya digambarkan sebagai
seorang perempuan yang tangguh, karena segala hal yang berhubungan mengenai rumah
tangga ditanggung sendirI. Mulai membersihkan rumah, mengurus anak dan mencari
2 nafkah dilakukan seorang diri. Menjadi lebih berat lagi ketika single parent
menjadi tulang punggung untuk membesarkan anak-anaknya (Layliyah, 2013: 89).
Kewajiban yang harus ditunaikan kaum ibu bukanlah semata-mata mengandung,
melahirkan menyusui, dan mencurahkan kasih sayang. Melainkan juga berbagai
kewajiban lain yang bersifat sekunder. Menurut Qaimi, pada saat anak kehilangan
ayahnya lantaran sabab tertentu dan sang guru tak sanggup mendidik dan
memperbaiki kepribadiannya, kemudian sang anak tersebut menolak bergaul dengan
teman-teman atau masyarakat sekitarnya, maka kaum ibu yang harus memainkan
sejumlah peran lain yang disebut Qaimi sebagai peran sekunder (Qaimi, 2002:
207). Berdasarkan data, lebih dari tujuh puluh persen orang tua tunggal dialami
kaum perempuan. Meningkatnya angka perceraian, gaya hidup bersama tanpa ikatan
nikah, bertambahnya anak di luar nikah, dan kian bebasnya hubungan seksual
telah menambah berbagai persoalan rumah tangga (Santrock, 2002: 123). Menurut
Sauber dan Corrigan mengungkapkan bahwa perceraian telah menjadi wabah dalam
kebudayaan kita.
Sampai kini, hal itu meningkat secara tetap sebesar 10 persen
setiap tahun, meskipun tingkat peningkatannya kini telah melambat. Perceraian
telah meningkat pada semua kelompok sosial ekonomi. Mereka yang termasuk
kelompok tidak beruntung memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi.
Pernikahan kaum muda dengan tingkat 3 pendidikan rendah dan berpenghasilan rendah
dikaitkan dengan meningkatnya perceraian. Begitu juga kehamilan sebelum
menikah. Stress akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan
laki-laki maupun perempuan dalam resiko kesulitan fisik maupun psikis (dalam
Santrock, 2002: 123) Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar
mengungkapkan perceraian di Tanah Air sudah melewati angka 10 persen dari
peristiwa pernikahan setiap tahun. Angka perceraian sudah mencapai 354.000, ini
sudah melewati angka 10 persen dari peristiwa pernikahan setiap tahun. Ketika
dirinya menjabat Dirjen (Bimas Islam) 2 tahun silam, angka perceraian mencapai
215.000. Menurut pihak kementrian agama, bahwa sekarang 80 persen perceraian
merupakan pasangan muda, baru 2-5 tahun berumah tangga. (Okezonenews.com).
Bukan hanya perceraian yang menjadi fenomena single parent, kematian pasangan
hidup juga menjadi pemyebab banyaknya single parent yang ada di Indonesia.
Hasil observasi dan wawancara awal yang peneliti lakukan di Kecamatan Perak
Jombang, bahwasanya perempuan yang ditinggal oleh suaminya baik bercerai
ataupun suaminya meninggal, pada umumnya memiliki masalah yang kompleks, antara
lain mendapat penilaian negatif dari masyarakat ketika memutuskan untuk menikah
lagi, mendapat penilaian negatif dari masyaraat ketika keluar rumah/bepergian
ataupun ketika menerima telepon, merasa kesepian, kesulitan dalam menjalankan
tugas 4 sebagai kepala rumah tangga, mengurus anak, dan masalah dalam mencukupi
kebutuhan ekonomi untuk keluarga. Semua masalah kompleks yang dihadapi oleh single
parent dari anggapan negatif dari masyarakat, merasa kesepian, kesulitan dalam
menjalankan tugas sebagai kepala rumah tangga, mengurus anak, hingga masalah
dalam mencukupi kebutuhan ekonomi untuk keluarga, menjadi sumber stress yang
kompleks dalam kehidupan wanita single parent. (wawancara pada subyek single
parent, 15 Nopember 2014)
Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Qaimi bahwasanya anakanak
yatim seringkali merasa terasing, menderita, mudah dirundung perasaan gelisah,
dan gampang bersedih. Lebih lagi ia akan menampakkan penderitaan dan segenap
apa yang terpendam didadanya dalam bentuk pembangkangan dan kekeraskepalaan.
Karenanya, tanggung jawab kaum ibu terhadap anak yatim sangatlah besar, sulit
dan kompleks. Dalam keadaan ini, kaum ibu menanggung dua bentuk tanggung jawab.
Bentuk yang pertama berkaitan erat dengan dirinya sebagai sosok ibu. Bentuk
yang kedua mencakup tanggung jawab sebagai sosok ayah (Qaimi, 2002: 208). Dalam
penelitian Chase-Lansdale & Hethering-ton menyebutkan bahwasanya stress
akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun
perempuan dalam resiko kesulitan fisik maupun psikis. Laki-laki dan perempuan
yang berpisah ata bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi
mengalami gangguan psikiatris, masuk rmah sakit jiwa, depresi klinis,
alkoholisme, dan masalah psikosomatis, 5 seperti gangguan tidur, daripada orang
dewasa yang sudah menikah (Santrock, 2002: 124). Didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Irma Mailany dan Afrizal Sano yang berjudul “Permasalahan yang
Dihadapai Single Parent di Jorong Kandang Harimau Kenagarian Sijunjung dan
Implikasinya Terhadap Layanan Konseling” mengungkapkan bahwa sebagai orang tua
tungga, ibu janda atau single parent mengalami berbagai masalah dalam menjalankan
fungsinya sebagai orang tua anak-anaknya, masalah-masalah tersebut adalah di
bidang karir yaitu dalam memilih pekerjaan serta masalah ekonomi dan keuangan
(Milany, 20013: 81). Banyaknya sumber stress yang dialami oleh wanita single
parent, mereka mempunyai berbagai cara untuk mengatasi masalah-masalah yang
telah mereka hadapi. Strategi dalam mengatasi stress biasa disebut dengan
coping stress. Dan perilaku strategi coping dapat bervariasi mulai dari
maladaptive hingga yang bermanfaat, mulai dengan cara menghindari masalah
(flight), memproyeksikan pada orang lain, sampai cara pengatasan masalah yang
rasional. Menurut Cohen dan Lazarus tujuan melakukan coping adalah untuk
mengurangi hal-hal yang membahayakan dari situasi dan kondisi lingkungan,
meningkatkan kemungkinan untuk pulih, menyelesaikan diri terhadap
kejadian-kejadian negatif yang dijumpai dalam kehidupan nyata, mempertahankan
keseimbangan emosional, meneruskan hubungan yang 6 memuaskan dengan orang lain,
serta mempertahankan citra diri yang positif. Dua strategi coping umum coping
yang digunakan individu untuk mengurangi tekanan akibat stressor yang dihadapi.
Sebagian orang mengurangi tekanan akibat stressor yang dihadapi. Sebagian orang
mengurangi tekanan stressor melalui aksi nyata, misalnya menyelesaikan masalah
dengan kemampuan yang dimilikinya, membuat strategi sistematis dan terencana
dan sebagainya. Sebagian lain hanya cukup melakukan reaksi emosional saja,
yaitu dengan membiarkan masalah sampai akhirnya masalah tersebut selesai dengan
sendirinya, atau dengan melakukan rasionalisasi terhadap masalah yang dihadapi.
(dalam Taylor, 2003: 221) Ada dua strategi coping yang digunakan individu untuk
mengurangi tekanan akibat stressor yang dihadapi. Sebagian orang mengurangi
tekanan stressor melalui aksi nyata, misalnya menyelesaikan masalah degan
kemampuan yang dimilikinya, membuat strategi sistematis dan terencana dan
sebagainya.
Sebagian lainnya hanya cukup
melakukan reaksi emosional saja, yaitu dengan membiarkan masalah sampai
akhirnya masalah tersebut selesai dengan sendirinya, atau dengan melakukan
rasionalisasi terhadap masalah yang dihadapi. Menurut Carver strategi coping
yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh beberapa komponen yang terdiri
dari personality variables seperti optimism, locus of control, neuroticism,
self-esteem dan extraversi. (Taylor, 2003: 224) 7 Pusat kendali atau biasa
disebut dengan locus of control adalah gambaran keyakinan seseorang mengenai
sumber penentu perilakunya. Pusat kendali merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan perilaku individu. Orang yang mempunyai pusat kendali internal
mempunyai keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya, kegagalan-kegagalan,
keberhasilan-keberhasilannya karena pengaruh dirinya sendiri. Orang yang
mempunyai pusat kendali eksternal mempunyai anggapan bahwa faktor-faktor yang
ada diluar dirinya akan mempengaruhi tingkah lakunya, seperti kesempatan, nasib
dan keberuntungan (Ghufron, 2010: 65). Locus of control merupakan salah
konstruk psikologis yang turut memberikan kontribusi dalam pemilihan strategi
coping, maka akan terdapat perbedaan dalam strategi atau gaya coping individu
dalam mengatasi stres. Individu dengan internal locus of control lebih mungkin
melakukan active coping dan planning, sedangkan eksternal lebih cenderung
menghindar. Individu dengan internal locus of control cenderung menggunakan
variasi coping yang berorientasi masalah (problem focused coping), sedangkan
eksternal cenderung menggunakan coping yang berfokus pada emosi (emotion
focused coping) (Carver, 1989). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Palupi
(2007) dengan judul “Hubungan Locus of Control Internal dengan Problem Focused
Coping pada Karyawan PT Pos Indonesia Malang”. Penelitian ini dilakukan dengan
membagikan angket kepada 75 karyawan PT Pos Indonesia. Hasil penelitian 8
membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara locus of control
dengan problem focused coping. Pada penelitian ini, peneliti mencoba
meng-compare locus of control dengan strategi coping stress, Sebuah konstruk
psikologi yang biasa dibahas pada psikologi klinis. Sesuai dengan beberapa
literatur yang menyebutkan bahwasanya ada pengaruh locus of control terhadap
strategi coping stres, peneliti menduga bahwasanya wanita single parent juga
menggunakan locus of control sebagai strategi coping. Berdasarkan asumsi
diatas, dilakukan observasi dan wawancara awal di Kecamatan Perak Jombang pada
beberapa wanita single parent. Hasil observasi dan wawancara memperoleh fakta
bahwasanya perempuan yang ditinggal oleh suaminya baik bercerai ataupun
suaminya meninggal, pada umumnya memiliki masalah yang kompleks, antara lain
mendapat penilaian negatif dari masyarakat ketika memutuskan untuk menikah
lagi, mendapat penilaian negatif dari masyaraat ketika keluar rumah/bepergian
ataupun ketika menerima telepon, merasa kesepian, kesulitan dalam menjalankan
tugas sebagai kepala rumah tangga, mengurus anak, dan masalah dalam mencukupi
kebutuhan ekonomi untuk keluarga. Wanita single parent melakukan usaha yang
bervariasi dalam menghadapi stress yang telah menimpa mereka, mulai dari
menggunakan problem focused coping (coping yang berorientasi pada masalah)
hingga emotion focused coping (coping yang sebatas emosi saja). 9 Wawancara
yang peneliti lakukan di Kecamatan Perak Jombang, menemukan bahwasanya subyek
menggunakan eksternal locus of control dan melakukan coping stress yang
berfokus pada emosi (emotion focused coping). Hal ini dibuktikan dari jawaban
wawancara yang dilakukan peneliti, subyek menyatakan bahwa apa yang sudah
menimpa dirinya (ditinggal suami) merupakan kehendak Tuhan/takdir Tuhan, subyek
menerima dengan lapang dada apa yang sudah terjadi pada dirinya, subyek uga
menyadari bahwasanya semua yang sudah terjadi pasti ada hikmahnya. Dan subyek
juga banyak melakukan pendekatan kepada Tuhan, banyak berdoa kepada Tuhan agar
dimudahkan segala urusannya, agar diberi rizki yang lancar. Hal ini
mengindikasikn bahwasanya subyek berorientasi pada eksternal locus of control
dan subyek melakukan emotion focused coping sebagai strategi coping yang digunakan.
Selain berfokus pada eksternal locus of control,
peneliti juga menemukan
bahwa wanita single parent juga melakukan internal locus of control. Merujuk
pada hasil wawancara pada wanita single parent yang menyiratkan bahwa dirinya
menggunakan internal locus of control dan malakukan coping stress yang berfokus
pada masalah (problem focused coping). Menurut subyek apa yang terjadi pada
dirinya (meninggalnya suami) merupakan kesalahannya, subyek merasa menyesal
karena tidak merawat dengan baik keika suaminya sakit, subyek merasa menyesal
kenapa dulu tidak ikhtiar dengan sungguh-sungguh ketika melakukan pengobatan
untuk 10 suaminya. Subyek juga menyadari bahwa dirinya tidak boleh terpuruk
terus menerus, subyek beranggapan bahwa apa yang terjadi pada dirinya pasti ada
solusinya karena itu subyek terus berusaha untuk bisa menghidupi anakanaknya.
Hasil wawancara di atas menyebutkan bahwasanya apa yang terjadi pada subyek
saat ini pasti ada solusinya, hal ini mengindikasikan bahwasanya subyek
berorientasi pada internal locus of control. Hal ini subyek melakukan problem
focused coping sebagai strategi coping yang digunakan, karena dari hasil
wawancara menyebutkan bahwa subyek lebih giat dalam bekerja untuk mencukupi
kebutuhan anak-anaknya. Peneliti juga menemukan temuan lapangan atau fenomena
bahwasanya ada sebagian kecil subyek yang meyakini bahwasanya apa yang terjadi
dalam dirinya merupakan hasil dari usahanya, dan dalam strategi coping stress
subyek condong ke emotional focused coping.
Subyek lebih banyak melakukan coping dengan melakukan penyangkalan
terhadap masalah yang ada dan banyak berserah diri kepada Tuhan. Hal ini
menunjukkan bahwasanya subyek berorientasi pada locus of control internal dan
menggunakan emotional focused coping dalam strategi coping yang digunakan. Ada
juga sebagian kecil dari subyek yang meyakini bahwasanya apa yang terjadi dalam
dirinya merupakan nasib yang sudah digariskan oleh sang kuasa, dan dalam
strategi coping stres yang digunakan, subyek melakukan penyelesaian terhadap
masalah dan mencari dukungan sosial. Hal ini menunjukkan 11 bahwasanya subyek
berorientasi pada locus of control eksternal dan menggunakan problem focused
coping dalam strategi coping yang digunakan. Temuan fenomena pada observasi dan
wawancara diatas merupakan sebatas dugaan dan asumsi, untuk mengatahui lebih
mendalam tentang fenomena diatas, maka peneliti ingin melakukan penelitian
lebih lanjut untuk mendapatkan jawaban yang lebih detail dan ilmiah, dengan
melakukan penelitian di Kecamatan Perak Jombang dengan judul penelitian
“Hubungan Locus of Control terhadap Strategi Coping Stress Pada Wanita Single
Parent”
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana orientasi locus of control pada wanita single parent?
2. Bagaimana bentuk strategi coping pada pada wanita single parent? 3. Apakah
ada hubungan antara locus of control dengan strategi coping stres pada wanita
single parent?
B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bentuk locus of control pada wanita single
parent. 2. Untuk mengetahui bentuk strategi coping pada wanita single parent.
3. Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara locus of control dengan
strategi coping pada wanita single parent.
C. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritik Memberikan kontribusi ilmiah bagi perkembangan
Psikologi di Indonesia pada bidang Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial
khususnya bagi perkembangan kajian mengenai Psikologi Gander.
2.
Secara Praktis a. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat membantu
wanita dengan status single parent untuk meningkatkan pemahaman diri serta
pemahaman terhadap masalah yang dihadapi sehingga dapat memilih strategi coping
yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. b. Mengembangkan model
teoritis dalam melakukan coping stress pada wanita single parent dengan
memperhatikan orientasi locus of control yang dimiliki. c. Sebagai bahan
evaluasi maupun pertimbangan untuk mengembangkan model intervensi (seperti
konseling dan pelatihan) bagi para wanita single parent dalam mengatasi stress
dan masalah yang dihadapi.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan locus of control terhadap strategi coping stres pada wanita single parent dewasa awal (Studi di Kecamatan Perak Jombang)" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
1 comment:
Cheers, I thoroughly enjoyed scanning your post. I really appreciate your wonderful know-how and the time you put into educating the rest of us. cambuse.net
Post a Comment