Abstract
INDONESIA:
Internet sebagai bentuk teknologi komunikasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak orang yang memanfaatkan peluang ini sebagai peluang bisnis online shop yang menjanjikan. Oleh sebab itu, kemudian muncul istilah impulsive buying yang merupakan suatu fenomena psikoekonomik yang banyak melanda kehidupan remaja. Remaja mengutamakan penerimaan dari orang lain, agar terhindar dari rasa loneliness. Loneliness merupakan salah satu faktor psikologis yang memengaruhi seseorang melakukan impulsive buying.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesepian terhadap pembelian impulsif produk fashion pada mahasiswi konsumen online. Subjek penelitian ini adalah mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Malang angkatan 2011-2014 dengan sampel penelitian sebanyak 100 orang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Pengambilan data menggunakan dua skala, yaitu skala adaptasi dari UCLA Loneliness Scale yang disusun oleh Danniel W. Russel (1980) dan skala impulsive buying yang disusun oleh Verplanken dan Herabadi (2001) yang masing-masing terdiri dari 20 aitem. Metode analisis yang digunakan adalah analisis regresi sederhana.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil sebagai berikut: pada variabel loneliness memiliki tingkat loneliness yang rendah sebanyak 57 konsumen (57%). Sedangkan variabel impulsive buying memiliki perilaku impulsive buying yang sedang sebanyak 54 konsumen (54%). Hasil analisis data menunjukkan F = 0.549 dengan p = 0.639 (p > 0.05), yang berarti tidak terdapat pengaruh antara loneliness dengan impulsive buying produk fashion pada mahasiswi konsumen online shop. Sumbangan efektif variabel loneliness terhadap impulsive buying ditunjukkan dengan koefisien determinan R2 = 0.002 atau sebesar 0.2%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa impulsive buying sebesar 0.2% ditentukan oleh loneliness, sedangkan sisanya sebesar 99.8% dijelaskan oleh faktor-faktor lain.
ENGLISH:
Internet as a form of communication technology has developed very rapidly. Many people see it as a promising business opportunities, proved by countless online shops in the internet. Referred to the previous statement, therefore, the term impulsive buying is psychoeconomic phenomenon that happens to teenagers in my cases. The teenagers tend to have big desire to be accepted by society, to avoid the feeling of loneliness. Loneliness itself is one of psychological factor which affect someone to do impulsive buying.
This study aim to find out the effect of loneliness on impulsive buying of fashion products in online shop towards consumer students. The subjects are student of Faculty of Psychology UIN Malang year 2011-2014 with 100 students as the sample.
The method which is used is quantitative method with purposive sampling as the technique sampling. Retrieving data using two-scale, is adaptation of the UCLA Loneliness Scale compiled by Danniel W. Russell (1980) and impulsive buying scale compiled by Verplanken and Herabadi (2001), each of which consists of 20 item. The analytical method used is a simple regression analysis.
Based on the research, the result is: the loneliness variables produces 57 consumers (57%) have a low level of loneliness. While the variable consumer impulsive buying shows 54 consumers (54%) have moderate impulsive buying behavior. The results of the analysis of the data shows the value of F=0.549, p=
0.639 (p>0.05), which means there is no influence between loneliness with impulsive buying fashion products in the online shop consumer students. Effective contribution to the impulsive buying lonely variables indicates with determinant coefficient R2 = 0.002 or 0.2%. These results suggest that impulsive buying of 0.2% is determined by loneliness, while the remaining 99.8% explained by other factors
0.639 (p>0.05), which means there is no influence between loneliness with impulsive buying fashion products in the online shop consumer students. Effective contribution to the impulsive buying lonely variables indicates with determinant coefficient R2 = 0.002 or 0.2%. These results suggest that impulsive buying of 0.2% is determined by loneliness, while the remaining 99.8% explained by other factors
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Para pemasar telah terlebih
dahulu menggunakan media konvensional untuk memasarkan atau mengiklankan
produknya dalam melakukan kegiatan pemasaran. Sebelum internet menjadi populer
di Indonesia, media periklanan hanya terbatas pada media cetak seperti koran,
majalah, dan elektronik (Ilmalana, 2012:16). Seiring dengan perkembangan
teknologi, media beriklan kini telah mengalami perluasan, yakni juga merambah
ke dunia internet (online). Internet sebagai bentuk teknologi komunikasi telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut hasil survey yang dilakukan
BPS (Badan Pusat Statistik) beberapa waktu yang lalu, sampai akhir tahun 2013
ini jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 71,19 juta jiwa. Angka
tersebut mengalami kenaikan sekitar 13% dari tahun sebelumnya, dimana tahun
2012 silam jumlah pengguna internet baru sekitar 63 juta jiwa. Jika melihat
pertumbuhan angka pengguna internet yang cukup bagus pada tahun 2013,
diprediksikan jumlahnya akan terus bertambah hingga mencapai sekitar 30% dari
jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 82 juta pengguna layanan internet
(Kaban, 2014). Melalui internet, kesempatan konsumen untuk melakukan pembelian
menjadi 2 semakin luas melalui beragam akses terhadap produk dan jasa serta
meningkatnya kemudahan dalam melakukan pembelian. Selain itu, model pembelian
melalui internet terkadang membatasi hambatan akan waktu dan ruang (space) yang
dialami oleh konsumen ketika melakukan pembelian pada konteks tradisional
(Parbooteeah dalam Ilmalana, 2005:18). Oleh sebab itu, terdapat perbedaan
karakteristik yang signifikan antara perilaku konsumen tradisional dan online.
Pada Maret 2011 tercatat sebanyak 1 milyar lebih (1.596.270.108 jiwa) dari
kurang lebih enam milyar penduduk dunia (6.930.005.154 estimasi tahun 2011)
merupakan pengguna internet. 41,2 % pengguna internet dunia (sekitar 864 ribu
jiwa) berasal dari Asia (internetworldstat.com, 2011). Berdasarkan data
tersebut, negara Indonesia menempati urutan ke empat dari jumlah pengguna
internet tertinggi seAsia. Diperkirakan di Indonesia terdapat 30 juta pengguna
internet dimana 44 % diantaranya mengakses di web tertentu setiap hari dengan
kisaran waktu on-line selama dua jam (web.bisnis.com). Tingginya pengguna
internet di Indonesia akhirnya banyak orang yang memanfaatkan peluang ini
sebagai peluang bisnis yang menjanjikan dengan banyaknya toko online (online
shop) yang bermunculan (Suprihartini, 2011:3). Di Indonesia, produk fashion
yang ada saat ini cukup cepat terjadi pergantian mode bahkan dalam hitungan
hari, khususnya produk fashion bagi kaum wanita, baik itu asesorries, pakaian,
sepatu, sandal dan lain sebagainya. Fenomena yang ada sekarang ini, harga yang
relatif murah 3 dengan model yang bahkan sama dengan merk ternama lebih banyak
menjadi pilihan kaum wanita khususnya dengan ekonomi sedang dan bawah. Melalui
media internet, kondisi tersebut tentunya dapat mempermudah bagi para konsumen
untuk mencari kebutuhan mereka dengan tidak lupa untuk selalu membandingkan
harga dari setiap supplier yang menawarkan produk tersebut (Suprihartini,
2010:2). Indonesia merupakan negara berkembang yang menjadi target potensial
dalam pemasaran produk, baik dari perusahaan lokal maupun internasional. Agar
perusahaan tersebut menuai kesuksesan di Indonesia, maka perlu mempelajari
karakter unik yang dimiliki oleh konsumen Indonesia. Karakter unik dalam hal
ini adalah perilaku konsumen yang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan
dengan sebagian besar konsumen lain. Menurut Irawan (dalam Kharis, 2011:18)
konsumen Indonesia memiliki sepuluh karakter unik, yaitu berpikir jangka
pendek, suka merek luar negeri, religius, gengsi, kuat di subkultur, dan kurang
peduli lingkungan. Menurut Susanta (dalam Kharis, 2011:19), sebagian besar
konsumen Indonesia memiliki karakter unplanned. Mereka biasanya suka bertindak
“last minute”. Jika berbelanja, mereka sering menjadi impulsive buyer.
Berdasarkan karakteristik tersebut, perusahaan diharapkan dapat mengeluarkan
strategi pemasaran yang dapat menunjang perusahaannya. Menurut jurnal
“Consumers Online: Intentions, Orientations Segmentation” terdapat beberapa
karakteristik umum yang dimiliki 4 konsumen online, yaitu (1) dipengaruhi
internet, (2) lebih memilih produkpaket (bundled-products), (3) mencari
informasi yang transparan saat berbelanja, (4) cukup berusia dan memiliki
pendapatan yang cenderung tinggi, (5) didominasi oleh laki-laki, (6) tidak suka
mengambil resiko dan tidak memiliki loyalitas terhadap merek tertentu, (7)
berorientasi pada kenyataan, dan (8) inovatif serta suka mencari variasi
(Jayawardhena dalam Ilmalana, 2012:3). Perkembangan tersebut selaras dengan
pertumbuhan jumlah pengguna internet di dunia. Bahkan karena tingginya
aktivitas penggunaan internet di Indonesia, sekarang ini Indonesia menjadi
negara incaran para pengembang bisnis toko online dunia. Oleh sebab itu,
Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat aktivitas belanja online nya
yang cukup tinggi. Terbukti, belakangan ini Indonesia menjadi negara dengan
pertumbuhan pasar toko online terbesar di dunia dengan rata-rata pertumbuhan sekitar
17% setiap tahunnya (Kaban, 2014). Saat ini, pengguna online shop tidak hanya
berada pada kalangan kelas menengah ke atas saja, melainkan pada golongan kelas
menengah kebawah juga. Hal ini diperkuat dengan data dari Bolton Consulting
Group (BCG), pada tahun 2013 golongan kelas menengah di Indonesia sudah
mencapai angka 74 juta orang dan diprediksi pada tahun 2020, angka ini naik
menjadi 141 juta orang atau sekitar 54% dari total penduduk di Indonesia
(Mitra, 2014). Melihat dari data ini, sudah jelas dan bisa dipastikan bahwa
potensi pasar online shop di Indonesia sangatlah besar.
Meningkatnya golongan kelas
menengah ini, menyebabkan orang-orang tidak akan segan untuk mengkonsumsi uang
mereka untuk membeli berbagai macam barang yang mereka inginkan. Apabila
dilihat dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pengguna internet baik secara
global maupun nasional mengalami peningkatan yang cukup pesat. Hal ini jelas
menjadi sebuah potensi bisnis yang sangat menjanjikan. Hal ini diperkuat dengan
komposisi pengguna internet. Menurut Yom (dalam Tjiptono & diana, 2007:16),
kalangan pendidikan tercatat sebagai pengguna paling banyak (59%), diikuti
kalangan bisnis (21%), pemerintah (14%) dan sisanya pengguna individual.
Apabila dilihat dari jumlah pengguna dan komposisi pengguna internet, bisnis
benar-benar dapat berkembang di dunia maya. Pemasar menggunakan media internet
untuk perdagangan elektronik sebagai penyediaan kebutuhan konsumen dan
membangun bisnisnya melalui interaksi online. Salah satu fasilitas internet
yang dapat dimanfaatkan pemasar untuk menjual pakaian yaitu melalaui world wide
web (WWW) (Supriyanto, 2005:340). Pada awalnya, transaksi jual beli di internet
(online shopping) membentuk perilaku konsumen untuk melakukan pembelian secara
rasional. Hal ini didukung karena internet memiliki karakteristik efisiensi dan
beragam informasi sehingga konsumen dapat melakukan perbandingan harga serta
informasi suatu produk atau jasa. Berangkat dari hal tersebut kemudian muncul
ekspektasi bahwa konsumen menggunakan 6 logika serta alasan yang berdasar
ketika melakukan pembelian. Walaupun demikian, faktanya tidak semua konsumen
bertindak secara rasional dan logis ketika bertransaksi atau melakukan
pembelian secara online. Oleh sebab itu, kemudian muncul istilah irrational
buying atau impulsive buying (Koski, 2004:5). Impulsive buying adalah perilaku
berbelanja yang terjadi secara tidak terencana, tertarik secara emosional, di
mana proses pembuatan keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara
bijak dan pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada
(Bayley & Nancarrow, 1998). Impulsive buying terjadi ketika konsumen
tiba-tiba mengalami keinginan yang kuat dan kukuh untuk membeli sesuatu
secepatnya. Impuls untuk membeli merupakan hal yang secara hedonis kompleks
akan menstimulasi konflik emosional. Pembelian impulsif juga cenderung
dilakukan dengan mengabaikan pertimbangan atas konsekuensinya (Utami, 2012 :
67). Secara umum, aspek-aspek dalam impulsive buying menurut Verplanken dan
Herabadi (2001) terdiri dari dua aspek yaitu kognitif (cognitive) dan afektif
(affective). Kognitif (cognitive) adalah aspek yang terfokus pada konflik yang
terjadi pada kognitif individu sedangkan afektif (affective) adalah terfokus
pada kondisi emosional konsumen Impulsive buying merupakan suatu fenomena
psikoekonomik yang banyak melanda kehidupan masyarakat terutama yang tinggal di
perkotaan. Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat pembelian 7 impulsif
juga melanda kehidupan remaja yang beranjak pada usia dewasa awal di kota-kota
besar yang sebenarnya belum memiliki kemampuan finansial untuk memenuhi
kebutuhannya. Menurut Johnstone (dalam Sihotang, 2009:7), konsumen remaja yang
beranjak pada dewasa awal mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut : (a) mudah
terpengaruh oleh rayuan penjual, (b) mudah terbujuk iklan, terutama pada
penampilan produk, (c) kurang berpikir hemat, dan (d) kurang realistis,
romantis dan impulsif. Faktor-faktor yang memengaruhi impulsive buying dalam
penelitian ini, yaitu faktor internal yang meliputi kecenderungan pembelian
impulsif, kondisi psikologis dan evaluasi normatif. Sedangkan faktor eksternal
mahasiswi meliputi stimuli pemasaran, lingkungan perbelanjaan, dan webstore
(Ilmalana, 2012:46). Pada dasarnya, pendekatan psikologi mengajukan
pandangannya mengenai perilaku manusia bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh
lingkungannya. Menurut Park et al.,(2006), emosi adalah sebuah efek dari mood
yang merupakan faktor penting konsumen dalam keputusan pembelian. Faktor
perasaan/emosi merupakan konstruk yang bersifat temporer karena berkaitan
dengan situasi atau objek tertentu (Hetharie, 2011:3). Sementara berbelanja,
emosi mampu memengaruhi niat membeli dan menghabiskan uang serta memengaruhi
persepsi kualitas, kepuasaan, dan value. Hal ini mendukung penemuan awal bahwa
para pembeli dengan impuls (impulsive buyer) lebih emosional daripada para
pembeli non- 8 impuls. Terlebih lagi, pembelian pakaian jadi yang tidak
direncanakan memuaskan kebutuhan emosional yang berasal dari interaksi sosial
yang muncul dalam pengalaman berbelanja (Cha dalam Park, 2005). Oleh karena
itu, emosi konsumen bisa menjadi sebuah penentu penting dalam memprediksikan
pembelian impulsif pada konsumen. Rook dan Fisher (dalam Kharis, 2011:23),
menjelaskan bahwa sangat potensial untuk melakukan impulsive buying secara
online. Ditemukan bahwa terdapat hubungan antara perilaku pembelian online
secara impulsif dengan kemampuan sosial ekonomi pembeli potensial. Media
internet merupakan wahana yang lebih disukai dari jalan raya utama untuk
melakukan impulsive buying. Maraknya online shop di Indonesia membuat anak muda
lebih sering aktif di sosial media ketimbang harus mengeluarkan tenaganya untuk
pergi ke mall atau pusat perbelanjaan. Tercatat sekitar 55% pengguna internet
terbanyak pada usiab 15-19 tahun yang kemudian diikuti oleh usia 20-29 tahun
(Kartadimadja dalam Ilmalana, 2012:17). Pada usia ini, individu mulai memasuki
masa dewasa awal dan mulai mengutamakan hubungan sosial dengan orang lain atau
memisahkan diri dari orang lain. Ketika hubungan intim (akrab) dengan
orang-orang tertentu tidak tercapai, maka individu cenderung akan mencari
pelarian lain daripada harus memecahkan masalahnya. Pada usia ini, individu
rentan mencari pelarian dari masalahnya dengan berbagai cara. Salah satu
contohnya yaitu dengan cara berbelanja online shop. Cara ini dilakukan 9 untuk
menutupi kekosongan individu akibat perasaan kesepian (Agustina, 2012:2).
Menurut Kraut et al., Penggunaan internet juga dikaitkan dengan peningkatan
perasaan kesepian (loneliness) (Papalia, 2008:695).
Loneliness berkaitan dengan usia. Stereotipe yang populer
menggambarkan bahwa usia tua merupakan masa loneliness yang paling besar.
Namun, beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa loneliness yang tertinggi
terjadi pada remaja dan pemuda, sedangkan yang terendah ada pada usia yang
lebih tua. Dalam suatu penelitian besar Parlee (dalam Sears dkk, 1992:216), 79
persen orang yang berusia di bawah 18 tahun mengatakan bahwa mereka
kadang-kadang atau seringkali merasa kesepian dibandingkan dengan orang yang
berusia 45-54 tahun sebanyak 53 persen dan 37 persen ada pada orang yang
berusia 55 tahun ke atas. Hal ini menandakan bahwa pada usia dewasa awal,
individu rentan mengalami kesepian. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
loneliness kurang umum terjadi diantara orang-orang yang menikah daripada orang
yang tak menikah. Namun diantara orang-orang yang tak menikah itu, orang yang
masih single paling banyak merasakan loneliness daripada orang yang bercerai
(Dayakisni, 2009:146). Menurut Brehm & Kassin (dalam Dayakisni, 144:2003)
loneliness adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan
ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada. Loneliness juga berarti suatu
keadaan mental dan perasaan emosional terutama dicirikan oleh adanya
perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang 10 bermakna dengan orang
lain (Bruno, dalam Dayakisni, 144:2003). Menurut Middlebrook (dalam Wahidah,
2011), faktor yang memengaruhi loneliness adalah faktor psikologis dan sosiologis.
Adapun faktor psikologis yang memengaruhi seseorang menjadi loneliness adalah :
(a) keterbatasan hubungan, (b) pengalaman traumatis, (c) kurang dukungan dari
lingkungan, (d) adanya masalah krisis dalam diri individu (e) kurangnya rasa
percaya diri (f) kepribadian yang tidak sesuai dengan lingkungan, dan (g)
ketakutan menanggung resiko sosial. Sedangkan faktor sosiologis yang
mempengaruhi adalah : (a) sulit memahami nilainilai yang berlaku di masyarakat,
(b) sulit berinteraksi dengan orang lain, (c) sulit berinteraksi dengan
keluarga, (d) sulit memahami pola-pola dalam keluarga, (e) sulit beradaptasi,
dan (f) keterasingan. Individu yang mengalami keterpisahan dengan orang yang
dicintainya akan mengalami loneliness. Keadaan ini disebabkan karena seorang individu
membutuhkan orang-orang yang dapat dipercayai, untuk diajak berbagi rasa dan
memecahkan permasalahan. Individu yang juga membutuhkan orang yang dapat
memahami harapan-harapan, keyakinan ataupun ketakutan-ketakutannya, maka ketika
individu kehilangan orang yang dapat memahami kebutuhan-kebutuhannya tersebut,
individu akan mengalami loneliness (Eriany, 1997:35). Lake (dalam Eriany,
1997:36) menyatakan bahwa individu yang mengalami loneliness adalah mereka yang
sebenarnya amat membutuhkan orang lain untuk diajak berkomunikasi dan menjalin
suatu hubungan 11 timbal balik yang mendalam dan intim, namun mereka tidak
mampu mewujudkan keinginan tersebut karena berbagai alasan seperti sifat yang
pemalu, rendah diri ataupun kehilangan orang yang dipercayainya yang membuat
mereka tidak dapat mengkomunikasikan perasaannya.
Kesepian menurut Calhoun dan Acocella (dikutip Virgonita, 1996)
dapat dibedakan atas golongan loneliness secara emosional dan loneliness secara
sosial. Loneliness secara emosional yaitu kesepian yang dirasakan individu
akibat tidak terpenuhinya kebutuhan untuk berhubungan secara intim dengan orang
yang dicintainya dan mencintainya. Sedangkan loneliness secara sosial yaitu
perasaan kesepian yang timbul akibat ketidak mampuan indivvidu untuk melibatkan
diri dalam lingkungan sosialnya. Menurut Lambeth & Hallet, orang dewasa
awal mencari keintiman emosional dan fisik kepada teman sebaya atau pasangan
romantik. Hubungan ini mensyaratkan keterampilan seperti kesadaran diri,
empati, kemampuan mengkomunikasikan emosi, pembuatan keputusan seksual,
penyelesaian konflik, dan kemampuan mempertahankan komitmen. Keterampilan
tersebut sangat penting ketika orang dewasa awal memutuskan untuk menikah,
membentuk pasangan yang tidak terikat pernikahan atau homoseksual, hidup
seorang diri, memutuskan memiliki atau tidak memiliki anak. Collins dan Miller
menyatakan bahwa Erikson memandang perkembangan hubungan yang intim sebagai
tugas krusial bagi dewasa awal. Elemen intimasi yang penting adalah
self-disclosure (pengungkapan diri) (Papalia, 2008:95). 12 Keintiman juga
mencakup rasa memiliki (sense of belonging). Kebutuhan untuk membentuk hubungan
yang kuat, stabil, dekat, dan saling peduli merupakan motivasi terkuat perilaku
manusia. Orang-orang cenderung lebih sehat, baik secara fisik maupun secara
mental dan dapat hidup lebih lama jika mereka memiliki hubungan dekat yang
memuaskan (Baumeister & Leary, dalam Papalia, 2008:695). Perkembangan
sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak: (1) memisahkan diri dari
orang tua, (2) menuju ke arah temanteman sebaya. Dua macam gerak tersebut bukan
merupakan dua hal yang berurutan, meskipun yang satu dapat terkait pada yang
lain. Hal ini menyebabkan gerak yang pertama tanpa disertai gerak yang kedua
dapat menimbulkan kesepian (Monks dkk, 1998:231). Kesepian yang dirasakan
adalah karena belum terbentuknya keintiman baru yang berakibat remaja tidak
mempunyai hubungan interpersonal yang intim. Berkembangnya online shop yang
bergerak dalam bidang fashion ini menjadikan konsumen akan dengan leluasa
membandingkan produk yang ditawarkan oleh suatu online shop dengan produk
sejenis yang ditawarkan oleh online shop lain. Keberadaan fashion dapat
menunjukkan identitas para pemakainya, sehingga mereka selalu tertarik dengan
dunia fashion. Mahasiswa tahun pertama merupakan usia yang beresiko tinggi
dibanding tingkat usia lain dalam mengalami kesepian karena pertama, adanya
peralihan usia anak-anak menuju dewasa awal. Peralihan tugas 13 perkembangan
tersebut menyebabkan remaja tidak memiliki status yang jelas di masyarakat,
bukan lagi sebagai anak-anak, namun belum juga menjadi seorang dewasa. Status
marginal remaja mengakibatkan adanya isolasi sosial yang membuat remaja seolah
tidak memiliki tempat di masyarakat (Wheeler dan Shaver, dalam Intisari,
2002:35). Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswi fakultas psikologi di
lingkungan Universitas Islam Negeri Malang mulai dari angkatan 2011- 2014 yang
pernah melakukan impulsive buying secara online yang membeli produk fashion
dengan batasan umur antara 18-25 tahun dan bersedia menjadi partisipan dalam
penelitian. Prosedur ini didasarkan atas pertimbangan peneliti bahwa pada usia
antara 18-25 tahun merupakan pelanggan yang dianggap dewasa dan mampu mengambil
keputusan pembelian atau paling tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan
pembelian.
Pemilihan subyek ini
dikarenakan mahasiswa merupakan pembeli potensial dalam bisnis online terutama
dengan dunia fashion. Selain itu, UIN Malang merupakan kampus dengan rata-rata
mahasiswanya tergolong dalam kelas menengah ke bawah. Namun, melihat realita
tentang fashion pakaian saat ini yang telah digandrungi oleh mahasiswi
psikologi, sehingga peneliti menjadikan mahasiswi fakultas psikologi UIN Malang
sebagai sampel dalam penelitian ini. Menurut penelitian Hiskawati (2004), tidak
ada perbedaan perilaku konsumen antara laki‐laki dan perempuan. Hal ini salah
satunya disebabkan karena remaja laki‐laki pun kini mulai lebih
memperhatikan 14 penampilan dirinya. Hal ini diterangkan dengan munculnya
fenomena pria metroseksual, dimana pria saat ini berperilaku seperti wanita
dalam urusan penampilan dan merawat tubuh (Kartajaya, 2003). Penelitian
mengenai impulsive buying sebelumnya menyatakan bahwa perempuan memiliki
tingkat impulsive buying tinggi pada promosi diskon sementara laki‐laki
memiliki tingkat impulsive buying lebih tinggi pada program promosi hadiah
merchandise (Astuti, 2005). Hal tersebut menguatkan bahwa tingkat impulsive
buying antara laki‐laki dan perempuan tidak berbeda, hanya saja antara remaja laki‐laki
dan perempuan berbeda dalam ketertarikan pada hal yang menyebabkan mereka
berperilaku impulsif. Seperti juga remaja laki‐laki sama tertariknya dalam hal
fashion dengan remaja perempuan, akan tetapi remaja perempuan lebih
menitikberatkan fashion sebagai simbol status sosial sedangkan laki‐laki
menggunakan fashion sebagai simbol individualitas. Penelitian yang dilakukan
Kustrini (1997) menyatakan bahwa remaja putri memiliki sikap terhadap fashion
yang lebih tinggi daripada remaja laki‐laki. Hal tersebut karena remaja
putri mendapat tuntutan yang lebih tinggi dari lingkungan sosialnya dalam hal
berpenampilan dibanding remaja putra. Penelitian lainnya tentang impulsive
buying mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara self monitoring
dengan impulsive buying produk fashion pada remaja. Hal ini diperkuat dengan
Hurlock (2006) yang menyatakan bahwa pakaian menentukan dikelompok mana
seseorang diterima sebagai anggota. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 15 remaja
mengkonsumsi produk fashion terutama karena berdasarkan perasaan dan emosi
ingin diterima dalam kelompok dengan mempresentasikan diri melalui penampilan
mereka. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Fidia (2011) mengenai
kesepian (loneliness), yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara
kesepian (loneliness) dengan perilaku parasosial pada wanita dewasa muda. Hal
ini sesuai dengan faktor kepribadian yang mempengaruhi kesepian (Sears dkk,
1992:216) yaitu orang kesepian cenderung introvert dan pemalu, harga diri
rendah, keterampilan sosial yang buruk dan kurang asertif. Sehingga terdapat
hubungan antara kesepian (loneliness) terhadap harga diri seseorang.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kesepian (loneliness) dengan impulsive
buying merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari
tinjauan Psikologi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang berkaitan dengan kesepian (loneliness) dikaitkan dengan
impulsive buying. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “pengaruh loneliness terhadap impulsive
buying produk fashion pada mahasiswi konsumen online shop”. \
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana tingkat loneliness pada mahasiswi konsumen online
shop?
2. Bagaimana tingkat impulsive buying produk fashion pada mahasiswi
konsumen online shop?
3. Apakah terdapat pengaruh
antara loneliness terhadap impulsive buying produk fashion pada mahasiswi
konsumen online shop?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tingkat loneliness pada mahasiswi konsumen
online shop.
2. Untuk mengetahui tingkat impulsive buying produk fashion pada
mahasiswi konsumen online shop.
3. Untuk mengetahui adanya pengaruh loneliness terhadap impulsive
buying produk fashion pada mahasiswi konsumen online shop.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya bagi peneliti dan khalayak intelektual pada umunya, bagi pengembangan
keilmuan baik dari aspek teoritis maupun praktis, diantaranya :
1.
Manfaat
Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan
dalam pengetahuan ilmu psikologi, khususnya terkait bidang Psikologi Industri
dan Organisasi serta Psikologi Sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi lembaga, penelitian ini bermanfaat
untuk dijadikan pedoman agar lebih memperhatikan konsumen online shop dan dapat
memberikan perhatian dan bimbingan, khususnya pada konsumen online shop yang
terseret pada impulsive buying behavior. b. Memberikan kontribusi informasi
khususnya pada konsumen online shop dalam memahami loneliness erat hubungannya
dengan impulsive buying sehingga nantinya diharapkan mereka dapat berperilaku
yang sesuai sehingga perilaku mereka dapat dikendalikan. c. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kerangka teoritis tentang
loneliness dan perilaku impulsive buying yang dilakukan oleh konsumen online
shop serta faktor-faktor penyebabnya dan nantinya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan penelitian selanjutnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Pengaruh loneliness terhadap impulsive buying produk fashion pada mahasiswi konsumen online shop." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment