Abstract
INDONESIA:
Sikap percaya diri memang sangat dibutuhkan oleh setiap individu dan sosial. Ketika individu atau siswa tidak memiliki rasa percaya diri maka akan memunculkan siswa yang cenderung takut setiap menghadapi ujian, kurang berani bertanya dan menyatakan pendapat, grogi didepan kelas, timbulnya rasa malu yang berlebihan. Kondisi demikian, bila dibiarkan begitu saja tidak saja menghambat proses belajar siswa melainkan juga menghambat hubungan sosialnya. Begitu pula dengan kemandirian, siswa yang tidak memiliki kemandirian, akan memiliki kebiasaan belajar yang kurang baik seperti, cepat merasa bosan dalam belajar, mau belajar ketika menjelang ujian, dan suka menyontek. Untuk itu di dalam lingkungan sekolah, sikap percaya diri dan kemandirian memang perlu ditanamkan sejak dini kepada siswa.
Berdasarkan gambaran di atas peneliti tertarik melakukan penelitian yang bertujuan untuk: (1) mengetahui kepercayaan diri siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember, (2) mengetahui kemandirian siswa, (3) mengetahui hubungan antara kepercayaan diri dan kemandirian siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember.
Jenis Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember, dengan jumlah populasi 164 siswa dan jumlah sampel 50 siswa, pengambilan sampel dengan cara Cluster random sampling. Dan data pendukung dalam penelitian ini diperoleh melalui, observasi, wawancara, serta dokumentasi. Alat ukur psikologi yang digunakan sebagai pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala Likert, skala yang digunakan ada 2 yaitu skala kepercayaan diri 40 aitem dan skala kemandirian 40 aitem. Metode analisis data dilakukan dengan teknik korelasi Product Moment Karl Pearson dengan menggunakan bantuan SPSS 16.0 for windows.
Berdasarkan hasil analisa tingkat kepercayaan diri pada kategori sedang dengan prosentase 68% artinya siswa memiliki kemandirian, berani mengungkapkan pendapat, akan tetapi terkadang siswa juga masih merasa bingung apabila ditanya, merasa gugup, memiliki perasaan minder. Kemandirian siswa dalam kategori sedang dengan prosentase 66% artinya siswa mampu untuk mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri, akan tetapi terkadang siswa juga masih meminta bantuan orang lain dalam memecahkan masalahnya, meminta pertimbangan orang lain untuk mengambil keputusan. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan korelasi product moment didapatkan hasil (rxy 0,685; dengan sig < 0,05) dan p = 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepercayaan diri dengan kemandirian. Maka, hipotesis yang berbunyi : “Ada hubungan positif antara Kepercayaan Diri dengan Kemandirian” diterima. Artinya, semakin tinggi kepercayaan diri siswa maka tingkat kemandiriannya juga tinggi.
ENGLISH:
A self-confident manner is truly required by a student both as a private individual and as a member of social community. One of the logical consequences when students have no self-confidence is that they tend to underestimate their capabilities when doing schools’ exams, are likely afraid of raising questions, expressing opinions, getting nervous in front of the class and showing paralysed fears. If those problems are not solved, they hinder students not only from learning (in school) but also from building positive social relationship. Meanwhile, the students with no independency are associated with severe learning behaviour such as feeling bored as quickly as they are learning, studying only when the exams are about coming and are fond of cheating. Therefore, students’ self-confident manner and independency should be taught in early ages in school environment.
Corresponding to the issues at hand, the researcher has an interest in conducting research to be able to: (1) acquire the students’ self confidence (2) obtain the information of students’ independency, (3) look for the correlation between the students’ self confidence and students’ independency of Junior High School Plus Mambaul Ulum Sukowono, Jember.
The quantitative approach was used in this investigation where the setting of the research was located in Junior High School Plus Mambaul Ulum Sukowono, Jember. It had 164 populations and 50 students were sampled by employing cluster random sampling method. Observation, interview and documentation were established to have additional supportive data. Likert scale as a tool of psychological measurement was applied to collect the relevant data. Meanwhile, there are two kinds of scales used in this context: 40 items as a scale of students’ self confidence and 40 items as a scale of students’ independency. The researcher utilized the correlation technique of Karl Pearson Product Moment and SPSS 16.0 for windows as an additional tool to analyze the chosen data.
The recent research shows that the level of students’ self confidence with the percentage of 68% indicates that they have independency, dare to express their opinions, but somehow are confused, nervous and underestimated when being asked. The level of students’ independency with the percentage of 66% demonstrates that they are able to manage themselves, make a decision independently, in some ways nevertheless, ask others for help to tackle their problems and find out others’ c onsiderations at making decisions. The finding which used the correlation of product moment reveals rxy 0,685; with sig < 0,05) and p = 0,000. It certainly proves that there is a significant correlation between the self-confidence and independency. The result thus confirms the hypothesis (there is a positive relationship between the self-confidence and independency). In other words, the higher of students’ self confidence level, the higher of students’ independency level gained
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Saat yang paling sulit pada masa remaja adalah
masa remaja awal, karena berbagai masalah yang dihadapi remaja. Remaja awal
berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun, pada umumnya individu duduk di
bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang setingkat (Monks, 1999: 286).
Individu mulai memasuki dunia baru yang berbeda dengan pengalaman di Sekolah
Dasar (SD) dan mengalami banyak hal baru, sehingga perlu melakukan berbagai
penyesuaian terutama ketika duduk di kelas tujuh Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Tantangan globalisasi serta perubahan-perubahan lain yang terjadi di
sekolah, menjadi beberapa sumber masalah bagi siswa kelas tujuh, karena jika
siswa tidak menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, maka
siswa akan menjadi kurang percaya diri. Artinya, secara substansi titik tolak
dari proses pendidikan adalah membebaskan manusia dari berbagai tekanan dari
luar dan adanya kesadaran diri akan kebebasannya, memupuk rasa percaya diri dan
mampu mandiri. \
Keberhasilan ternyata mampu di
wujudkan hanya dengan bekal sikap percaya diri dan mandiri, bersikap otonom dan
mampu mewujudkan segenap otoritas secara sempurna dan diterapkan dengan tidak
meninggalkan nilai-nilai budaya yang miliki. Sikap percaya diri memang mutlak
dibutuhkan oleh setiap individu dan sosial untuk bisa melakukan dan menjalani
hidup secara bebas. Dengan percaya diri individu akan mudah di dengarkan,
dipercaya orang lain, mampu bekerjasama dengan baik serta lebih sensitif untuk
siap menjalani berbagai kemungkinan hidup dengan gaya sendiri. Percaya diri
merupakan sikap penting bagi siapapun, dengan memiliki rasa percaya diri maka
seorang individu dapat melalui tugas-tugas perkembangannya dengan baik. Di
dalam percaya diri terdapat integritas diri, wawasan pengetahuan, keberanian,
sudut pandang yang luas serta harga diri positif yang sangat mendukung tumbuh
kembang setiap individu menurut Hurlock (2002: 209). Di lingkungan pendidikan
seperti sekolah, aspek percaya diri perlu ditanamkan sejak dini kepada peserta
didik melalui lingkungan interaktif dalam pembelajaran dan penghargaan.
Karakteristik ketika sekolah belum bisa menanamkan aspek ini secara maksimal,
maka banyak memunculkan siswa siswi yang cenderung takut setiap menghadapi
ujian, menarik perhatian dengan cara kurang wajar, kurang berani bertanya dan
menyatakan pendapat, grogi didepan kelas, timbulnya rasa malu yang berlebihan
dan sebagainya. Kondisi demikian, bila dibiarkan begitu saja tidak saja
menghambat proses belajar siswa melainkan juga menghambat hubungan-hubungan
sosialnya menurut Hakim (2005: 73-79). Tugas perkembangan lain bagi remaja,
yang turut mempengaruhi sikap dan pola perilakunya adalah sikap mandiri,
terutama menjelang masa akhir kanak-kanak atau remaja awal. Satu sisi mereka
masih belum lepas dari masa kanak-kanak, disisi lain mereka sudah dituntut
untuk dewasa. Dalam kondisi transisi inilah, tuntutan terhadap kemandirian
sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat dapat menimbulkan dampak
negatif bagi perkembangan bio-psikososial remaja dimasa mendatang.
Pada dasarnya, betapa banyak
individu yang mengalami kekecewaan dan frustasi mendalam akibat pola asuh
orangtua diskonstruktif dan tidak kunjung mendapatkan kemandirian menurut
Hurlock (2002: 24). Soewandi dan Lutfi, dalam Ali (2005: 107) mengungkapkan
dalam proses belajar gejala negatif yang tampak kurang mandiri pada siswa,
berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi, kebiasaan
belajar yang kurang baik yaitu cepat bosan dalam belajar dan sikap mau belajar
ketika menjelang ujian, membolos menyontek dan mencari bocoran soal ujian.
Problem-problem tersebut, merupakan perilaku-perilaku reaktif semakin
meresahkan, jika dikaitkan dengan situasi masa depannya yang diperkirakan akan
semakin kompleks dan penuh tantangan. Muhaimin (2004: 287), secara umum
menyebutkan sikap percaya diri remaja Indonesia sudah banyak dicemari dengan
suguhan-suguhan budaya Barat, yang mulai tidak terkontrol oleh orangtua dan
pendidik serta mengakibatkan perubahan budaya, moral dan etika para siswa atau
masyarakat. Masyarakat dan para pelajar yang semula asing dan tabu terhadap
model-model pakaian (fashion) bukan etik Timur, hiburan atau film-film porno
dan sadisme, bacaan-bacaan cabul, malah kemudian menjadi hal yang biasa-biasa
saja dan mewarnai gaya hidupnya sehari-hari. Akses dari pesan-pesan
pembelajaran yang tidak terkontrol inilah, yang kemudian membentuk para peserta
didik dan segenap masyarakat menjadi pribadi yang asing terhadap pesan-pesan
moral budaya dan format pendidikan sendiri serta akan terus menjadi komunitas
pengikut budaya (following of culture) orang lain. Azra (2002: 173), Realitas
yang perlu diperhatikan kemudian adalah sikap kemandirian para pelajar remaja,
yang secara umum mengalami disorientasi akibat serbuan globalisasi nilai-nilai
dangan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan
norma-norma agama, sosial budaya Indonesia.
Sebagai contoh, gaya hidup
hedonistik, materialistik dan permissif sebagaimana banyak ditayangkan
ditelenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat
disorientasi dan dislokasi dari aspek kemandirian pelajar remaja dikeluarga dan
sekolah. Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak yang selalu manja dan tidak
mampu hidup mandiri. Banyak diantaranya anak-anak yang alim dan baik dirumah,
tetapi nakal di sekolah dan suka ikut-ikut anteman, terlibat dalam tawuran,
penggunaan obat-obat terlarang dan bentuk tindak kriminal lainnya. Inilah
anak-anak atau remaja, yang bukan hanya tidak memiliki kemandirian dan kebajikan
(righteousness), inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami
kepribadian terbelah (split personality). Hakim (2005: 79-86), Sikap percaya
diri dan kemandirian, memang perlu ditanamkan secara dini kepada siswa sebagai
bekal belajar akademik dan bersosialisasi dengan teman sebaya. Percaya diri
terkait erat dengan pengungkapan potensi-potensi diri siswa, sedangkan
kemandirian berhubungan dengan cara pengambilan keputusan penting dan
keberanian mengungkapkan sesuatu dalam diri. Buktinyata, ketika aspek percaya
diri tidak dimiliki siswa dalam proses pembelajaran misalnya, maka yang muncul
adalah sikap malas, tidak fokus, mudah bosan, kesulitan menyelesaikan
tugas-tugas belajar, timbulnya rasa malu berlebihan, tumbuhnya sikap pengecut,
sering mencontek saat menghadapi tes, mudah cemas dalam menghadapi berbagai
situasi, salah tingkah dalam menghadapi lawan jenis, tawuran dan main kroyok
serta tidak pernah optimal dalam mengaplikasikan aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik yang dibutuhkan selama proses belajar mengajar berlangsung.
Bahkan menurut Engkoswara dalam Ali
(2009: 108), sikap tidak mandiri siswa dalam belajar akan berakibat pada gaya
belajar yang buruk sepanjang tahap-tahap pendidikannya, suka membolos,
mencari-cari bocoran soal ujian, suka mengganggu teman ketika belajar
berlangsung, mudah tidak betah dalam kelas dan malas mendengarkan
penjelasan-penjelasan guru. Realitas siswa dengan ketakutan menghadapi ulangan,
bersikap tidak wajar, malu berlebihan, mudah cemas dan suka mencontek ketika menghadapi
ujian. Fenomena ini dalam kajian Psikologi, Menurut Erikson dalam Alwisol
(2009: 92), Anak dihadapkan dengan budaya yang menghambat ekspresi diri. Anak
belajar mengenal hak dan kewajiban serta pembatasan-pembatasan tingkah laku,
belajar mengontrol diri sendiri dan menerima control dari orang lain.
Berangsur-angsur keberhasilan mengontrol tubuh menimbulkan perasaan otonom
bangga, dan kegagalan menimbulkan perasaan malu-ragu. Perasaan otonomi dan malu
ini dipakai orang tua untuk mendidik anak. Orang tua mempermalukan anak karena
kencing dicelana atau mengotori meja dengan makanannya. Orang tua juga
meragukan anaknya, apakah anak bisa mengerjakan sesuatu dengan benar.
Nilai sintonik dari keberhasilan
menguasai otot tubuh sesuai dengan tuntutan lingkungan member identitas ego:
otonomi. Sebaliknya, kegagalan atau distonik memperkuat malu dan ragu, yang
akan tertinggal di dalam diri anak seumur hidupnya. Idealnya, anak
mengembangkan otonomi dan malu-ragu dalam perimbangan yang lebih kuat ke otonom
sebagai kualitas sintonik. Kalau anak hanya mengembangkan otonomi dalam jumlah
terbatas, dia akan mengalami kesulitan pada tahap perkembangan berikutnya. Dia
menjadi tidak mempunyai inisiatif yang dibutuhkan pada tahap usia bermain,
selanjutnya terus mengalami hambatan pada perkembangan berikutnya. Perkembangan
bersifat berkelanjutan, perkembangan pada tahap anak, di bangun diatas tahap
bayi dan akan menjadi fondasi tahap usia bermain. Manakala tahap bayi
mengembangkan kepercayaan dasar cukup kuat, anak belajar percaya pada diri
sendiri, dan dunianya tetap utuh ketika anak itu mengalami krisis psikososial
yang tidak terlalu berat. Sebaliknya, kalau kepercayaan dasarnya buruk, rasa
malu dan ragu akibat kegagalan usaha untuk mengontrol organ anal, uretral, otot
lainnya, akan menimbulkan krisis psikososial yang serius. Malu adalah perasaan
yang disadari, merasa diamati dan dibuka aibnya, sedang ragu adalah perasaan
tidak pasti, perasaan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dan tidak dapat
dilihat. Malu dan ragu adalah kualitas distonik, berkembang dari perasaan tidak
percaya diri yang muncul pada fase bayi menurut Erikson dalam Alwisol (2009:
92).
Hasil mengatasi krisis otonomi
versus malu-ragu adalah kekuatan dasar kemauan. Ini adalah permulaan dari
kebebasan kemauan dan kekuatan (benar-benar hanya permulaan), yang menjadi
dasar dari ujud virtue kemauan di dalam egonya. Kemasakan kekuatan, kemauan dan
kebebasan kemauan yang terukur baru diperoleh pada perkembangan-perkembangan
berikutnya. Siapa saja yang memperhatikan anak berusia dua tahunan akan tahu
bagaimana kemauan itu timbul. Latihan kebersihan mungkin menjadi puncak konflik
kemauan, antara orang dewasa dengan anak, tetapi ekspresi kemauan hanya latihan
kebersihan. Konflik dasar sepanjang tahap ini adalah antara perjuangan anak
menjadi otonom dan usaha orang tua untuk mengontrol anaknya memakai perasaan
malu-ragu menurut Erikson dalam Alwisol (2009: 94). Dasar-dasar kemauan dapat
muncul hanya kalau anak diizinkan melatih mengntrol sendiri otot-ototnya (otot
anal, uretral, dan otot lainnya). Jika budaya terlalu menanamkan ragu-malu dan
menghambat otonomi, anak menjadi kurang berhasil dalam mengembangkan kekuatan
dasar yang kedua ini. Kemauan yang kurang baik diekspresikan dalam bentuk
kompulsi, sumber patologi pada masa anak. Terlalu kecil kemauan dan terlalu
kuat kompulsiviti terbawa keusia bermain menjadi tidak mempunyai tujuan, dan
kemudian terbawa keusia sekolah menjadi tidak percaya kepada diri sendiri.
Menurut Erikson dalam Feist ( 2010: 347), Orang-orang yang mengaktualisasikan
diri merupakan orang-orang yang mandiri dan bergantung pada diri mereka sendiri
untuk bertumbuh walaupun dimasalalunya mereka pernah menerima cinta dan rasa
aman dari orang lain. Tidak ada orang yang dilahirkan mandiri, dan oleh karena
itu tidak ada orang yang sepenuhnya tidak tergantung pada orang lain. Kebebasan
hanya dapat diperoleh melalui hubungan yang baik dengan orang lain. Akan
tetapi, kepercayaan diri bahwa seseorang dicintai dan diterima apa adanya dapat
menjadi dorongan yang kuat yang menyumbang ketimbulnya rasa penghargaan diri.
setelah kepercayaan diri tersebut diperoleh, seseorang tidak lagi bergantung
pada orang lain untuk mendapat penghargaan diri. orang yang mengaktualisasi
diri mempunyai kepercayaan diri tersebut kemudian memiliki kemandirian yang
besar yang memungkinkan mereka tidak khawatir terhadap kritik dan juga tidak
tergerak oleh pujian. Kemandirian ini juga memberikan mereka kedamaian dan
ketenangan jiwa yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang hidup dari
penerimaan orang lain. Upaya mengantarkan siswanya menjadi-pribadi yang tidak
hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kepribadian (personality)
dan moralitas yang baik. Pihak sekolah berusaha untuk menjadikan sekolah, tidak
hanya menjadi tempat belajar pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan
juga menjadi pusat pengembangan moral dan watak peserta didik (virtues
education). Sekolah mengajarkan nilai-nilai yang sama yang dimiliki oleh
peserta didik tentang aspek kemandirian dan sikap percaya diri, bukan hanya
menekankan pada perbedaan nilai.
Dalam realisasi dan perkembangannya, upaya-
upaya luhur sekolah tersebut tidak sepenuhnya mampu mengantarkan siswa menjadi
pribadi yang diidealkan. Misalnya saja, masih banyak siswa disekolah ini yang
memiliki rasa percaya diri yang bagus tetapi tidak dengan kemandirian yang
matang dan sebaliknya, kurang mandiri dan malas dalam belajar, suka mengganggu
temannya dalam kelas, banyak siswa yang membolos dengan alasan tidak suka
dengan gurunya dan mata pelajaran yang diajarkan pada hari itu serta tidak
sedikit diantara mereka yang setiap mengerjakan PR sekolah dan ulangan harian
menyalin dari temannya menurut penjelasan dari Pak Anang. Hasil penelitian
terdahulu Bayu Eka Dermawan (2011), Fakultas Psikologi UIN MALIKI Malang yang
berjudul “Hubungan Percaya Diri dengan Kemandirian Siswa MTs M 01 Pondok Modern
Muhammadiyah Paciran Lamongan” menyebutkan bahwa hasil menunjukkan bahwa ada
korelasi yang signifikan sebesar 0,008. Dikatakan signifikan karena nilai
signifikansi 0,008 lebih kecil dari tingkat probabilitas sebesar 0,05. Hubungan
antara percaya diri dan kemandirian adalah positif ditunjukkan dengan nilai
koefisiensi korelasi sebesar 0,362. Nilai tersebut menunjukkan ada hubungan
yang lemah antara percaya diri dan kemandirian, semakin besar nilai koefisiensi
atau nilainya mendekati 1,00 maka hubungannya akan semakin kuat. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Khoirun Nisa’ (2011) Hubungan Tingkat
Kepercayaan Diri Dengan Motivasi Berprestasi Mahasiswa Di Fakultas Psikologi
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Skripsi, Dari hasil analisis diketahui dari
30 item skala tingkat kepercayaan diri yang di uji cobakan terdapat 20 item
yang valid dengan nilai reliabilitas 0,869. Sedangkan dari 34 item skala
motivasi berprestasi terdapat 25 aitem yang valid dengan nilai reliabilitas
sebesar 0, 909. Dari hasil korelasi yang dicari ditemukan bahwa korelasi antara
tingkat kepercayaan diri dengan motivasi berprestasi adalah sedang. Hal ini
ditunjukkan dengan uji korelasi bivariat dengan hasil korelasi 0, 609 dengan
artian korelasi yang signifikan. Menurut penjelasan beberapa guru di SMP Plus
Mambaul Ulum Sukowono Jember kondisi demikian, adalah perilaku-perilaku yang
sering dijumpai pada sebagian siswanya. Fenomena lain yang nampak pada siswa,
diantaranya menyuruh temannya untuk bertanya dengan mnggunakan pertanyaannya
sendiri dengan alasan malu dan takut jawabannya salah, minimnya jumlah siswa
yang memiliki keberanian untuk bertanya kepada guru ketika proses pembelajaran
berlangsung, tidak mengerjakan PR dengan alasan capek, takut dan gugup menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari guru, tidak memiliki keberanian dan rasa percaya
diri bila disuruh mengerjakan soal di depan kelas, tidak ada motivasi untuk
bisa bersaing dalam prestasi belajar, banyak siswa yang minder bila disuruh
mengungkapkan pendapat-pendapatnya saat diskusi dikelas serta kecenderungan
tidak mandiri dan sering ingin didampingi dalam setiap menyelesaikan
tugas-tugas belajar oleh guru dan orang tuanya, terutama saat-saat menjelang ujian.
Bahkan kecenderungan anak dengan ciri tersebut, memiliki prestasi atau nilai
akademik yang buruk. Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka peneliti tertarik
untuk mengembangkannya lebih lanjut dalam penelitian yang terukur, sejauh mana
aspek-aspek percaya diri dan kemandirian siswa serta dialog diantara keduanya,
dengan judul “Hubungan Antara Kepercayan Diri dengan Kemandirian Siswa SMP Plus
Mambaul Ulum Sukowono Jember”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian yang ada dalam
latar belakang, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kepercayaan
diri siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember?
2. Bagaimana tingkat kemandirian
siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember? 3. Bagaimana hubungan antara
kepercayaan diri dengan kemandirian SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka
tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tingkat kepercayaan
diri siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember.
2. Mengetahui tingkat kemandirian
siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember. 3. Mengetahui hubungan antara
kepercayaan diri dengan kemandirian siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono
Jember.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa, diharapkan dapat
memberikan manfaat serta masukan kepada siswa tentang pentingnya pengembangan
kepercayaan diri yang tinggi. Dan membantu siswa agar dapat meningkatkan
kepercayaan diri lebih maksimal sehingga lebih mudah untuk berkomunikasi dengan
orang lain, dan untuk berprestasi dalam bidang akademik.
2. Bagi peneliti, memberikan solusi
dalam pemecahan suatu masalah yang empiris dan di dukung oleh teori sehingga
dapat memberikan pola pikir yang terstruktur dalam memecahkan suatu
permasalahan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang psikologi pendidikan
berupa informasi dan pengetahuan baru. Dan untuk penelitian selanjutnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan antara kepercayaan diri dengan kemandirian siswa SMP Plus Mambaul Ulum Sukowono Jember" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment