Abstract
INDONESIA:
Dalam keluarga, kelahiran anak merupakan hal paling dinanti sebagai wujud karunia tuhan, penyelamat perkawinan, serta tumpuan harapan dimasa tua. Nilai dan harapan tersebut begitu saja hilang dan berbalik menjadi sumber masalah saat anak yang dinanti lahir dengan kebutuhan khusus. Setelah menyadari perbedaan yang dimiliki anak, umumnya orangtua akan melewati serangkaian proses panjang sebelum benar-benar berada pada kondisi “menerima”. Agar anak yang terlahir dengan kebutuhan khusus mampu berkembang optimal, motivasi diri bukanlah faktor tunggal. Lebih dari itu, keluarga (terutama orangtua) berperan besar dalam perkembangan ABK sedari dini. Jika sikap penerimaan sudah ditunjukkan oleh keluarga terlebih orangtua, proses pengasuhan akan dapat berlangsung secara optimal. Menyadari akan pentingnya sikap penerimaan orangtua terhadap kondisi anak, disusunlah satu program intervensi berupa parent educationberupa pelatihanyang berfokus pada peningkatan penerimaan orang tua terhadap kondisi anak dengan kebutuhan khusus. Program pelatihan ini selanjutnya diberi nama pelatihan “incredible mom”.
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan desain eksperimen time series, yaitu desain eksperimen satu kelompok yang dilakukan dengan beberapa kali pengukuran di awal dan di akhir perlakuan. Subjek yang digunakan adalah sebanyak 6 orang ibu dengan anak berkebutuhan khusus. Subjek diberi perlakuan berupa pelatihan incredible mom selama 2 kali pertemuan, dengan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan, menggunakan masing-masing 2 skala penerimaan yang dikembangkan dari teori parental acceptance dari Porter.
Berdasarkan hasil analisa terhadap skor pretest dan posttestt dengan menggunakan 2 skala melalui software SPSS 21 for windows didapatkan nilai Z = 1,604 dengan taraf signifikansi 0,19 (p>0,05) pada skala 1 dan nilai z =7,30 dengan taraf signifikansi = 0,46 pada skala 2 (p>0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlakuan yang diberikan berupa pelatihan incredible mom dalam penelitian ini kurang efektif dalam meningkatkan sikap penerimaan orangtua terhadap kekhususan anak.
ENGLISH:
In the family, child is the most-awaited person by new parents, as a gift from God, and as the foundation of the future. This will be as a disaster or source of problem when a child is born as special needs. Generally, parents will pass several long processes step by step after knowing the differences until they accept sincerely the condition. In order to they can grow as normal people, self-motivated is not the main factor. However, family plays a vital role in developing them early on. If the parents show the parental acceptance, the parenting process will be optimal. Realizing the importance of the acceptance to the children, then a program, namely parent education, is established focusing on the improvement of the parental acceptance toward the condition of the childrenwith the special needs. This program, then, is called by “incredible mom” training.
This research uses quantitative method by experimental design of time series. It is an experimental design consisting of one group conducted by several measures in the first and the last treatment. The subject used in this research is six mothers whose children with special needs. They gave twice meetings of incredible mom treatment, with the pre and post treatment. It uses two acceptance scales developed by parental acceptance theory from Porter.
According to the analysis result towards pre-test score and post-test by using two scales through SPSS Software 21 Windows is Z value= 1, 604with the significance level = 0,46 on the scale 2 (p>0,05). Therefore, it can be concluded that the incredible mom treatment given to the parents is ineffective to improve the parental acceptance to the children with the special needs.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Pasal 28 B UUD 1945 disebutkan bahwa setiap anak berhak tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan yang supportif dan kondusif termasuk mereka yang
berkebutuhan khusus. di Indonesia jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) dari
waktu kewaktu cenderung mengalami peningkatan. Sebagaimana hasil survey sosial
ekonomi nasional tahun 2009 jumlah ABK tidak kurang dari 100.000 jiwa.
Sementara data dari Dirjen Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan
Nasional pada tahun 2010, jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai
324.000 orang
(http://ti2014.solider.or.id/info/pendidikaninklusif-dan-anak-berkebutuhan-khusus/).
Pada tahun 2012, TNKP menyatakan bahwa jumlah individu berkebutuhan khusus
mencapai 10% dari total populasi penduduk indonesia. Sedangkan pada tahun 2013,
menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ada
sekitar 4,2 juta anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia
(http://www.antaranews.com). Hingga saat ini indonesia belum memiliki data
pasti tentang jumlah ABK, meski demikian paparan data mulai tahun 2009 hingga
2014 setidaknya mampu memberi gambaran bahwa jumlah ABK mengalami peningkatan
cukup pesat setiap tahunnya. Jumlah mereka yang semakin meningkat tidak
diimbangi dengan peningkatan pemahaman dan pemakluman masyarakat terhadap
kondisi mereka. Akibatnya dibanyak tempat individu berkebutuhan khusus
cenderung dikucilkan, dianggap sebelah mata, bahkan dihina dan diejek secara
terang-terangan. Lebih parahnya penolakan ini tidak hanya dilakukan oleh
masyarakat umum, tapi juga oleh keluarga dan orangtua. 2 Setiap orangtua tentu
mengharapkan anaknya terlahir dengan kondisi yang sehat, tanpa cacat. Saat anak
yang dinanti tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan, semua harapan dan
mimpi orangtua seketika hilang sirna disertai munculnya berbagai reaksi emosi
negatif. Sebagaimana yang dirasakan oleh ibu W, salah seorang wali siswa ABK di
SDN sumbersari II. Saat dokter mengatakan bahwa anaknya hiperaktif, dia segera
mencari tahu tentang hiperaktif dan memastikannya dengan berganti dokter sampai
2 kali. Pada saat dokter kedua mengatakan hal yang sama, ada perasaan kaget,
tidak percaya, ingin menolak diagnosa dokter tapi tidak tahu harus bagaimana,
serta takut dan khawatir akan masa depan anak dan reaksi tetangga jika mereka
tahu anaknya berkebutuhan khusus (data ini didapatkan dari studi pendahuluan, 4
Februari 2014). Serangkaian reaksi emosi yang muncul saat anak didiagnosis
berkebutuhan khusus merupakan reaksi alamiah yang akan dimunculkan setiap
orangtua sebelum orangtua sampai pada tahap menerima. Ginanjar (2008)
menyebutkan reaksi emosi yang dialami orangtua antara lain: 1. Terkejut dan
menolak diagnosa Reaksi ini merupakan reaksi yang kerapkali dimunculkan
orangtua saat anaknya pertamakali didiagnosis berkebutuhan khusus. sebagian
besar orangtua akan menunjukkan sikap tidak mau mengakui kenyataan. Mereka
berusaha berusaha berkonsultasi dengan dokter atau ahli lain untuk memperoleh
diagnosa yang lebih tepat. Sebagaimana yang dilakukan oleh ibu W hingga
berganti dokter sebanyak 2 kali. 2. Merasa tidak berdaya Respon ketidak
berdayaan sering kali muncul setelah orangtua memperoleh begitu banyak
informasi tentang kondisi anak dari berbagai sumber yang pada akhirnya berujung
pada perasaan bingung dan tidak berdaya karena dalam waktu singkat 3 orangtua
dituntut untuk melakukan berbagai banyak hal untuk menangani kondisi anak. 3. Mengalami
berbagai emosi negatif Safaria (2005) lebih lanjut menyebutkan emosi negatif
yang sering muncul saat orangtua mengetahui anaknya berkebutuhan khusus adalah
sedih, cemas akan masa depan anak, malu karena kondisi anak yang berbeda, serta
merasa bersalah dan berdosa. Serangkaian reaksi emosi yang dialami orangtua
menunjukkan bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus dapat menjadi beban
tersendiri bagi orangtua. Selain harus menanggung rasa malu dengan kondisi anak
yang berbeda serta perilaku mereka yang tidak sesuai dengan harapan orang
disekitar, ABK juga membutuhkan perhatian lebih yang menguras tenaga dan
keuangan.
Situasi ini kerapkali menjadi stressor kuat yang berdampak pada
stress berkepanjangan. Kondisi ini amat merugikan karena berakibat negatif secara
fisik dan menimbulkan berbagai gangguan emosi seperti kecemasan dan depresi
yang dimunculkan dalam berbagai bentuk, antara lain: kecenderungan menarik
diri, terlalu melindungi dan kecenderungan untuk melakukan kontrol berlebihan
(Ginanjar, 2008). Lebih lanjut, Gray (dalam Meadan, Halle, & Ebata, 2010,
2010) menjelaskan bahwa orangtua cenderung menyalahkan diri mereka karena
memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal ini terutama dirasakan oleh ibu. Rasa
bersalah pada ibu muncul karena ia merasa sebagai penyebab anak menjadi
penyandang autis. Selain itu, ibu juga menganggap dirinya sebagai bagian yang
paling bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan anaknya yang menyandang
autisme). Rasa bersalah tersebut menyebabkan frustasi (Gray, dalam Altiere
& Kluge, 2009). Menurut Hasting dan Hering (dalam Meadan, Halle, &
Ebata, 2010), meskipun beberapa penelitian tidak menemukan perbedaan yang
signifikan 4 dalam peran yang dimiliki ibu dan ayah, tetapi sebagian besar
melaporkan bahwa stres, depresi, dan kecemasan lebih sering dihadapi oleh ibu
daripada ayah. Untuk menanggulangi kondisi stress berkepanjangan diperlukan
satu upaya pengembangan sikap positif orangtua (khususnya ibu) berupa
penerimaan terhadap kondisi anak. Penerimaan terhadap kondisi anak tidak saja penting
bagi penyesuaian diri antar anggota keluarga tapi juga bagi perkembangan anak.
Penelitian terdahulu tentang penerimaan orangtua terhadap anak ditemukan bahwa
penerimaan dan emosi positif yang ditampakkan orangtua terhadap anak dapat
mempengaruhi peningkatan kompetensi sosial anak (Boyum & Parker,1995 dalam
Santrok, 2007). Peneliti juga menemukan bahwa penerimaan dan dukungan orangtua
terhadap emosi anak berhubugan dengan kemampuan anak untuk mengelola emosi
dengan cara positif (Parke, 2004 dalam Santrok, 2007). Berdasarkan hasil
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerimaan orangtua memberikan
sumbangan besar dalam perkembangan psikososial anak. Sedangkan anak yang tidak
diterima cenderung mengalami gangguan dalam penyesuaian diri dan perilaku
negatif (Khalaque & Rohner, 2002). Lebih lanjut Huges dkk (2005) dalam
penelitiannya menemukan bahwa penolakan terhadap anak membuat anak menjadi
lebih agresif, sulit mengatasi keagresifannya, tergantuang pada orang lain,
tidak dapat merespon secara emosional, emosi tidak stabil, harga diri dan
adekuasi diri yang negatif, serta memiliki pandangan negatif tentang dunianya.
Sebagian besar orangtua mungkin berfikir bahwa hal terpenting yang harus
dilakukan adalah memberikan penanganan agar anak dapat berkembang seperti
anak-anak normal. kebahagiaan orangtua akhirnya berfokus pada seberapa besar
kemajuan yang dicapai anak dalam kemampuan akademik. Padahal limpahan cinta dan
penerimaan terhadap kondisi anak jauh lebih penting. Bila anak merasa tetap
dicintai walaupun memiliki banyak kekurangan, maka ia merasa aman dan lebih
percaya diri. Anak akan lebih bahagia 5 menghadapi hari-harinya dan nantinya
akan lebih optimal dalam mengembangkan diri (Ginanjar, 2008).
Pentingnya cinta dan
penerimaan oleh orangtua tanpa memandang kondisi anak inilah yang tidak
disadari oleh sebagian besar orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Mereka merasa bahwa menyekolahkan dan mengikutkan terapi adalah hal terpenting
bagi anaknya, sedangkan saat dirumah orangtua lebih memilih menyibukkan diri
dengan pekerjaan rumah dari pada sekedar menemani anak bermain, belajar, atau
memantau hasil belajar selama di sekolah atau perkembangan selama di tempat
terapi (data didapatkan dari hasil studi pendahuluan melalui wawancara dengan
salah satu guru sekolah pada 4 Februari 2014). Sikap seperti ini secara tidak
langsung menunjukkan bahwa orangtua belum menerima kondisi anak, karena
penerimaan tidak hanya ditunjukkan dengan adanya keinginan orangtua agar anak
semakin pintar dengan memasukkan anak kesekolah yang mendukung tapi juga
dicirikan dengan adanya kepedulian dan keterlibatan aktif orangtua dalam proses
tersebut, seperti memantau hasil belajar di sekolah dan tempat terapi serta
mencoba menstimulasi anak saat di rumah (Porter, 1954). Berikut data baseline
penerimaan orangtua yang didapatkan pada saat pretest 1 Tabel 1.1. Baseline
penerimaan orangtua Subjek Skor Kategori H 53 Rendah S 58 Sedang I 51 Rendah U
58 Sedang D 52 Rendah L 50 Rendah Berdasarkan data tabel 1.1. didapatkan
informasi bahwa dari 14 orangtua ABK yang menjadi walisiswa di SDN Sumbersari
2, enam subjek yang dijadikan subjek 2 orang memiliki skor penerimaan sedang
dan 4 yang lain memiliki skor penerimaan rendah. Hal 6 ini menggambarkan bahwa
menerima kondisi anak yang tidak sesuai dengan harapan bukan perkara mudah.
Pada beberapa kasus ABK yang parah seperti Autis, bahkan ada orangtua yang
harus mengikuti terapi keluar kota karena merasa tidak berdaya dengan kondisi
anak (data didapatkan dari hasil studi pendahuluan melalui wawancara dengan
salah satu shadow ABK pada 5 Februari 2015). Tingginya harapan yang disematkan
orangtua semenjak anak belum lahir menjadi salah satu faktor penyebab sulitnya
orangtua menerima kekhususan anak. Kendati demikian, Santrok (2007) berpendapat
bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat
penerimaan orangtua terhadap anak. Pendapat ini secara tidak langsung
menjelaskan bahwa penerimaan orangtua dapat ditingkatkan melalui program
intervensi yang tepat, yang didalamnya terdapat proses pembelajaran yang mampu
membuka wacana orangtua tentang kondisi anak. Berangkat dari latar belakang
ini, peneliti merasa perlu merancang satu desain intervensi berupa parent
education yang berfokus pada peningkatan penerimaan orangtua terhadap kondisi
anak dengan kebutuhan khusus. Dengan menjadikan penerimaan orangtua sebagai
sasaran utama diharapkan proses pengasuhan juga dapat berjalan lebih optimal.
Sebagaimana pendapat dari Meadan, Halle, & Ebata (2010), apabila ibu sudah
dapat menerima anaknya maka proses pembelajaran dan perkembangan anak akan
lebih cepat. Program parent education dalam penelitian ini dilakukan dalam
bentuk pelatihan bagi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus. Desain
pelatihan dipilih karena merupakan salah satu cara yang dapat memfasilitasi
orang dewasa dalam belajar. Noe (2002) menyebutkan bahwa dalam belajar orang
dewasa memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah memiliki kebutuhan
untuk mengetahui alasan mempelajari sesuatu, memiliki kebutuhan diperintah oleh
diri sendiri (self direction), memiliki banyak 7 pengalaman terkait hal yang
akan dipelajari, belajar dengan problem center, serta termotivasi baik melalui
motivator eksternal maupun internal. Lebih lanjut Noe (2002) juga menyebutkan
bahwa metode pelatihan memfasilitasi karakteristik pembelajaran dewasa yang
mempermudah orang dewasa dalam mempelajari sesuatu. Selain itu, proses
pelatihan dilakukan secara berkelompok. Hal ini karena penanganan secara
kelompok memiliki beberapa aspek teraupetik yang tidak dimiliki terapi individu
yang akan semakin mendukung keberhasilan terapi. Aspek-aspek teraupetik
tersebut adalah adanya penanaman dan pemeliharaan harapan dari sesama anggota
kelompok, universalitas, proses pertukaran informasi, pengembangan altruisme, perbaikan
persepsi, pengembangan teknik sosialisasi, munculnya perilaku imitatif, belajar
interpersonal, kohesivitas kelompok, serta saling berbagi (Yalom&Leszcz,
2005). Program parent education yang dirancang peneliti menggunakan pendekatan
positive parenting program (triple p) dari Sander yang bertujuan untuk
mempromosikan positive parenting dan memperbaiki hubungan orangtua - anak usia
2-16 tahun (Sander Sanders,Markie & Turner, 2003) yang dipadukan dengan
prinsip kerja terapi ACT dan hipnosis. Positif parenting program merupakan
program parent education yang dirancang oleh Sander pada tahun 2003.
Program ini lahir di Australia dan sampai sekarang banyak digunakan
di berbagai negara bagian Australia dan Amerika bahkan telah berhasil menarik
perhatian pemerintah Australia dan Amerika untuk mendanai program ini (Thomas,
Zimmer, Gembeck, 2007). Sejauh ini telah banyak penelitian yang membuktikan
bahwa triple p efektif dalam meningkatkan ketrampilan pengasuhan dan mengurangi
masalah perilaku anak yang kerap kali mengganggu hubungan orangtua-anak
(Thomas, Zimmer, Gembeck, 2007). Diantaranya, penelitian tahun 2011 yang
dilakukan oleh Fujiwara, kato dan sander didapatkan hasil bahwa triple p
efektif dalam mengurangi masalah perilaku 8 anak,disfungsional pengasuhan, depresi,
kecemasan, stres, dan mengurangi tingkat kesulitan dalam pengasuhan yang
dirasakan orangtua, serta mampu meningkatkan rasa percaya diri orangtua dalam
pengasuhan antara keluarga di Jepang. Penelitian yang dilakukan Thomas dkk
(2007) menemukan bahwa triple p memberikan efek positif terhadap perubahan
perilaku anak dan pengasuhan orangtua dalam skala sedang hingga besar. Hidayati
(2012) dalam penelitiannya membuktikan bahwa program triple p mampu menurunkan
tingkat stress pengasuhan secara signifikan pada ibu dari anak autis.
Berdasarkan paparan beberapa penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa triple
p efektif dalam meningkatkan ketrampilan pengasuhan orangtua sehingga mampu
memberikan perubahan pada masalah perilaku anak, memperbaiki hubungan orangtua-anak,
serta dapat mereduksi dampak negatif dari disfungsi pengasuhan seperti stress
pengasuhan, kecemasan, hingga depresi. Dari beberapa penelitian tersebut belum
ada penelitian yang menggunakan triple p sebagai salah satu program intervensi
dalam meningkatkan penerimaan orangtua terhadap kondisi anak dengan kebutuhan
khusus. Prinsip-prinsip kerja terapi ACT (acceptance and commitment terapy)
digunakan dalam pelatihan ini karena ACT telah terbukti efektif dalam
meningkatkan penerimaan, perhatian, dan lebih terbuka dalam mengembangkan
kemampuan klien (Widuri, 2012). Terapi ACT merupakan terapi yang populer saat
ini dan dianggap lebih fleksibel dan lebih efektif dalam menangani berbagai
kasus (Motgomeri,Katherin, Johni, Franklin, Chintya, 2011 dalam Widuri, 2012).
Terapi ini mengajarkan pasien untuk menerima pikiran yang mengganggu dan
dianggap tidak menyenangkan dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang
dianut sehingga ia akan menerima kondisi yang ada (Hayes,2006). Dalam
penelitiannya, Hayes (2005) menemukan bahwa ACT efektif dalam menciptakan
penerimaan, perhatian dan lebih terbuka dalam mengembangkan kemampuan 9 yang
dimiliki pada klien depresi, ansietas, penyalahgunaan narkoba, nyeri kronik,
PTSD, anoreksia, serta sangat efektif sebagai model pelatihan diri (Widuri,
2012). ACT adalah terapi generasi baru dari CBT, yang keduanya merupakan
pengembangan dari terapi perilaku. Menurut Corey (2009) salah satu kelemahan
umum terapi perilaku adalah dapat merubah perilaku tapi tidak mengubah
perasaan. Karenanya pada sesi akhir akan dilakukan proses hipnosis yang
bertujuan untuk merubah perasaan peserta tentang anak secara perlahan.
Pada kondisi Hipnosis
seseorang cenderung lebih sugestif, dimana ada perpindah kesadaran, dari
pikiran sadar (Conscious mind) ke pikiran bawah sadar (subconscious mind).
Pikiran bawah sadar merupakan area sentral pemrosesan informasi yang hasil
pemrosesan secara perlahan dapat mempengaruhi perubahan perilaku dan perasaan.
Berdasarkan hasil penelitian Setyabudi (2006), hipnosis dapat meningkatkan
kendali terhadap pikiran bawah sadar individu, sehingga individu dapat
menggunakan daya pikiran bawah sadar yang sangat besar itu untuk kesembuhan,
kesuksesan dan pengendalian diri individu. Berdasarkan uraian di atas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan memberikan pelatihan pengasuhan pada
ibu dari anak berkebutuhan khusus, yang merupakan pengasuh utama pada anak.
Program pelatihan kepada orangtua ini bermanfaat untuk meningkatkan sikap
penerimaan orangtua terhadap kekhususan anak dengan cara mengedukasi orangtua
agar dapat menerima tanpa harus menghilangkan pikiran dan perasaan tidak
menyenangkan terkait kekhususan yang dimiliki anak dan memberikan pemahaman
lebih lanjut tentang kondisi ABK, cara pengasuhan, serta pentingnya cinta dalam
proses pengasuhan. Penelitian ini akan dilaksanakan di SDN Sumbersari II Malang
dengan subyek penelitian wali siswa ABK di SD tersebut. 10 B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi awal penerimaan orangtua dengan anak
berkebutuhan khusus? 2. Apakah pelatihan incredible mom efektif untuk
meningkatkan sikap penerimaan orangtua pada kondisi anak dengan kebutuhankhusus
?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan
untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang telah dipaparkan dalam rumusan
masalah. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui
kondisi awal penerimaan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus 2. Untuk
mengetahui efektivitas pelatihan incredible mom dalam meningkatkan sikap
penerimaan orangtua pada kondisi anak dengan kebutuhankhusus.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dalam tataran teoritis maupun praktis. Dalam tataran teoritik, hasil
temuan di lapangan dapat dijadikan sumbangan berarti dalam keilmuan psikologi
khususnya psikologi klinis dan perkembangan. Dalam tataran praktis, pelatihan
ini dapat dicanangkan sebagai salah satu program tahunan dari pihak sekolah
inklusi/SLB bagi orangtua siswa dengan anak berkebutuhan khusus sebagai salah
satu upaya dari pihak sekolah untuk memberi pemahaman pada orangtua agar lebih
mudah menerima kondisi anak
DOWNLOAD
1 comment:
paul george shoes
nike free
adidas outlet
true religion
off white
cheap jordans
cheap jordans
zx flux
yeezy shoes
air max 270
Post a Comment