Abstract
INDONESIA:
Mahasiswa baru merupakan status yang disandang oleh mahasiswa di tahun pertama kuliahnya. Rentang usia mahasiswa baru berada dikisaran 18-21 tahun, usia ini merupakan masa transisi remaja menuju dewasa awal, masanya menuju kematangan pribadi. Mereka diharapkan dapat memenuhi tanggung jawab orang dewasa, dituntut untuk siap dan cerdas secara emosi. Tuntutan tersebut dapat memunculkan kekhawatiran akan kegagalan tujuan. Peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi (sebagai variabel bebas), dengan pemilihan strategi coping (sebagai variabel terikat), yang kemudian diujikan kepada mahasiswa baru di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang.
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional, dengan mengambil sampel sebanyak 95 orang mahasiswa baru, dengan metode wawancara dan kuesioner. Kemudian untuk mengetahui hubungan di antara kedua variabel tersebut, digunakan teknik analisis korelasi product moment dari Pearson. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa, tingkat kecerdasan emosi mahasiswa baru mayoritas berada pada kategori “sedang” dengan prosentase 61%, dan lebih memilih menggunakan strategi problem focused coping dengan prosentase 53%. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional mahasiswa baru dengan pemilihan strategi coping stres. Dengan demikian, dari penelitian ini diperoleh sebuah indikasi bahwa mahasiswa baru yang sedang melalui masa transisi dari remaja menuju dewasa awal, telah memiliki kecerdasan emosional yang cukup, sehingga mendukung dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan baik.
ENGLISH:
New undergraduate students is the status for the student in the first year in undergraduate program in university. The age range of new students is around 18-21 years old, this age is a transition period from early adolescence to adulthood, it is time for people towards personal maturity. They are expected to meet the responsibilities that require emotional maturity. It can raise the fear about their unsuccessful goals. Researchers attracted to investigate the relationship between emotional intelligence (as independent variables), with the selection of coping strategies (as the dependent variable), which is then tested to new undergraduate students in Accounting students in Brawijaya University, Malang.
This study is a correlational research. It takes 95 new students as samples. The data collections use interview and questionnaire method. Then, to determine the relationship between these two variables, researcher use Pearson’s product moment correlation. From this study showed that, the level of emotional intelligence are the majority of new undergraduate students in the category "average" with the percentage of 61%. They prefer to use problem focused coping strategies with the percentage of 53%. From this study it can be concluded that there is a significant relationship between emotional intelligence with the selection of a new student stress coping strategies. Thus, from this study could be obtained the indication new undergraduate student who is in a period of transition from adolescence to early adulthood, has had enough emotional intelligence. It can support them to resolve their problems.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penelitian Manusia hidup
selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan
keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu manusia juga
sering dihadapkan pada dua pilihan atau bahkan lebih, kepentingan dan
kesempatan yang berbeda, tapi datang pada saat yang bersamaan. Hal inilah yang
kemudian disebut sebagai masalah dan persoalan. Bahkan, bagaimanapun piawainya
seseorang mengatasi permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan
selalu menimbulkan stres, karena sepanjang manusia hidup, persoalan demi
persoalan akan terus berdatangan menanti untuk diselesaikan. Demikian pula
menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan kematangan seseorang,
akhirnya diukur dari seberapa arif, bijak dan baiknya dia menyelesaikan
persoalan yang muncul tersebut. Menurut Lazarus, bagaimana peristiwa kehidupan
dinilai merupakan penentu penting apakah peristiwa tersebut menyebabkan stres
(Davison, 2006; 275). Selanjutnya, Feldman berpendapat dalam Widury (2005; 9),
bahwa suatu proses menilai suatu peristiwa atau persoalan sebagai sesuatu yang
mengancam, menantang, ataupun membahayakan, dan individu merespon peristiwa itu
pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku disebut dengan stres. Dengan
demikian, maka dapat disimpulkan 2 bahwa setiap manusia yang hidup di dunia ini
tidak akan pernah terlepas dari yang namanya stres. Suhu udara yang panas,
ruangan yang berisik, jalanan yang macet dapat memicu stres, karena hal
tersebut bagi beberapa orang dapat dianggap ancaman, hal ini sesuai dengan
pendapat Hude (2006; 261) yang menyatakan bahwa setiap yang memberi ancaman
pada stabilitas organisme dapat dikategorikan sebagai stressor (penyebab
stres). Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan baik
fisik maupun mental, yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam keluhan atau
gangguan, sehingga individu menjadi sakit. Namun seringkali penyebab sakitnya
tidak diketahui secara jelas, karena individu yang bersangkutan tidak menyadari
lagi tekanan atau stres yang dialaminya, sehingga tanpa disadari individu
menggunakan jenis penyesuaian diri yang kurang tepat dalam menghadapi stresnya.
Sebaliknya, bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang
tepat, meskipun stres atau tekanan tersebut tetap ada, individu yang
bersangkutan tetaplah dapat hidup secara sehat. Bahkan tekanan-tekanan tersebut
akhirnya justru akan memungkinkan individu untuk memunculkan potensi-potensi
manusiawinya dengan optimal. Penyesuaian diri saat menghadapi stres, dalam
konsep kesehatan mental dikenal dengan istilah coping (Siswanto, 2007:50).
Lazarus dan Folkman berpendapat bahwa coping adalah proses mengelola tuntutan
(internal atau eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan dari
individu. Coping terdiri atas upaya-upaya 3 yang berorientasi kegiatan dan
intrapsikis untuk mengelola (seperti menuntaskan, tabah, mengurangi atau
meminimalkan) tuntutan internal dan eksternal, dan konflik diantaranya (Yusuf,
2004: 115). Selanjutnya, Lazarus & Folkman menyatakan bahwa, coping stres
mempunyai 2 macam cara, yaitu, coping yang berfokus pada emosi dan coping yang
berfokus pada masalah. Coping yang berfokus pada masalah, tidak seperti coping
yang berfokus pada emosi, dimana orang berusaha menjaga jarak antara diri
mereka dengan sumber stres melalui penyangkalan atau penghindaran, coping yang
berfokus pada masalah membantu orang menghadapi sumber stres. Pada saat
menghadapi masalah medis yang serius, strategi berfokus pada masalah seperti
mencari informasi dan tetap menunjukkan semangat dan menjaga harapan
kemungkinan, bersifat adaptif dan meningkatkan kesempatan untuk sembuh (Nevid,
J. S, 2003: 144). Emosi merupakan warna dan musik kehidupan yang mengikat orang
untuk hidup berdampingan. Emosi diwakili oleh perilaku yang mengekspresikan
kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang
dialami. Emosi juga bisa berbentuk sesuatu yang spesifik seperti rasa senang,
takut, marah, dan seterusnya, tergantung interaksi yang dialami. Bahkan menurut
Santrock (2007; 6-7), ekspresi emosi memiliki peran yang sangat penting dalam
menunjukkan kepada orang lain apa yang dirasakan seseorang, mengatur perilaku
seseorang dan sebagai poros dalam hubungan sosialnya. Oleh karena itu emosi tersebut
4 haruslah kita atur dengan sebaik mungkin.
Selanjutnya, emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat
terbukti bisa melenyapkan stres pekerjaan. Semakin tepat kita mengkomunikasikan
perasaan, semakin nyaman perasaan kita. Keterampilan manajemen emosi
memungkinkan kita menjadi lebih akrab dan mampu bersahabat, berkomunikasi
dengan tulus dan terbuka kepada orang lain. (Martin, 2003:25) Bar-On dalam
Stein (2004; 31) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian
kemampuan, kompetensi dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Sedangkan
Salovey dan Mayer, pencipta istilah "kecerdasan emosional",
menjelaskannya sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya,
dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi
dan intelektual. Selanjutnya, Goleman menambahkan bahwa ciri-ciri lain dari
kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdo’a (Goleman, 1997:45).
Pada masa remaja, fisik seorang anak tumbuh menjadi dewasa. Pertumbuhan anak
menjelang dan selama masa remaja ini menyebabkan tanggapan masyarakat yang
berbeda pula. Mereka diharapkan dapat 5 memenuhi tanggung jawab orang dewasa,
tetapi karena antara pertumbuhan fisik dan kematangan psikisnya masih terdapat
jarak yang cukup lebar, maka remaja sering mengalami kegagalan dalam memenuhi
tuntutan sosial yang menyebabkan frustasi dan konflik-konflik batin (yang dapat
mengakibatkan stres), terutama apabila tidak ada pengertian dari pihak orang
dewasa (Monks, 2002: 268). Monks berpendapat pula bahwa pada masa remaja
dikenal dengan masa storm and stress, dimana terjadi pergolakan emosi yang
diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang
bervariasi. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari
bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan
teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan
sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat
berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara
efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa
remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk
memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan
energinya ke arah yang tidak positif, seperti tindakan anarkis. Hal ini
menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila
berinteraksi dalam lingkungannya (Mutadin, 2002). Masa remaja merupakan masa
yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya, terutama
dalam rangka menghindari 6 hal-hal negatif yang dapat merugikan diri sendiri
dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut
kecerdasan emosional, karena dengan dimilikinya kecerdasan emosional, maka
remaja akan lebih peduli pada emosinya, menjadi lebih positif tentang diri
mereka sendiri, bergaul lebih baik dengan orang lain, lebih andal mengatasi
masalah, lebih tahan terhadap stres, tidak terlalu impulsif, dan dapat
menikmati hidup (Stein, 2004: 23). Seperti halnya transisi dari sekolah dasar
menuju sekolah menengah pertama yang melibatkan perubahan dan kemungkinan
stres, begitu pula masa transisi dari sekolah menengah atas menuju universitas.
Dalam banyak hal, terdapat terdapat perubahan yang sama dalam dua transisi itu.
Berpindah dari seorang senior di sekolah menengah atas menjadi orang baru di
universitas memainkan kembali top dog-phenomenon (keadaan bergerak dari posisi
teratas ke posisi paling bawah), (Santrock J. W, 2002: 74). Bahkan, dalam
menghadapi dunia kerja yang kompleks, dengan tugas yang sangat khusus, banyak
anak muda yang telah melampaui masa remaja menghabiskan periode waktu yang
panjang dalam institut teknik, universitas, dan pusat pendidikan pasca sarjana
untuk memperoleh kemampuan khusus, pengalaman pendidikan dan pelatihan
profesional. Sementara itu, perubahan yang terjadi tersebut merupakan ciri masa
transisi dari remaja menuju dewasa (Santrock J. W, 2002: 72-73). Masa transisi
dari remaja ke dewasa juga merupakan masa usia mahasiswa, 7 karena masa usia
mahasiswa biasanya dimulai dari sekitar umur 18 tahun sampai sekitar 25 tahun.
Mereka ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal
atau dewasa madya. Dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia
mahasiswa ini ialah pemantapan pendirian hidup (Yusuf, 2004: 27).
Meskipun perubahan tersebut memungkinkan terjadinya hal-hal yang
positif, namun demikian, mahasiswa baru di universitas tampaknya lebih banyak
mengalami tekanan dan depresi daripada di masa lalu. Hal tersebut mengacu pada
survei yang dilakukan oleh Astin, Green & Korn (Santrock, 2002:74) terhadap
kurang lebih 3000 mahasiswa baru pada sekitar 500 sekolah tinggi dan
universitas. Pada tahun 1987, 8,7% mahasiswa baru dilaporkan sering merasa
depresi; pada tahun 1988, gambaran itu meningkat menjadi 10,5%. Ketakutan akan
kegagalan dalam sebuah dunia yang berorientasi pada kesuksesan seringkali
menjadi alasan untuk stres dan depresi diantara mahasiswa universitas. Tekanan
untuk sukses di universitas, mendapatkan pekerjaan yang sangat baik dan
menghasilkan uang yang banyak adalah suatu hal yang sangat berpengaruh pada
sebagian besar mahasiswa. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh
peneliti pada tanggal 6 Juli 2011, kepada empat orang mahasiswa baru dengan
inisial EC, PA, RS, dan HS di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya (JAFEB UB) Malang, terungkap bahwa transisi antara masa sekolah
menengah atas menuju universitas, telah menyebabkan beberapa 8 tekanan pada
diri mereka seperti; dalam hal pertemanan, awalnya merasa kesulitan, namun
karena teman-teman yang ramah, serta aktif di organisasi maka semakin lama
semakin akrab. Dalam hal pengaturan waktu dan kemandirian, harus mampu mengatur
jadwal kuliah sendiri, mengatur sendiri kebutuhan sehari-hari karena jauh dari
orang tua, terutama ketika jatuh sakit harus bisa merawat diri sendiri. Serta,
dalam hal perkuliahan, karena beberapa mahasiswa baru berasal dari jurusan IPA,
maka awal mula masuk kuliah mengalami sedikit kesulitan dalam memahami
pelajaran, tugas di kuliah yang lebih banyak daripada ketika masih sekolah dan
harus selesai dalam waktu singkat, selain itu pengawasan ketika ujian di kuliah
lebih ketat dengan penilaian yang lebih teliti. Gejala-gejala munculnya stres
yang tampak pada mahasiswa baru JAFEB UB Malang antara lain, sakit kepala,
jantung berdebar-debar, gelisah atau cemas, malas belajar, melamun, dan
marah-marah tanpa sebab. Sedangkan langkah yang biasanya mereka lakukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut, seperti dengan jalan-jalan ke pusat
perbelanjaan, mendengarkan musik, menonton televisi, tidur seharian, atau
dengan berkumpul bersama teman-teman.
Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa, para mahasiswa baru,
telah menunjukkan beberapa strategi coping stres, seperti problem focused
coping yakni: sering berkumpul bersama dengan teman-teman, mengikuti
organisasi, dan belajar kelompok, sehingga hubungan mereka yang awalnya kurang
begitu akrab, lamakelamaan terjalin keakraban, dari yang pada awalnya mengalami
kesulitan 9 mengikuti pelajaran menjadi mudah memahami materi. Sedangkan untuk
strategi coping yang kedua, yakni emotional focused coping ini nampak pada
kebiasaan mereka yang senang berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan (mall),
mendengarkan musik, menonton televisi, dan tidur seharian ketika sedang
menghadapi permasalahan. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti akan melakukan
penelitian mengenai “Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Pemilihan
Strategi Coping Stres pada Mahasiswa Baru Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat kecerdasan emosional
(Emotional Intelligence) mahasiswa baru JAFEB UB Malang? 2. Bagaimana strategi
coping stres mahasiswa baru JAFEB UB Malang? 3. Apakah terdapat hubungan antara
kecerdasan emosional dengan strategi coping stres, pada mahasiswa baru JAFEB UB
Malang?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah : 1. Untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional mahasiswa baru JAFEB
UB Malang 10 2. Untuk mengetahui strategi coping stres mahasiswa baru JAFEB UB
Malang. 3. Untuk mengetahui adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan
strategi coping stres, pada mahasiswa baru JAFEB UB Malang.
D.
Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini
diharapkan memiliki manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini, diharapkan dapat
memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu psikologi, memperkaya hasil
penelitian yang telah ada dan dapat memberi gambaran mengenai hubungan
kecerdasan emosional terhadap pemilihan strategi coping stres pada mahasiswa
baru.
2.
Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah, diharapkan dapat
memperkaya informasi mengenai hubungan kecerdasan emosional terhadap strategi
coping stres bagi para mahasiswa, dosen, dan staf pengajar, dalam upaya
membimbing dan mengoptimalkan kecerdasan anak bangsa. Sedangkan bagi peneliti
sendiri, akan memberikan banyak manfaat, terutama dalam mengembangkan
penelitian selanjutnya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan antara kecerdasan emosional dengan pemilihan strategi coping stres pada mahasiswa baru Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
1 comment:
nike zoom
nike air max
nike basketball shoes
pg 1
cheap jordans
nike hyperdunk
adidas nmd
basketball shoes
asics sneakers
kate spade handbags
Post a Comment