Abstract
INDONESIA:
Masa remaja masih merupakan masa belajar di sekolah. Sekolah merupakan lingkungan pendidikan sekunder bagi remaja setelah lingkungan keluarga. Di sekolah, remaja selalu dihadapkan pada situasi penilaian keberhasilan dari guru maupun teman, baik keberhasilan dalam ujian maupun tugas sekolah untuk mengetahui kemajuan tingkat prestasi belajar. pengukuran hasil belajar cenderung bersifat kuantitatif, lantaran simbol angka atau skor untuk menentukan kualitas keseluruhan kinerja akademik siswa. Hal ini membuat siswa berlomba-lomba, tertekan dan memiliki keharusan dalam meraih nilai yang tinggi sehingga tidak jarang siswa melakukan tindakan tidak jujur atau menyontek untuk meraih nilai tinggi. Dengan semakin banyak perilaku menyontek dalam kalangan siswa maka perlunya diantisipasi faktor-faktor yang diduga dapat menimbulkan terjadinya perilaku menyontek. Salah satu faktor yang diduga dapat menimbulkan perilaku menyontek adalah self-efficacy (keyakinan dalam diri).
Penelitian ini beranjak dari adanya fenomena perilaku menyontek pada siswa SMP. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek pada siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang. Berpijak pada rumusan masalah dan tujuan penulisan, peneliti memiliki ketertarikan untuk menganalisa permasalahan tersebut dan mengaplikasikan kedalam bentuk skripsi.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara self-efficacy dengan perilaku menyontek. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Isntrumen yang digunakan dalam pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan skala self efficacy dan skala perilaku menyontek yang disebarkan kepada 78 subjek penelitian. Skala self efficacy terdiri dari 8 aitem dan skala perilaku menyontek terdiri dari 26 aitem.
Analisis data yang digunakan yakni analisis korelasi product moment. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa self-efficacy diperoleh prosentase tinggi 20,5%, sedang 62,8%, rendah 16,7%. Untuk perilaku menyontek diperoleh prosentase tinggi 12,8%, sedang 69,2%, rendah 17,9%. Korelasi antara variabel adalah hasil rxy = -0.739 p = 0.000, yang berarti hipotesis dalam penelitian ini diterima, bahwa terdapat hubungan yang negatif antara self-efficacy dengan perilaku menyontek. Dimana semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki oleh siswa maka semakin rendah perilaku menyonteknya, sebaliknya semakin rendah self-efficacy siswa maka semakin tinggi perilaku menyonteknya.
ENGLISH:
Adolescence is a learningperiod for teenagers. Schoolisthe secondary learning environment for them besides family environment. Teenagers always face a situation in which they get an achievement evaluation from teachers and friends, both the achievements in exams and school assignments. It is conducted to measure the improvement of the learning achievement level. The measurement of learning outcome tends to be quantitative since the symbol of number or score are made to determine the students’ overall academic performance. It triggers students to compete. It, therefore, makes them feeling depressed and having an obligation to achieve high score which leadsto academic dishonesty or cheating. Due to rising number of cheating behavior among students, it is important to anticipate the triggering factors. One of which is self-efficacy.
This research is stimulated by the phenomena of cheating behavior among junior high school students. It aims to know the relation between self-efficacy and cheating behavior among the students of SMP Ahmad YaniTuren Malang. Therefore, the researcher is interested to analyze the research problem.
The hypothesis proposed in this research is the negative relation between self- efficacy and cheating behavior. It employs a quantitative approach. This research also uses self-efficacy and cheating behavior scale in conducting data collection. The scales are given to 78 subjects of research. Self-efficacy scale consists of 8 items and cheating behavior scale consists of 26 items.
The data analysis used is product moment correlation analysis. The result of research shows that a high percentage obtained for self-efficacy is 20,5%, the medium percentage is 62,8%, and the low percentage is 16,7%. The high percentage obtained for cheating behavior is 12,8%, the medium percentage is 69,2%, and the low percentage is 17,9%. The result obtained for the correlation between variables is rxy= -0.739 p = 0.000. It indicates that the hypothesis previously made is accepted, that is the negative relation between self-efficacy and cheating behavior does exists. The higher the students’ self-efficacy, the lower the rate of cheating behavior.Vice versa, the lower the students’ self-efficacy, the higher the rate of cheating behavior.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi
manusia dan bertujuan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Ihsan bahwa pendidikan sebagai usaha manusia untuk
membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat. Proses
pendidikan adalah belajar yang melibatkan mental sehingga menghasilkan
perubahan-perubahan dalam bersikap (Ihsan, 2008:2). Pelaksanaan pendidikan
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam bab 2 pasal 3
yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UU Republik Indonesia, 2003). Peningkatan sumber daya
manusia, dan tujuan-tujuan dari pendidikan dapat ditunjukkan dengan tercapainya
standar prestasi belajar. Pencapaian prestasi pendidikan perlu diukur untuk
mengetahui kemajuan tingkat prestasi belajar siswa. Alat ukur yang digunakan
ialah evaluasi belajar seperti ulangan dan ujian (Syah, 2007:142). Menurut Syah
(2007:141) kebanyakan pelaksanaan pengukuran hasil belajar cenderung bersifat
kuantitatif, lantaran simbol angka atau 2 skor untuk menentukan kualitas
keseluruhan kinerja akademik siswa. Hal tersebut membuat siswa tertekan dan memiliki
keharusan dalam meraih nilai yang tinggi bukan pada ilmu yang disampaikan. Hal
ini memicu para siswa untuk berlomba-lomba untuk mencapai nilai tertinggi dan
dianggap berhasil dalam belajar. Dalam mencapai nilai yang tinggi banyak hal
yang dapat dilakukan siswa, tidak jarang siswa melakukan praktik-praktik yang
terlarang seperti salah satunya menyontek sehingga tujuan dari tes atau ujian
terabaikan. Tindakan menyontek yang dilakukan oleh setiap siswa dari berbagai
jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi (Hartanto,
2012:2). Alasan seseorang mencontek sangat beragam. Menurut (Anderman dan
Murdock, 2007; Hartanto, 2012) berdasarkan perspektif motivasi, beberapa siswa
menyontek karena sangat fokus pada nilai atau ranking di kelas, yang lain
menyontek karena mereka sangat takut pada kesan yang akan diberikan oleh teman
sebaya mereka pada dirinya (yakni dianggap bodoh atau dijauhi) (Hartanto,
2012:5). Hal ini juga dikarenakan ada tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi
yaitu dari orang tua, teman sebaya dan guru yang meyebabkan terjadinya perilaku
menyontek (Murdock & Anderman, 2006:132). Dengan pandangan tersebut membuat
tekanan pada siswa untuk memperoleh nilai yang tinggi. Tekanan tesebut akan
membuat para siswa lebih fokus tehadap nilai saja tapi bukan pada ilmunya.
Siswa akan melakukan segala cara untuk memperoleh nilai yang sesuai dengan
target misalkan seperti siswa akan 3 belajar lebih giat. Adapula siswa yang
melakukan cara yang lain untuk bisa memperoleh nilai yang baik dengan cara
menyontek. Ehrich, Flexner, Carruth dan Hawkins menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan menyontek (cheating) adalah melakukan ketidakjujuran atau tidak fair
dalam rangka memenangkan atau meraih keuntungan. Menyontek merupakan perilaku
curang seperti meniru hasil pekerjaan orang lain dengan cara disengaja atau
secara diam-diam (Anderman dan Murdock 2007:34).
Alat dan metode yang digunakan untuk melakukan aksi curang ini pun
bermacam-macam. Pincus dan Shmelkin menyatakan bahwa perilaku menyontek
dilakukan dengan cara membuat catatan, melihat pekerjaan teman yang lain
(mencuri), atau membuat catatan atau istilah dalam suatu kertas (Hartanto,
2012:12). Menyontek meliputi kegiatan meniru atau melihat jawaban orang lain,
melihat sebagian atau keseluruhan pekerjaan orang lain dan mengakuinya sebagai
hasil dari pekerjaannya, melihat jawaban dari internet (ketika hal tersebut
dilarang atau tidak diijinkan), menyimpan jawaban pada telepon selular
(handphone) atau MP3 player, menggunakan catatan (kerpekan), serta meminjam dan
melihat naskah hasil pekerjaan teman (Tamekia Reece, 2009; Hartanto, 2012:12).
Menurut Fishbein dan Ajzen, membagi aspek perilaku menyontek menjadi empat
aspek, perilaku sebagai niat untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan
tertentu memiliki empat aspek diantaranya: perilaku (behavior), sasaran
(target) merupakan objek yang menjadi sasaran dari 4 perilaku, situasi
(situation) menunjukan pada situasi yang mendukung munculnya perilaku, waktu
(time) menunjukan kapan suatu perilaku muncul (Fishbein & Ajzen 1975:292).
Menurut Hetherington dan Feldman, tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
perilaku menyontek adalah mengganti suatu jawaban dengan melihat jawaban teman
ketika ujian atau tes berlangsung, menggunakan catatan ketika ujian berlangsung
atau membawa jawaban yang telah dipersiapkan dengan menuliskannya terlebih
dahulu sebelum berlangsungnya ujian, menggunakan media elektronik untuk
memperoleh jawaban, dan mengizinkan sesorang melihat atau menyalin jawabannya
(Hartanto, 2012:17). Menyontek lebih mungkin terjadi pada sekolah menengah dan
kelas tinggi daripada di kelas sekolah dasar karena praktik pembelajaran yang
digunakan di sekolah-sekolah menengah dan sekolah tinggi lebih terfokus pada
nilai dan kemampuan daripada yang terjadi di sekolah dasar (Anderman dan
Murdock, 2007:2). Hal ini menunjukan bahwa menyontek adalah sangat umum pada
kalangan pelajar. Sejumlah penelitian menunjukan bahwa lingkungan sekolah
menengah lebih terfokus pada nilai dan kinerja daripada sekolah dasar (Anderman
& Midgley, 1997; Anderman, 1998:84). Konsekuensi berkala, sebagai siswa
pindah dari sekolah dasar ke sekolah menengah, meningkatnya fokus pada nilai
dapat menyebabkan beberapa siswa untuk menyontek (Anderman, 1998:84). 5 Survey
dan wawancara yang dilakukan Taylor, Pogrebin, & Dodge menunjukan bahwa
siswa dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi percaya bahwa menyontek
disebabkan oleh tekanan dan persaingan untuk mendapatkan nilai tinggi. Siswa
sekolah menengah pertama dan tinggi menyatakan bahwa tekanan untuk mendapatkan
nilai tinggi yaitu dari orang tua, teman sebaya dan guru yang meyebabkan
terjadinya perilaku menyontek (Murdock & Anderman, 2006:132). Emily
menyatakan bahwa perilaku menyontek selama ujian di sekolah meningkat setiap
tahunnya (Muslifah, 2013:2). Sementara itu fenomena perilaku menyontek di
Indonesia, menurut survey yang dilakukan Andi dalam survey Litbang Media Group
(2007) mayoritas anak didik, baik di bangku sekolah maupun perguruan tinggi
melakukan kecurangan akademik dalam bentuk mencontek. Begitu juga yang
diungkapkan liputan 6 SCTV (dalam Muslifah, 2013), sejumlah siswa di Grobokan,
Jawa Tengah menyontek dengan bertukar jawaban dan membawa kunci jawaban dari HP
saat pelaksanaan ujian nasional (Muslifah, 2013:3). Hal yang sama juga terungkap
dalam studi yang dilakukan Steinberg (1996) ditemukan pada akhir tahun ajaran,
sedikitnya 70 persen siswa sekolah menengah atas laporan menyontek pada saat
tes, dan sedikitnya 90 persen diindikasikan menyalin tugas atau pekerjaan siswa
lain (Hartanto, 2012:31). Kenyataan tersebut juga terjadi di lokasi penelitian
menunjukan kasus yang sama. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan 6
terhadap guru dan sekaligus menjadi kepala sekolah di lokasi penelitian,
didapatkan hasil bahwa, adanya perilaku menyontek yang dilakukan siswa pada
saat ulangan/ujian ataupun pada saat mengerjakan tugas. Salah satu guru mata
pelajaran muatan lokal di sekolah tersebut sering menemukan beberapa jawaban
yang sama antara siswa satu dengan yang lainnya. Siswa yang menyontek karena
belum mempunyai persiapan materi pelajaran dan memilih waktu untuk bermain dari
pada belajar. Upaya guru terhadap siswa yang ketahuan menyontek akan ditegur
oleh gurunya untuk tidak menyontek, tapi apabila masih ada yang melanggar maka
lembar jawaban akan diambil dan akan diberi waktu khusus untuk menyelesaikan
lembar jawaban sendiri dan diawasi. Perilaku menyontek yang ditunjukan siswa
seperti bekerjasama dengan teman sebelah mereka sperti bertanya kepada teman
sebelahnya, melihat jawaban teman-temannya. (wawancara, Juli 2014). Selain itu
peneliti juga melakukan wawancara terhadap siswa di SMP tersebut yang
menyatakan bahwa ada beberapa teman-temannya yang sering menyontek pada saat
ulangan atau diberikan soal di dalam kelas oleh guru. Siswa menyontek karena
kurang paham terhadap mata pelajaran yang diujikan dan belum ada persiapan
menghadapi soal-soal atupun saat ada ulangan di sekolah sehingga kurang yakin
dengan jawaban sendiri, takut salah dan mendapatkan nilai jelek, hal ini
dikarenakan salah satu pernyataan siswa ia lebih sering bermain dibandingkan
dengan belajar.
Biasanya jika mau menyontek
melihat jawaban teman, bertanya 7 pada teman sebelah, kalau buka buku atau
catatan kurang berani, tutur siswa perempuan saat diwawancarai (wawancara,
Agustus 2014). Dengan semakin banyak perilaku menyontek pada kalangan pelajar
maka perlunya diantisipasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan munculnya
perilaku menyontek. Salah satu yang diduga dapat menyebabkan terjadinya
perilaku menyontek yaitu self-efficacy atau yang disebut dengan keyakinan dalam
diri individu akan kemampuannya sendiri (Alawiyah, 2011:5). Menurut (Pajares
1996; Anderman & Murdock, 2007:18) jika siswa memiliki self-efficacy tinggi
maka ia akan mamiliki rasa percaya diri yang tinggi pula dalam mengerjakan
tugas, menghadapi ulangan ataupun ujian sehingga siswa akan cenderung menolak
perilaku menyontek. Hal ini juga sesuai dengan pendapat (Murdock, Hale dan
Weber 2001; Anderman dan Murdock, 2007:19) yang menyatakan bahwa keyakinan diri
siswa yang rendah menjadi salah satu indikasi munculnya intensi perilaku
menyontek siswa. Keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh siswa dalam
bertindak disebut self-efficacy. Siswa yang memiliki kebiasaan menyontek dapat
dikatakan bahwa ia memiliki self-efficacy rendah atau low selffficacy. Hal
tersebut senada dengan pendapat Hartanto (2012:23) yang menyebutkan bahwa
gejala yang paling sering ditemui pada siswa yang menyontek ialah kebiasaan
menunda-nunda tugas dan low self-efficacy. 8 Terjadinya perilaku menyontek
sering dikaitkan dengan selfefficacy seseorang. Self-efficacy adalah
kepercayaan seseorang tentang kemampuan diri dalam bertindak, sehingga dalam
self-efficacy diperlukan adanya kecakapan. Istilah self-efficacy dapat dimaknai
sebagai keyakinan diri seseorang dalam menyelesaikan tugas atau permasalahan
tertentu (Hartanto, 2012:7). Selain itu self-efficacy menentukan bagaimana
seseorang merasa, berfikir, memotivasi diri sendiri dan berperilaku (Bandura,
1994:3). Tingkat self-efficacy yang dimiliki siswa akan menentukan keyakinan
diri dalam mengerjakan tugas, ulangan, atau ujian. Jika selfefficacy siswa
tinggi maka ia akan percaya diri. Jika self-efficacy siswa rendah maka ia akan
memiliki keyakinan diri yang rendah juga, sehingga akan melakukan perilaku
menyontek.
Bandura mendefinisikan bahwa
self-efficacy diri adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam
melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu
yang diukur dengan menggunakan tiga dimensi yaitu dimensi level, dimensi
strength, dan dimensi generality. Self-efficacy juga merupakan suatu keadaan
dimana seseorang yakin dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari
usaha yang telah dilakukan. Sedangkan menurut Schunk 1991, 1999, 2001, 2004
(dalam Santrock, 2009:216), self-efficacy memengaruhi siswa dalam memilih
kegiatannya. Siswa dengan self-efficacy yang rendah mungkin menghindari
pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk 9 tugas-tugas yang menantang,
sedangkan siswa dengan self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang besar
untuk mengerjakan tugastugasnya. Adapun bentuk-bentuk dari self-efficacy
menurut (Brown, 2006; dalam Manara, 2008) yaitu antara lain : yakin dapat
menyelesaikan tugas tertentu, yakin dapat memotivasi diri untuk melakukan
tindakan yang diperlukan untuk menyelsaikan tugas, yakin bahwa diri mampu
berusaha dengan keras, gigih dan tekun, yakin bahwa diri mampu bertahan
menghadapi hambatan dan kesulitan, yakin dapat menyelesaikan permasalahan di
berbagai situasi (Manara, 2008:36). Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa
self-efficacy berperan penting dalam pembentukan tingkah laku. Bandura dan Wood
menjelaskan bahwa self-efficacy diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan
individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang
diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi (Ghufron, 2010:74).
Adapun dalam penelitian ini, fokusnya adalah pada siswa SMP. Karena
siswa SMP merupakan usia peralihan dari masa anak-anak menuju ke masa remaja
awal, selain itu merekapun mengalami perubahan lingkungan sekolah, dari sekolah
dasar ke jenjang yang lebih tinggi yakni Sekolah Menengah Pertama. Tahun
pertama di sekolah menengah pertama dapat menyulitkan bagi sejumlah siswa
(Anderman & Anderman, 2010; Santrock, 2012:427). Karena Transisi menuju
sekolah menengah pertama 10 barlangsung ketika banyak perubahan di individu,
keluarga, dan sekolah terjadi secara simultan (Santrock, 2012:427).
Perubahan-perubahan ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pubertas dan
citra tubuh; munculnya pemikiran operasional formal, termasuk perubahan dalam
kognisi sosial; meningkatnya tanggung jawab dan menurunnya ketergantungan pada
orang tua; memasuki struktur sekolah yang lebih besar dan impersonal; perubahan
dari satu guru ke banyak guru serta perubahan dari kelompok rekan sebaya yang
kecil dan homogen menjadi kelompok rekan sebaya yang lebih besar dan heterogen
(Santrock, 2012:427). Pada masa ini siswa perlu menyesuaikan diri dengan
keadaan yang berbeda dengan sebelumnya dan proses pencapaian nilai pun berbeda
dengan sekolah dasar. Dalam kondisi tersebut perilaku menyontek mungkin akan
terjadi karena dipandang sebagai jalan keluar termudah agar mereka tetap dapat
mendapatkan nilai tinggi atau dapat berprestasi di sekolahnya. Oleh karena itu
perlunya kesiapan dalam diri siswa untuk menghadapi proses perubahan yang
terjadi agar tidak terjadi penyimpangan. Selain itu karena siswa SMP, termasuk
SMP Ahmad Yani Turen adalah termasuk pada masa remaja awal yang mana masa ini
merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, maka pada masa ini
sesorang banyak sekali mengalami perubahan dalam dirinya, baik perubuhan
pertumbuhan, seks dan sosial. Oleh karena itu remaja dituntut untuk bisa
memiliki rasa keyakinan akan kemampuannya dalam 11 menghadapi ujian, ulangan
maupun tugas-tugas lainnya, dan dapat menentukan tujuan mereka dalam bidang
akademis maupun prestasi yang sesuai dengan apa yang diharapkan tanpa
menyontek.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti merasa
tertarik untuk meneliti keterkaitan antara self-efficacy dengan perilaku
menyontek, dengan judul Hubungan Antara Self-efficacy dengan Perilaku Menyontek
pada Siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang. B. Penelitian Terdahulu Adapun beberapa
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yudiana (2006) mahasiswa fakultas
Psikologi Universitas Padjadjaran dihasilkan korelasi antara frekuensi perilaku
mencontek dengan motif untuk berhasil yang diperoleh adalah -0,265 dan
signifkan pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini ada hubungan antara keduanya,
jika motif untuk sukses meningkat maka frekuensi untuk mencontek menurun.
Tingkat perilaku siswa dalam mencontek mungkin terjadi dalam kualitas dan
kuantitias yang berbeda tergantung kepada level perkembangan kognitif, sosial,
dan moral siswa yang bersangkutan (Akbar, 2012:4). Sedangkan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Setyani (2007). Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil
analisis data menunjukkan ada koefisien korelasi (r) sebesar rxy = - 0,464
dengan p = 0,000 (p<0,05), yang artinya terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan intensi menyontek. Dalam penelitian menunjukan 12 bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara konsep diri dengan intensi menyontek. Berarti bahwa semakin positif konsep diri maka semakin rendah intensi menyontek, sebaliknya semakin negatif konsep diri akan semakin tinggi intensi menyontek. Selain itu penelitian juga dilakukan oleh Muslifah (2013) mahasiswa bimbingan dan konseling Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul penelitian “Hubungan antara kontrol diri dengan intensi perilaku menyontek”, hasil penelitiannya menjelaskan bahwa hubungan kedua variabel ini menunjukan hubungan negatif signifikan antara kontrol diri dengan intensi menyontek dengan nilai koefisien korelasi -0,512 dengan nilai p= 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kontrol diri, maka semakin rendah intensi perilaku menyontek dan begitu juga sebaliknya (Muslifah, 2013:1). Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Anugerahening (2009) yang berjudul perilaku menyontek ditinjau dari kepercayaan diri. Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil analisis data menunjukkan ada koefisien korelasi (r) sebesar rxy = -0,425 dengan p=0,000 yang artinya terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan perilaku menyontek. Semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah perilaku menyontek. Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman hidup (Lauster, 1992 dalam Ghufron & Risnawita, 2010). Kepercayaan diri adalah sifat yang dimiliki seseorang. Kepercayaan diri merupakan sikap mental seseorang dalam menilai diri maupun objek 13 sekitarnya sehingga orang tersebut mempunyai keyakinan akan kemampuan dirinya untuk dapat melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Kepercayaan diri adalah keyakinan untuk melakukan sesuatu pada diri subjek sebagai karakteristik pribadi yang di dalamnya terdapat keyakinan akan kemampuan diri, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional, dan realistis (Ghufron & Risnawita, 2010). Berdasarkan penjelasan di atas self-efficacy (keyakinan diri) merupakan salah satu aspek dari kepercayaan diri. Dengan demikian peneliti memilih self-efficacy untuk sebagai judul penelitian ini, dimana self-efficacy dan kepercayaan diri merupakan keyakinan untuk melakukan sesuatu akan kemampuan dirinya untuk dapat melakukan sesuatu. Berdasarkan pemaparan penelitian terdahulu diatas telah banyak penelitian yang menjelaskan faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku menyontek. Pada dasarnya, perilaku mencontek ini merupakan perwujudan dari keinginan dalam diri atau motif seseorang untuk berhasil. Di satu sisi, masyarakat masih berfikir bahwa perilaku menyontek merupakan perilaku yang dilakukan oleh siswa malas, tidak berbakat bahkan bodoh. Hal tersebut salah adanya, karena sejatinya perilaku menyontek justru banyak dilakukan oleh anak yang pintar (Hartanto, 2012:2). Jika siswa memiliki self-efficacy tinggi maka ia akan mamiliki rasa percaya diri yang tinggi pula dalam mengerjakan tugas, menghadapi ulangan ataupun ujian sehingga siswa akan cenderung menolak perilaku menyontek (Pajares 1996; Anderman & Murdock, 2007:18).
Berdasarkan 14 uraian di atas maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti keterkaitan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek, dengan judul Hubungan Antara Self-efficacy dengan Perilaku Menyontek pada Siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat Self-efficacy siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang?
2. Bagaimana tingkat perilaku menyontek pada siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang?
3. Adakah hubungan antara Self-efficacy dengan perilaku menyontek pada siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat self-efficacy siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang.
2. Untuk mengetahui tingkat perilaku menyontek siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang.
3. Untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek pada siswa Ahmad Yani Turen Malang.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan baik dari aspek teoritis maupun praktis, diantaranya:
1. Manfaat teoritis,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan penambahan khazanah keilmuan psikologi terutama berkenaan dengan self-efficacy dan perilaku menyontek.
2. Manfaat praktis,
sebagai bahan rujukan bagi praktis psikologi dan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak sekolah diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor penyebab siswa menyontek, sehingga mampu mengurangi intensitas menyontek pada siswa. >
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan antara self-efficacy dengan perilaku menyontek pada siswa SMP Ahmad Yani Turen Malang." Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment