Abstract
INDONESIA:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resiliensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome. Adapun yang dimaksud resiliensi adalah kemampuan individu bertahan dan beradaptasi dalam kondisi yang sulit.
Penelitian ini mengambil subyek dua orang ibu yang memiliki anak down syndrome. Penelitian kualitatif ini dalam metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan melakukan observasi moderat partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Dari hasil analisis penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak semua subyek dapat memenuhi item resiliensi. Pencapaian diantara keduanya berbeda. Jika pada subyek pertama ia mampu memenuhi ke tujuh faktor dan sumber resiliensi, maka sebaliknya subyek kedua hanya dapat memenuhi tiga aspek pembentuk dan dua sumber resiliensi, pada subyek pertama ditemukan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi resiliensinya berasal dari Tuhan dan agamanya, selain itu subyek pertama juga dikuatkan dengan faktor individual terkait keyakinan diri, kecerdasan minimal rata-rata, harga diri dan konsep diri. Adapun faktor yang menghambat resiliensi dari subyek kedua adalah pengendalian diri yang kurang, dan tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar, selain itu karena keterbatasan ekonomi subyek kurang mampu menangani permasalahan secara efektif sehingga tidak tercapai faktor efikasi diri. Adapun persamaan diantara kedua subyek adalah sama-sama dikuatkan oleh pengalaman yang sulit.
ENGLISH:
This study aims to find out the resilience and the factors that affect the resilience mother who has children Down syndrome. As for the meaning of resilience is the ability of individuals to survive and adapt in difficult conditions.
This study takes the subject of two mothers who has children Down syndrome. This qualitative research in data collection methods used is to perform moderate participant observation, depth interviews, and documentation.
From the analysis results was concluded that not all subjects can meet resilience item. Achievement different between the two. If the first subject he was able to meet all seven factors and sources of resilience, then reverse the second subject can only meet three aspects of forming and two sources of resilience, the first subject was found that the dominant factor that affect resilience comes from God and religion, in addition to the first subject as well reinforced with individual factors related to self-confidence, at least average intelligence, self-esteem and self-concept. The factors that impede the resilience of the second subject is the lack of self-control, and lack of support from the surrounding environment, and also because of economic limitations subjects are less able to handle the problem effectively so as not achieved self-efficacy factors. The similarities between the two subjects are equally corroborated by hard experience.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Anak merupakan
anugrah terindah yang diberikan Allah, harta yang tak ternilai harganya, sebuah
amanah yang dititipkan lewat orang tua yang harus dirawat, dididik dan
diberikan kasih sayang yang tulus dan ikhlas, mempunyai anak merupakan dambaan
bagi setiap pasangan yang telah berumah tangga, dengan hadirnya sang buah hati
diharapkan dapat menambah rasa cinta bagi pasangan suami. Kehadiran anak tidak
hanya dapat mempererat hubungan rumah tangga, melainkan juga sebagai penerus
perjuangan orang tuanya, oleh sebab itu tidak heran jika banyak harapan-harapan
yang mengucur dari kedua orang tuanya, mereka mendambakan mempunyai anak yang
normal, fisik yang bagus, sehat, dan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
agar memenuhi harapan dan citacita kedua orang tuanya kelak. Namun pada
kenyataanya tidak semua anak yang diturunkan di dunia ini terlahir normal,
beberapa diantaranya mempunyai keterlambatan dalam hal perubahan dan
perkembangan, mereka juga menderita kelainan baik fisik maupun psikis, salah
satu di antaranya adalah down syndrome. Down syndrome merupakan cacat mental
dan kelainan genetik yang paling sering terjadi di dunia, menurut data yang
dilansir kompas.com, prevalensi down syndrome kira- kira 1 berbanding 700
kelahiran di dunia, lebih kurang ada 8 juta anak down syndrome, di Indonesia
dari hasil survey terbaru sudah mencapai lebih dari 300.000 orang.1 . Sedangkan
Kothare et al., 2002 (dalam Charina) melaporkan angka kejadian down syndrome
sekitar 1 dari 650-1000 kelahiran hidup. Kurang lebih 4000 anak dilahirkan
dengan down syndrome setiap tahunya di Amerika, atau sekitar 1 dari 800-1000
kelahiran hidup.2 down syndrome sendiri merupakan kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental. down syndrome merupakan kelainan yang disebabkan
oleh adanya kelebihan kromosom pada pasangan ke 21 dan ditandai dengan
retardasi mental serta anomaly fisik yang beragam.3 . Memiliki anak dengan
gangguan perkembangan fisik dan mental merupakan sebuah hal yang berada di luar
konsep anak yang diharapkan dan diidamkan, umumnya ibu merasa kecewa dan
frustasi, segala harapan dan keinginan yang mereka dambakan seakan lenyap
tiba-tiba. Perasaan kecewa orang tua ini muncul setelah mengetahui bahwa anak
yang dilahirkan tidak memenuhi harapanya, rangkaian selanjutnya akan
menimbulkan perasaan putus asa atau frustasi pada ibu atau keluarga yang merasa
kecewa atas kehadiran anak berkelainan, disebabkan mereka memiliki anggapan
bahwa kehadiran anak berkelainan dapat menurunkan martabat atau gengsi orang
tua atau keluarga.
Atas dasar
itulah, terdapat kecenderungan pada sikap ibu dan keluarga untuk menolak
kehadiran anaknya yang menyandang kelainan.4 Banyak kasus ibu yang
menelantarkan, membiarkan bahkan menolak anaknya yang didiagnosa sebagai anak
down syndrome, tentu saja penolakan ibu terhadap diri anak down syndrome
mempunyai efek psikologis yang negatif 1
http://internasional.kompas.com/read/2014/08/04/10392021 2 Charina,
S.(2011).Hubungan Sindroma Down dengan umur ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
dan faktor lingkungan.Jurnal kedokteran Indonesia, vol.2 No 1 Januari 2011
h.,96 3 Nevid J.S, Spencer A.R, Beverly G.(2005). Psikologi Abnormal. Jakarta:
Erlangga. hal 150 4 Efendi Muhammad.(2009).Pengantar psikopedagonik anak
berkelainan.Jakarta: PT Bumi aksara hal, 5 terhadap anak terkait
perkembanganya, rasa aman, rendah diri maupun rasa tidak berharga dan berguna,
karena hal tersebut hanya akan membuat anak tersebut merasa tidak dimengerti
dan tidak diterima apa adanya serta dapat menimbulkan penolakan bagi anak dan
lalu termanifestasi dalam bentuk perilaku yang tidak diinginkan, diperlukan
kesabaran dan kerelaan yang tinggi dalam menerima anak down syndrome.
Menurut Hurlock
(1966) unsur yang mendasari kerelaan dan kesabaran tersebut merupakan suatu
bentuk sikap penerimaan dari seorang ibu, karena dengan menerima, ibu akan
memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memberikan kasih sayang serta
perhatian yang besar pada anak.5 Soemantri (2006) menegaskan lingkungan
keluarga dan orang tua merupakan faktor yang mempunyai pengaruh penting dan
kuat terhadap perkembangan anak berkebutuhan khusus, terutama anak down
syndrome. Anak ini mengalami hambatan sehingga mereka akan sulit menerima norma
lingkunganya. Berhasil tidaknya anak luar biasa melaksanakan tugasnya akan
sangat bergantung pada bimbingan dan pengaruh orang tua.6 Rasa sedih juga
sempat terbersit dalam diri DS ketika mengetahui anaknya mempunyai gangguan
down syndrome, meskipun setelahnya DS bisa dan mampu menerima keadaan anaknya
dengan lapang dada. “Dulu waktu masih baru-baru itu mbak, sedih sempet..wong
waktu hamil saya itu ya gak kurang-kurang, ngrumat,nganu anak..ya
makanya,nutrisinya ya sembarangnya. Tapi ya balik lagi,wong takdir kan urusan
Tuhan” 7 . Kasus lain terjadi pada SF, meskipun sudah mengikuti berbagai
anjuran dokter, meningkatkan asupan makanan bergizi, kontrol teratur dan
menghindari pantangan hamil 5 Zulifatul dan Siti.( 2015).Gambaran Psychological
Well being pada perempuan yang Memiliki Anak Down Syndrom.vol 3 no 2 h.,2 6
Soemantri, T.S.(2006).Psikologi anak luar biasa. Bandung: Refika aditama h.,100
7 Wawancara personal DS (3 maret 2015) ternyata bayi yang dilahirkanya prematur
dan tidak memiliki anus. Beberapa bulan kemudian bayinya didiagnosa akan
mengalami keterlambatan mental akibat down Syndrome yang disandangnya, berbagai
kesedihan, rasa kecewa dan kebingungan juga pernah dialami SF pada tahun-tahun
pertama anaknya dilahirkan. “Sedih pastilah ya mbak, trus apa ya..kenapa bisa
terjadi ke saya trus kesalahan saya apa gitu, dunia seolah gelap dan aku sempat
putus asa karena membayangkan anakku tumbuh secara tidak normal, istilah
kasarnya inianak ini meh tak kapakno gitu loh” 8 . Terlepas dari itu anak
merupakan anugrah Tuhan yang luar biasa, amanat dari Tuhan untuk diberi bekal
yang layak bagaimanapun kondisi anak itu dilahirkan.mereka merupakan manusia
yang juga mempunyai hak untuk hidup dan diberikan kasih sayang, dilindungi dan
dikasihi oleh orang-orang terdekatnya. Lebih lanjut memiliki anak down syndrome
merupakan sebuah tantangan yang harus dilewati oleh ibu, mereka mempunyai
tanggung jawab lebih dibanding ibu yang mempunyai anak normal lainya. Ibu akan
dihadapkan pada berbagai problematika dan permasalahan terkait pengasuhan,
pendampingan, pendidikan, waktu yang cukup untuk mengurusi anak serta biaya
pengobatan yang tidak sedikit, kesulitan orang tua dengan anak down syndrome
tidak hanya berhenti pada saat kelahiran saja melainkan berlanjut ketika orang
tua membesarkan anak. Seperti yang diketahui anak dengan penyandang down
syndrome memiliki resiko lebih tinggi akan masalah kesehatan dibanding anak
yang normal. Penderita down syndrome cenderung memiliki malformasi jantung
bawaan, dan hampir semua orang dewasa penderita down syndrome menunjukkan
tanda-tanda dimensia dengan tipe Alzheimer setelah melewati umur 40 tahun,
sebuah gangguan otak 8 Wawancara personal SF (15 April 2015) yang menyebabkan
hendaya dalam ingatan dan gangguan-gangguan kognitif lainya.9 Down syndrome
merupakan bentuk retardasi mental kromosomal yang sering ditemui, hampir semua
anak ini mengalami retardasi mental dan banyak diantara mereka mengalami
masalah fisik, dalam DSM-1V-TR terdapat empat level retardasi mental yang
masing-masing berhubungan dengan satu rentangan tertentu, menurut informasi dari
guru dan orang tua menyebutkan bahwa anak down syndrome dari DS dan SF
sama-sama mengalami retardasi mental sedang, yakni sekitar 10 persen dari
mereka yang memiliki 1Q kurang dari 70 diklasifikasikan dalam kelompok
retardasi mental sedang. Kerusakan otak dan berbagai patologi lain sering
terjadi. Orang-orang yang memiliki retardasi mental dapat memiliki kelemahan
fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat ketrampilan motorik yang normal,
seperti memegang dan mewarnai didalam garis, dan ketrampilan motorik kasar
seperti berlari dan memanjat. Mereka mampu dengan banyak bimbingan dan latihan
bepergian sendiri di daerah lokal yang tidak asing bagi mereka. Banyak yang
tinggal di institusi penampungan, namun sebagian besar hidup bergantung bersama
keluarga atau dalam rumah-rumah bersama yang disuprevisi10, anak down syndrome
dengan retardasi mental sedang biasanya sangat sulit bahkan tidak dapat belajar
secara akademik seperti belajar membaca, menulis, dan berhitung walaupun mereka
masih dapat menulis secara sosial, misalkan menulis namanya sendiri, alamat
rumahnya, dapat dididik mengurus diri sendiri, seperti makan, minum dan
melakukan pekerjaan secara sederhana, dalam kehidupan sehari-hari anak down
syndrome dengan retardasi mental sedang membutuhkan pengawasan yang terus
menerus.11 9 Barlow D, Mark, Durand.(2006).Intisari Psikologi Abnormal
Yogyakarta: Pustaka pelajar. hal 306 10 Davison, Neale,Kring (2006) Psikologi
abnormal Jakarta: PT Raja Grafindo Jaya. h.,708 11 Soemantri T.S (2006) h.,107
Ibu dengan anak down syndrome dituntut untuk selalu sabar dan telaten agar
dapat memenuhi kebutuhan anak, terkait berbagai keterbatasan yang dialami anak
down syndrome juga akan menimbulkan berbagai macam fikiran dalam diri ibu
tentang masa depan si anak, bagaimana kelak dia akan menghidupi dirinya, apakah
si anak akan dapat bekerja seperti orang-orang normal lainya, apakah anak dapat
menikah dan hidup berdampingan seperti layaknya orang normal dan melanjutkan
keturunanya, secara tersirat dilema hidup juga dialami DS dalam sebuah
rangkuman wawancara berikut ini: “saya pengenya dia bisa mandiri untuk
kehidupan dia, kalau untuk dia itu ya mandiri sudah cukup mbak..untuk bekal dia
mengarungi hidup sendiri..(terdiam) mencari nafkah sendiri, berumah tangga
insyaAllah kalau Tuhan berkehendak gitu lah..(terbata-bata) yang penting itu
mandiri, bisa mandiri itu yang penting untuk hidupnya mbak,ya gak mungkin kan
kita kasaranya jagakno wong terus kan gak boleh, ya itu harus mandiri itu..ya
kalau saya orang kaya ya gak usah jauh-jauh, ga usah difikirin itu..lha saya
gak mampu e..ya bisanya ya tu ngasih sedikit ketrampilan, kalau bisa ya
mbak..apa ya biar nanti dia bisa buka warung atau apa..ya semampu saya kalau
bisa, makanya saya itu kan gak kerja, ya buat apa punya uang tapi anak yang
jadi korban” 12 Hal yang sama dikatakan Mangunsong (2011) bahwa kekhawatiran
kerap kali muncul karena beberapa masalah seperti masalah yang menyangkut
finansial dan kesempatan anak ketika menghadapi realita masa depan yang akan
muncul nantinya.
Anak dengan gangguan down syndrome sangat
mudah dikenali karena mempunyai fisik yang khas, mereka dapat dikenali
berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu seperti wajah bulat, lebar, hidung datar,
dan adanya lipatan kecil yang mengarah ke bawah pada kulit di bagian ujung mata
yang memberikan kesan mata sipit, lidah yang menonjol, tangan yang kecil dan
berbentuk segi empat dengan jari-jari pendek, jari kelima yang melengkung dan
ukuran tangan dan kaki yang kecil serta tidak proposional dibandingkan
keseluruhan 12 Wawancara personal DS (3 maret 2015) 13 Zulifatul dan
Siti.(2015).h., 2 tubuh juga merupakan ciri-ciri anak down sindrom.14 Menurut
sebagian orang hal tersebut akan terasa aneh dan lucu, penderita down syndrome
akan terlihat berbeda dan menjadi perhatian khusus bagi orang-orang yang yang
melihat di sekitarnya, tidak sedikit respon negatif yang diberikan lingkungan
kepada anak yang mengalami down syndrome dalam kehidupan sehari-hari. “ada itu
ya yang terlalu sengiit itu ya ada, tapi ya tetangga jauh itu ya ada sengiit
gitu.. dulu waktu anak saya umur 0 bulan-5 tahun itu kan makan harus dibawa
kemana-mana ya, dia itu kalau ketemu itu ya ngapain itu gitu pokonya ngomongnya
kasar gitu..ada yang ngatain AJ gini(memiringkan jari di kepala) ada juga yang
ngomong jangan mau di deketin anak ini ya kasaranya itu modelnya kayak gak mau
ketularan gitu (tertawa)”15 Sedikit berbeda dengan DS, SF merasakan bahwa
persepsi negatif justru ditujukan padanya, bahwa kondisi anaknya sekarang
merupakan manifestasi dari apa yang dia lakukan dahulu “cuman penerimaan orang
lain itu aja mbak yang kadang-kadang pasti kamu ada dosa deh sesuatu gitu
ya..atau pasti kamu minum jamu gitu kan pasti kayak dulu dokter spesialis
jantungnya itu bilang “ini pasti pernah minum jamu bla..bla..bla..” itu yang
pertama , ada juga ini pasti pernah di coba di gugurkan macem-macem gitu ya
ada, trus ada juga yang kamu punya dosa apa deh kok sampai punya anak gini” 16
Sama halnya yang dikatakan Mangunsong (2011) yang menyatakan bahwa umumnya
sumber keprihatinan orang tua berasal dari perlakuan negatif masyarakat normal
terhadap anaknya yang tidak seperti anak normal lainya. Individu yang memiliki
anak down syndrome akan dihadapkan pada cibiran dan olokan terkait anaknya yang
mengalami down syndrome. Mangunsong (2011) mengatakan bahwa ibu akan dengan
mudah mendapatkan kritik dari orang lain tentang masalah mereka dalam
menghadapi 14 Nevid J.S, Spencer A.R.& Beverly, G.(2005) Psikologi
Abnormal. Jakarta: Erlangga. Hal, 150 15 Wawancara personal DS (3 maret 2015)
16 Wawancara personal SF (15 april 2015) kondisi anak, selain itu ibu juga
sering menanggung beban dari respon tidak layak yang diberikan oleh
masyarakat.17 Selain dari masyarakat, respon negatif juga datang dari keluarga
besar, terutama dari keluarga mertua. “namanya kita manusia punya nalar punya
insting ya, di depan saya itu baik tapi kalau di belakang saya itu anu
saudara-saudara suami itu misalkan ini “gak boleh!!” misalkan kaya model
dibentak-bentak, kalau anak saya main itu gak boleh megang barang-barangnya,
takut mungkin dia itu di apa ya..kotor atau apa..tapi ajeng itu ya gak pernah
dia itu buang nglempar itu ya gak pernah. atau gimana itu kan kelihatan, ya dia
itu sepertinya dibedakan, dibedakan dari yang lain itu, anu sepupu-sepunya AJ
itu.. ya memang beda(meninggikan suara) tapi kalau menurut saya sama suami saya
itu ya jangan dibedakan, samakan saja kayak orang normalnya aja yang penting
kan tidak membahayakan tidak pokoknya tidak merugikan itu tapi di pihak saudara
suami saya itu juga di luar itu juga baik tapi di dalamnya saya tau ya dari
sukap-sikap sekecil itu namanya kita punya insting dan perasaan itu ya saya
tau, justru kalau ada mbahe (mertua saya)itu malah banyak yang sudah nengeri
itu..kalau sama saya itu ya tenang, mau cerita-cerita ayo,mau gambar-gambar
ayo, mau masak-masak ayo masak tak turutin.justru kalau ada suara lain, dia
nangis apa dia heboh itu pasti pada tau,pada dengerin “oh mbahe itu” kalau sama
saya ndak, sudah banyak yang niteni”18 Ibu dapat membangun komunikasi yang baik
pada keluarga terutama kepada mertua, bagaimana harus menjelaskan kepada
mereka, memberi pengertian yang bisa difahami mereka, dan selalu siap
menentramkan hati terkait cemooh dan olok-olok yang sering terdengar baik dari
keluarga, maupun orang-orang sekitar. Hal tersebut jugalah yang dilakukan SF
kepada orang-orang terdekatnya, khususnya suami dan mertuanya “yang penting itu
ngasih pengertian ke suami, ke orang tua ke mertua itu yang penting mah, kalau
yang lain weh whatever lah,saya cuek aja.. karena mereka ini kan yang paling
bisa dimintain dan kasih dukungan ” 19 Masalah-masalah yang dihadapi ibu dari
anak down syndrome tidak lantas berhenti disitu, dengan segala masalah dan
kendala yang ada, secara tidak langsung akan 17 Zulifatul dan Siti.2015.h., 2
18 Wawancara personal DS (3 maret 2015) 19 Wawancara personal SF (15 april
2015) menyebabkan masalah baru bagi suami istri yang memiliki anak penderita
down syndrome, baik pertengkaran-pertengkaran kecil dan cekcok yang mungkin
akan timbul terkait pengasuhan, pendidikan, pengobatan, pandangan umum, dan
keadaan emosional dari ibu sendiri, bisa jadi masalah-masalah tersebut akan
mempengaruhi keutuhan mahligai perkawinan. Dengan kondisi-kondisi diatas secara
alami ibu dengan anak down syndrome akan mudah mengalami kondisi tertekan,
begitu banyak masalah yang dihadapi dalam waktu yang bersamaan dapat
memunculkan stress dan berbagai resiko yang dapat mengancam kesehatan
psikologis mereka. Dalam sebuah survey yang dilakukan diberbagai SLB dan tempat
terapi di kota Bandung mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami oleh Ibu anak
berkebutuhna khusus tercatat sebanyak 50% (9 orang ibu) mengaku sangat
kesulitan mencari informasi lebih jauh mengenai keadaan anaknya, dan informasi
mengenai sekolah maupun tempat terapi yang bisa membantu ibu anak berkebutuhan
khusus, sebanyak 28% (5 orang ibu) mengaku bahwa dirinya merasa bersalah telah
melahirkan anak yang memiliki kekurangan, sebanyak 6% (1 orang ibu) mengaku
bahwa dirinya disalahkan oleh keluarga besar pria karena dianggap membawa sial
dalam perkawinan karena memiliki anak yang catat. Kemudian, sebanyak 78% (14
orang ibu) mengaku bingung membagi waktu antara mengurus anak yang berkebutuhan
khusus dan mengurus anggota keluarga lainya. Sebanyak 33% (6 orang ibu) mengaku
bingung membagi waktu antara mengasuh dan bekerja, sebanyak 67% (12 orang ibu)
mengaku lelah baik jiwa maupun raga ketika anaknya yang memiliki kebutuhan
khusus tidak dapat melakukan kegiatan sederhana walaupun sudah berkali-kali
diajarkan (mengancing baju, atau toilet training).20 20 Halim, B.(2009).tesis.
Kontribusi
Protective Factors Terhadap Resiliensi Ibu Yang memiliki Anak Berkebutuhan
Khusus di Kota Bandng.h., 4 Oleh karena itu ibu diharapkan dapat beradaptasi
dengan kondisi penuh tekanan yang dihadapinya sehingga mereka tetap bisa
beraktivitas secara nyaman dan produktif. Kemampuan individu dalam menghadapi
stress berbeda-beda, ada yang mudah rapuh, putus asa, dan dirundung duka yang
tak berkesudahan, namun ada pula yang memiliki kekuatan dalam diri mereka sehingga
mampu membuat dirinya tetap bisa beradaptasi dan berkembang secara positif,
tidak mudah menyerah dan putus asa meskipun dihadapkan pada kondisi yang tidak
menyenangkan. Meskipun berada dalam kondisi yang serba sulit, ibu yang memiliki
anak down syndrome sebenarnya masih memiliki kekuatan dalam dirinya untuk
bertahan dan melanjutkan hidup dengan sehat, sebagaimana yang dikatakanan
Wagnild (2011), walaupun dalam hidup manusia seringkali tidak memiliki kuasa
atas kejadian yang dialaminya, seperti kecelakaan, musibah, bencana alam,
kriminalitas, hingga penyakit yang mengarah pada kematian, tetapi setiap
individu dapat memilih bagaimana cara menghadapi kejadian tersebut. Kemampuan
bertahan dan dapat berkembang meski dihadapkan pada kondisi sulit itulah yang
dalam psikologi disebut resiliensi. Individu yang resilien sesuai dengan
paparan diatas adalah individu yang dapat beradaptasi dengan dirinya dengan
baik. Dimana resiliensi menurut Gordon (1994) merupakan kemampuan untuk
berkembang dengan baik, matang dan bertambahnya kompetensi dalam menghadapi
keadaan-keadaan dan rintangan yang sulit. Keadaan ini mungkin berat dan jarang
atau kronis dan konsisten dalam rangka untuk berkembang dengan baik, seseorang
harus menerapkanya pada semua sumber daya mereka; biologis, psikologis dan
lingkungan.21 Beberapa faktor yang berperan dalam pengembangan resiliensi
antara lain adalah karakteristik individu seperti jenis kelamin, tingkat
kecerdasan, dan kepribadian, faktor kedua adalah karakteristik keluarga,
seperti kehangatan, kelekatan dan struktur keluarga dan yang terakhir adalah
faktor ketersediaan sistem dukungan sosial diluar individu dan lingkungan
keluarga, seperti sahabat dan teman dalam komunitas. Sementara Herman et al.,
(2011), mengatakan bahwa resiliensi dipahami sebagai adaptasi positif, atau
kemampuan untuk menjaga atau mengembalikan kesehatan mental setelah menghadapi
hambatan.22 Siebert dalam bukunya The resiliency Advantage memaparkan bahwa
yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik
perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan dibawah kondisi penuh
tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup
ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai dengan kondisi yang ada, dan
menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.23 Selain itu Wagnild dan
Young (1993) mendefinisikan resiliensi sebagai suatu hal yang dinamis, tepat
suatu kekuatan dalam diri individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi
kondisi sulit dan kemalangan yang menimpanya. Waxman et al., (2003) menjelaskan
bahwa dalam literatur psikologi, konsep resiliensi digunakan untuk menjelaskan
tiga fenomena, kategori pertama yakni tentang kajian-kajian mengenai perbedaan
individu dalam pemulihan pasca bencana, kategori 21 Gardon,padilla&ford.(1994).Resilient
students beliefs about their schooling environment: a possible role in
developing goals and motivation.Paper presented at the annual Meeting of the
American Educational Research Association(New Orleans) 22 Herrman, Stewart,&Granados.(2011).
What Is resilience?.La Revue cannadienne de psyhiatre, vol 56 no 5. h, 13 23
Winda Aprilia h., 272 kedua: yakni individu dari kelompok dengan resiko tinggi
untuk memperoleh hasil yang lebih baik daripada hasil yang secara khusus
diharapkan individu tersebut dan kategori ketiga mengacu pada pada kemampuan
individu untuk beradaptasi dalam kondisi stress.
Merujuk pada
fenomena diatas resiliensi mempunyai kaitan yang erat terhadap stress,
pemulihan terhadap stress dan perbedaan tingkat stress individu. Resiliensi
hanya bisa digambarkan ketika ada kondisi atau kejadian tertekan, kemalangan
dan kesengsaraan yang dapat memicu terjadinya stress, hal ini diperkuat oleh
Masten dan Coatswert yang mengatakan bahwa untuk mengidentifikasi resiliensi
diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada
individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma
yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu
tergolong baik.25 Berbagai tekanan , kemalangan dan kesengsaraan yang
berlangsung terus menerus inilah yang dialami Ibu dengan anak down syndrome.
Penelitian yang dilakukan Upadhyay dan Havalappanavar (dalam Prasekti, 2013)
pada wanita single parent yang memiliki anak cacat mental menunjukkan tingkat
stress yang tinggi, tingkat kondisi stress terutama berkaitan dengan aspek
sosial, emosional dan finansial. Sementara Tarsidi (2006) pada penelitian yang
dilakukan umumnya ibu mengantisipasi mempunyai anak berkebutuhan khusus,
sebagian ibu akan bereaksi dengan duka cita, kebingungan, ketakutan, kemarahan
dan kekecewaan ketika mereka mendapati bahwa anaknya mengalami kecacatan.
Respon ibu dipengaruhi oleh (a) keyakinan mengenai kecacatan (b) ketrampilan
coping (c) ketrampilan mengelola stress (e) jejaring hubungan yang 24 Waxman,
gray,& pardon.(2003). Review of research on educational resilience.
Univercity of California. h.,3 25 Winda, A..(2013).Resiliensi dan dukungan
social pada orang tua tunggal. eJournal Psikologi, vol. 1, No. 3, h., 271-272
tersedia.26 Namun apabila ibu dengan anak down syndrome memiliki jiwa resilien,
maka ia akan mampu terhindar dari berbagai resiko negatif yang mengganggu
psikologisnya, atau minimal ibu dapat kembali pulih dan dapat beradaptasi
secara positif seperti biasanya, hal tersebutlah yang selalu diupayakan SF agar
terhindar dari kondisi terpuruk dan stress, ketrampilan mengelola stress yang
baik membuatnya bisa beradaptasi secara positif dengan masalahnya dan
mengembangkan diri secara optimal. “kemuadian jadi aku ikut les nari, ikut
olahraga itu, nyanyi..aku kan suka nari nyanyi juga kan, nah itu untuk upgrade
diri sendiri, nah kalau kita bisa menyenangkan diri sendiri, cinta pada diri
sendiri nah otomatis orang lain juga akan cinta gitu, anakanak juga ini misalnya
lihat ibu bahagia otomatis respecfull ya akan bagus, tapi ketika kita suntuk
karena kita gak bisa upgrade diri sendiri pasti juga keluarnya juga gak bagus
juga gitu”
Berbeda dengan
mayoritas ibu yang lain, DS justru tidak merasakan kesedihan yang
berkepanjangan, jalan hidup yang berat dan pengalaman yang sulit telah berhasil
menempanya menjadi wanita yang tangguh, dua kali kehilangan anak membuatnya
bersyukur dan sabar atas apapun kondisi anaknya yang Tuhan kehendaki. “saya
dulu nggak punya perasaan marah, jenggel,malu ndak i biasa i, soalnya memang
mungkin kan dia anak yang di harapkan, soalnya dulu dia kan istilahnya kalau
orang jawa kan diidang-idangkan, digadang-gadang, diharapkan jadi ya mau apa ya
mau gimana ya” 28 Ibu yang dapat beradaptasi dengan sukses akan mencapai
keseimbangan dalam hidupnya. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa sikap
resilien tidak saja dapat memfilter individu dari stres maupun depresi,
sebaliknya berbagai kondisi yang sulit dan permasalahan yang terjadi justru menjadikan
undividu lebih tangguh dan kuat dan dapat mengembangkan sikap-sikap positifnya,
hal tersebut sesuai dengan pernyataan Grotberg 26 Prasekti. (2013).Terapi
Kognitif Perilakuan Untuk Menurunkan Tingkat Depresi Orangtua Yang Memiliki
Anak Down Syndrom. Universitas Muhamadiyah Surakarta h.,6 27 Wawancara personal
SF (3 maret 2015) 28 Wawancara personal DS (15 maret 2015) dalam The
international Resilience Project, yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan
kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi dan bahkan dikuatkan oleh
pengalaman yang sulit, sedikit merangkum dengan gambaran diatas DS juga
mengungkapkan hal yang hampir seragam bahwa pengalaman yang sulit justru
membuatnya menjadi pribadi yang berfikir lebih positif. “malah setelah kejadian
ini itu saya lebih menghargai, mensyukuri, lebih mengasihi..kalau dulu pasti ya
ada perasaan itu tapi ya 70 persen, kalau sekarang ya 100 persen insyaAllah
mbak.. masih egois,individu itu loh kalau dulu itu cara fikirnya, kalau
sekarang ya harus lebih menghargai, mengasihi dan mensyukuri dalam hal apapun.
wong saya benar-benar merasakan benar itu keadaanya, perilaku seolaholah terus
ada yang ngerem gara-gara hadirnya anak, wes gak tak peduliin itu omongan
orang, ya gak malu gak piye-piye, suami juga gitu” Senada dengan DS, berbagai
situasi sulit yang menghampiri kehidupan SF justru semakin membuatnya
berprasangka baik kepada Allah, bahwa anak down syndrome merupakan sebuah bonus
dan amanat yang tidak semua orang bisa mampu mengembanya ia pun meyakini bahwa
SF merupakan orang yang terpilih untuk merawat anak special karena Allah
percaya dia mampu. “kalau saya beranggapan sih begini ya tidak semua orang,
tidak semua ibu diberikan anak yang special..jadi ketika saya diberikan anak
yang special mungkin Allah ngasih saya kemudahan justru gitu ya..kemudahan
untuk..ya paling mudah kemudahan untuk mendapat surga gitu ya kalau mungkin ibu
lain memerlukan sepuluh langkah atau berlari gitu kalau saya mungkin ya dengan
kesulitan yang sekarang saya dikasih bonus 9 langkah mungkin ya saya percaya
itu aja” Benard et al., (dalam Goldstein dan Brooks, 2005)
Penelitian
resiliensi penting dalam rangka membangun komunitas yang mendukung pada
pengembangan manusia berdasarkan pada hubungan saling membantu, juga
menunjukkan individu pada kebutuhan akan stabilitas psikologis dan rasa
memiliki, dan penelitian resiliensi penting karena resiliensi telah lama
dikenal oleh para peneliti psikologi dan menjadi konstribusi yang baik pada
psikologi, serta karena resiliensi mengarah pada kebijaksanaan hati dan intuisi
sebagai panduan bagi intervensi klinis. Dari kisah ibu DS dan SF penulis
tergelitik untuk mencari tahu lebih dalam tentang resiliensi dari orang-orang
yang banyak ditempa musibah atau masalah, faktor-faktor, sumber-sumber dan
kekuatan dari dalam individu yang dapat membentuk menjadi resilien. Hasil
penelitian terdahulu tentang “Dinamika Resiliensi Orang Tua Anak Autis” oleh
Siti Mumun Muniroh (2010) menemukan bahwasanya pembentukan resiliensi orang tua
anak autis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, faktor dari luar dan dari
dalam. Faktor dari dalam sendiri di antaranya adalah adanya kompetensi pribadi,
toleransi pada pengaruh negatif, penerimaan diri yang positif, kontrol diri dan
pengaruh spiritual. Sedangkan pengaruh dari luar adalah adanya dukungan
keluarga, saudara, tetangga, serta orang-orang terdekat. Selain itu ditemukan
juga bahwasanya individu yang resilien membutuhkan waktu yang lama dalam proses
adaptasi, mereka juga mengalami fase terkejut stress dan menyalahkan diri,
secara afektif mereka juga merasakan perasaan kecewa, bingung dan sedih.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ummi Kulsum dengan judul penelitian
“Faktor-Faktor Resiliensi pada Ibu Penyandang Tuna Rungu” menyimpukan bahwa
ketiga subjek yang diteliti menunjukkan faktor-faktor resiliensi yang mereka
alami, meskipun terdapat kondisi yang berbeda dari tiap-tiap individu, ada
subjek yang kurang ada subjek juga subjek yang memenuhi item resiliensi.
Dari beberapa
kasus diatas menyiratkan bahwa tidak semua individu mempunyai resiliensi dalam
dirinya, ada individu yang sudah mencapai resiliensi, ada pula individu yang
masih dalam proses pemulihan, proses resiliensi antara satu orang dengan orang
lain pun berbeda, peneliti ingin mencoba mencari penjelasan mengapa terdapat
individu yang mempunyai kemampuan adaptasi yang baik dan ada pula ndividu yang
sulit bangkit dan masih terjebak dalam kedukaan. Keunikan-keunikan ini menjadi
suatu hal yang menarik untuk dijadikan kajian penelitian dan dieksplorasi lebih
lanjut. Berangkat dari gambaran diatas menjadi alasan peneliti untuk melihat
bagaimana resilieni ibu dengan anak down syndrome secara lebih akurat dan lebih
lengkap. Adapun subjek ibu dipilih karena secara psikologis ibu merupakan orang
yang paling dekat dengan anak baik secara emosional maupun dalam kehidupan
sehari-hari, baik ketika mendampingi dan mengasuh anak, dapat diasumsikan ibu
merupakan sosok yag paling rentan terhadap stress karena kondisi anak,
diperkuat Wenar dan Kerig (2009) bahwasanya ibu seringkali dilanda stress,
terutama bagi ibu yang frekuensi bersama dengan anaknya lebih sering daripada
ayah, karena dalam hal pengasuhan anak, ibu lebih membutuhkan dukungan
sosial-emosional dalam waktu yang lama dan lebih banyak informasi tentang
kondisi anak serta dalam hal merawat anak, sebaliknya ayah lebih terfokus pada
finansial dalam membesarkan anak.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian di atas
maka bentuk masalah yang ingin di ketahui penulis adalah:
1. Bagaimanakah resiliensi
ibuyang memiliki anak down syndrome?
2. Apakah faktor-faktor yang
mempengaruhi resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas
maka bentuk tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana resiliensi ibu yang memilki anak down
syndrome.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi ibu
yang memiliki anak down syndrome.
D. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian dan gambaran data awal yang
sudah dipaparkan diatas, maka fokus utama penelitian ini adalah resiliensi pada
ibu yang memiliki anak down syndrome dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin di dapatkan dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan
menjadi pengalaman dan pembelajaran bagi penulis dalam bidang psikologi,
khususnya yang berkaitan dengan resiliensi orang tua yang memiliki anak down
syndrome.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah dan pengembangan bagi
keilmuan psikologi sekaligus menjadi acuan dan bahan bagi peneliti selanjutnya
yang terkait dengan permasalahan yang sama. 3. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan wacana dan informasi baru bagi ibu maupun masyarakat luas terkait
resiliensi orang tua yang memiliki anak down syndrome sehingga lebih bijak
dalam memandang hidup dan memahami anak down syndrome
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment