Abstract
INDONESIA:
Anak didik pemayarakatan adalah anak yang menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 pasal 1 angka 8, terdapat tiga macam anak didik pemayarakatan yaitu: anak pidana, anak negara, dan anak sipil. Pada penelitian ini diambil anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemsyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Anak didik pemasyarakatan ini memiliki masalah-masalah yang dihadapi dalam proses pembinaan, mulai dari hilangnya kebebasan, pola kehidupan yang berbeda, hak-hak yang dibatasi hingga sebuah label “penjahat” dalam diri mereka. Bukanlah hal mudah bagi mereka untuk menjalani masa pembinaan, keyakinan akan kemampuan diri mereka dan dukungan dari orang-orang terdekat sangat diperlukan untuk membantu mereka menjalani masa-masa yang kurang baik ini.
Penelitian ini memiliki tujuan (1) untuk mengetahui tingkat efikasi diri anak didik pemasyarakatan (2) untuk mengetahui masalah yang dihadapi anak didik pemasyaraktan (3) untuk mengetahui pendukung efikasi diri anak didik pemasyarakatan (4) untuk mengetahui efikasi diri anak didik pemasyaraktan saat mengalami permasalahan.
Self efficacy adalah kepercayaan seseorang akan kemampuan dirinya dalam mengatur, menguasai suatu keadaan, dan mencapai keberhasilan dalam mengatasi situasi. Dalam self efficacy terdapat tiga dimensi yaitu dimensi tingkat level, kekuatan dan generality. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan skala GSE (General Self-Efficacy) yang terdiri dari 10 aitem dan kuesioner terbuka yang terdiri dari 8 pertanyaan. Skala dan kuesioner tersebut dibagikan pada 77 anak didik pemasyarakatan di LAPAS Klas IIA Blitar. Analisa yang digunakan menggunakan SPSS 20.00 dan pengkategorisasian manual pada kuesioner terbuka.
Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah efikasi diri dengan prosentase tinggi 3%, sedang 39%, dan rendah 58%. Masalah yang dihadapi antara lain masuk penjara, kendali diri, kebahagiaan, masalah dalam keluarga, jauh dari keluarg, uang, konflik, menjadi diri sendiri, kehilangan orang yang dicintai. Bantuan yang diperoleh yaitu dari keluarga, sahabat, kepala desa, dll. Efikasi diri anak didik pemasyarakatan kurang baik karena usaha-usaha yang mereka lakukan adalah bentuk usaha yang pasif seperti berdoa, berusaha, bersabar, pasrah, santai, menghindar, melupakan, sharing, dan musyawarah.
ENGLISH:
According to UU No. 12, 1995 article 1 point 8, child prisoner is divided into three kinds, namely: criminal child, the child state, and civil child. In this study, criminal children were taken are children who undergo criminal court decisions based on the Institute of prison children longest until the age of 18 (eighteen) years old. The child prisoners have problems encountered in the process of development, it starts from the loss of freedom, a diverse habit, limited rights, and as a “criminal” which labelled to them. It is not easy for them to undergo a period of coaching, the faith of their self-confidence and the supports from their closest people are needed in order to help them to undergo this unfavourable period.
This research has several purposes, they are: (1) to determine the level of self-efficacy of the child prisoners (2) to assess the problems faced by the child prisoners (3) to know the self-efficacy of self-supporting child prisoners (4) to reveal the child prisoners self-efficacy in experiencing problems.
In addition, self-efficacy is a person's belief in the ability of him to regulate, to control a situation, and to achieve success in overcoming the situation. In self-efficacy there are three dimensions, those are: dimension of level, strength and generality. For this study, the researcher uses a quantitative approach with employing GSE scale (General Self-Efficacy). This GSE scale consists of 10-items and open questionnaire which consisting of 8 questions. Furthermore, the scale and the questionnaire are distributed to the 77 child prisoners of Class IIA prison for children in Blitar. Moreover, this analysis uses SPSS 20:00 and manually categorization on open questionnaire.
The results which obtained from that study are self-efficacy with a high percentage of 3%, 39% average, and 58% lower. Problems encountered include imprisonment, self-control, happiness, problems in the family, far away from the family, money, conflict, being their own selves, losing of loved ones. The assistance which obtained are from family, friends, village heads, etc. Self-efficacy of the child prisoners is far from good because they just do passive efforts, such as praying, trying, being patient, giving up, relax, escaping, forgetting, sharing, and deliberation.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang
segala bentuk pemerintahan negara ini telah diatur dalam undang-undang dasar
1945, UUD’45 menjadi tolak ukur segala hal mengenai harapan dan tujuan dari
bangsa Indonesia. Pada undang-undang ’45 alinea ke-4 menyatakan tujuan nasional
negara Indonesia ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dapat dijelaskan bahwa
negara Indonesia ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dan ini harus terwujud dalam kehidupan masyarakat. Penerapan tujuan nasional
dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD’45, dengan adanya pembangunan
nasional. Salah satunya adalah pembangunan manusia dalam bidang hukum, terutama
hukum pidana. Pada pembangunan hukum pidana terdapat lembaga-lembaga yang
menaungi yakni, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Lembaga pemasyarakatan mempunyai peranan dalam pelaksanaan pembinaan bagi
narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 2 Lembaga pemasyarakatan tidak hanya
berfungsi sebagai penjeraan bagi narapidana namun merupakan tempat rehabilitasi
dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyrakatan yang dilaksanakan secara
terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana di masa yang akan datang. Pemasyarakatan
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam peradilan pidana, dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian proses penegakan hukum.
Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat 2
menegaskan bahwa : “ Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah
dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik
dan bertanggung jawab “.
Sistem pemasyarakatan di Indonesia saat ini
bukanlah sistem pemenjaraan yang menekankan pada unsur pembalasan dan penjeraan
yang berujung pada penderitaan dan penyiksaan. Namun lebih pada sistem
pemasyarakatan yang menekankan pada pengayoman dan pembinaan dalam bimbingan
dan pembinaan dibidang jasmani dan rohani. Tujuan dari pembinaan ini agar
narapidana tidak melakukan pelanggaran hukum lagi setelah kembali ke
masyarakat, serta dapat ikut 3 berperan aktif dan kreatif dalam pembangunan
(penjelasan UU No. 12 Tahun 1995). Pada UU No. 12 Tahun 1995 dalam pasal 1
angka 8, dijelaskan bahwa anak didik pemasyarakatan terdapat tiga macam, yaitu:
(1) anak pidana, anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di
Lapas anak sampai berumur 18 tahun, (2) anak negara, anak yang berdasarkan
putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di
Lapas anak samapi berumur 18 tahun, (3) anak sipil, anak yang atas permintaan
orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas
anak sampai berumur 18 tahun. Dari penjelasan pasal diatas diketahui bahwa ada
bermacam-macam anak didik yang berada dalam lapas, dan yang dimaksud anak didik
pemasyarakatan di penelitian ini adalah anak pidana, karena sesuai dengan apa
yang menjadi fokus peneliti mengenai anak yang tersangkut kasus tindak pidana.
Pada proses pemasyarakatan perlu diperhatikan hak-hak narapidana dan perlu
diberikan perlindungan hukum. Apalagi terpidana tersebut adalah anak-anak yang
masih berusia dibawah 18 tahun. Undangundang No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak pada butir c dan d menyebutkan bahwa setiap anak kelak mampu
memikul tanggung jawab melangsungkan eksistensi bangsa dan negara pada masa
depan, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak
mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan
anak dengan memberikan jaminan 4 terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi. Perundang-undangan di Indonesia sering mengalami
pembaharuan untuk mencapai undang-undang yang benar-benar sesuai.
Baru-baru ini diberlakukan sistem
perundangan baru bagi peradilan pidana anak yang mana seluruh proses
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum diberlakukan sistem
keadilan restoratif yakni penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersamasama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula, dan bukan pembalasan dan proses yang dilakukan ialah
proses diversi yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana menurut Undang-undang No. 11 tahun
2012. Banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum bisa dilihat dari sistem
database pemasyarakatan menunjukkan setiap bulannya jumlah anak yang masuk
lembaga pemasyarakatan anak klas IIA Blitar mengalami naik turun, karena setiap
harinya ada yang keluar ataupun yang baru masuk, namun dari data lima tahun
terakhir dari tahun 2011- 2015 ini jumlah anak didik pemasyarakatan mengalami
penurunan. Pada tahun 2011 terdapat 234 anak pidana, tahun 2012 terdapat 239
anak pidana, tahun 2013 terdapat 157 anak pidana, tahun 2014 terdapat 121 anak
pidana, dan tahun 2015 hingga bulan Maret terdapat 109 anak 5 pidana. Ini
terjadi karena ada pembaharuan undang-undang mengenai hukuman anak-anak yang
lebih ditekankan pada proses diversi. Anak yang mengalami masalah dengan
perilaku kejahatan dan pelanggaran dibina di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Mereka menjalani masa tahanan untuk proses pembinaan agar perilaku mereka setelah
bebas bisa lebih baik dan dapat diterima kembali dalam lingkup masyarakat.
Namun, kenyataanya masih banyak masyarakat memberikan penilaian yang kurang
baik terhadap narapidana anak. Banyak dari masyarakat menilai bahwa anak yang
telah melalui peradilan pidana biasanya setelah keluar dari pembinaan,
anak-anak tersebut akan terlibat kembali dalam tindak pidana lain di masa yang
akan datang. Penilaian tersebut sangat sulit dihilangkan dari pemikiran
masyarakat yang masih belum bisa menerima kembali anak dari binaan
pemasyarakatan. Sehingga itu bisa menjadi penyebab anak telah menilai bahwa
diri mereka adalah penjahat dan tidak pantas lagi kembali ke lingkungan yang
baik, dan akhirnya anak kembali ke lingkungan yang lama yakni lingkungan yang
membuat anak menjadi seorang penjahat. Sesuai dengan pembicaraan secara tidak
sengaja antara saya dengan salah satu anak didik lembaga pemasyarakatan. Pada
pembicaaran yang tidak sengaja terjadi diparkiran lapas anak, anak tersebut
berbicara mengenai kasusnya dan dia bercerita mengenai salah seorang anak yang
telah bebas dari lembaga pemasyarakatan, namun 6 selang beberapa hari anak yang
bebas tersebut masuk kembali dalam binaan pemasyarakatan dengan kasus yang
sama.
Menurut cerita subjek, anak tersebut tidak
mendapat tempat lagi dalam keluarga dan lingkungannya sehingga dia kembali lagi
ke dalam lingkungan yang bisa menerimanya dengan cara kembali melakukan tindak
pidana. Sehingga dari cerita tersebut dapat dikatakan bahwa peran keluarga dan
lingkungan sangatlah penting bagi perkembangan anak yang telah keluar dari
pembinaan, karena mereka adalah tumpuan anak-anak tersebut untuk kembali ke
kehidupan yang positif, bila tumpuan itu tidak memberikan kesempatan lagi
jangan hanya menyalahkan anak tersebut bila kembali dalam lingkungan yang
salah. Karena yang terjadi dalam kehidupan ini tidak hanya disebabkan oleh satu
faktor melainkan dari banyak faktor pendukung. Menurut seorang tokoh, Akers
(Akers & Jennings, 2009:325-327) menjelaskan bahwa ada empat proses yang
menyebabkan terbentuknya sebuah perilaku dalam proses belajar sosial perilaku
penyimpangan norma sosial. 1. proses asosiasi diferensial yakni, proses
pembelajaran sosial yang didapatkan dari proses interaksi dengan lingkungan
pergaulan, 2. proses definisi yakni, definisi pribadi seseorang akan terbentuk
setelah ia berasosiasi dengan suatu lingkungan dengan norma tertentu, khususnya
norma yang dianut sebagian besar anggota kelompok dimana dia terkait, 3. proses
penguatan diferensial yakni, merupakan keseimbangan antara antisipasi dan
actual rewards dengan 7 punishment yang mengikuti atau kosekuensi dari suatu
perilaku. 4. proses imitasi yakni, ketika seseorang banyak terekspos model lalu
mengobservasi model yang perilakunya menyimpang maka ia akan meingimitasi apa
yang banyak dilihat dan diamatinya. Proses perilaku kriminal menurut Akers
(2009) ini cocok dengan perilaku kriminal anak yang terjadi di Indonesia,
karena semakin canggihnya teknologi pada saat ini yang tidak berimbang dengan
pembangunan moral dan karakter pada anak, menyebabkan anak banyak melakukan
imitasi perilaku. Sekarang anak semakin mudah dalam mengakses apapun melalui
televisi, internet dan elektronik lainnya. Anak-anak yang telah menjadi seorang
narapidana mengalami berbagai permasalahan dalam hidupnya, diantaranya
hilangnya kebebasan, ada pola kehidupan yang berbeda, hak-hak yang dibatasi
hingga sebuah label sebagai seorang penjahat. Semua itu membuat anak merasa
tertekan dan memungkinkan suatu saat nanti mereka akan mengulangi kembali
kejahatannya karena jiwa remaja itu jiwa yang penuh dengan gejolak (strum und
drang) (Sarwono, 2011:280). Oleh karenanya mereka masih membutuhkan bimbingan,
arahan, dan dampingan dari orang tua dan lingkungannya agar mereka dapat
berkembang ke arah pendewasaan yang lebih positif (Sarwono, 2011). Anak didik
pemasyarakatan menjalani kegiatan-kegiatan yang bermanfaat di dalam lembaga
pemasyarakatan, kegiatan-kegiatan tersebut berguna bagi kehidupan mereka yang
akan datang. Setiap 8 harinya mereka memiliki kegiatan yang telah menjadi
rutinitas, kegiatan tersebut meliputi pembinaan kepribadian dari fisik, sosial,
mental dan spiritual, dan juga pembinaan kemandirian (keterampilan/ skill)
seperti jahit, montir, pertukangan kayu, peternakan, handycraft, seni ukir dll.
Selain pengembangan yang bersifat eksternal, pengembangan dari internalnya juga
perlu untuk memperkuat motivasi dari dalam diri mereka dalam menjalani
kehidupan. Pengembangan internal ini dilakukan agar anak didik memiliki efikasi
diri1 yang baik. Pengembangan terhadap efikasi diri anak didik pemasyarakatan
sangatlah penting karena itu sumber motivasi mereka kedepannya. Anak didik yang
memiliki efikasi diri yang tinggi akan mudah keluar dari keterpurukan dan mampu
menjalani kehidupan selanjutnya dengan baik dan normal, sedangkan anak yang
memiliki efikasi diri yang rendah sangat rentan dan mudah untuk kembali dalam
pergaulan yang tidak baik dan bisa melakukan tindakan kriminal kembali.
Penelitian mengenai efikasi diri telah banyak dilakukan, penelitian tersebut
lebih banyak meneliti efikasi diri mengenai siswa/mahasiswa dalam proses
pembelajaran. Namun masih jarang peneliti melakukan penelitian efikasi diri
yang mengambil subyek narapidana. Adapun salah satu penelitian yang berjudul
Depression, Self-Efficacy, and identity in Prisoners (2010) oleh Woods, yang
mana dalam penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu sejauhmana identitas
kriminal dalam 1 Self-efficacy adalah kepercayaan seseorang akan kemampuan
dirinya dalam mengatur, menguasai suatu keadaan, dan mencapai keberhasilan
dalam mengatasi situasi (Bandura) 9 narapidana mempunyai dampak yang signifikan
pada kesejahteraan dan general self-efficacy mereka, penelitian ini menggunakan
skala BDI, GSE, dan tiga sub-skala SIC. Diperoleh hasil bahwa terdapat korelasi
positif antara efikasi diri dengan faktor dalam SIC, namun terdapat korelasi
negatif antara depresi dengan efikasi diri.
Penelitian tersebut memberikan
kontribusi bahwa meneliti tentang efikasi diri tidak hanya digunakan dalam
meneliti konteks anak dalam keadaan umum namun bisa pula di lakukan pada
konteks anak yang berhadapan dengan hukum, yakni pada permasalahan manusia yang
lebih berat dan kompleks. Selain penelitian diatas, adapula penelitian mengenai
“Hubungan Efikasi Diri Dengan Craving Pada Pecandu Narkoba” (2008) oleh Noviza
yang memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara efikasi diri
dengan craving pada pecandu narkoba. Sehingga hal ini membuktikan semakin
tinggi efikasi diri maka semakin rendah craving pada pecandu narkoba dan
sebaliknya semakin rendah efikasi diri maka semakin tinggi craving pada pecandu
narkoba. Self efficacy ini adalah sebuah konsep yang bermanfaat untuk memahami
dan memprediksi tingkah laku. Seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi
akan mampu membangun lebih banyak kemampuan-kemampuan melalui usaha-usaha
mereka secara terus menerus dan mengubah kejadian-kejadian di sekitarnya,
sedangkan efikasi diri yang rendah akan menghambat dan memperlambat 10
perkembangan dari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk mengerjakan
segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Individu dengan efikasi diri yang rendah
cenderung percaya bahwa segala sesuatu sangat sulit dibandingkan keadaan yang
sesungguhnya dan cenderung mudah menyerah.
Sedangkan orang yang memiliki
perasaan efikasi diri yang tinggi akan mengembangkan perhatian dan usahanya
terhadap tuntutan situasi dan dipacu oleh rintangan sehingga seseorang akan
berusaha lebih keras (Robbins, dalam Ghufron, 2010: 75). Begitu juga dengan
anak didik pemasyarakatan yang sedang dalam masa pembinaan. Efikasi diri yang
tinggi akan membuat mereka memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan
tindakan-tindakan yang lebih positif dan memiliki usaha yang keras untuk
berubah lebih baik lagi. Sebaliknya bila semakin rendah efikasi diri yang dimiliki
maka seseorang kurang memiliki dorongan yang kuat dalam dirinya untuk berubah
dan melakukan tindakan-tindakan yang lebih baik. Sehingga dilakukannya
penelitian ini untuk mengetahui seberapa tinggi efikasi diri yang dimiliki anak
didik pemasyarakatan LAPAS Anak Klas IIA Blitar, agar dapat mengetahui seberapa
baik dan seberapa besar motivasi yang dimiliki mereka dalam menjalani pembinaan
di dalam lembaga pemasyarakatan
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat efikasi diri
anak didik permasyarakatan di LAPAS Anak Klas IIA Blitar?
2. Apa saja bentuk permasalahan yang dihadapi
anak didik pemasyarakatan?
3. Siapa yang mendukung efikasi diri anak
didik pemasyarakatan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat efikasi
diri anak didik pemasyarakatan di LAPAS Anak Klas Blitar?
2. Untuk mengetahui bentuk
permasalahan yang dihadapi anak didik pemasyarakatan?
3. Untuk mengetahui pendukung efikasi diri
anak didik pemasyarakatan?
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat secara
teoritis maupun praktis.
1.
Manfaat
Teoritis
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat dalam bidang ilmu psikologi perkembangan maupun hukum.
Selain itu bisa memberikan sumbangan baik keilmuan psikologi kedepannya,
sehingga dapat memberikan tambahan bahan dalam penelitian selanjutnya.
2.
Manfaat
Praktis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada keluarga,
masyarakat, pihak aparat penegak hukum, bahkan mahasiswa tentang bagaimana
keadaan remaja atau anak yang bermasalah dengan hukum. Juga, dapat memberikan
informasi terhadap pihak lapas mengenai efikasi diri remaja dalam mengatasi
permasalahan mereka.
DOWNLOAD
1 comment:
moncler outlet
golden goose outlet
adidas nmd
nhl jerseys
nike cortez men
curry 4
nike huarache
jordan 13
vans outlet
true religion outlet
Post a Comment