Abstract
INDONESIA:
Tunagrahita merupakan salah satu macam dari anak berkebutuhan khusus. Istilah ini digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Menumbuhkan kemandirian pada individu sejak usia dini sangatlah penting karena dengan memiliki kemandirian sejak dini, anak akan terbiasa mengerjakan kebutuhannya sendiri. Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Didalam keluarga, orang tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan pola asuh orang tua pada siswa tunagrahita di SMPLB Putra Jaya Malang, (2) untuk mendeskripsikan kemandirian siswa tunagrahita di SMPLB Putra Jaya Malang, (3) untuk menemukan pola asuh orang tua dalam membentuk kemandirian siswa tunagrahita di SMPLB Putra Jaya Malang.
Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara kepada dua subjek tunagrahita yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dan keduanya bersekolah di SMPLB Putra Jaya Malang kelas VIII. Setelah data diperoleh, data diolah dan dianalisis secara kualitatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) pola asuh orang tua yang diterapkan kepada subjek yaitu pola asuh otoritatif sedangkan pola asuh yang diterapkan kepada subjek yang lain adalah pola asuh cenderung melalaikan, (2) kedua subjek dapat mandiri dalam aspek emosi, ekonomi, intelektual dan sosial, (3) dengan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua tersebut, kedua subjek dapat mandiri baik secara emosi, ekonomi, intelektual dan sosial. Subjek SR yang berjenis kelamin perempuan dengan gaya pengasuhan otoritatif dapat bersikap mandiri. Sedangkan subjek BS yang berjenis kelamin laki-laki dengan gaya pengasuhan yang cenderung melalaikan juga dapat bersikap mandiri.
ENGLISH:
Tunagrahita is one kind of special needs children. This term is used to refer to children who have intellectual ability is below average. Foster self-reliance in individuals at an early age is important because by having independence from an early age, children will be accustomed to working on their own needs. Independence in children came from families and influenced by parenting parents. In the family, the parents who play a role in nurturing, guiding and helping direct the child to become independent.
The purpose of this study were (1) to describe parentig parents on student SMPLB tunagrahita in Putra Jaya Malang, (2) to describe the students independence tunagrahita in SMPLB Putra Jaya Malang, (3) to find parenting in shaping students independence tunagrahita in SMPLB Putra Jaya Malang.
Researchers used qualitative methods with case study approach. Data collected by observation and interview to two subjects tunagrahita- sex male and female, and both attented the SMPLB Putra Jaya Malang class VIII. Once the data obtained, the data is processed and analyzed qualitatively.
Result from this study show that (1) parenting parents applied to the subject of authoritative parenting while parenting applied to other subjects are parenting tend to neglect, (2) the subjects can be independent in the emotional aspects, economic, intellectual and social. (3) with parenting applied by the parents, both subjects can be independently either emotional, economic, intellectual, and social. SR subjects were female with an authoritative parenting style can be independent. while the subject BS-sex male with parenting styles tend to neglect also can be independent.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tunagrahita merupakan salah
satu macam dari anak berkebutuhan khusus. Soemantri menyatakan bahwa istilah
tunagrahita digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual
dibawah ratarata. Kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata dan
ditandai oleh keterbatasan inteligensi serta ketidakcakapan dalam interaksi
sosial. Anak tunagrahita atau dikenal dengan sebutan anak keterbelakangan
mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk
mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu
anak terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni
disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut, (2007:103). Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan salah
satu sumber daya manusia bangsa Indonesia yang kualitasnya harus ditingkatkan
agar dapat berperan. Mereka perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok
anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat khusus,
seperti pelayanan medik, pendidikan khusus maupun latihan-latihan tertentu yang
bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan yang
diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup dalam bermasyarakat (2010). 2
Data dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Kementerian Pendidikan
Nasional tahun 2009 menunjukkan bahwa ada 75.501 anak berkebutuhan khusus yang
bersekolah di Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Pertama dan 15.144 anak
berkebutuhan khusus di sekolah inklusif. Sedangkan dalam situs okezone.com
(diunduh 9 september 2014) jumlah tunagrahita di Indonesia cukup tinggi, yaitu
mencapai 6,6 juta orang atau tiga persen dari jumlah penduduk sekitar 220 juta
jiwa. Ketua umum Federasi Nasional Untuk Kesejahteraan Cacat Mental (FNKCM),
Sunartini Haspara sebagaimana diberitakan dalam antara news menyatakan bahwa
kelainan bawaan lahiriah seperti autis dan hiperaktif serta cacat mental
retardasi (idiot) cukup banyak di derita oleh anak di Negara kita. Menurutnya
penyebab cacat mental atau tunagrahita adalah faktor keturunan atau gen yang
berasal dari pihak perempuan. Selain itu juga bisa disebabkan karena pada saat
kehamilan banyak mengkonsumsi alkohol, narkotika, dan zat adiktif lainnya.
Penderita cacat mental ini perlu mendapatkan perhatian khusus dengan cara
membantu mereka agar timbul sikap percaya diri, mandiri, menjadi manusia
produktif, memiliki kehidupan yang layak, dan aman terlindungi serta bahagia
lahir batin (antaranews, diunduh 9 september 2014). Pandangan atau pendapat
negatif yang seringkali terdengar di masyarakat umum tentang anak berkebutuhan
khusus seperti tunagrahita. Anak tunagrahita biasanya dipandang tidak dapat
mandiri dan selalu bergantung kepada orang lain terutama orang tuanya.
Pendapat lain menyatakan
bahwa anak tunagrahita akan terus menerus menyusahkan keluarganya sampai anak
tersebut tumbuh dewasa. Menurut Kusrini, Seksi kurikulum TK dan SD Dinas
Pendidikan Kabupaten Rembang sekaligus Sekretaris Pokja Inklusif, menjelaskan
dalam acara yang bertema Seminar Nasional Pendidikan Inklusif di Indonesia pentingnya
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, di Hotel Grand Sahid, di ruang Putri
Ratna, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2014) bahwa anak
berkebutuhan khusus juga bisa mandiri seperti anak lainnya. Untuk mewujudkan
hal itu, bimbingan orang tua dan pendidikan menjadi faktor penting yang memupuk
kemandirian anak berkebutuhan khusus. Beliau juga menjelaskan bahwa tunagrahita
yang tergolong berat untuk diasuh, minimal bisa pakai baju sendiri, mandi,
makan sendiri atau melakukan aktivitas layaknya anak normal lainnya bila
dilatih dengan baik oleh orang tua dan guru. Sehingga, keliru bila ada anggapan
anak berkebutuhan khusus tidak akan bisa mandiri dikemudian hari. Down syndrome
adalah salah satu yang sulit diasuh agar mandiri. Tapi minimal dia bisa membina
diri kalau orang tua bisa membimbing dan memberikan latihan dengan baik. Namun
berbalik lagi, semua itu tergantung intelegensi si anak. Caranya sendiri agar
anak bisa mandiri para orang tua harus sering melatih kemampuan kemandirian anak,
seperti cara memakai baju, makan sendiri, mandi yang bersih. Dan juga para
orang tua jangan pernah putus asa dalam menindaklanjuti pelajaran yang diterima
anak saat disekolah. Kunci anak agar bisa mandiri adalah latihan. Jadi anak
harus diberikan latihan terus menerus. Orang tua juga harus sabar dan 4 tidak
kenal putus asa, karena membuat anak berkebutuhan khusus bisa mandiri tidak
mudah. Kemudian, orang tua dan guru menyikapi kondisi anak dengan terus
menyayangi (okezone.com diunduh 9 september 2014).
Desmita menjelaskan bahwa menumbuhkan kemandirian pada individu
sejak usia dini sangatlah penting karena dengan memiliki kemandirian sejak
dini, anak akan terbiasa mengerjakan kebutuhannya sendiri. Perkembangan
kemandirian merupakan masalah penting sepanjang rentang kehidupan manusia.
Perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan fisik,
yang pada gilirannya dapat memicu terjadinya perubahan emosional, perubahan
kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara berpikir yang mendasari
tingkah laku, serta perubahan nilai dalam peran sosial melalui pengasuhan orang
tua dan aktivitas individu. Secara spesifik, masalah kemandirian menuntut suatu
kesiapan individu, baik kesiapan fisik maupun emosional untuk mengatur,
mengurus dan melakukan aktivitas atas tanggung jawabnya sendiri tanpa banyak
menggantungkan diri pada orang lain (2012:186). Fatimah menyatakan kemandirian
pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua.
Didalam keluarga, orang tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan
membantu mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Mengingat masa anak-anak dan
remaja merupakan masa yang penting dalam proses perkembangan kemandirian,
pemahaman dan kesempatan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya dalam
meningkatkan kemandirian amatlah krusial. Meskipun dunia pendidikan (sekolah)
turut berperan dalam memberikan 5 kesempatan kepada anak untuk mandiri,
keluarga tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk
mandiri (2010:146). Mengharapkan anak berperilaku mandiri dibutuhkan cara untuk
membentuk perilaku mandiri. Menurut Walgito dalam Hidayati, perilaku manusia
dipengaruhi oleh lingkungan dan pengaruh dari dalam diri sendiri. Menurut
Desmita dalam Hidayati kunci kemandirian ada ditangan orang tua. Kemandirian
yang dihasilkan dari kehadiran dan bimbingan orang tua akan menghasilkan
kemandirian yang utuh (2014:1). Rifa Hidayah menyatakan bahwa di dalam
kehidupan sehari-hari, anak sebagian besar berada dalam lingkup keluarga.
karena itu, keluargalah yang paling menentukan masa depan anak, begitupula
corak anak dilihat dari perkembangan sosial, psikis, fisik dan relegiusitas
juga ditentukan oleh keluarga. Pola asuh yang baik dan sikap positif lingkungan
serta penerimaan masyarakat terhadap keberadaan anak akan menumbuhkan konsep
diri positif bagi anak dalam menilai diri sendiri. Anak menilai dirinya
berdasarkan apa yang dialami dan dapatkan dari lingkungan.
Jika lingkungan masyarakat memberikan sikap yang baik dan positif
dan tidak memberikan label negatif pada anak, maka anak akan merasa dirinya
cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep positif. Memperlakukan anak sesuai
dengan ajaran agama berarti memahami anak dari berbagai aspek dengan memberikan
pola asuh yang baik, menjaga anak dan harta anak yatim, menerima, memberi
perlindungan, pemeliharaan dan kasih sayang sebaik-baiknya (2009:16).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 17: 6 ( y7t/$|¹r& !$tB 4n?tã ÷É9ô¹$#ur Ìs3ZßJø9$# Ç`tã tm÷R$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ öãBù&ur no4qn=¢Á9$# ÉOÏ%r& ¢Óo_ç6»t ÇÊÐÈ ÍqãBW{$# ÇP÷tã ô`ÏB y7Ï9ºs ¨aÎ)
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah)” (AlQur’an: 412) Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan
selanjutnya, setiap orang tua mengharapkan seorang anak perlahan-lahan akan
melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang tua atau orang lain
disekitarnya dan belajar untuk mandiri. Mandiri atau sering juga disebut
berdiri diatas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak
tergantung kepada orang lain serta dapat bertanggung jawab atas apa yang
dilakukannya. Dari hasil observasi yang telah dilakukan peneliti, kedua subjek
dapat mandiri. Hal ini terlihat dari tingkah laku kedua subjek saat berada di
sekolah. Subjek dapat mengurus dirinya sendiri dan kerap membantu teman-teman
lain yang kesulitan mengurus diri. Kedua subjek juga kerap mendapat perintah
dari guru untuk melakukan pekerjaan sederhana seperti membagikan kue,
mengangkat meja, membantu teman yang mengalami kesulitan saat pelajaran
berlangsung. Kedua subjek juga seringkali mengajak teman-temannya yang lain
untuk berkomunikasi dan bercanda. 7 Kedua subjek terlihat akrab dengan semua
teman-teman yang terdapat di sekolah. Saat pelajaran berlangsung kedua subjek
selalu mengikuti pelajaran dengan baik dan penuh semangat. Hasil dari
penelitian yang dilakukan oleh Wiryadi bahwa pola asuh orang tua sangat
mempengaruhi kemandirian. Pola asuh yang permisif atau memanjakan akan
menghasilkan anak yang tidak mandiri. Sedangkan pola asuh demokratis akan
menghasilkan anak yang mandiri (2014:737). Berdasarkan latar belakang diatas,
maka peneliti tertarik untuk melakukan telaah lebih dalam tentang kemandirian
siswa tunagrahita dan bagaimana pola asuh dalam membentuk kemandirian anak
tunagrahita tersebut dengan judul “Pola Asuh Orang Tua Dalam Membentuk
Kemandirian Siswa Tunagrahita di SMPLB Putra Jaya Malang”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kemandirian siswa tunagrahita di SMPLB Putra Jaya
Malang?
2. Bagaimana pola asuh orang
tua pada siswa tunagrahita di SMPLB Putra Jaya Malang?
3. Bagaimana pola asuh orang tua dalam membentuk kemandirian siswa
tunagrahita di SMPLB Putra Jaya Malang?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan kemandirian siswa tunagrahita di SMPLB
Putra Jaya Malang. 2. Untuk mendeskripsikan pola asuh orang tua di SMPLB Putra
Jaya Malang.
3. Untuk menemukan pola asuh
orang tua dalam membentuk kemandirian siswa tunagrahita di SMPLB Putra Jaya
Malang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam pengembangan ilmu psikologi. Khususnya
untuk psikologi perkembangan.
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi: a. Siswa terutama siswa tunagrahita
berkaitan dengan perkembangan kemandiriannya, agar hasil penelitian ini dapat
menjadi acuan dalam meningkatkan kemandirian. b. Guru, agar hasil penelitian
ini dapat menjadi acuan dalam meningkatkan kemandirian siswa-siswanya, terutama
siswa tunagrahita. c. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita, agar penelitian
ini dapat menambah wawasan pola pengasuhan pada anak tunagrahita dalam
meningkatkan kemandirian. d. Peneliti selanjutnya yang akan meneliti dengan
topik yang sama, agar penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi.
E. Penelitian Terdahulu
Dari hasil penelusuran peneliti, peneliti
menemukan penelitian terdahulu yang terkait dengan pola asuh dan kemandirian,
antara lain: 1. Surti Deniarti Lestari (2014) yang berjudul Pengaruh Pola Asuh
Orang Tua Terhadap Kemandirian Anak Usia Dini (Usia 3-5 Tahun) Studi pada
keluarga di kelurahan Gunung Puyuh Kota Sukabumi. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh orang tua yang berada di kelurahan Gunung Puyuh Kota Sukabumi
yang memiliki anak usia dini 3-5 tahun. Sampel diambil sebanyak 112 orang.
Berdasarkan hasil perhitungan regresi antara pola asuh demokratis, permisif,
dan otoriter terhadap kemandirian diperoleh nilai F hitung sebesar 39,967.
Berdasarkan perhitungan tersebut bahwa F hitung ≥ F table yaitu 39,967 ≥ 3.080
artinya menolah Ho dengan pengertian lain yaitu signifikan. Berdasarkan hasil
tersebut terlihat bahwa penerapan pola asuh demokratis, permisif dan otoriter
secara bersamaan memberikan pengaruh terhadap kemandirian anak usia dini. Dari
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pola asuh demokratis, permisif dan
otoriter memiliki pengaruh terhadap kemandirian anak usia dini. Anak dengan
kemandirian yang tinggi cenderung menggunakan pola asuh demokratis. Sedangkan
anak dengan kemandirian rendah cenderung orang tua menggunakan pola asuh
otoriter terhadap anak, dan anak dengan kemandirian yang sedang cenderung
menggunakan pola asuh permisif. Perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti
lakukan 10 adalah jika penelitian diatas meneliti subjek usia dini, maka dalam
penelitian ini, peneliti akan meneliti subjek tunagrahita yang bersekolah di
SMPLB Putra Jaya Malang. 2. Mas’udatul Munawaroh (2013) yang berjudul Hubungan
Konsep Diri dengan Kemandirian Santri di Pondok Pesantren Putri Syabilurrosyad
Gasek Karangbesuki Sukun Malang. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
korelasional. Pengambilan sampel berdasarkan random sampling yang diambil 50 %
dari jumlah populasi yaitu sebanyak 60 santri Pondok Pesantren Putri
Syabilurrosyad Gasek Karangbesuki Sukun Malang. Pengumpulan data menggunakan
metode observasi, wawancara, dan angket yang terdiri dari skala konsep diri
sebanyak 30 aitem dengan reliabilitas = 0.91 dan skala kemandirian sebanyak 25
aitem dengan reliabilitas = 0,90. Uji validitas menggunakan product moment
correlation dari person dan uji reliabilitasnya menggunakan alfa cronbach.
Pengelolahan data tersebut menggunakan SPSS 19 for windows. Berdasarkan hasil
penelitian dapat menunjukkan bahwa tingkat konsep diri santri kategori tinggi
13%, sedang 70%, dan rendah 17%. Tingkat kemandirian santri berada pada
kategori tinggi 20%, sedang 63%, rendah dengan prosentase 17%. Hasil uji
hipotesis menunjukkan signifikan (p) konsep diri pada nilai 0,840 > 0,05 dan
nilai signifikan (p) kemandirian pada 0,729 > 0,05. Tingkat korelasi (r) =
0,584 dan sig (p) = 0,000. Dimana (p) < 0,01, hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang positif dan 11 signifikan antara konsep diri dengan kemandirian
santri Pondok Pesantren Putri Syabilurrosyad Gasek Karangbesuki Sukun Malang.
Perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah jika penelitian
diatas meneliti tentang konsep diri yang memiliki hubungan dengan kemandirian,
namun peneliti dalam penelitian ini lebih fokus pada pola asuh yang diterapkan
orang tua dalam membentuk kemandirian anak. 3. Nur Istiqomah Hidayati (2014)
yang berjudul Pola Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan Emosi Dan Kemandirian
Anak SD. Pengumpulan data menggunakan skala pola asuh otoriter orang tua,
kecerdasan emosi dan kemandirian yang disusun sendiri oleh peneliti. Sedangkan
untuk analisis datanya menggunakan teknik Analisa Regresi Ganda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pola asuh otoriter orang tua dan kecerdasan emosi
berkorelasi dengan kemandirian. Secara parsial hasil penelitian juga menunjukkan
adanya korelasi negative antara pola asuh otoriter orang tua dengan
kemandirian. Sebaliknya, ada korelasi positif antara kecerdasan emosi
berkolerasi dengan kemandirian. Kedua variable dependent penelitian memberikan
kontribusi sekitar 55,2 % terhadap kemandirian anak. Perbedaan dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan adalah jika penelitian diatas meneliti
tentang pola asuh otoriter yang berpengaruh pada kemandirian, namun peneliti
dalam penelitian ini lebih fokus pada pola asuh efektif seperti apa yang
diterapkan orang tua dalam membentuk kemandirian anak.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Pola asuh orangtua dalam membentuk kemandirian siswa tunagrahita: Studi kasus di SMPLB Putra Jaya Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment