Abstract
INDONESIA:
Program akselerasi merupakan pelayanan khusus yang diberikan kepada siswa cerdas istimewa (IQ>130) dengan kurikulum lebih cepat dibanding dengan program reguler. Program tersebut bertujuan mengoptimalkan bakat dan minat siswa. Akan tetapi dalam prakteknya pada saat yang sama program akselerasi juga dapat menjadi sumber stres tersendiri bagi siswa. Stres di sekolah adalah kondisi ketidaknyamanan siswa karena banyaknya tuntutan yang muncul dari peristiwa sehari-hari di sekolah, mengakibatakan ketegangan secara emosi, fisik, psikologis dan perilaku yang berdampak pada prestasi akademik maupun perkembangan siswa. Salah satu faktor yang dapat mereduksi stres adalah adanya dukungan sosial. Dukungan sosial adalah pemberian informasi, nasehat, bantuan nyata yang diberikan oleh individu kepada individu lain sehingga menimbulkan perasaan dicintai, diperhatikan, dipedulikan dan dihargai bagi individu yang menerimanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat dukungan sosial dan tingkat stres di sekolah siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang, serta mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stres di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang.
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kuantitatif korelasional. Responden dalam penelitian ini adalah seluruh siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang sebanyak 27 siswa. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik sampel jenuh. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah skala dukungan sosial dan skala stres sekolah. Analisa data yang digunakan adalah analisis korelasi Spearman's Rho dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 20.0 for windows.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang memiliki tingkat dukungan sosial yang tinggi dengan presentase 92,6% (25 siswa) dan 7,4% (2 siswa) memiliki dukungan sosial yang sedang. Sedangkan untuk tingkat stres di sekolah juga ditemukan bahwa mayoritas siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang pada kategori sedang dengan presentase 55,6% (15 siswa) dan 44,4% (12 siswa) memiliki tingkat stres di sekolah rendah. Hasil kolerasi variabel menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial dengan stres di sekolah. Hal tersebut terlihat dari nilai r = -0,385 p = 0,047 (p<0,05). Selain itu dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa aspek dukungan sosial yang paling tinggi memberi sumbangsih terhadap stres di sekolah adalah aspek dukungan instrumental yaitu sebesar 30,14% dengan (r = -0,549; p = 0,003 p<0,01), sedangkan dukungan informatif memberi sumbangsih 18,49% dengan (r = -0,381; p = 0,025 p<0,05) dan dukungan penghargaan memberi sumbangsih 14,51% dengan (r = -0,381; p = 0,050 p<0,05).
ENGLISH:
Acceleration program is a special service provided to students special smart (IQ> 130) with the curriculum faster than a regular program. This program aims to optimize the talents and interests of students. But in practice at the same time an acceleration program can also be a source of stress for students. Stress school is the condition of the student because of the many demands inconveniences that arise from daily events at school, make emotional tension, physical, psychological and behavioral impact on students' academic achievement and development. One of the factors that can reduce stress is the presence of social support. Social support is the provision of information, advice, real assistance given by an individual to another individual causing a feeling of being loved, cared, cared for and appreciated for individuals who receive it. This study aims to determine the level of social support and stress levels in school students acceleration MAN Denanyar Jombang, as well as determine the relationship between social support with stress levels in schools on student acceleration MAN Denanyar Jombang.
This research uses a correlational quantitative approach. Respondents in this study were all students acceleration MAN Denanyar Jombang as many as 27 students. Sampling in this study using the technique of saturated sample. The instrument used to collect data is the scale of social support and school stress scale. Data analysis used was Spearman's Rho correlation analysis using SPSS version 20.0 for Windows.
Results from this study indicate that the majority of students acceleration MAN Denanyar Jombang has a high level of social support with percentages of 92.6% (25 students) and 7.4% (2 students) have the social support being. As for the level of stress at school was also found that the majority of students acceleration MAN Denanyar Jombang in the category with a percentage of 55.6% (15 students) and 44.4% (12 students) have lower levels of stress at school. Variable correlation results showed that there was a negative relationship between social support and stress at school. It is seen from the value of r = -0.385 p = 0.047 (p <0.05). Also in this study also found that the social support aspect of the highest contributing to stress in schools is an aspect of instrumental support in the amount of 30.14% (r = -0.549; p = 0.003 p <0.01), while support informative contributing 18.49% to the (r = -0.381; p = 0.025 p <0.05) and the support award to contribute 14.51% (r = -0.381; p = 0.050, p <0.05).
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada dasarnya setiap anak dilahirkan dengan membawa kelebihan dan
kekurangan masing-masing, salah satu kelebihan tersebut adalah anak yang
memiliki kecerdasan istimewa atau berintelektual tinggi. Anak yang memiliki
kecerdasan istimewa artinya anak yang memiliki kemampuan kecerdasan di atas
rata-rata, atau dalam istilah lain disebut sebagai Anak Berbakat (AB). Menurut
Santrock (2009: 283-284) anak berbakat sendiri adalah anak yang mempunyai
inteligensi di atas rata-rata (IQ 130 atau lebih tinggi) dan/atau memiliki
bakat yang luar biasa dalam beberapa bidang, seperti seni, musik atau
matematika. Sedangkan Munandar (dalam Ali, 2007: 162) menjelaskan bahwa anak
berbakat memiliki kemampuan untuk kerja yang tinggi di dalam aspek intelektual,
kreativitas, seni kepemimpinan atau bidang akademik tertentu. Sementara itu, di
Indonesia berdasarkan data dari BPS pada tahun 2006 diperkirakan terdapat
sekitar 52.989.800 anak usia sekolah. Ini artinya Indonesia memiliki sekitar
1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa (Napitupulu, 2009). Dan di tahun 2010
di Indonesia menurut badan pusat statistik (BPS) telah memiliki sekitar 1,3
juta siswa yang berpotensi Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CIBI). Namun
dari jumlah anak berbakat di tahun 2010 kurang lebih 0,7% (9.500) masih banyak
siswa yang belum mendapatkan pelayanan yang semestinya, yakni 2 sangat minimnya
pelayanan sekolah dalam mengoptimalkan kemampuan dari anak-anak berbakat
tersebut. Data lain yang dikutip dari berita pendidikan, pada tahun 2010 di
Indonesia ada 311 sekolah yang sudah menerapkan program layanan khusus untuk anak
berbakat yang tersebar di 22 provinsi, baik sekolah negeri, swasta, maupun
madrasah, dan yang terbanyak berada di provinsi Jawa Timur (Republika.co.id,
diunduh pada November 2014). Salah satu bentuk pelayanan khusus bagi anak
berbakat itu adalah program akselerasi.
Kata aksel menurut Colangelo (1991) dalam (Hawadi, 2006: 5-6)
adalah pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum yang
disampaikan (curriculum delivery). Bentuk model pelayanan akselerasi dapat
diartikan, sebagai taman kanak-kanak atau perguruan tinggi pada usia muda,
percepatan kelas, dan mengikuti pelajaran tertentu pada kelas diatasnya.
Sedangkan untuk model kurikulum dari program akselerasi dapat diartikan sebagai
percepatan materi pengajaran dari yang seharusnya di kuasai siswa saat itu,
sehingga kegiatan pembelajarannya dapat diselesaikan lebih cepat sekitar
setahun atau dua tahun di banding siswa sebayanya. Adapun tujuan dari program
akselerasi menurut Felhuse, Proctor dan Black (1986) dalam (Hawadi, 2006: 6-7)
adalah memelihara dan memenuhi kebutuhan minat siswa yang tergolong gifted
terhadap sekolah, mendorong siswa agar mencapai prestasi akademis yang baik dan
menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi. Dari tujuan itulah
maka model pembelajaran dari 3 akselerasi ini dikelompokkan dalam satu kelas
khusus dengan penambahan kegiatan pengayaan dalam proses pembelajarannya
seperti, studi bahasa asing, studi lapangan, dan kompetisi akademis (Hawadi,
2006: 22). Program akselerasi itu sendiri dapat memberikan beberapa keuntungan
dan juga menjadikan permasalahan tersendiri bagi anak berbakat yang berada di
program akselerasi. Adapun keuntungan yang nyata, menurut Kolesnik (1970) dalam
(Alsa 2007: 8) yaitu; lebih memberikan tantangan, memberi kesempatan untuk
belajar mendekati kesesuaian dengan kemampuan yang dapat mendorong motivasi
belajar, terstimulasi oleh lingkungan sosial karena berada dalam satu kelas
dengan siswa yang memiliki kemampuan intelektual sebanding, memberikan
tantangan dan tidak memungkinkan bermalas-malasan dalam belajar, dapat lulus
lebih cepat sehingga memungkinkan meraih gelar sarjana pada usia yang lebih
relatif muda, dan tidak banyak membebani biaya orangtua dan pemerintah. Selain
diperoleh keuntungan program akselerasi sebagaimana penjelasan di atas,
Kolesnik (1970) dalam (Alsa, 2007: 11) juga menjelaskan beberapa efek negatif
atau permasalahan yang didapat dari adanya program akselerasi tersebut.
Diantaranya yaitu; kurangnya kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman
sebaya karena adanya loncat kelas, menimbulkan masalah sosial dan emosional,
adanya beban tugas belajar yang terlalu banyak bisa menjadi tekanan (stressor)
bagi kesehatan mental siswa, kesempatan untuk latihan kepemimpinan 4 berkurang
karena masalah fisik dan kematangan sosialnya belum sematang siswa lainnya yang
lebih tua, program akselerasi hanya mengembangkan perkembangan intelektual tapi
tidak dalam aspek-aspek lainnya. Sisk (1986) dalam (Hawadi, 2006: 11) juga
menambahkan dampak negatif akselerasi pada diri siswa diantaranya adalah
mengalami kebosanan, fobia sekolah, dan kekurangan hubungan teman sebaya.
Adanya kelemahan dari program akselerasi ini dimungkinkan karena ketidaksiapan
siswa terhadap tumpukan dan tuntutan berbagai tugas akademik pada kelas
akselerasi sehingga memberikan stres pada siswa. Stres adalah kondisi individu
yang mengalami ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan
individu atas kemampuannya dalam menyelesaikan atau menghadapi
tuntutan-tuntutan tersebut (Kendall dan Hamman 1998 dalam Safaria &
Nofrans, 2009: 28). Dan dalam devinisi lain stres merupakan respon individu
terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor) yang mengancam dan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping) (Santrock, 2003:
557).
Ketidakseimbangan dengan tuntuan atau lingkungan yang menekan
menurut Helmi (2000) dalam Safaria & Nofrans (2009: 27) akan menimbulkan
efek negatif, misalnya pusing, tekanan darah tinggi, mudah marah, mudah sedih,
sulit berkonsentrasi, nafsu makan bertambah, sulit tidur, ataupun jika perokok
akan merokok terusmenerus, dan jika ditinjau dari sumber stres (stressor) stres
merupakan kekuatan yang menimbulkan tekanan dalam diri dan muncul apabila 5
tekanan yang dihadapi individu melebihi batas maksimum, sedangkan dilihat dari
sisi interaksi timbulnya stres karena adanya interaksi antara tekanan dari luar
dengan karakteristik individu, dan hal ini menjadi penentu bahwa berbagai
tekanan dari luar menimbulkan stres atau tidak. Adapun definisi stres di
sekolah menurut Desmita (2012: 291) adalah ketegangan emosional yang muncul
dari peristiwa-peritiwa kehidupan di sekolah dan perasaan terancamnya
keselamatan atau harga diri siswa, sehingga memunculkan reaksi-reaksi fisik,
psikologis, dan tingkah laku yang berdampak pada penyesuain psiskologis dan
prestasi akademik. Adapun dimensi atau aspek stres di sekolah pada siswa
menurut Desmita (2012: 292) adalah adanya berbagai tuntutan sekolah yang timbul
dari empat hal yaitu adanya; (1) physical demands (tuntutan fisik); keadaan
iklim ruang kelas, temperatur yang tinggi (temperature extremes), pencahayaan
dan penerangan (ligthing and illumination), sarana dan prasana penunjang
pembelajaran, kebersihan dan kesehatan sekolah keamanan sekolah dan
sebagaianya. (2) Task demands (tuntutan tugas), ditunjukkan dengan adanya
berbagai tugas-tugas pelajaran (academic work) yang menimbulkan perasaan
tertekan pada siswa, seperti; classwork, dan homework, tuntutan kurikulum,
menghadapi ujian atau ulangan. (3) Role demands (tuntutan peran), sekumpulan kewajiban
yang diharapkan dan harus dipenuhi oleh siswa tertkait dengan pemenuhan fungsi
pendidikan di sekolah. Seperti; harapan memiliki nilai yang memuaskan,
mempertahankan prestasi sekolah, memiliki ketrampilan yang lebih. Dan 6 (4)
Interpersonal demands (tuntutan interpersonal), siswa harus mampu melakukan
interaksi sosial atau menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di
sekitarnya. Fimian dan Cross (dalam Desmita, 2012: 288) juga menyampaikan bahwa
sekolah merupakan sumber stres yang yang utama bagi peserta didik, hal tersebut
terjadi karena waktu yang dimiliki oleh siswa banyak dihabiskan di sekolah.
Selain itu, penyebab atau faktor umum pemicu stres di sekolah pada siswa dalam
penelitian Savitri (2012) dijelaskan karena adanya metode atau cara guru dalam
mengajar yang dianggap membosankan, banyaknya tugas yang tidak sesuai dengan
kapasitasnya, seringnya diberikan ulangan oleh guru, ejekan atau hinaan teman
karena nilai ujian ataupun prestasi yang rendah dan adanya pelajaran yang susah
dan sangat membosankan. Fenomena yang sama juga terjadi di salah satu lembaga
pendidikan yang menerapkan program akselerasi untuk anak cerdas
istimewa/berbakat yaitu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Denanyar Jombang. Hal ini
juga dibuktikan dengan hasil survey awal yang telah dilakukan oleh peneliti
pada tanggal 23 Januari 2015 pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang, survey
awal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa banyak siswa akselerasi yang
memiliki kecenderungan stres di sekolah. Dan ternyata hampir keseluruhan dari
siswanya mengalami kecenderungan stres di sekolah, survey awal ini dilakukan
pada 23 siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang dan hasilnya menunjukan bahwa 17%
7 (4 siswa) siswa akselerasi mengalami kecenderungan stres di sekolah tingkat
tinggi, lalu sebanyak 56% (13 siswa) mengalami kecenderungan tingkat stres di
sekolah sedang, dan 26% (6 siswa) memilik tingkat kecenderungan stres di
sekolah rendah. Meskipun berbeda-beda kategori hal ini berarti bahwa siswa
akslerasi MAN Denanyar Jombang hampir semuanya mengalami kondisi kecenderungan
stres di sekolah. Berikut diagram hasil survey stres di sekolah: Diagram 1.1
Hasil Suvey Stres di sekolah dari 23 Siswa Akselrasi MAN Denanyar Jombang Hal
tersebut dapat terjadi karena siswa akselerasi merasa lelah akan banyaknya
tugas yang diberikan dan terbatas oleh waktu, adanya guru memberikan tugas
diluar kemampuan siswa, padatnya jadwal seharihari di kelas akselerasi, kurang
terbiasa dengan metode pembelajaran akselerasi yang relatif cepat sehingga
membuat siswa akselerasi merasa kesulitan dalam mengerjakan tugas, membagi
waktu belajar dan bermain, belum lagi kegiatan pondok pesantren serta kurangnya
waktu istirahat. tinggi sedang rendah 8 Selain itu siswa akselerasi kebanyakan
mengalami masalah interpersonal pula karena kurangnya waktu untuk bercanda
dengan teman sebaya, mendapat tekanan dari lingkungan yang tidak suka dengan
akselerasi seperti sering dikucilkan teman-teman reguler yang sebaya, sering
dijadikan bahan hinaan dan perilaku bullying dari teman-teman nonakselerasi
(reguler). Sehingga mengakibatkan beban siswa akselerasi ini semakin menumpuk
bahkan tidak sedikit diantara mereka yang merasa menyesal masuk diakselerasi
dan terbesit untuk keluar dari kelas akselerasi dan alasan lain pemicu
kecenderungan stres di sekolah pada siswa akselerasi ini juga tidak sedikit
diantara mereka yang mengaku akan motivasi mereka masuk di program akselerasi
ini bukan berasal dari diri sendiri melainkan adanya sedikit arahan dari oang
tua masing dan juga dari pihak sekolah (Hasil survey, 23 Januari 2015). Selain
itu, guru BK dan ketua pengelola akselerasi MAN Denanyar juga menyampaikan
bahwa hampir 80% dari siswa akselerasi mengalami kecenderungan stres karena
banyaknya tekanan (preasure), hal ini dibuktikan dengan adanya siswa akselerasi
banyak yang mengadu ketika berkonsultasi seperti, mengeluh akan banyaknya tugas
yang harus diselesaikan, pelajaran yang membosankan, merasa kesulitan tidak
mampu mengikuti pelajaran di akselerasi, persaingan di kelas dan kurangnya
refreshing, bahkan sampai ada dua siswa akselerasi yang pindah ke kelas reguler
bukan karena alasan lain akan tetapi juga karena tidak mampu 9 mengikuti
pembelajaran yang ada di kelas akselerasi (Wawancara, 9 November 2014).
Hal yang sama juga didapat
peneliti ketika observasi di kelas XII akselerasi MAN Denanyar Jombang,
peneliti mendapatkan kesempatan untuk ikut serta mengisi pelajaran Bimbingan
Konseling (BK) secara langsung di kelas akselerasi, didapatkan banyak siswa
akselerasi yang tidak bersemangat di dalam kelas hal ini terlihat dengan
banyaknya siswa yang menyandarkan kepalanya diatas meja wajah terlihat suntuk,
lemas dan mengantuk karena banyaknya materi pelajaran dan tugas setiap hari.
Selain itu juga adanya respon negatif dari para siswi akselerasi mulai dari
keluhan tentang materi pelajaran yang sangat banyak, adanya guru yang sering
menekan bahwa anak akselerasi dituntut harus lebih banyak belajar dan lebih
cepat dalam menguasi pelajaran, adanya metode pembelajaran yang monoton ketika
yang menyampaikan materi, sehingga membuat para siswa akselerasi merasa bosan
berada di kelas akselerasi. Kondisi lain yang membuat beberapa siswa akselerasi
tidak nyaman yaitu ketika mendapat ejekan maupun perlakuan yang tidak layak
seperti diejek, dijadikan bahan bercandaan, dikucilkan oleh siswa lain ataupun
dari guru (Observasi dan Wawancara 8 November 2014). Penjelasan fenomena yang
terjadi di atas membuktikan bahwa siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang
mengalami kecenderungan stres di sekolah. Sehingga, adanya indikasi stres di sekolah
ini menyebabkan 10 peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di MAN Denanyar
Jombang karena adanya faktor-faktor yang memicu timbulnya sumber stres di
sekolah pada siswa ini seharusnya segera untuk diselesaikan sebelum memberikan
efek negatif tersendiri bagi siswa. Beberapa penelitian terdahulu juga
menunjukkan adanya fenomena stres siswa yang berkaitan dengan kehidupan di
sekolahnya, misalnya penelitian Taufik dan Ifdil (2013: 147) terhadap kondisi
tingkat stres akademik siswa SMA Negeri kota Padang, menunjukkan hasil bahwa
sebesar 71,8% kategori sedang, sementara itu 13,2% tingkat stres akademik
tinggi dan 15% siswa menunjukkan tingkat stres akademik rendah.
Hal ini berarti bahwa
kondisi siswa SMA Negeri kota Padang merasakan kondisi stres akademik, akan
tetapi mereka masih dapat mengontrol atau mengelolanya. Fenomena stres di
sekolah ini juga terjadi di Sekolah Menengah Atas sebagaimana hasil penelitian
dari Savitri (2012) pada siswa SMA 1 Puri Mojokerto yang menujukkan hasil
adanya stres di sekolah. Selain itu dalam penelitian ini juga dikemukakan hasil
yang berkaitan dengan adanya para siswa memaknai stres di sekolah sebagai suatu
keadaan atau kondisi dimana mereka mengalami tekanan di sekolah yang disebabkan
karena adanya tugas yang tidak sesuai dengan kapasitasnya, bermasalah dengan
teman, dan bosan terhadap pelajaran. Selain itu juga disampaikan pula ciriciri
siswa ketika merasa stres adalah tidak dapat berkonsentrasi dalam 11 belajar,
resah atau tidak tenang, sering marah-marah, merasa pusing ketika berpikir,
murung atau diam dan suka melamun. Sekaligus memberikan dampak negatif seperti,
tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar, nilai pelajaran jadi menurun atau
rendah, serta malas untuk bersekolah. Selain itu dalam penelitian Nasruddin
(2012) juga menunjukkan fenomena yang sama yaitu adanya stres di sekolah yang
di alami siswa SD Full Day dan siswa SD Full Day alam, menunjukkan hasil bahwa
siswa SD Full Day sebanyak 2,38% mengalami stres di sekolah dalam kategori
sangat tinggi, 28,57% stres di sekolah dalam kategori tinggi, 45,24% mengalami
stres di sekolah kategori sedang, 16,64% mempunyai stres di sekolah dalam
kategori rendah dan 7,14% siswa mempunyai stres di sekolah sangat rendah.
Sedangkan pada SD Full Day Alam menunjukkan 2,63% mempunyai stres di sekolah
dalam kategori sangat tinggi, 23,68% kategori stres di sekolah tinggi, 47,37%
dalam kategori stres di sekolah sedang, 23,68% dalam kategori stres di sekolah
rendah, dan terdapat 25,63% siswa mengalami stres di sekolah sangat rendah.
Adapun Menurut pendapat Smet 1994 (dalam Gunawati dkk., 2004: 98-99) faktor
yang mempengaruhi stres salah satunya dilihat dari faktor kualitas individu
berhubungan dengan lingkungan sosialnya, yaitu dukungan sosial yang diterima
dan integrasi dalam hubungan interpersonal. Dukngan sosial ini menurut Baron
& Donn (2005) memiliki peran penting dalam mereduksi stres. Pendapat Smet
(1994:139) juga 12 menyampaikan bahwa semakin tinggi dukungan sosial akan
mengurangi berbagai dampak penyakit seperti; dapat meningkatkan kualitas
kesehatan dengan mengurangi stres yang dialami oleh individu. Dukungan sosial
menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994: 135) merupakan adanya pemberian informasi
atau nasihat secara verbal maupun non-verbal, pemberian bantuan nyata, atau
tindakan yang diperoleh dari hubungan keakraban sosial atau hanya didapat
karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku
pihak penerima. Sarason dalam (Kumalasari, 2012: 25) mengatakan bahwa dukungan
sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang lain yang dapat
diandalkan, menghargai dan memberikan kasih sayang. Selain itu adanyanya coping
terhadap situasi yang menekan dan keberadaan dari kualitas individu dalam
memberikan dukungan sosial juga dapat menjadikan individu berbeda dalam
menerima efek negatif dari stres (Fausiah & Julianti, 2005: 14).
Selanjutnya dukungan sosial dapat diberikan kepada individu melalui empat
bentuk aspek sebagaimana yang disampaikan oleh House, yaitu (dalam Smet, 1994:
136-137): 1) dukungan emosional, merupakan ungkapan ekspresi empati, kepedulian
dan perhatian terhadap individu yang stres, 2) dukungan penghargaan,
ditunjukkan dengan ukapan hormat (penghargaan) positif, 3) dukungan
instrumental, merupakan bentuk bantuan langsung atau hal yang paling dibutuhkan
individu ketika stres, 13 dan bentuk terakhirnya 4) dukungan informatif:
memberikan nasehat, petunjuk-petunjuk, saran, atau umpan balik. Johnson dan
Johnson (dalam Iksan, 2013: 56) juga menjelasakan bahwa dukungan sosial ini
dapat diperoleh dari keberadaan orang-orang penting yang dekat (significant
others) bagi individu yang membutuhkan bantuan, seperti; orangtua, teman, guru
dan yang lainnya membuat individu merasa lebih mudah dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapinya.
Menurut
Cannon, Pasch, Tschann, & Flores (dalam Rahardjo: 2008) individu yang
mendapatkan banyak dukungan dari orang disekitarnya akan lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami depresi, serta lebih kecil pula kemungkinannya
untuk terlibat dalam perilaku menyimpang, seperti mengonsumsi obat-obatan
terlarang, minumminuman beralkohol, dan melakukan tindakan kriminal. Pendapat
yang hampir sama juga sampaikan oleh Smet (dalam Putri, 2011: 106) bahwa
dukungan sosial merupakan pertolongan atau bantuan yang diterima oleh individu
dari hasil interaksinya dengan lingkungan. Dengan adanya dukungan sosial yang
diperoleh dari lingkungan tersebut maka indvidu akan lebih sehat secara fisik
dan psikisnya daripada individu yang tidak menerima dukungan sosial. Sejumlah
penelitian terdahulu telah menunjukkan hubungan yang erat antara dukungan
sosial dengan stres karena banyaknya tekanan. Dikutip dari penelitian Putri
(2011) yang berjudul “Hubungan Dukungan 14 Sosial Terhadap Stres Kerja Pada
Karyawan Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana Semarang” pada hasil
penelitiannya menunjukan adanya hubungan yang sangat signifikan antara dukungan
sosial dengan stres kerja dengan skor nilai rxy= -0,530 dengan p<0,01. Ini berarti semakin besar dukungan sosial yang diberikan maka semakin rendah stres kerja yang muncul. Sebaliknya semakin rendah dukungan sosial yang diberikan maka semakin tinggi stres kerja yang muncul. Pada penelitian Puspitasari dkk. (2010) juga menunjukan bahwa dukungan sosial teman sebaya bermanfaat untuk mengurangi kecemasan menjelang UN pada siswa kelas XII SMA Negeri 1 Surakarta. Hal tersebut terlihat dari hasil analisisnya bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dan kecemasan menghadapi Ujian Nasional (r = -0,208 dan p ><0,05). Ini berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh, kecemasan siswa rendah terhadap Ujian Nasional (UN). Dukungan sosial memberikan sumbangan yang efektif pada kecemasan menghadpi UN dengan persentase 4,5% saja dan 95,7% dipengaruhi oleh faktor lain. Selain itu pada penelitian Purba dkk. (2007) juga menunjukan hasil yang hampir sama bahwa dukungan sosial memberi sumbangan yang dominan untuk mengurangi level burnout yang dialami guru. Hal tersebut ditunjukan dengan hasil analisis datanya dengan nilai r = - 0.761, a = 0,005; artinya bahwa dukungan sosial berpengaruh negatif terhadap 15 burnout, dimana semakin besar dukungan sosial yang diperoleh akan mengurangi level burnout yang dialami guru. Serta perolehan nilai R² = 0,580; menunjukkan sumbangan variabel dukungan sosial terhadap burnout yang dialami guru sebesar 58% dan sisanya 42% dipengaruhi oleh faktor lain. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan batasan masalah pada kondisi stres di sekolah dalam menghadapi berbagai tuntutan di sekolah yang dihubungkan dengan dukungan sosial yang dapat mengurangi masalah stres di sekolah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat dukungan sosial pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang?
2. Bagaimana tingkat stres di sekolah siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang?
3. Adakah hubungan antara dukungan sosial dengan stres di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat dukungan sosial pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang.
2. Untuk mengetahui tingkat stress di sekolah siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang
3. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stress di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan psikologi positif yang berkaitan dengan ranah psikologi klinis, psikologi sosial, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan. Dan khususnya mengenai bagaimana dukungan sosial (social support) dapat mereduksi stres di sekolah pada siswa akselerasi.
b) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi penelitian lebih lanjut yang' berkaitan dengan dukungan sosial dalam mengurai stres di sekolah yang dialami oleh siswa akselerasi maupun siswa reguler.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi sekolah Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai stres di sekolah yang dirasakan oleh siswa-siswi akselerasi MAN Denanyar Jombang, dan memberikan alternatif penanganan dengan memahami akan makna pentingnya dukungan sosial bagi siswa-siswi akselerasi baik dukungan dari orang tua, guru, teman sebaya dan lingkungan sekolah. Sehingga dapat memberikan pelayanan yang layak sekaligus dapat 17 mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh siswa-siswi akselerasi itu sendiri. b) Bagi siswa Siswa dapat mengetahui cara mengatasi stres di sekolah dengan berbagai tindakan positif yang dapat diperoleh salah satunya dengan dukungan dari orang tua, guru, teman sebaya, dan juga lingkungan sekolah.>
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan dukungan sosial dengan tingkat stres di sekolah pada siswa akselerasi MAN Denanyar Jombang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment