Abstract
INDONESIA:
Masa remaja sangat rentan terhadap tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat. Keluarga sangat berperan penting dalam mengarahkan anak dalam masa remaja ini karena keluarga adalah lingkungan pendidikan bagi anak. Banyak upaya yang telah diusahakan orang tua untuk bisa melindungi anaknya dari pengaruh negatif zaman sekarang baik dari segi pergaulan bebas, perilaku amoral dan yang lainnya. Dari fenomena yang telah terjadi di masyarakat tersebut membuat kecemasan dan kekhawatiran bagi para orang tua. Sehingga tidak sedikit orang tua yang memilih alternatif pendidikan yang ditawarkan untuk anaknya adalah sekolah yang berasrama, yang mana sekarang ini banyak sekolah-sekolah yang memfasilitasinya dengan adanya pondok pesantren sebagai tempat tinggal para siswa-siswinya. Kemudian karena banyaknya jadwal yang menuntut santri aktif maka tidak heran jika perilaku melanggar juga tidak luput dari kehidupan pesantren, baik dalam kapasitas kecil, sedang, sampai pelanggaran berat. Dan salah satu dari beberapa penyebabnya adalah karena intensitas pertemuan dengan orang tua yang kurang dan juga intensitas komunikasi yang kurang antara anak dengan orang tua.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara intensitas komunikasi anak dengan orang tua terhadap regulasi diri pada anak dan seberapa besar tingkat intensitas komunikasi yang dibangun oleh anak dengan orang tuanya dan juga seberapa besar anak dapat meregulasi dirinya dalam kesehariannya di sekolah maupun di pondok pesantren.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode kuantitatif. Data diperoleh melalui wawancara dan juga menggunakan metode Linkert untuk skala intensitas komunikasi dan regulasi diri. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswi MTs Raudlatul Ulum Putri, sebanyak 259 anak. Teknik sampling menggunakan purposive sampling dengan mengambil subyek dari siswi kelas VIII yang berjumlah 92 anak yang notabene sudah pernah tinggal di pondok pesantren selama satu tahun dan berpengalaman jauh dari orang tuanya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara intensitas komunikasi anak dengan orang tua terhadap regulasi diri pada anak dan seberapa besar tingkat intensitas komunikasi yang dibangun oleh anak dengan orang tuanya dan juga seberapa besar anak dapat meregulasi dirinya dalam kesehariannya di sekolah maupun di pondok pesantren.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode kuantitatif. Data diperoleh melalui wawancara dan juga menggunakan metode Linkert untuk skala intensitas komunikasi dan regulasi diri. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswi MTs Raudlatul Ulum Putri, sebanyak 259 anak. Teknik sampling menggunakan purposive sampling dengan mengambil subyek dari siswi kelas VIII yang berjumlah 92 anak yang notabene sudah pernah tinggal di pondok pesantren selama satu tahun dan berpengalaman jauh dari orang tuanya.
Hasil analisis data menunjukkan adanya pengaruh intensitas komunikasi terhadap regulasi diri F hitung sebesar = 9,714 dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 dan perolehan koefisien korelasi sebesar 44,7%., menunjukkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak.
ENGLISH:
Adolescence is very vulnerable to the actions that deviate from the norm of society. Family plays an important role in directing children in adolescence because the family is the educational environment for children. Much effort has been cultivated parents to protect their children from negative influences today both in terms of promiscuity, and other immoral behavior. Of a phenomenon that has occurred in these communities makes anxiety and worry for parents. So that not a few parents who choose alternative education offered to children is a boarding school, which today many schools are facilitated by the boarding school as a place of residence of the students. Then, because of the many active students demanding schedules it is no wonder if the behavior violates was not immune from boarding school life, either in the capacity of small, moderate, to severe violations. And one of several causes is due to the intensity of a meeting with parents who are less and less intensity of communication between children and parents.
This study aims to determine whether there is influence between the intensity of the child's communication with parents toward self-regulation in children. How big is the level of intensity of communication which was built by children with their parents and also how much the child can regulate themselves in their daily life at school and at boarding school.
The method used in this research is quantitative method. Data were obtained through interviews and also using Linkert to scale the intensity of communication and self-regulation. The population used in this study were all students of MTs Raudlatul Ulum daughter, as many as 259 children. Sampling technique used purposive sampling by taking the subject of a class VIII student who numbered 92 children who in fact had never stayed in a boarding school for one year and experienced far from their parents.
Results of the data analysis shows the influence of communication intensity towards self-regulation of F hitung = 9,714 with the significance value 0.000, and received a correlation coefficient of 44,7%, which means that Ha is received and Ho is rejected.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak orang mendefinisikan
Remaja sebagai masa transisi, dari masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada
masa-masa tersebut seorang individu sering menunjukkan tingkah laku tertentu
yang lebih berorientasi pada kesenangan, selain itu masa remaja juga sering
disebut sebagai masa-masa penuh tantangan. Menurut King masa remaja “Dimulai
sekitar pada usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 21 tahun.
Dalam menelusuri masa remaja, kita harus tetap mengingat bahwa tidak semua
remaja sama. Etnis, budaya, sejarah, gender, sosialekonomi dan gaya hidup yang
bervariasi, mewarnai lintasan kehidupan mereka (2012 : 188). Menurut Sarlito yang
dikutip oleh Fatimah, definisi remaja berbeda-beda dikarenakan Indonesia
terdiri dari berbagai suku bangsa, adat-istiadat, dan tingkat sosial ekonomi
maupun pendidikan yang bermacam-macam (2010 : 170). Pada usia tersebut umumnya
anak sedang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Selama masa ini remaja banyak menghadapi masalah dan berupaya menemukan jati
dirinya (identitasnya) yang merupakan kebutuhan untuk beraktualisasi diri.
Selanjutnya Menurut Hurlock yang dikutip oleh Chairani dan Subandi menyatakan
bahwa pada masa remaja anak dituntut untuk bisa memperoleh norma-norma dalam
masyarakat pedoman dalam bertindak 2 dan menjadikannya sebagai pandangan hidup.
Norma-norma ini pula yang dijadikan sebagai dasar dalam berhubungan dengan
Tuhan, alam semesta dan juga berhubungan dengan sesama manusia lainnya. Dengan
norma ini pula remaja dibantu untuk bisa mengerti tentang gambaran dunia dan
memelihara keharmonisan yang ada di dalamnya (Chairani & Subandi 2010 :
34-35). Sedangkan pada masa remaja, anak sangat rentan terhadap tindakan yang
menyimpang dari norma masyarakat. Di tengah berbagai gejolak perubahan yang
terjadi di masa kini, banyak remaja yang melakukan tindakan melanggar hukum,
seperti minum-minuman keras, narkoba, dan yang paling tidak asing lagi bagi
masyarakat adalah adanya tawuran antar remaja yang tidak jarang menimbulkan
jatuhnya korban jiwa. Keluarga sangat berperan penting dalam mengarahkan anak
dalam masa remaja ini karena keluarga adalah lingkungan pendidikan bagi anak.
Pendidikan di lingkungan keluarga berlangsung sejak anak lahir. Bahkan setelah
dewasa pun orang tua masih berhak memberikan nasihatnya kepada anak. Oleh
karena itu, peran orang tua sangat strategis dalam memberikan pendidikan nilai
kepada anak. Dan dengan beralaskan komunikasi yang harmonis antara orang tua
dan anak, pendidikan dapat berlangsung dengan baik. Menurut Mulyana yang
dikutip oleh Djamarah menyatakan bahwa dengan melibatkan diri dalam komunikasi,
seseorang akan lebih mengerti 3 bagaimana memperlakukan manusia satu dengan
manusia lainnya dengan baik karena cara-cara berperilaku yang baik harus
dipelajari lewat pengasuhan keluarga dan pergaulan dengan orang lain, yang
kesemuanya itu bermuara pada komunikasi (Djamarah, 2014 : 10).
Kemudian Djamarah menjelaskan lagi bahwa keluarga merupakan sarana
terbaik untuk mananamkan nilai-nilai agama pada diri anak. Orang tua juga
memilikili peran dalam membiasakan ritual keagamaan kepada anak sehingga
nilai-nilai agama dapat ditanamkan ke dalam diri anak (2014 : 22). Banyak upaya
yang telah diusahakan orang tua untuk bisa melindungi anaknya dari
pengaruh-pengaruh negatif zaman sekarang baik dari segi pergaulan bebas,
perilaku amoral dan yang lainnya. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan
bagi anak untuk melakukan perilaku amoral, meskipun intensitas pertemuannya
dengan orang tua terbilang sangat sering, setiap hari bertemu dengan orang tua
dan diawasi secara ekstra. Salah satu bukti perilaku menyimpang meskipun
intensitas pertemuan dengan orang tua terbilang sering terjadi pada remaja yang
tidak tinggal di asrama yakni seperti jenis-jenis kenakalan yang sering
dilakukan oleh para siswa SMP Negeri 14 Malang, yang tergolong jenis kenakalan
ringan. Kenakalan ringan adalah suatu kenakalan yang tidak sampai pada
pelanggaran hukum. Bentuk atau jenis kenakalan siswa SMP Negeri 14 Malang ini
seperti, membolos, ngobrol atau ramai pada jam 4 pelajaran berlangsung,
pemakaian atribut pada seragam tidak sesuai dengan aturan yang ditentukan pihak
sekolah, merokok, tidak mengerjakan PR sekolah, sering terlambat datang ke
sekolah, menyontek, berpacaran. Dari beberapa penyimpangan yang telah
disebutkan itu terjadi karena bagian dari kemerosotan moral yang sangat
dipengaruhi oleh sosial budaya zamannya. (https://rudien87.wordpress.com) Dari
fenomena yang telah terjadi di masyarakat tersebut membuat kecemasan dan
kekhawatiran bagi para orang tua, sehingga tidak sedikit orang tua yang memilih
alternatif pendidikan yang ditawarkan untuk anaknya adalah sekolah yang
berasrama, yang mana sekarang ini banyak sekolah-sekolah yang memfasilitasinya
dengan adanya pondok pesantren sebagai tempat tinggal para siswa-siswinya.
Menurut Suyono, Herimanto & Wahyuni S, kehidupan pondok pesantren yang
diidentikkan sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi pada ilmu-ilmu agama
dinilai sebagai aspek yang perlu ditanamkan pada remaja zaman sekarang. Adapun
untuk kegiatan di dalam pondok pesantren juga diatur sedemikian rupa agar
tercipta pembelajaran secara kondusif. Pengaturan jadwal kegiatan membawa
banyak manfaat akademik bagi remaja, antara lain proses pembelajaran yang
berlangsung hampir selama 24 jam, yang dimulai dari bangun tidur di waktu subuh
sampai tidur lagi di waktu malam memberikan kesempatan interaksi antara siswa
dengan guru yang dapat merangsang semangat belajar, terbentuknya pribadi yang
mandiri, dan juga memudahkan kontrol dari guru dan juga 5 ustadz atau ustadzah
di pondok pesantren (Suyono, Herimanto & Wahyuni S 2013 : 2-3). Selanjutnya
menurut Suyono, Herimanto & Wahyuni S, dengan adanya jadwal yang
terstruktur tersebut yang menjadi penguat bahwa dengan sistem pendidikan dalam
pondok pesantren tersebut diharapakan dapat mengurangi masalah kenakalan
remaja. Lingkungan pondok pesantren berusaha untuk mengurangi pengaruh di luar
keluarga, dengan menampung remaja di suatu asrama atau yang akrab disebut
dengan pondok pesantren.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan formal sangat berperan
dalam mempengaruhi perilaku individu sesuai dengan nilai-nilai kehidupan
masyarakat, selain itu kehidupan di pesantren juga diharapkan dapat membantu
siswa dalam menentukan perubahan ke arah yang lebih baik (2013 : 3). Kehidupan
siswa sebagai santri di pondok pesantren modern berbeda dengan kehidupan santri
di pondok pesantren tradisional. Di pondok pesantren modern, santri dituntut
untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap kegiatan-kegiatan dan
peraturan yang berlaku. Situasi yang sering dihadapi santri seperti kurangnya
perhatian dari orang tua, padatnya kegiatan yang harus dijalani oleh setiap ,
ketatnya peraturan yang harus dipatuhi oleh santri dan kehidupan pondok
pesantren yang memisahkan antara putra dan putri. Terorganisirnya jadwal yang
harus diterima oleh santri, terkadang membuat kondisi yang berbeda dan dampak
terhadap pola kehidupannya. 6 Karena banyaknya jadwal yang menuntut santri
aktif maka tidak heran jika perilaku melanggarpun juga tidak luput dari
kehidupan pesantren, baik dalam kapasitas kecil, sedang, sampai pelanggaran
berat. Dan salah satu dari beberapa penyebabnya adalah karena jarang dikunjungi
oleh orang tua. Hal inilah yang membuat santri mengalami kesulitan dengan
dirinya sendiri, dari kapasitas kecil seperti, lebih sering mengurung diri di
kamar, jarang bergaul dengan santri yang lain, sering melamun, menangis dan
sering tidak makan, kurang merespon orang lain baik guru maupun temannya,
sampai pada pelanggaran sedang yakni tidak mengikuti pelajaran di kelas ataupun
tidak memperhatikan penjelasan guru, perasaan rindu berat terhadap orang tua
dan keluarganya, tidak melaksanakan tanggungjawabnya sebagaimana mestinya dan
tidak dapat mengontrol dirinya sendiri dengan baik. Salah satu bukti kenakalan
atau penyimpangan yang terjadi pada remaja yang tinggal di pesantren yakni
sesuai dengan data yang telah diperoleh dari hasil perbincangan dengan salah
satu santri sekaligus siswi MTs Raudlatul Ulum Putri Ganjaran Gondanglegi pada
19 Januari 2015. Responden pertama menjelaskan bahwa dirinya telah merasa
nyaman dan senang dalam melaksanakan kegiatan yang ada di Pesantren. Hal
tersebut dikarenakan adanya dukungan dari orang tua yang sering berkunjung ke
Pondok Pesantren, bahkan setiap hari Ibu responden selalu berkunjung dan
membawakannya makanan dari rumah. 7 Berdasarkan percakapan tersebut, responden
merasa senang karena orang tuanya terutama Ibunya bisa berkunjung setiap hari,
hal tersebut didukung dengan tempat tinggal asal responden yang berdekatan
dengan pondok. Responden juga menyebutkan bahwa dengan adanya kunjungan dari
Ibunya, dia bisa berkomunikasi dan mengutarakan semua keluh kesahnya selama
berada di Pesantren dan juga di Sekolah.
Responden merasa lebih nyaman bisa bercerita kepada Ibunya
dibandingkan bercerita kepada teman-temannya. Jika Ibu responden tersebut tidak
bisa menjenguk secara langsung, Ibu responden selalu mengirimkan pengganti
untuk berkunjung, namun responden merasa gelisah dengan ketidakhadiran Ibunya
tersebut. Sampai pernah suatu hari responden menangis karena selama dua hari
berturut-turut Ibunya tidak menjenguk. Hingga responden memutuskan untuk tidak
makan, dan malas melaksanakan kegiatan pondok. Bahkan responden tersebut pernah
melakukan pelanggaran dengan “menyunting” atau melihat secara sembunyi-sembunyi
santri pondok putra dan salah satu dari pengurus pondok mengetahui hal
tersebut, sehingga respondenpun mendapatkan teguran atau peringatan dari
pengurus pondok. Adapun dari responden kedua menuturkan bahwa akhir-akhir ini
dia merasa tidak betah berada di pondok pesantren, hal tersebut dipicu karena
seringnya dia pulang ke rumah karena sakit, kemudian orang tua hanya menjenguk
ketika responden membutuhkan uang saja, sedangkan 8 waktu untuk bercerita
kepada orang tua kurang. Santri tersebut pernah terbesit keinginan untuk keluar
dari Pondok Pesantren, namun responden ingat pesan dari kedua orang tuanya dan
memutuskan untuk tetap bertahan. Dukungan orang tua baik secara materi,
support, dan yang paling utama perhatian bagi siswi di pesantren sangat
berpengaruh bagi dirinya, terutama perhatian yang diberikan oleh orang tua,
dengan demikian siswi akan semakin dekat dan lebih terbuka terhadap orang tua
meskipun tidak setiap saat bisa bertemu langsung dengan orangtuanya. Dengan
adanya komunikasi dengan orang tua, siswi pesantren dapat menyampaikan atau
mencurahkan apa yang sedang terjadi pada dirinya dan juga masalahmasalah apa
yang sedang dialami. Dengan begitu akan terjadi intensitas komunikasi yang baik
dan juga mendalam antara siswi dan orang tuanya, karena adanya hubungan timbal
balik antara siswi dan orang tua. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
Asizah dan Fabiola Hendrati menerangkan dalam penelitiannya tentang “Hubungan
antara intensitas komunikasi antara orang tua- anak dengan regulasi diri pada
remaja di sekolah”. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa koefisien
korelasi yang diperoleh sebesar rhitung = 0,510 dengan rtabel = 0,220. Hasil
analisis data menunjukkan ada hubungan antara intensitas komunikasi
orangtua-anak dengan regulasi diri remaja di sekolah dengan koefisien korelasi
sebesar 51%. 9 Berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan dan penelitian
yang telah ada, maka peneliti menggali penelitian terkait dengan intensitas
komunikasi dan regulasi diri pada siswi kelas VIII yang sekaligus tinggal di
pondok pesantren. Yang mana penelitian ini semoga memberikan manfaat agar para
santri sekaligus siswi serta ustadz-ustadzah maupun guru-guru di sekolah
memahami dan mengerti tentang permasalahan remaja dalam kehidupan
bersosialisasi dan pengaturan dirinya selama berada di pesantren dan juga
lingkungan sekolah.
Oleh karena itu, peneliti disini
tertarik untuk melakukan penelitian kuantitatif dengan mengangkat judul
“Pengaruh Intensitas Komunikasi Anak Dengan Orang Tua Terhadap Regulasi Diri
Siswi Kelas VIII MTs Raudlatul Ulum Putri Gondanglegi Malang”
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana tingkat
intensitas komunikasi anak dengan orang tua pada siswi kelas VIII MTs Raudlatul
Ulum Putri Gondanglegi Malang? 2. Bagaimana tingkat regulasi diri/pengaturan
diri pada siswi kelas VIII MTs Raudlatul Ulum Putri Gondanglegi Malang? 3.
Adakah pengaruh intensitas komunikasi anak dengan orang tua terhadap regulasi
diri/pengaturan diri pada siswi kelas VIII MTs Raudlatul Ulum Putri Gondanglegi
Malang?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui tingkat intensitas komunikasi anak dengan orang
tua pada siswi kelas VIII MTs Raudlatul Ulum Putri Gondanglegi Malang. 2. Untuk
mengetahui tingkat regulasi diri/pengaturan diri pada siswi kelas VIII MTs
Raudlatul Ulum Putri Gondanglegi Malang. 3. Untuk mengetahui pengaruh
intensitas komunikasi anak dengan orang tua terhadap regulasi diri/pengaturan
diri pada siswi kelas VIII MTs Raudlatul Ulum Putri Gondanglegi Malang.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu psikologi pada umumnya terutama dalam bidang Psikologi
sosial. Sehingga nantinya dapat memperkaya teori-teori tentang regulasi diri
pada remaja siswi yang tinggal di pondok pesantren. b. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh intensitas komunikasi
anak dengan orang tua terhadap regulasi diri remaja yang tinggal di pesantren.
11 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: a.
Orang tua Dapat memberikan masukan kepada orang tua betapa pentingnya membangun
komunikasi yang baik dengan anak dalam rangka meningkatkan kemampuan anak dalam
mengelola dirinya sendiri dan juga mendukung tujuan yang ingin dicapai anak. b.
Lembaga Pesantren Kepada lembaga pesantren bahwa komunikasi antara orang tua
dan anak juga sangat mempengaruhi kehidupan anak selama berada di pesantren. c.
Fakultas Psikologi Memberikan sumbangan berupa keilmuan dalam bidang psikologi
sosial. Masih minimnya Sarjana Psikologi yang menguasai teori beserta
aplikasinya. Hal ini menjadi tugas bagi penyelenggara jurusan keilmuan
Psikologi untuk menyiapkan mahasiswanya menjadi tenaga professional yang
aplikatif dan peka terhadap permasalahan yang banyak terjadi di masyarakat. Hal
tersebut terkait pula dengan tri dharma perguruan tinggi yakni adanya perguruan
tinggi bertugas melakukan pendidikan, penelitian dan pengabdian di masyarakat.
DOWNLOAD
1 comment:
air max 90
tom ford glasses
hermes belts
nike air force
longchamp handbags
nike air max 90
adidas tubular
air max 270
yeezy shoes
vans shoes
Post a Comment