Abstract
INDONESIA:
Post power syndrome pada umumnya dialami oleh orang-orang yang tadinya memiliki kekuasaan atau memangku jabatan, dan setelah tidak menjabat lagi mengalami gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang tidak stabil dan bersifat negatif. Rumusan dari penelitian ini adalah bagaimana bentuk post power syndrome yang ditunjukkan oleh mantan pemimpin organisasi mahasiswa intra kampus, bagaimana pemahaman mantan pemimpin tentang post power syndrome, dan bagaimana mantan pemimpin menyikapi post power syndromenya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi post power syndrome mantan pemimpin organisasi mahasiswa intra kampus. Post power syndrome yang dimaksud adalah adanya sikap masih berkuasa meskipun sudah tidak menjabat sebagai pemimpin lagi. Secara fisik individu yang mengalami post power syndrome akan tampak lebih lesu, malas, dan lemas. Dari segi emosi individu akan merasakan putus asa, kecewa, dan perasaan negatif lainnya. Secara perilaku individu akan lebih sering bercerita tentang masa kepemimpinannya dan membanding-bandingkan dengan pemimpin yang baru dan lebih sering marah.
Penelitian ini mengambil subyek mantan pemimpin organisasi mahasiswa intra kampus UIN Maliki Ibrahim Malang. Penelitin ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengambilan data observasi partisipan dan wawancara mendalam.
Berdasarkan hasil penelitian dikatehui bentuk post power syndrome pada diri subyek yaitu, dari segi fisik terihat lebih lesu, lemas, dan malas. Dari segi emosi subyek merasa kosong, kecewa, dan kesal, sedangkan dari segi perilaku subyek suka mengkritik, kesal ketika nasihatnya diabaikan, dan suka bercerita tentang masa kepemimpinannya dan membandingkan dengan kepemimpinan yang baru. Subyek mengetahui bahwa telah terjadi perubahan secara fisik, emosi, dan perilaku pada dirinya setelah tidak menjabat lagi sebagai pemimpin. Secara fisik lebih malas, dan santai, secara emosi ada perasaan kosong, juga perasaan kecewa dan kesal terhadap kepemimpinan yang baru, sedangkan perubahan perilakunya yaitu suka memberikan nasihat dan kesal apabila diabaikan nasihatnya, dan senang menceritakan masa lalunya ketika menjadi pemimpin dan membandingkan dengan kepemimpinan yang baru. Dalam menyikapi perubahan yang telah terjadi tersebut, subyek membiarkannya saja karena subyek memiliki keyakinan bahwa perasaan tersebut akan hilang dengan sendirinya.
ENGLISH:
Post power syndrome is generally experienced by people who previously had the power or taking office, and after serving no longer experiencing symptoms of mental or emotional instability and negative. The formulation of this research is how to shape a post power syndrome demonstrated by the former leader of intra-campus student organizations, how understanding the former leader of the post-power syndrome, and how the former leader addressing post power syndrome.
This study aims to explore the post-power syndrome former leader of intra-campus student organizations. Post power syndrome in question is the attitude still ruling even though it was not served as a leader again. Physically, individuals who experience post power syndrome appears more lethargic, lazy, and weak. In terms of individual emotions will feel despair, disappointment, and other negative feelings. In the behavior of individuals will more often talked about his tenure and to compare with the new leaders and more often angry.
This study takes the subject of the former leader of intra-campus student organizations UIN Maliki Ibrahim Malang. This research is conducted using a qualitative approach to data collection methods of participant observation and in-depth interviews.
Based on the research results form of post-power syndrome on the subjects themselves that, in terms of physical more lethargic, weak and lazy. The subject felt emotionally empty, frustrated, and annoyed, while in terms of the behavior of the subjects love to criticize, annoyed when his advice is ignored, and likes to tell of his tenure and compare with the new leadership. The subjects know that there has been a change in the physical, emotional, and behavioral after they no longer hold himself as a leader. Physically more lazy, and relaxing, there is a feeling emotionally empty, also feeling disappointed and upset to the new leadership, while the change in behavior that is like giving advice and upset when ignored his advice, and glad to tell his past when a ruler and comparing with leadership new. In addressing the changes that have occurred, let alone the subject because the subject has confidence that these feelings will disappear by it self.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penelitian Seorang pemimpin sebuah organisasi atau perusahaan
memiliki potensi yang besar untuk mengalami post power syndrome ketika telah
usai masa baktinya atau pensiun. Dinsi& Yuliasai (2006) menjelaskan,
“individu yang pensiun dari pekerjaan rutinnyamerasakanketakutanterhadapapa
yang akandilakukannya, danketakutanini yang membuatindividumengalamisindrompascakekuasaanataupost
power syndrome” (h. 78).Hal ini diperkuat oleh Helmi (2000), yang menjelaskan
“bentuk dari reaksi negatif pensiun adalah merasa tidak berdaya, minder, bahkan
muncul gejala stress seperti mudah marah, susah tidur, malas bekerja, sering
pusing, atau muncul kecemasan bahkan berbagai penyakit dan tidak jarang pula
individu merasa powerless dan muncul sindrom pasca kekuasaan” (h. 42). Pada
dasarnya post power syndrome bukan muncul dengan tanpa faktor atau sebab.
Turner & Helms (1983: 109) menjelaskan, bahwa terdapat 5 faktor yang paling
dominan dalam mempengaruhi individu untuk mengalami post power syndrome, yaitu;
kehilangan jabatan, kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif, kehilangan
kewibawaan, kehilangan kontak sosial, dan kehilangan sebagian sumber
penghasilan. Hal itu diakui oleh „A‟ salah seorang pemimpin Organisasi Intra
Kampus (OMIK) jika dirinya merasa tidak berwibawa lagi setelah turun dari
jabatan pemimpinnya.Dia bercerita ketika masih menjadi pemimpin banyak orang
yang 2 menghormati dan menyanjungnya, tetapi ketika tidak lagi menjabat tidak
ada lagi yang menyanjung dan menghormatinya.Bahkan „A‟ mengaku ketika masih
menjabat sebagai pemimpin, banyak dicari oleh orang sehingga dirinya merasa
mejadi orang penting (wawancara: 2014).
Elia (2005),
menjelaskan“post power syndrome umumnya dialami oleh orangorang yang tadinya
memiliki kekuasaan atau memangku jabatan, setelah tidak menjabat lagi mengalami
gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang tidak stabil dan bersifat negatif”.
Spesialis kesehatan mental, Dadang Hawari dalam Media IndonesiaKesra (2014),
mengatakan bahwa orang yang terkena post power syndrome meningkat sekitar 25%
dari tahun 1999-2000. Menurutnya, meskipun kelainan psikis ini bersifat ringan
namun akan menjadi berat karena menjalar kepenyakit-penyakit fisik. Bahkan
dikatakan pula bahwa post power syndrome berpotensi menyebabkan kematian
(sudden death syndrome). Beberapa kasus post power syndrome yang berat diikuti
oleh gangguan jiwa, seperti tidak bisA berfikir rasional dalam jangka waktu
tertentu, depresi berat, atau pada pribadi-pribadi introvert terjadi
psikosomatik yang parah. Kondisi kejiwaan seperti itu apabila tidak segera
ditangani akan berpengaruh terhadap kesehatan fisik, seperti mudah capai, yang
mengakibatkan daya tahan tubuh mulai menurun. Satu persatu penyakit akan mulai
bermunculan, seperti asmatik, merasa pegal-pegal di semua persendian,
kesemutan, jantungan, pusing-pusing dan sebagainya. Namun kalau diperiksa
secara medis ternyata tidak ada gejala yang menunjukkan adanya penyakit
tersebut. Kondisi seperti ini disebut psychosomatic yaitu suatu jenis 3
penyakit yang disebabkan beban emosi kejiwaan yang tidak tersalurkan. Apabila
hal ini tidak segera diwaspadai akan berpengaruh terhadap kesehatan fisik,
kekecewaan yang mendalam mengakibatkan hilangnya nafsu makan, emosional,
pusing-pusing, gangguan tekanan darah tidak stabil, komplikasi penyakit yang
semua itu akan merupakan penderitaan bagi yang bersangkutan (Rini,2001). Post
power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana penderita hidup dalam
bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, katampanannya,
kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang
realita yang ada saat ini. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya post
power syndrome, pensiun dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila
individu tersebut memiliki jabatan, kekuasaan dan pengaruh yang cukup basar di
masa kerjanya, ketika memasuki pensiun semua itu tidak dimilikinya, sehingga
timbullah berbagai gangguan psikis yang semestinya tidak perlu. Hal ini
berdampak negatif terhadap dirinya, mereka mendadak menjadi sangat sensitif dan
merasa hidupnya akan segera berakhir hanya karena masa kejayaannya telah
berlalu. Kondisi mental dan tipe kepribadian juga sangat menentukan mekanisme
reaktif seseorang dalam menanggapi masa pensiunnya (Kartono, 1997: 67). Jabatan
sebagai pemimpin organisasi mahasiswa membuat seorang individu memiliki
pengaruh di kalangan civitas akademika. Dengan jabatannya tersebut individu
akan lebih dihormati, disegani, dan dianggap orang yang berpengaruh. Hal itu
terjadi karena mmenjadi seorang pemimpin mahasiswa menjanjikan seorang individu
lebih prestise, dan status yang tinggi di kalagan mahsiswa. Namun, ketika 4 jabatan
pemimpin tersebut tiba-tiba hilang dari diri seorang individu, maka dengan
sendirinya pengaruh, prestise, status tinggi tersebut juga akan hilang
(Prawitasari, 1989). Menjadi seorang mantan pemimpin terkadang membuat seorang
individu mengalami goncangan dalam beradabtasi dengan lingkungan barunya.
Ngoncangan tersebut berupa gangguan perilaku dan emosi yang ketika masih
menjabat sebagai pemimpin dulu tidak ada.Misalnya, ketika masih menjadi
pemimpin dalam suatu organisasi dulu dia jarang marah setelah tidak menjabat
sebagai pemimpin lag dia mulai sering marah, cepat tersinggung, dan sering
mengkritik (Hawari, 1995). Pada umumnya banyak perguruan tinggi yang tidak
hanya mendidik mahasiswanya dengan hanya mengandalkan perkuliahan di dalam
kelas.Banyak perguruan tinggi yang mewadahi bakat dan minat mahasiswanya di
luar kelas dengan membentuk unit-unit organisasi.Tujuan dari terbentuknya
organisasi tersebut agar mahasiswa juga dapat mengembangkan skill nya di luar
kelas.Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang adalah salah
satu perguruan tinggi yang memiliki banyak organisasi yang dikhususkan untuk
mahasiswanya.Secara global organisas itu terbagi menjadi organisasi intra
kampus dan organsiasi ekstra kampus.Dalam setiap organisasi baik intra maupun
ekstra selalu ada seorang pemimpin guna menjadi leader bagi organisasinya.Masa
kepemimpinan rata-rata dalam setiap unit organisasi di bawah naungan organisasi
intra dan ekstra rata-rata 1 tahun. Setelah lengser dari jabatan pemimpin ini
terkadang ada perubahan-perubahan yang terjadi pad adiri individu yang pada
mulanya menjadi seorang pemimpin. 5 „S‟ dan „A‟ yang merupakan mantan pemimpin
OMIK juga mengalami gejala yang ditunjukkan oleh penderita post power syndrome,
seperti mudah tersinggung, marah, dan merasa masih memiliki jabatan pemimpin.
Hal itu ditunjukkan dengan sikapnya yang memberikan keputusan terhadap suatu
permasalahan padahal seharusnya itu hak seorang pemimpin, sedangkan „S‟ dan „A‟
sudah tidak lagi menjabat sebagai pemimpin.Sikap seperti itu diakui oleh „S‟
dan „A‟ timbul tanpa disadari atau terjadi secara spontan dan baru sadar
setelah terucap atau setelah ada anggota organisasi yang mengingatkan.Setelah
kejadian seperti itu, „S‟ dan „A‟ lantas meminta maaf atau terkadang langsung bercerita
tentang masa kepemimpinannya ketika dirinya mengambil keputusan final
(wawancara: 2014 ). Hal itu diperkuat oleh Agustina (2008) yang memberikan
ciri-ciri orang yang rentan mengalami post power syndrome, yaitu: 1)
orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang
permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain. 2) orang-orang
yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri,
sehingga jika individu tersebut memiliki jabatan dia merasa diakui orang lain.
3)orang-orang yang manaruh arti hidupnya pada prestasi jabatan dan pada
kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain.
Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan
hal yang sangat berarti dalam hidupnya. Dengan demikian jelas bahwa seorang
mantan pemimpin memiliki kecenderungan untuk mengalami post power
syndrome.Prawitasari (1989),menambahkan bahwa,“post power syndrome biasanya
dialami oleh pejabat- 6 pejabat atau pegawai pemerintah. Lebih lanjut dia
berpendapat bahwa pada umumnya individu yang mengalami post power syndrome
adalah pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan yang berlebih yang biasa
disanjung oleh anak buah atau orang lain yang mempunyai kepentingan dengannya”
(h. 3).Munandar (1991), menjelaskan bahwa“post power syndrome adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan munculnya ciri atau perilaku yang merupakan
ungkapan dari kekuasaan yangmelekatpadajabatan pimpinan yang dialami individu
yang tidak lagi memegang jabatan pimpinan (h. 5)”. Memang dikatakan bahwa post
power syndrome banyak dialami oleh orangorang yang telah turun dari jabatannya
terutama lansia. Namun, pada faktanya gejalagejala yang serupa ditemukan dalam
observasi yang dilakukan terhadap mantan pemimpin OMIK.Hal itu tampak dari
perilaku yang ditunjukkan oleh „A‟ yang sering kali marah untuk perkara-perkara
yang sepele. “dia sering kali marah hanya karena Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
kotor dan berantakan, atau karena buletin yang seharusnya terbit minggu ini
tidak jadi terbit (wawancara:2014).
Orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan,
wewenang dan kekuatan (power).Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang
kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless) artinya sesuatu yang dimiliki dan
dicintai kini telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love
object ini adalah terganggunya keseimbangan (equilibrum) mental-emosional
dengan manifestasi berbagai keluhan fisik, kecemasan dan terlebih-lebih lagi
depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan
perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindrom pasca kuasa (post
power 7 syndrome).Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau
keluhan psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan/ kekuasaan (Hawari,
1995: 59). Lebih jauh Wardhani (2006),menjelaskan bahwapost power syndrome
hampir selalu dialami oleh orang yang pensiun terutama lansia, hanya saja ada
yang melaluinya dengan cepat dan segera dapat menerima kondisi barunya dengan
lapang dada dan ikhlas. Namun, pada kasus-kasus tertentu individu tidak mampu
menerima kenyataan yang ada terutama jika pensiun itu dipaksakan dan bukan
karena kesadaran harus pensiun maka resiko post power syndrome yang berat
semakin besar. Rini (2001), mengungkapkan bahwa pada awalnya, post power
syndrome adalah isu penyakit yang menyerang individu ketika berusia lanjut,
namun pada perkembangannya mengalami perluasan kajian.Dalam lingkup lembaga
kemahasiswaan, post power syndrome dapat diartikan sebagai keadaan dimana
individu merasa masih mempunyai atribut kekuasaan, hak, dan wewenang seperti
pada saat menjabat.Perilaku yang ditampilkan individu yang mengalami post power
syndrome, antara lain berusaha sebisa mungkin untuk dapat mempertahankan
sisasisa pengaruhnya selama mungkin. Untuk mempertahankan pengaruhnya ini,
terkadang individu yang mengalami post power syndrome melakukan intervensi
terhadap pihak-pihak terkait tentang kebijakan-kebijakan yang seharusnya
diambil. Selain dari itu individu juga suka sekali bercerita tentang masa-masa
kepemimpinannya, dan membanggakannya. Secara emosi, individu akan cepat marah
atau tersinggung apabila nasihat atau intervensinya tidak diacuhkan. Dengan
adanya sikap yang dimiliki penderita post power syndrome tersebut, lama-kelamaan
8 berdampak pada banyak teman yang merasa bosan, enggan bergaul dengannya dan
semakin menjauh, dan akhirnya yang bersangkutan akan merasakan kesepian dan
perasaan yang sangat bosan. Dalam konteks lembaga kemahasiswaan, peneliti
mencoba untuk melakukan penelitian terhadap mantan pemimpin OMIK yang telah
usai masa jabatannya di organisasi mahasiswa intra kampus. Pengambilan subyek
ini tidak lepas dari kemungkinan bahwa mantan pemimpin OMIK dapat mengalami
post power syndrome. Hal ini dikarenakan menjadi seorang pemimpin OMIK
memberikan banyak keuntungan dan kemudahan karena seseorang mempunyai kuasa
(power). Posisi ini menunjukkan eksistensi, menjanjikan status sosial, gengsi,
pengaruh, kolega, dan fasilitas. Lebih jauh lagi menjadi pemimpin dapat memberikan
nilai kebanggaan pada diri sendiri karena dapat berprestasi dalam menuangkan
kreativitas. Menjadi seorang pemimpin dapat menjadi orang yang selalu
diperlukan dan dikenal banyak orang. Menjadi orang penting, demikian mahasiswa
menyebutnya. Bahkan menjadi pemimpinsalah satuOMIK dapat memberikan fasilitas
beasiswa secara khusus.Karena perlakuan-perlakuan khusus tersebutlah sehingga
terdapat orang yang berlomba-lomba untuk menjadi seorang pemimpin dalam suatu
organisasi. Menurut Elia (2005),gejala post power syndromedapat dilihat dari
tiga aspek, yaitu: gejala fisik, gejala emosi, dan gejala perilaku. Dilihat
dari segi fisik, orangorang yang mengalami post power syndrometerkadang tampak
lebih cepat tua dibanding ketika masih menjabat sebagai pemimpin. Tiba-tiba
rambutnya menjadi putih semua, keriput, menjadi pemurung, dan mungkin sering
sakit-sakitan. Secara 9 emosi, terkadang seseorang menjadi lebih cepat
tersinggung, merasa tidak berharga, dan keinginan untuk menarik diri dari
lingkungan.
Perilaku orang yang mengalami post power syndrome terkadang lebih
cepat untuk melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan di rumah
atau di muka umum. Rini (2001), menguraikan, “ciri-ciri individu yang mengalami
post power syndromeditandai dengan wajah yang tampak jauh lebih tua, pemurung,
sakit-sakitan, lemah dan mudah tersinggung, merasa tidak berharga, dan
melakukan pola-pola kekerasan yang menunjukkan kemarahan baik di muka umum
maupun di tempat lain”. Hal itu sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh ‟S‟
yang merupakan mantan pemimpin salah satu Organisasi Mahasiswa Intra Kampus
(OMIK) dalam wawancara pada 28 Desember 2013, bahwa dirinya seringkali kesal
terhadap pemimpin baru organisasinya dan juga para pengurusnya karena
dianggapnya tidak mumpuni dalam membawa organisasinya menuju arah yang lebih
baik dan kekecewaan tersebut diwujudkan dengan kemarahan. ‟S‟ pun mengaku
dirinya sering kali marah di kantor organisasinya atau terkadang dia memarahi
seorang individu organisasi tersebut melalui pesan singkat handphone celluler.
Hawari, menyebutkan beberapa ciri khas dari orang yang mengalami post power
syndrome, yaitu; mengelak dari tanggung jawab dari yang semula penuh tanggung
jawab, bersikap atau bereaksi berlebihan dalam menghadapi hal-hal yang kecil, berat
badan tiba-tiba bertambah atau bahkan sebaliknya merosot, mudah 10 tersinggung
dan marah padahal sebelumnya ia seorang eksekutif yang ramah dan menyenangkan
(1995: 61). Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh ‟S‟,
bahwa dirinya terkadang menjadi mudah marah dan tersinggung oleh perkara yang
kecil seperti keputusan organisasi yang tidak melibatkan dirinya, atau ketika
ada yang mencela masa kepemimpinan dia. Selain itu, individu disekeliling ‟S‟
juga mulai merasakan perbedaan sikap ‟S‟ yang lebih sering marah dan tidak
ramah lagi seperti sediakala (wawancara: 2013). Pada umumnya, perbuatan kita
sehari-hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu yaitu perasaaan senang
atau tidak senang. Perasaan atau emosi timbul sebagai akibat atau reaksi
terhadap stimulus yang mengenai individu, namun adakalanya selain tergantung
pada stimulus yang datang dari luar juga tergantung pada; keadaan jasmani
individu, keadaan dasar individu, dan keadaan individu pada satu waktu (Shaleh,
2008: 154). Hal ini dipertegas oleh Sarwono (2010) yang mengatakan bahwa,
”sumber utama kemarahan adalah hal-hal yang mengganggu aktivitas untuk sampai
pada tujuannya. Dengan demikian ketegangan (stress) yang terjadi dalam
aktivitas itu tidak mereda, bahkan bertambah. Untuk menyalurkan
ketegangan-ketegangan itu individu yang bersangkutan menjadi marah” (h. 135).
Dengan kata lain, orang yang mengalami post power syndrome mengalami
keteganganm (stress) yang mengakibatkan dirinya tidak dapat menyesuaikan diri
dengan keadaan yang ada. Ketegangan ini diungkapkan dengan kemarahan pada 11
perkara-perkara kecil yang membuatnya semakin tegang (stress) di mana hal itu
tampak dari pengakuan ‟S‟. Pada dasarnya gejala post power syndromeakan sangat
tampak pada orangorang yang mendasarkan dirinya pada kekuasaan dan jabatan.
Sedangkan untuk orang-orang yang harga dirinya tidak mendasarkan pada kekuasaan
dan jabatan, gejala post power syndrome tidak akan tampak menonjol. Terkadang
pada hari-hari setelah individu tersebut turun dari jabatan pemimpinnya,
gejala-gejala tersebut tidak terlalu tampak. Namun, seiring waktu gejala-gejala
post power syndrome akan mulai tampak, terlebih bagi individu yang tidak
memiliki kegiatan lain di luar kegiatan organisasi tersebut. Berdasarkan
penuturan mantan pemimpin salah satu OMIK kepada peneliti, diketahui bahwa
individu tersebut merasa kesepian karena seperti orang yang menganggur dan
tidak punya kegiatan karena bagaimanapun dirinya sudah bukan pemimpin lagi dan
tidak mungkin terlibat aktif dalam organisasi, seperti memberikan pengarahan,
dan aktif dalam menyukseskan acara organisasi. Selain itu, dia juga merasa
tidak dibutuhkan lagi oleh organisasi dan anggota organisasi lainnya.Namun,
ketika peneliti menanyakan mengapa dia masih aktif di organisasi meskipun merasa
sudah tidak diperlukan lagi, individu menjawab bahwa dirinya tidak tahan
melihat anggota organisasi dengan pemimpinnya yang baru tidak memiliki greget
dalam kegiatannya. Dia mencontohkan; tidak memiliki ide baru untuk melakukan
perekrutan anggota baru, model acara yang hanya mencotek kepengurusan
sebelumnya, atau penggarapan buletin yang asal-asalan yang mana kesemua hal itu
membuatnya kesal dan ingin turun tangan membantu. 12 Pada umumnya orang yang
mengalami post power syndrome akan diliputi rasa kecewa, bingung, kesepian,
ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, kekosongan, dan kerinduan terhadap
pekerjaan yang sudah ditinggalkannya. Selain itu, harga dirinya juga menurun,
merasa tidak dihormati lagi dan terpisah dari kelompok. Semua ini biasanya tidak
disadari oleh yang bersangkutan. Post power syndrome banyak dialami oleh
orang-orang yang secara formal berhenti dari tugasnya selama ini, dimana itu
merupakan pilihan atau keharusan. Karena ketidaktahuan individu yang mengalami
post power syndrome terhadap sakitnya itulah, maka dibutuhkan orang lain untuk
mengingatkan. Dalam hal ini keberadaan orang-orang terdekat akan sangat
membantu individu sehingga individu mampu terbebas dari post power syndromenya
dan mampu melewati masa post power syndromenya dengan cepat. Menurut Hawari
(1995) kehilangan jabatan/ kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu
merasa kuat kini merasa lemah.Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan
dalam alam fikir (rasio) dan alam perasaan (afektif) pada diri yang
bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) pada kejiwaan
(kecemasan/depresi) itu sifatnya ke dalam, tertutup dan tidak terbuka; maka
keluhan-keluhan psikososial inilah yang sering menampakkan diri dalam bentuk
ucapan maupun sikap dan perilaku, misalnya: suka mengkritik, merasa dirinya
benar, prasangka buruk, curiga, mencela, skeptis, merasa diperlakukan tidak
adil, kecewa, tidak puas, perasaan tertekan, suka ngomel, ngedumel, uneg-uneg
dan sebangsanya yang biasa dilakukan/ diucapkan berulang-ulang itu-itu juga.
Keluhan-keluhan psikososial tersebut terjadi disebabkan karena perubahan posisi
yang mengakibatkan 13 perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap
kondisi psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak
senang itu, orang menggunakan mekanisme defensif antara lain berupa mekanisme
proyeksi dan rasionalisasi itulah, maka terjadi perubahan persepsi seseorang
terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Perubahan-perubahan dalam perilaku,
seringkali menunjukkan bahwa seseorang eksekutif sedang dalam keadaan stress
misalnya keadaan cemas dan depresi.Dalam salah satu seminar tentang Penyesuaian
Diri Manusia Dalam Pergaulan Modern oleh seorang psikiater, O, Connor,
mengemukakan perubahanperubahan yang dapat terjadi secara tiba-tiba yang
seringkali tanpa disadari oleh eksekutif yang bersangkutan (h. 59-60). Dalam
kajian psikologi abnormal, post power syndrome dipandang sebagai bentuk
„salahsuai‟ atau maladjustment yaitu ketidakefektifan individu dalam
menghadapi, menanggapi atau melaksanakan tuntutan-tuntutan dari lingkungan
fisik dan sosialnya maupun yang bersumber dari kebutuhannya sendiri (Ardani,
2007: 19- 20).Atau dalam pandangan Maslow dalam Schultz (1991: 96-97) disebut
metapatologi, yaituSuatuperasaantidakenak yang agaktidakterbentuk;
merasasendirian, takberdaya, takberarti, tertekan, danputusasa.Metapatologi
merupakan pengurangan atau hambatan pertumbuhan dan perkembangan manusia yang
penuh.Adanya metapalogi tersebut menghalangi individu untuk sepenuhnya
mengungkapkan, menggunakan, dan memenuhi potensi dirinya.
Metapatologi ini merupakan dampak dari individu yang tidak
terpuaskan metakebutuhannya atau gagal dalam aktualisasi dirinya. 14 Menurut
Karl Menninger dalam Lukluka (2010: 56),“sehat mental adalah penyesuaian manusia
terhadap lingkungannya dan orang-orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan
yang optimal.Dalam mental yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara
intelegensi yang siap digunakan.Perilaku yang dipertimbangkan secara sosial,
dan disposisi yang bahagia”.Hal tersebut diperkuat oleh Killander dalam Lukluka
(2010: 57), yang menjelaskan bahwa, orang yang sehat mentalnya adalah
orang-orang yang memperlihatkan kematangan emosional; seseorang yang memiliki
disiplin diri dan dapat mengatur diri, hidup teratur, mentaati peraturan dan
hukum. Kamampuan menerima realita; orang yang mempunyai kemampuan realitas
antara lain mampu memecahkan masalah dengan segera dan menerima tanggung jawab,
kesenangan hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat/ pegangan hidup;
memiliki pegangan hidup yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada di
jalan yang benar. Dilihat dari penjelasan itu, sudah sewajarnya apabila
individu yang memiliki pandangan hidup seperti pegangan agama yang kuat dapat
terhindar dari post power syndrome karena mereka memiliki pagangan hidup yang
dapat membimbing jalannya menuju jalan yang benar.
Hal ini diperkuat oleh Larson dalam Lukluka (2010: 248), dalam
penelitiannya bahwa,“komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif
dengan “clinical benefit”, dapat mencegah dan melindungi seseorang dari
penyakit, mempercepat pemulihan penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi
penyakit, dan agama lebih bersifat protektif daripada “problem producing”. 15
Namun, faktanya masih terdapat individu yang mengalami post power syndrome
meskipun sehat secara mental karena memiliki pandangan hidup yang bagus. Apa
yang membuat mereka mengalami post power syndrome dan apa sebabnya sedangkan
mereka memiliki pegangan hidup yang cukup bagus, terlebih lagi mendapat pendidikan
agama di bangku perkuliahan. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui
secara spesifik sebab mantan pemimpin OMIK mengalami post power syndrome.
Seperti apa bentuk-bentuk post power syndrome pada mantan pemimpin OMIK, dan
bagaimana mereka dapat mengalami post power syndrome. Sasaran penelitian ini
adalah mantan pemimpin OMIK Universitas Islam Negeri Malang yang pada umumnya
sudah memiliki pandangan hidup yang cukup bagus. Untuk itu penelitian ini
diberi judul ”Post Power Syndrome pada Mantan Pemimpin Organisasi Mahasiswa
Intra Kampus (OMIK) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang”.
B. RumusanPenelitian
1. Bagaimana bentuk post power syndrome yang ditunjukkan oleh
mantan pemimpin organisasi mahasiswa intra kampus? 2. Bagaimana pemahaman
pemimpin organisasi intra kampus tentang post power syndrome? 3. Bagaimana
penyikapanmantan pemimpin organisasi mahasiswa intra kampus terhadappost power
syndromenya? 16 C. TujuanPenelitian
1. Untuk mendiskripsikan
bentuk post power syndromepada mantan pemimpin organisasi mahasiswa intra
kampus. 2. Untuk mendiskripsikan pemahaman mantan pemimpin organisasi mahasiswa
intra kampus tentang post power syndome. 3. Untuk mendiskripsikan penyikapan
mantan pemimpin organisasi mahasiswa intra kampus terhadappost power
syndromenya.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis penelitian ini memberikan pemahaman baru
terhadap isu post power syndrome yang selama ini selalu dikaitkan dengan
lansia. Penelitian ini menunjukkan bahwa post power syndrome juga dapat dialami
oleh selain lansia, yaitu dialami oleh mantan pemimpin organisasi intra kampus
yang relatif masih dalam tahap dewasa.
2. Secara praktis penelitian ini dapat
membantu seorang individu dalam memahami post power syndrome pada mantan
pemimpin, sehingga dapat mengambil tindakan-tindakan yang tepat sebelum terjadi
post power syndrome tersebut.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Post power syndrome pada mantan pemimpin organisasi mahasiswa intra kampus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
2 comments:
kd 10
nike air presto
golden goose outlet
adidas stan smith
adidas outlet online
chrome hearts
golden goose outlet
converse outlet
gucci belts
cat boots
نقل عفش بالطائف
نقل اثاث بالطائف
نقل العفش بالطائف
شركة نقل عفش بالطائف
شركة نقل اثاث بالطائف
شركات نقل العفش بالطائف
نقل عفش بخميس مشيط
نقل اثاث بخميس مشيط
Post a Comment