Abstract
INDONESIA:
Stress merupakan fenomena yang selalu dialami oleh setiap individu, tidak terkecuali mahasiswa profesi keperawatan saat menjalani praktik kerja. Stress selalu berhubungan dengan coping. Stressor yang muncul akan menjadikan seseorang stress jika coping yang dilakukan tidak efektif, dan sebaliknya, stressor bisa menjadi sesuatu yang normal jika coping yang dilakukan efektif. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model coping yang digunakan oleh mahasiswa profesi keperawatan untuk menangani stressor yang muncul saat menjalani praktik kerja di rumah sakit.
Penelitian ini merupakan penelitian fenomenologi dengan desain mixed method. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang mahasiswa profesi keperawatan yang telah menjalani praktik kerja di rumah sakit, dan beberapa informan yang terkait dengan subjek. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi (data kualitatif) dan psikotes (data kuantitatif). Teknik analisis yang digunakan merupakan teknik analisis data fenomenologi/ Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) yang dikemukakan oleh Smit (2009). Penelitian ini menggunakan teori coping Lazarus yang dijadikan sebagai acuan.
Hasil penelitian menunjukkan ada beberapa masalah yang muncul pada mahasiswa profesi keperawatan saat menjalani praktik kerja di rumah sakit, seperti: peraturan rumah sakit yang ketat, kurangnya bekal ilmu pengetahuan, bertemu pembimbing yang tidak empati, merasa takut tertular penyakit, menghadapi pasien yang meninggal, penyesuaian diri setiap pindah ruangan, ASKEP, dan masalah kelompok. Sedangkan model coping yang ditemukan adalah: persiapan mental, penerimaan diri dan kesadaran diri, kejar tayang pengerjaan ASKEP, berkumpul dengan teman, pembentukan kesepakatan bersama dalam kelompok, dukungan sosial, dan pengalihan perhatian. Model coping yang dilakukan dikategorikan menjadi dua bentuk, seperti yang dikemukakan oleh Lazarus, yaitu model coping yang terfokus pada masalah (problem focused coping) dan model coping yang terfokus pada emosi (emotion focused coping). Selain itu ditemukan model coping yang mengarah pada Tuhan/coping religius, dan juga model coping berupa perilaku yang digunakan untuk mencegah masalah muncul. Tidak semua model coping yang digunakan ini menjadi efektif, ada beberapa model coping yang menyelesaikan masalah namun tidak efektif. Model coping yang tidak efektif ini memberikan dampak yang tidak menguntungkan yang akhirnya membuat stress.
ENGLISH:
Stress is a phenomenon that is always experienced by any individual, the nursing profession students is no exception currently undergoing work practices. Stress is always associated with coping. Stressor that appears to make a person stress if coping not done effectively, and vice versa, the stressor can be something normal if coping done effectively. This study aims to find the coping model is used by nursing profession students to deal with stressors that arise when undergoing labor practices at the hospital.
This study is a mixed method design phenomenology. Subjects in this study is a student of the nursing profession who have undergone working practices in hospitals, and some informants related to the subject. The technique of collecting data using interviews, observation (qualitative data) and psychological (quantitative data). The analysis technique used is phenomenological data analysis techniques/Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) proposed by Smit (2009). This study uses the theory of Lazarus coping is used as a reference.
The results show there are some problems that arise in the nursing profession students practice the is currently undergoing work at the hospital, such as: strict hospital regulations, lack of provision of knowledge, which does not meet the supervisor empathy, to feel the fear of contracting the disease, a patient who died, the adjustment yourself any room to move, ASKEP, and issue groups. While coping models found are: mental preparation, self-acceptance and self- awareness, chase through ASKEP workmanship, hanging with friends, the formation of consensus in the group, social support, and distraction. Model of coping that do categorized into two forms, as proposed by Lazarus, coping models focusing on the issue (problem focused coping) and coping models focusing on emotions (emotion focused coping). Also found coping models that lead to God/religious coping, and also a model of coping behaviors used to prevent problems arise. Not all models of coping used this to be effective, there are several models of coping effectively resolve the problem but no Ineffective coping model of the unfavorable impact that led to stress.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perawat maupun calon perawat memiliki resiko yang tinggi untuk
mengalami stress. American National Association for Occupational Health (ANAOH)
(dalam Setiyana, 2013) menempatkan kejadian stress kerja pada perawat berada
diurutan paling atas dari empat puluh pertama kasus stress kerja pada pekerja.
Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia/PPNI (dalam Kasmarani, 2012),
sebanyak 50,9% perawat Indonesia yang bekerja mengalami stress kerja, seperti
sering merasa pusing, lelah, kurang ramah, dan kurang istirahat akibat beban
kerja terlalu tinggi serta penghasilan yang tidak memadai. Basuki (dalam
Panjaitan dkk, tt) mengatakan, pekerjaan perawat mempunyai beberapa
karakteristik yang dapat menciptakan tuntutan kerja yang tinggi dan menekan.
Karakteristik tersebut adalah otoritas bertingkat ganda, heterogenitas
personalia, ketergantungan dalam pekerjaan dan spesialisasi, budaya kompetitif
di rumah sakit, jadwal kerja yang ketat dan harus siap kerja setiap saat, serta
tekanan-tekanan dari teman sejawat. Frasser (1997) menjelaskan, bahwa 74%
perawat mengalami stress dengan sumber utamanya adalah lingkungan kerja yang
menuntut kekuatan fisik dan keterampilan. Adapun Anoraga (dalam Chairani &
Budiharto, 2009) mengatakan, bahwa kecemasan, depresi dan penurunan kesehatan
lainnya yang kerap kali dijumpai 2 pada perawat terjadi karena beban tugas yang
berat dan kadang berlebih. Beberapa penelitian terutama Lazarus (dalam Freser,
1992) menyatakan, bahwa stress hanya berhubungan dengan kejadian-kejadian di
sekitar lingkungan kerja yang merupakan bahaya dan perasaan-perasaan yang
mencakup rasa takut, cemas, rasa bersalah, marah, sedih, putus asa, dan bosan.
Pandangan ini tentu hanya berdasarkan perasaan subjektif terhadap suatu bahaya
semata-mata, sehingga rancangannya cenderung sedikit atomistik. Menurut Oerman
& Sperling (dalam Wahyuni, 2012), untuk mahasiswa keperawatan sendiri
menunjukkan ketidakpuasan dengan komponen pembelajaran klinik dari pendidikan mereka.
Kurangnya pengalaman klinik, daerah yang asing, pasien yang terkadang tidak
bisa diajak kerjasama, takut membuat kesalahan, menerima instruksi yang berbeda
dilapangan dengan apa yang telah mereka pelajari di kelas diungkapkan oleh
mahasiswa sebagai faktor-faktor yang menyebabkan stress dalam praktik klinik
keperawatan. Pernyataan di atas diperkuat dengan adanya pernyataan dari salah
satu mahasiswa profesi keperawatan Universitas Tribuana Tungga Dewi Malang
(UNITRI Malang) berinisial “S”, menyatakan bahwa ada beberapa masalah yang
sering dialami oleh mahasiswa profesi keperawatan yang menimbulkan stress,
seperti kurang motivasi, banyak tugas, pergantian tempat dinas yang waktunya
tergolong singkat, adaptasi yang harus dilakukan setiap pergantian tempat, harus
menghadapi perawat-perawat yang kadang tidak ramah dan berlakunya shift malam
(S, wawancara, Malang, 28 Agustus 2013). Dengan 3 demikian dapat diikhtiarkan
bahwa stress terjadi pada komponen-komponen fisik, pekerjaan atau lingkungan
sosial pekerjaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak &
Sitomurang (dalam Wijaya dkk, 2006) di PT. Sar Husada Tbk Yogyakarta
menunjukkan kondisi beban kerja antara ketiga shift mempunyai perbedaan secara
nyata. Nilai beban kerja dari SWAT score untuk shift pagi menunjukkan kategori
rendah dan sedang, dan shift malam menunjukkan ketegori sedang. Shift kerja
dapat berperan penting terhadap permasalahan pada manusia yang dapat meluas
menjadi gangguan tidur, gangguan fisik dan psikologis serta gangguan sosial kehidupan
keluarga. Shift juga dapat mempengaruhi beberapa perubahan fisik dan psikologis
tubuh manusia diantaranya adalah kelelahan. Aanonse (dalam Fraser, 1992) telah
mengamati timbulnya lebih banyak infeksi lambung pada para pekerja malam hari,
terutama bila sering terjada pergantian shift. Meskipun ini tentu merupakan
akibat dari pengaruh suatu bentuk stress kerja, namun juga meliputi baik
perubahan-perubahan yang terjadi dalam irama biologis normal (circadian) maupun
perubahan-perubahan di dalam kebiasaan sosial dan gizi. Menurut Kasenda (2012),
secara keseluruhan pekerja lebih mementingkan faktor waktu (39,08%), tekanan
stress (33,21%), dan terakhir usaha mental (27,71%) dalam mempertimbangkan
faktor beban kerja mental.
Menurut Cox (dalam
Kasmanari, 2012), berdasarkan laporan studi yang dilakukan oleh Dewe terhadap
1800 perawat rumah sakit di Selandia Baru, mengidentifikasi lima sumber stress
kerja, yaitu: beban kerja, kesulitan 4 berhubungan dengan staf lain, kesulitan
menjadi perawat di unit perawatan kritis, ketentuan pengobatan pasien, dan
kesulitan menghadapi pasien yang tidak ada harapan. Menurut Ilmi (dalam
Kasmarani, 2012), stressor kerja pada perawat sesuai urutannya adalah beban
kerja sebesar 82%, pemberian upah yang tidak adil 58%, kondisi kerja 52%, tidak
diikutkan dalam pengambilan keputusan 45%. Sedangkan stress yang dialami
mahasiswa reguler menurut Kasenda (2012), adalah pemahaman mahasiswa yang
terbatas tentang tugas profesi, lingkungan baru, pengalaman pertama
berinteraksi dengan pasien, perannya sebagai perawat yang memberikan pelayanan
langsung kepada pasien, serta keharusan bertanggung jawab pada perawat ruangan.
Menurut Rianti (dalam Kasenda, 2012), mahasiswa reguler yang belum memiliki
gambaran tentang realitas di lahan praktik menyebabkan mahasiswa merasa
tertekan ketika berhadapan dengan pasien, prosedur perawatan, teman sejawat
yang sebagian besar belum memahami tujuan pembelajaran, dan keterbatasan
mahasiswa di lahan praktik membuat mahasiswa reguler stress dan frustasi. Hal
ini diperkuat dari pengakuan salah satu mahasiswa profesi keperawatan yang
mengatakan, bahwa stress paling sering terjadi saat satu bulan pertama saat
melaksanakan praktik kerja (S, Wawancara, Malang, 28 Agustus 2013). Temuan
lapangan menunjukkan sejumlah mahasiswa profesi keperawatan di SMF Psikiari
RSUD Saiful Anwar Malang pada bulan Juli 2013, mengaku bahwa sebagian besar
mereka merasa terbebani dengan tugastugas yang diberikan pihak rumah sakit,
merasa gugup ketika menghadapi pasien baru dan ketika mereka berada bagian
ruang infeksi, mereka merasa 5 takut akan tertular penyakit. Ilmi (dalam
Kasenda, 2012) menyatakan, bahwa banyak mahasiswa mengalami kesulitan dan
mengalami kondisi yang memicu stress saat berhadapan dengan masalah-masalah
nyata selama menjalani pembelajaran profesi. Tranformasi dari teori yang
didapatkan saat kuliah kemudian diaplikasikan dalam praktik langsung menangani
pasien memerlukan adaptasi yang cukup sulit, selain itu tugas dan shif kerja
yang harus dijalani mahasiswa profesi keperawatan memicu munculnya stress.
Menurut Wilford (dalam Freser, 1992), stress terjadi bila penyimpangan dari
kondisi-kondisi optimum yang tidak dapat dengan mudah diperbaiki sehingga
mengakibatkan suatu ketidakseimbangan antara tuntutan kerja dan kemauan kerja. Stressor
yang dialami mahasiswa keperawatan cukup bervariasi. Penelitian yang dilakukan
oleh Rianty (dalam Kasenda, 2012) dengan indikator NSSS (Nursing Student’s
Stress Scale) pada mahasiswa keperawatan pada saat melaksanakan pendidikan
profesi, menunjukkan perbedaan yang signifikan antara level stress mahasiswa
yang sudah lama atau pernah praktik dengan mahasiswa yang baru mulai praktik.
Menurut NSSS (Nursing Student’s Stress Scale), terdapat enam sumber stress pada
mahasiswa keperawatan yaitu tuntutan pengetahuan yang memadai (adequate
knowledge), pengawasan yang ketat (close supervision), pandangan yang tidak
menyenangkan (averse sights), penyebab munculnya kesakitan (causing pain),
sumber daya harus memadai (insufficient resources), dan adanya masalah nyata
(reality conflict). 6 Stressor yang berbeda-beda membuat tingkatan stress juga
berbeda.
Pada sebuah kasus yang
terjadi di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang pada bulan Juli 2013, seorang pasien
dengan no rekam medis 2211xxx dikonsultasikan untuk mendapatkan pengobatan
psikologis (psikoterapi) ke pihak SMF Psikiatri. Pasien tersebut dulunya adalah
seorang perawat, dia mengalami stress berat karena tertular penyakit TBC.
Pasien tidak mau menerima pengobatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Dia
bersikeras untuk pulang dan tidak mau mendapatkan pengobatan. Alasan itulah
yang membuat pihak dokter dari ruang infeksi mengkonsultasikan pasien tersebut.
Namun sebelum dilakukan konseling lebih lanjut oleh pihak psikolog, pasien
meminta pulang secara paksa. Kasus di atas merupakan salah satu kasus stress
tingkat tinggi yang dialami oleh perawat. Penelitian yang dilakukan oleh Leidy
yang berjudul A physiological analysis of stress and cronic illness (dalam
Martina, 2012) mengemukakan, bahwa individu dengan penyakit kronis beresiko
mengalami distres simtomatik akut atau eksaserbasi dari penyakit tersebut
sebagai respon terhadap stress. Adanya resiko tertular penyakit saat
menjalankan tugas membuat mahasiswa profesi keperawatan merasa takut. Dalam
temuan lapangan, salah satu mahasiswa keperawatan mengaku dia merasa takut saat
harus bertugas di ruang infeksi Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. Walaupun saat
bertugas dia sudah dilengkapi perlengkapan yang bisa melindungi dirinya, namun
rasa takut itu terus menghampirinya. Apalagi ketika dia harus memeriksa pasien
dengan infeksi yang akut. Dia mengaku setiap 7 selesai tugas dari ruang
infeksi, dia harus langsung membersihkan dirinya (S, wawancara, Malang, 29 Juli
2013). Kasus pasien TBC di atas merupakan contoh adanya stress tinggi yang
dialami oleh perawat. Stress tingkat tinggi ini hanya dialami oleh beberapa
orang perawat saja. Sebagian besar perawat hanya mengalami stress pada tingkat
sedang. Dalam penelitian yang dilakukan Hernawati (2012) di Bogor menyatakan
bahwa sebagian besar responden yang merupakan mahasiswa keperawatan mengalami
stress tingkat tinggi karena masalah pribadi, perkuliahan, dan adaptasi dengan
lingkungan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wahyuni dkk. (2012) di Jakarta
dan Sumatera, menyebutkan bahwa semua responden yang merupakan mahasiswa
keperawatan mengalami stress dengan tingkatannya yaitu stress tingkat sedang
yang terbanyak. Sedangkan pada penelitian Putra dkk. (tt) di Kediri dan
Bandung, didapatkan data bahwa pada mahasiswa tingkat III dan tingkat akhir
yang menjadi responden mengalami stress, dengan tingkat stress ringan adalah
yang paling banyak ditemui . Ulumuddin (2011) menjelaskan, hasil survey pada
mahasiswa keperawatan/PSIK UNDIP angkatan 2010 ditemukan bahwa 10% dari 10
responden mengalami stress ringan, 70% mengalami stress sedang, 20% mengalami
stress berat, dan mahasiswa yang menjadi responden yang mengalami insomnia
sebanyak 5 mahasiswa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ulumuddin (2011) pada
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro angkatan tahun
2009 dan 2010 dengan jumlah 8 responden 145 didapatkan 34 responden (23,4%)
mengalami stress ringan, 31 (21,4%) responden mengalami stress sedang, 3
responden (2,1%) mengalami stress berat, 1 responden (0,7%) mengalami stress
sangat berat, dan 62 responden (42,8%) mengalami insomnia. Stress yang dialami
oleh mahasiswa profesi keperawatan akan terus terjadi. Seperti hasil penelitian
yang dilakukan oleh Hadiyanto (dalam Ulumudin, 2011), dari penelitiannya
didapatkan data sebanyak 3% mahasiswa mengalami stress berat dan akan bertambah
jika institusi pendidikan tidak melakukan pencegahan stress terhadap mahasiswa
keperawatan. Beragamnya tingkatan stress yang dialami mahasiswa profesi
keperawatan memberikan dampak yang berbeda-beda. Setiyana (2013) menjelaskan,
bahwa stress kerja tinggi akan menyebabkan perawat mengalami perubahan kondisi
fisik, psikologis, dan tingkah laku. Pada kategori stress kerja sedang,
seseorang akan merasakan terjadinya perubahan fisik dan psikologis dalam
dirinya, namun dia masih mampu mengendalikan sehingga tidak merubah tingkah
lakunya. Sedang perawat yang mengalami stress kerja rendah akan tetap stabil
dalam menjalani pekerjaannya.
Menurut Perry & Potter (2005) secara umum stress berdampak pada
emosional, kognitif, fisiologis dan perilaku. Dampak secara emosional meliputi
cemas, depresi, tekanan fisik, dan psikologis. Menurut Eysenck (dalam Martina,
2012), dampak kognitif berakibat pada penurunan konsentrasi, peningkatan
distraksi, dan berkurangnya kapasitas memori jangka pendek (sort term memory).
Dampak terhadap psikologis berakibat pada pelepasan epinefrin dan 9
norepinefrin, penon-aktifan sistem pencernaan, nafas cepat, peningkatan denyut
nadi jantung dan kontriksi pembuluh darah. Dampak pada perilaku misalnya
ketidakhadiran kerja, mengganggu pola tidur, dan mengurangi kualitas pekerjaan.
Besarnya resiko stress yang dialami mahasiswa keperawatan saat praktik kerja
menuntut adanya penyelesaian yang cepat dan tepat untuk stress yang mereka
alami. Handoko (dalam Lestarianita & Fakhrurrozi, 2007) mengatakan, bahwa
tiap individu mempunyai toleransi yang berbeda terhadap berbagai situasi
stress. Di samping itu, individu juga mempunyai perbedaan dalam mengatasi atau
meng-coping kondisi yang cenderung menyebabkan stress. Pada penelitian
Pargament (dalam Lestarianita & Fakhrurrozi, 2007) mengenai pemilihan pola
coping, menyatakan bahwa persepsi subjek terhadap kemampuannya akan
mempengaruhi pola coping yang dia pilih sebagai cara penyelesaian masalah. Menurut
Lazarus & Fulkman (1984), coping merupakan proses atau cara untuk mengelola
dan mengolah tekanan atau tuntutan (baik secara eksternal maupun internal) yang
terdiri atas usaha baik tindakan nyata maupun tindakan dalam bentuk
intrapsikis. Coping terjadi ketika ada tuntutan yang dirasa membebani yang
tujuannya adalah untuk menyesuaikan diri dari dalam atau dari luar. Menurut
Lozarus dan Folkman (dalam Karimatannisa, 2012), ada cara yang dilakukan
individu, baik secara kognitif maupun perilaku, dengan tujuan untuk menghadapi
dan mengatasi tuntutan-tuntutan internal maupun 10 eksternal yang dianggap
sebagai tantangan atau permasalahan bagi individu yang merupakan bentuk dari
coping. Setiap individu memiliki model coping yang berbeda-beda. Menurut
Lazarus dan Folkman (dalam Nevid dkk, 2003), coping ada dua, yaitu: coping yang
berfokus pada emosi (emotional focused coping) dan coping yang terfokus pada
masalah (problem focused coping). Pada coping yang terfokus pada emosi
(emosional focused coping), orang akan berusaha segera mengurangi dampak
stressor dengan menyangkal adanya stressor atau menarik diri dari situasi.
Sedangkan coping yang terfokus pada masalah (problem focused coping), orang
akan menilai stressor yang mereka hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah
stressor atau memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stressor
tersebut. Sebuah penelitian yang dilakukan Permana (dalam Basuki, Yudiarso
& Tunumidjojo, 2004) menunjukkan, bahwa pada dasarnya individu lebih banyak
menggunakan coping yang terfokus pada problem focus coping (54,3%) dari pada
emosional focus coping (43,6%). Penelitian lain mengatakan hal yang berbeda
yaitu individu akan cenderung menginginkan coping yang tergolong emosional
focus coping karena metode ini lebih sesuai untuk mengatasi stress yang
disebabkan oleh kondisi yang tidak dapat dirubah atau dengan kondisi yang dapat
diubah namun dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain problem focus coping
dan emosional focus coping ada juga coping yang menggunakan Tuhan sebagai tempat
menghilangkan stress. Sebuah status facebook yang diupload oleh salah satu
Mahasiswa Keperawatan Universitas 11 Tribuana Tungga Dewi Malang/UNITRI
mengatakan bahwa “ ketika stressor menghampiri hidup ini, bersabar dan
mengulurkan tangan ke atas memohon dan meminta Allah merupakan obat yang paling
mujarab” (diposting pada tanggal 19 Oktober 2013).
Ungkapan status ini menunjukkan adanya usaha salah satu mahasiswa
profesi keperawatan dalam menekan stress yang dia hadapi yaitu melalui do’a
kepada Tuhannya. Pada studi yang dilakukan oleh Koenig dkk. (dalam Pargament,
2003) menemukan, bahwa bentuk coping religius positif diasosiasikan dengan
tingkat depresi yang lebih rendah dan kualitas hidup yang lebih baik sedangkan
coping religius negatif berhubungan dengan tingkat depresi yang lebih tinggi
dan kualitas hidup yang lebih rendah. Dalam agama Islam sendiri coping religius
dirasa pilihan yang efektif. Dalam salah satu ayat al-Qur’an dinyatakan: Ü>qè=à)ø9$# ûÈõyJôÜs? «!$# Ìò2ÉÎ/ wr& 3 «!$# Ìø.ÉÎ/ Oßgç/qè=è% ûÈõuKôÜs?ur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.( QS. al-Arad/13: 28) Dalam ayat tersebut memerintahkan umat
Islam untuk selalu “mengingat Allah/dzikirullah” agar memperoleh ketenangan
hati. Mengingat Allah (dzikrullah) dapat mengatasi stress. Dengan mengingat dan
mengembalikan segalanya dari dan untuk Allah swt, maka stress akan dapat di
atasi. Dzikir sendiri, bagi umat islam merupakan suatu pemusatan tertinggi
dalam konteks psikologi, yang artinya adalah suatu usaha seseorang untuk
mencapai tingkat ketenangan tertinggi dalam terbungkus dalam kepasrahan pada
Sang Ilahi. Bagi 12 seorang muslim, hal itu diwujudkan dalam bentuk membaca
kitab suci alQur’an, bersyahadat, shalawat, tasbih, tahmid, dan banyak lagi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh ilmuan barat (dalam Sukmono, 2008) dikenal
istilah TM (Meditation Trancendental). TM ini merupakan suatu model baru dalam
ilmu pengetahuan yang berupa meditasi. Saat ini para ilmuan psikologi dan medis
sedang tertarik untuk meneliti efek dari TM. Dalam ajaran Islam TM ini kita
kenal dengan istilah dzikir. Banyak penelitian-penelitian dilaporkan akan
manfaat logis dari praktik dzikir, sebagaimana halnya dengan meditasi yang
pernah dilakukan oleh Bensons dengan mempelajari para praktisi yang disiplin
melakukan meditasi ini pada mereka yang berusia 17-41 tahun, yang terdiri dari
siswa, pelaku bisnis, dan artis. Bensons (dalam Freser, 1992) mengemukakan,
bahwa terdapat respon relaksasi pada banyak orang. Respon ini ditandai dengan
menurunnya denyut jantung, angka metabolik dan menurunnya tekanan darah pada
penderita hipertensi. Bagi mediator ataupun orang yang sering melakukan dzikir
menghasilkan lebih banyak gelombang alfa yaitu gelombang otak yang berhubungan
dengan relaksasi atau titik tenang/rileks. Dalam hal ini dzikir merupakan salah
satu bentuk coping religius. Seseorang yang percaya akan adanya tuhan lebih
cenderung menggunakan coping religius, karena dalam persepsi mereka hanya tuhan
mereka yang mampu menolong, tempat mengadu dan tempat mencari ketenangan.
Coping lainnya juga digunakan oleh mahasiswa keperawatan untuk mengatasi stress
yang mereka lainnya yaitu dukungan. Sistem pendukung 13 sosial dapat dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan secara langsung dilakukan
dengan cara bertemu dengan teman atau keluarga untuk mengungkapkan perasaan dan
mencari solusi. Sedangkan dukungan tidak langsung dilakukan dengan panggilan
jarak jauh melalui alat komunikasi, pesan pendek, serta media internet seperti
jejaring sosial. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh Putra dkk. (tt) kepada
12 orang mahasiswa Ilmu Keperawatan Universitas Brawijaya menghasilkan data,
bahwa mereka memiliki jejaring sosial dan 11 orang diantaranya menyatakan bahwa
mereka mengakses jejaring sosial ketika mendapatkan masalah atau tekanan.
Banyak jenis coping yang dapat digunakan untuk mengatasi setiap masalah yang
muncul. Jika dilihat dari penelitian-penelitian diatas, coping yang digunakan
mampu mengatasi ataupun meminimalisir efek dari setiap masalah yang muncul.
Namun dalam realitanya, dari sekian jenis coping yang digunakan, mahasiswa
keperawatan masih mengalami stress saat menjalankan praktik kerja di rumah
sakit. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Ulumudin (2011) kepada 145
mahasiswa keperawatan menunjukkan bahwa semua responden mengalami stress, baik
stress ringan, sedang maupun berat. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk
mengetahui secara spesifik model coping yang digunakan oleh mahasiswa
keperawatan saat mereka menjalani praktik kerja di rumah sakit. Penelitian ini
berpacu pada teori coping Ricard Lazarus. Dalam sejarah diungkapkan bahwa teori
coping stress Lazarus ini memiliki pengaruh yang besar terhadap ilmu
pengetahuan psikologi. Dengan alasan ini peneliti menggunakan teori coping
Lazarus, yang nantinya 14 dapat diintegrasikan dengan hasil penelitian
peneliti, selain itu penelitian ini diharapkan mampu mengoreksi teori coping
yang dikemukakan oleh Lazarus.
Sasaran penelitian ini adalah seorang mahasiswa profesi keperawatan
yang sudah menjalani praktik kerja di rumah sakit. Subjek ini dipilih
berdasarkan kriteria peniliti. Peneliti menganggap subjek yang dia pilih
memiliki keunikan tersendiri dibanding mahasiswa profesi keperawatan yang lain.
Hal itu dasarkan pada hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti dan
diperkuat dengan hasil wawancara peneliti kepada perawat dan teman-teman subjek.
Dari hasil observasi dan wawancara di dapatkan bahwa subjek yang dipilih oleh
peneliti, lebih sedikit mengalami stress dibanding teman-temannya. Karena hal
inilah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti model coping yang
digunakan oleh subjek. Untuk itu penelitian ini diberi judul ” Model Coping
Stres Mahasiswa Profesi Keperawatan saat Menjalani Praktik Kerja di Rumah Sakit
Saiful Anwar Kota Malang.”
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan dari
penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran stress yang terjadi pada mahasiswa
profesi keperawatan saat praktik kerja di rumah sakit?
2. Bagaimana model coping
yang dimiliki mahasiswa profesi keperawatan saat praktik kerja di rumah sakit ?
3. Bagaimana dampak yang
muncul jika coping yang digunakan mahasiswa profesi keperawatan saat praktik
kerja di rumah sakit gagal dan bagaimana jika berhasil ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah
di atas, tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendiskripsikan dan menganalisis gambaran stress yang dialami
oleh mahasiswa profesi keperawatan saat praktik kerja di rumah sakit.
2. Mendiskripsikan dan menganalisis model coping yang dimiliki
mahasiswa profesi keperawatan dalam menghadapi stress yang dialami saat praktik
kerja di rumah sakit.
3. Mendiskripsikan dan menganalisis dampak yang muncul jika coping
yang digunakan mahasiswa profesi keperawatan saat praktik kerja di rumah sakit
gagal ataupun jika berhasil.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain:
1. Manfaat Teoritis a.
Memberikan sumbangan informasi baru berupa model coping stress pada mahasiswa
profesi keperawatan. b. Bagi perkembangan keilmuan psikologi, penelitian ini
dapat memperluas pengkajian tentang coping stress. c. Memberikan koreksi
ataupun kritik terhadap teori coping Lazarus.
2. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan masukan
bagi pihak akademis profesi keperawatan agar selain memberikan teori, juga
adanya pemberian bekal mental, dan pengembangan strategi coping dalam
menghadapi stress yang dialami oleh mahasiswa profesi keperawatan saat
menjalankan praktik kerja lapangan. b. Sebagai bahan wacanan dan dikusi bagi
para mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang, mahasiwa keperawatan serta
bagi para orang tua dan masyarakat. c. Sebagai bahan kajian untuk penelitian
selanjutnya dengan tema yang sama.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" : Model coping stress mahasiswa profesi keperawatan saat menjalani praktik kerja di Rumah Sakit Saiful Anwar Kota Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment