Abstract
INDONESIA:
Kenakalan remaja adalah salah satu bentuk kekurang mampuan individu dalam meregulasi emosinya. Hal tersebut termasuk kategori gangguan emosional pada masa remaja. Karena ketika seseorang dalam mencapai tujuannya telah gagal, maka ia akan mengalami tekanan psikologis dan akan memilih reaksi emosi yang sesuai dengan kondisi tersebut dengan melakukan tindakan agresi internal/eksternal. Sehingga, kemampuan meregulasi emosi perlu dilakukan terutama bagi para remaja. Thompson (1994:27-28) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus untuk mencapai suatu tujuan. Kelekatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Kelekatan yang dibangun oleh remaja dengan figur lekat (ibu, ayah & teman sebaya) dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan individu, sehingga hal tersebut perlu diberi perhatian yang lebih.
Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kualitas attachment remaja terhadap ibu, ayah & teman sebaya dengan tingkat regulasi emosi. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan bisa memberikan pemahaman tentang hubungan kualitas attachment dengan regulasi emosi pada remaja di SMA Yayasan Pandaan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di SMA Yayasan Pandaan Tahun Ajaran 2013- 2014. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling sebesar 50% dengan sampel yang didapat berjumlah 92 siswa. Skala dalam penelitian ini diadaptasi dari Gross & John (2003), seorang penulis ERQ (The Emotional Regulation Questionnaire), dalam teori tersebut terkandung 10 item pernyataan dengan reliabilitas α=0,642 untuk mengukur tingkat regulasi emosi. Sedangkan, untuk mengukur kualitas attachment menggunakan skala IPPA Revised-Version (Armsden & Greenberg, 2009) yang diadaptasi oleh Sakdiyah (2014). Tingkat reliabilitas dari skala kelekatan remaja terhadap ibu (10 item) diketahui α=0.826, kelekatan remaja terhadap ayah (12 item) diketahui α=0.824, dan kelekatan remaja terhadap teman sebaya (11 aitem) diketahui α=0,820. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan nilai R Square sebesar 0,124 yang berarti, jika variabel kualitas attachment jika dikorelasikan dengan variabel terikat (regulasi emosi) menghasilkan korelasi atau memberi pengaruh sebesar 12,4% serta nilai F = 4,148 signifikansi ρ = 0,008.
Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi kualitas kelekatan remaja terhadap ayah maka semakin tinggi regulasi emosi. Sedangkan pada kualitas kelekatan remaja terhadap ibu dan teman sebaya, semakin tinggi kualitas kelekatan tersebut maka semakin rendah regulasi emosi. Dengan demikian, penting bagi remaja untuk meningkatkan kualitas attachment (ibu, ayah, & teman sebaya) supaya dapat meningkatkan kemampuan regulasi emosi.
ENGLISH:
Juvenile delinquency is one individual in the form of lack of ability to regulate emotions. It belongs to the category of emotional disturbance in adolescence. Because, when a person has failed to achieve its goals, it will experience psychological distress and will select teh appropriat emotional reaction to these condotions by internal/external aggression. Thus, the ability to regulate emotions need to be done, especially for adolescents. Emotion regulation consists of the extrinsic and intrinsic processes responsible for monitoring, evaluating, and modifying emotional reactions, especially their intensive and temporal features, to accomplish one's goals (Thompson, 1994:27-28). Attachment is one of the factors that affect of remotion regulation, because the attachment was built by adolescent to figure intently (mother, father & peers), which would affect the development of an individual’s life, it should be affered attention.
Furthermore, the reasearch will give comprehension to know about analyze the level of quality of adolescent attachment to mother, father & peers with the level of emotion regulation. This study is expected to provide an understanding of the quality of the attachment relationship with emotion regulation in adolescent at Yayasan High School Pandaan.
The study is a quantitative correlation of the research. The subjects are all students of Yayasan High School Pandaan for 2013-2014. The sampling technique uses purposive sampling method by the result 50% of 92 students. The scale of this study adapted by Gross & John (2003) as author of the ERQ (Emotional Regulation Questionnaire). The theory includes 10 item of pronouncement with reliability of α=0.642 to measure emotion regulation. Whereas, to measure of the quality of attachment, the scale used IPPA revised-version (Armsden & Greenberg, 2009) which adapted by Sakdiyah (2014). The level of reliability of adolescent attachment to mother (10item) is α=0.826, to father (12 item) is α=0.824, and to peers (11 item) is α=0,820. The analysis technique is multiple linear regression analysis. Based on the results of the study found the value of R Square 0.124 that means, when the variable quality of the attachment correlated with the dependent variabel (emotion regulation) would result a correlation or an impact of 12.4% with F = 4.148 significancy ρ = 0.008.
The result show the higher of adolescent attachment to the father, the higher emotion regulation. While turns the adolescent attachment to mother and peers, the higher the quality, the lower the viscosity of emotion regulation. Thus, it is important for adolescents to improve the quality of attachment (mother, father & peers) in order to
improve the ability of emotion regulation.
improve the ability of emotion regulation.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kenakalan remaja adalah
salah satu bentuk kekurang mampuan individu dalam meregulasi emosinya. Menurut
Pratisti (2012:117), yang mengutip pandangan Morris, et al., (2007), bahwa
kasus-kasus seperti perilaku berbohong, pergi keluar rumah tanpa pamit,
membolos, keluyuran, minum-minuman keras, menyalahgunakan narkotika,
mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, berkelahi dengan teman atau
antar sekolah, serta depresi, merupakan gambaran dari ketidakmampuan individu
dalam pengelolaan emosi. Kasus-kasus tersebut menurut Jensen yang telah dikutip
oleh Sarwono (2012:256) termasuk dari jenis-jenis kenakalan remaja yaitu
kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian,
perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Kenakalan yang meninbulkan
korban materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan
lain-lain. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain,
seperti pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas. Kenakalan yang
melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara
membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah, atau
membantah perintah mereka. 2 Selanjutnya Pratisti (2012:117) juga mengutip dari
penjelasan Grieger et al., (1983), bahwa kasus-kasus tersebut termasuk kategori
gangguan emosional pada masa anak dan remaja. Ketika seseorang dalam mencapai
tujuannya telah gagal, maka ia akan mengalami tekanan psikologis dan akan
memilih reaksi emosi yang sesuai dengan kondisi tersebut. Misalnya, dengan
melakukan tindakan agresi internal (misalnya melakukan perusakan terhadap diri
sendiri sampai dengan percobaan bunuh diri) maupun agresi eksternal (seperti,
melakukan perusakan pada lingkungan fisik atau sosial di sekitarnya). Dari
temuan data awal melalui wawancara dengan guru BK di SMA Yayasan Pandaan (30
November 2013), telah ditemukan beberapa permasalahan remaja seperti, membolos,
merokok, mengganggu teman, bertengkar, dan merusak diri (dalam hal ini termasuk
percobaan bunuh diri). Perilaku yang demikian dikarenakan kurang adanya
pemahaman emosi, pengendalian emosi, dan bagaimana mengekspresikan emosi secara
tepat pada remaja tersebut, yang disebut juga dengan regulasi emosi.
Permasalahan-permasalahan remaja tersebut seperti yang telah dijelaskan oleh
guru BK yaitu, sebagai berikut: “Pasti ada pelanggaran yang dilakukan siswaa,
contoh kecil adalah masalah kerapian, bahkan sampai terjadi menghilang „bolos‟
pada jam istirahat, tasnya dititipkan ke temannya dan dia pulang. Banyak alasan
mereka melakukan hal seperti itu yang pernah saya tangkap alasannya, pertama
alasan klasikal tidak enak badan „tapi tidak izin‟ gak masuk akal kan.. kedua
pom bensin, padahal disinipun ada, mereka bilang penuh. Yang ketiga bosen,
merasa capek dia. Selain bolos ada juga seperti mengganggu teman dalam arti
usil, kadang nyobeknyobek kertas, dilemparkan ke temannya kemudian terjadi 3
bentrok; kadang-kadang juga usilnya, temennya dikunciin dimana gitu, dikelas
juga. Merokok juga ada, cuman mereka cenderung sembunyi. Tahun pelajaran ini
yang sering ya merokok, membolos, kerapian. Penggalan wawancara selanjutnya:
Siswa itu berbeda-beda, karena siswa umur-umur segini kan masa rentan, 17
tahun, terutama di kelas dua itu cenderung punya banyak masalah umumnya baik
itu tadi, dengan orang tua, keluarga dan sebagainya. Cenderung mereka itu
tergolong kurang bijak, ada masalah diam atau cenderung introvert, nangis;
kalau mereka diyakinkan masalahnya tidak diceritakan ke orang lain, baru mereka
cerita. Siswa yang mendapat masalah larinya negatif tadi, ngerusak, ngerusak
dirinya sendiri, mereka beraksi tadi merusak, merokok. Tapi itu jarang terjadi
tapi pernah terjadi bahkan „sorry‟ mencoba bunuh diri pun ada. (Wawancara, 30
November 2013) Peran emosi, menurut perspektif fungsionalis kontemporer, dapat
menyebabkan perubahan perilaku, mempengaruhi ketepatan pengambilan keputusan,
meningkatkan memori terhadap suatu peristiwa penting dan dapat memfasilitasi
interaksi interpersonal (Gross & Thompson, 2006:4). Di sisi lain, emosi
dapat membantu kehidupan individu namun juga dapat melukai apabila terjadi pada
waktu serta tingkat intensitas yang kurang tepat.
Respon emosional yang kurang tepat akan dapat terlibat pada kondisi
pathologis, kesulitan dalam interaksi sosial bahkan dapat menyebabkan timbulnya
penyakit fisik (Gross & Thompson, 2006:4). Sehingga hal tersebut tergantung
pada kemampuan kita dalam meregulasi emosi. Fenomena permasalahan-permasalahan
remaja dalam hal ini merupakan kenakalan remaja yaitu perilaku negatif remaja
yang tidak hanya sebagai pemberitaan pada media masa atau televisi. Karena 4
tindakan kenakalan remaja yang telah dilakukan sudah dianggap sebagai perilaku
yang menyimpang oleh masyarakat dan mengganggu ketertiban. “Lima pelajar di
Kabupaten Bojonegoro yang bolos saat jam sekolah terjaring razia kasih sayang
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat, Rabu (11/09/2013). Sementara,
Kasi Penyidik dan Penindakan Satpol PP Bojonegoro, Yoppy Rahmat mengatakan,
razia digelar dalam rangka meminimalisir angka kenakalan terhadap remaja,
khususnya pelajar. Sebab, akhir-akhir ini pelajar di Bojonegoro banyak yang
telah melakukan tindak kriminal yang akhirnya berbuntut hukum. "Sasarannya
untuk kenakalan remaja, khususnya pelajar semakin marak. Awalnya ya, sering
bolos sekolah, nanti ujung-ujungnya melakukan tindak kriminalitas," ujar
Yoppy. Pelajar yang telah terjaring razia itu diberikan peringatan agar tidak
melakukan hal serupa. Namun, jika pelajar yang terjaring razia hari ini
melakukan bolos lagi, maka Satpol PP akan melayangkan surat kepada sekolahan
dan orang tua pelajar.” (beritajatim.com, 11 september 2013) Berita lain dalam
media massa tentang kenakalan remaja yakni; “Sembilan pelajar SMA Manggala,
Kota Tangerang, dijaring Satpol PP Kota Tangerang dan petugas Polres Metro
Tangerang Kota dalam razia gabungan. Kesembilan pelajar itu tertangkap tangan
tengah menenggak miras jenis anggur merah. (Sindonews.com – Kamis, 21/3/2013).
Berita tersebut sedikit menggambarkan perilaku kenakalan remaja pada saat ini.
Telah banyak media massa atau televisi yang telah menyiarkan berita tentang
perilaku membolos, perkelahian antar kelompok, tawuran pelajar, dan lain-lain.
Temuan berdasarkan survey dari data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) tentang Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia pada
2002-2003, dilaporkan bahwa remaja 5 yang mengaku memiliki teman yang pernah
berhubungan seksual sebelum menikah pada usia 14-19 tahun, saat itu masih pada
angka 34,7% untuk remaja putri dan 30,9% untuk remaja putra. Sedangkan temuan
terakhir tahun 2012 sudah menunjukkan peningkatan sampai menyentuh 93.7%.
(Erwani dkk, 2013) Masa remaja merupakan masa di mana timbulnya berbagai
kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan, kemampuan fisik dan daya pikir
menjadi matang. Namun, masa remaja penuh dengan berbagai perasaan yang tidak
menentu, cemas dan bimbang, di mana bercampur harapan dan tantangan, kesenangan
dan kesengsaraan, semuanya harus dilalui dengan perjuangan yang berat, menuju
hari depan dan dewasa matang (Daradjat, 1994: 13). Terkait dengan permasalahan
remaja, rintangan perkembangan remaja menuju kedewasaan telah ditentukan oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi remaja semasa kecil di lingkungan rumah tangga,
sekolah dan lingkungan masyarakat. Jika seseorang individu dimasa kanak-kanak
banyak mengalami rintangan hidup dan kegagalan, maka konflik yang pernah
dialaminya merupakan penyebab utama timbulnya kelainankelainan tingkah laku
seperti kenakalan remaja, penyimpangan perilaku yang mengarah pada tindak
kejahatan. Ekpresi emosi yang kurang terkontrol akan menimbulkan kebingungan,
agresivitas dan rasa superior. Hal yang demikian terkadang dikompensasikan
dalam bentuk yang negatif seperti pasif dalam segala hal, apatis, agresif,
menarik diri, dan melarikan 6 diri dari realita ke minuman alkohol, ganja atau
narkoba, bunuh diri dan lain-lain (Ronzi, 2010). Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, bahwa kenakalan remaja
yang masih memiliki kedua orang tua kandungnya serta tinggal bersama mereka
merupakan gambaran dari pola asuh dan pengawasan orang tua yang tidak efektif
(BPS, 2010). Menurut Patterson dkk, (dikutip dari hasil penelitian BPS, 2010)
para orang tua dari para remaja antisosial biasanya gagal dalam memonitor
perilaku anaknya, sehingga mereka seringkali tidak mengetahui di mana anak
remajanya berada serta apa yang sedang dilakukannya. Menurut Psikolog Adelina
Syarief, remaja yang melakukan perilaku menyimpang yaitu kenakalan remaja
disebabkan dari diri sendiri atau lingkungan. Penyebabnya juga bisa dari sifat
bawaan atau dari keluarga misalnya orang tua yang terlalu sibuk, kurangnya
komunikasi atau perceraian (Liputan6.com, Selasa, 10 September 2013).
Faridh (2008), mengutip dari
pendapat Thornburg, bahwa seorang remaja dikatakan terlibat dalam kenakalan
apabila ia memiliki problemproblem emosional atau kepribadian yang
mengakibatkan perilaku anti sosial. Hal ini senada dengan penjelasan Asri
(2014:4) yang mengutip gagasan Hurlock, dkk (2008) yang menguraikan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi remaja melakukan tindakan kenakalan dan
kriminalitas yang meliputi gangguan emosional seperti emosi yang tidak
terkendali, labil dan tumpul sehingga diperlakukan kemampuan meregulasi emosi 7
untuk mencegah munculnya kenakalan remaja. Perilaku tersebut tidak hanya
dikarenakan oleh ketidakmampuan mengontrol diri, tetapi juga karena adanya
tekanan/masalah. Sehingga, kemampuan mengelola emosi perlu dilakukan agar
seseorang dapat terhindar dari perilaku-perilaku antisosial, terutama bagi para
remaja yang sedang mengalami konflik yang beragam dan kompleks. Kemampuan
mengelola emosi ini disebut juga dengan regulasi emosi. Seseorang harus mampu
memahami emosi yang muncul dalam dirinya. Karena orang tersebut akan lebih
mudah dalam melakukan regulasi emosi. Gross (2006:5-6) menjelaskan tentang
sifat utama dari emosi yaitu (1) emosi muncul ketika seseorang menghadapi
situasi dan menganggapnya sebagai suatu hal yang berkaitan dengan tujuan
hidupnya; (2) emosi merupakan berbagai macam segi atau fenomena yang melibatkan
seluruh bagian tubuh sehingga mampu mengubah ranah pengalaman pribadi, perilaku
serta susunan fisiologi syaraf pusat maupun tepi; dan (3) perubahan
multi-sistem yang berkaitan dengan emosi, jarang dihargai meskipun mempunyai
peran cukup penting ketika seseorang mampu mengontrol emosi dalam kehidupannya.
Jankowski (2013:288) mengutip gagasan Gross & Thompson (1998), regulasi
emosi adalah proses mempengaruhi emosi seseorang dengan cara tertentu untuk
mewujudkan tujuannya. Sedangkan Thompson (1994:27-28) mendefinisikan regulasi
emosi sebagai proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab memonitor,
mengevaluasi dan 8 memodifikasi reaksi emosi seseorang secara intensif dan
khusus untuk mencapai suatu tujuan. Lebih lanjut, Jankowski (2013:288)
menjelaskan, bahwa sebuah proses terjadi baik secara sadar dan tidak sadar,
dapat dikendalikan ataupun secara otomatis, serta melibatkan faktor internal
maupun eksternal. Pengaruh kemampuan proses regulasi emosi dapat mempengaruhi
perubahan keseluruhan yang berkaitan dengan emosi. Akan tetapi hanya mengarah
pada komponen tertentu, seperti aspek-aspek fisiologis atau fenomenologis.
Gross & Thompson (2006:11-12) menjelaskan bahwa regulasi emosi dapat
berperan sebagai strategi koping dalam menghadapi tekanan psikologis. Styowati
(2010) yang mengutip gagasan Gross & John, bahwa individu memiliki koping
positif terhadap masalahnya ketika dapat menilai situasi, sehingga mampu
mengubah pikiran negatif dan mengontrol emosinya. Dengan demikian, individu
yang berhasil dalam proses koping akan melalui proses adaptasi yang dapat
meningkatkan kemampuan individu bertahan menghadapi kemampuan terjadinya stres
selanjutnya. Sebaliknya ketika individu gagal dalam proses koping maka dapat
menyebabkan stres yang berkelanjutan. Kemampuan dalam regulasi emosi tidak
serta merta muncul begitu saja, akan tetapi berasal dari suatu proses yang
panjang yaitu dari pengajaran dalam keluarga. Meskipun regulasi emosi akan
semakin baik seiring dengan perkembangan usia. Pratisti (2012:117) yang
mengutip gagasan Morris, et al., bahwa regulasi emosi dipengaruhi oleh
lingkungan 9 sosial di sekeliling individu, misalnya keluarga. Kombinasi dari
kelekatan dan pola asuh yang tidak kuat dapat menyebabkan anak mengalami
ketidakmampuan meregulasi emosi. Sehingga dapat terlibat dalam
perilaku-perilaku mengganggu yang akhirnya mendorong strategi kurang tepat pada
pola asuh.
Temperamen orangtua terutama ayah yang agresif, meledak-ledak, suka
marah dan sewenang-wenang juga menjadi sebab munculnya perilaku kenakalan
remaja (Faridh, 2008). Teori kelekatan menyatakan bahwa kapasitas psikologis
pada remaja dan dewasa sangat ditentukan oleh kualitas hubungan mereka dengan
pengasuh utama pada masa kecilnya (Bowlby, 1979, dikutip oleh Sakdiyah,
2014:11). Selanjutnya, melihat dari teori kelekatan (attachment) bahwa
kelekatan yang telah dibentuk pada awal kehidupan manusia yaitu antara bayi
dengan figur lekatnya. Sehingga membentuk hubungan yang berkelanjutan dalam
kehidupan manusia, meskipun figur lekat tidak berada di dekatnya (Ainsworth,
1969:2-3). Bowlby menjelaskan tentang teori attachment bahwa asal mula regulasi
emosi dan ketidakmampuan meregulasi didasarkan pada pengalaman kelekatan yang
sebelumnya dan penilaian pengalaman (Zimmermann et. al., 2001: 331). Hal ini
didukung oleh gagasan Gross & Thompson (2006:9) bahwa penelitian
kontemporer tentang regulasi emosi salah satunya berakar dari teori attachment.
Dengan demikian hubungan kelekatan antara orang tua dengan remaja dapat
mempengaruhi kemampuan regulasi emosi remaja. 10 Lebih lanjut Zimmermann et al,
(2001:332) mengutip gagasan Bowlby et al., (1973), tentang teori attachment
bahwa figur dukungan kelekatan dan adanya kemampuan emosional yang baik akan
sangat mempengaruhi pada perkembangan anak dalam regulasi emosi secara adaptif.
Hal tersebut merupakan karakteristik utama membentuk kepribadian yang tangguh.
Kelekatan (attachment) adalah ikatan emosional yang dibentuk individu dengan
individu lain secara spesifik, biasanya ikatan pertama dibentuk untuk ibunya
kemudian kepada beberapa orang tertentu lainnya dan bertahan dalam kurun waktu
yang lama (Ainsworth, 1969:2-3). Bowlby dan Ainsworth mendefinisikan perilaku
kelekatan sebagai perilaku yang membentuk kontak kedekatan bayi dengan sosok
ibunya (Ainsworth, et al., 1971:2). Dengan demikian memasuki usia remaja,
perkembangan pada figur lekat tidak hanya dengan ibu, akan tetapi dengan ayah
dan juga teman sebaya. Teori kelekatan dalam penelitian ini adalah teori
kelekatan remaja yang dikembangkan oleh Armsden & Greenberg yang mengacu
pada paradigma teori kelekatan dari Bowlby. Teori kelekatan remaja berbeda dari
kelekatan pada bayi dan orang dewasa, karena penelitian kelekatan remaja
cenderung berbicara tentang kualitas hubungan daripada kategori kelekatan yang
spesifik, seperti kelekatan anxious atau kelekatan ambivalent (Ainsworth, 1989;
Hazan & Shaver, 1987, dikutip oleh Sakdiyah, 2014:12). 11 Memasuki masa
remaja kelekatan pada orang tua dapat diartikan sebagai suatu hubungan
emosional secara adaptif antara remaja dengan orang tua yang bersifat timbal
balik, bertahan lama dan memberikan rasa aman meskipun orang tua sebagai figur
lekat tidak berada dekat dengan individu yang bersangkutan (Muslimah &
Wahdah, 2013). Hal ini senada dengan penjelasan (Desmita, 2009: 219) bahwa
selama masa remaja, ikatan yang dibentuk dengan orang tuanya dapat berfungsi
adaptif, menyediakan landasan yang kokoh sehingga remaja dapat menjelajahi dan
menguasai lingkungan-lingkungan baru serta dunia sosial yang luas dengan
cara-cara yang sehat secara psikologis. Pada masa remaja terdapat perluasan
tentang figur lekat, hal ini tidak hanya mengacu pada kelekatan terhadap orang
tua (ayah & ibu) tetapi juga teman sebaya yang penting untuk diteliti.
Perkembangan ikatan kelekatan terjadi pada remaja ketika mereka mencoba belajar
di lingkungan baru selain pada keluarga. Perkembangan kelekatan pada remaja
terdapat transisi yang bermula fokus orang tua (ibu dan ayah) sebagai figur
kelekatan kemudian berkembang, bahwa figur teman sebaya dan teman akrab juga
sebagai figur kelekatan. Perubahan tersebut terjadi ketika remaja memulai
mempelajari dan mengembangkan hubungan selain dengan keluarga (Wilkinson &
Kraljevic, dikutip oleh Qomariyah, 2011:31). Armogida (2000:22), mengutip
gagasan Bowlby (1988), bahwa individu setelah pubertas, ikatan sayang yang
bermula dibangun dengan orang tua, 12 kemudian bergeser dari orang tua untuk
teman sebaya, dan akhirnya ke hubungan romantis dewasa. Dengan demikian,
interaksi antara ibu dan bayi pada awal kehidupan diartikan sebagai bentuk
ikatan kelekatan yang dapat menentukan perilaku individu di kehidupan
selanjutnya, kemudikan diikuti dengan hubungan lekat antara kedua orang tua
(ibu dan ayah) serta teman sebaya khususnya ketika sampai pada masa remaja.
Akan tetapi seiring bertambahnya usia, pada masa remaja terdapat penurunan
kualitas kelekatan yang aman dengan orang tua mereka ketika datang masa
pubertas. Namun hal tersebut hanya pada komponen tertentu yang mengalami
perubahan yaitu kebutuhan mencari kedekatan dan sandaran hati pada orang tua
saat kondisi stres mengalami penurunan dan yang lain tetap stabil yaitu masih
tetap membutuhkan keyakinan akan kehadiran orang tua (Wilkinson &
Kraljevic, yang telah dikutip oleh Qomariyah, 2011:30). Hasil penelitian
observasional pada keterkaitan antara otonomi dan kedekatan orang tua dengan
anak remajanya menunjukkan bahwa anak remaja yang kesulitan melepaskan diri dari
orang tua akan megakibatkan munculnya sindrom depresif; sedangkan kesulitan
untuk mempertahankan kedekatan dengan orang tua akan berpengaruh pada perilaku
eksternalnya. Artinya, remaja yang masih tergantung pada orang tuanya dalam
meregulasi emosi akan mengalami kesulitan untuk memahami permasalahan
emosional.
Sebaliknya, remaja yang
menolak bimbingan 13 emosional dari orang tua akan mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan emosinya, terutama untuk mengontrol amarahnya (Allen et al.,
1994; Frick & Morris, 2004 yang dikutip oleh Morris et al., 2007; dikutip
oleh Pratisti, 2011:14). Menurut Santrock (2007:25) bahwa remaja yang memiliki
kelekatan secara aman, maka kemungkinan lebih kecil untuk melakukan perilaku
bermasalah. Gaya pengasuhan mencerminkan sikap dan perilaku orang tua terhadap
anak-anak yang dapat berkontribusi terhadap iklim emosional keluarga,
sosialisasi emosi anak, dan hasil perkembangan anakanak. Dengan demikian, orang
tua berpotensi memberi dampak pada perkembangan psikopatologi, setidaknya melalui
dua mekanisme yaitu memberi kontribusi secara langsung dan sebagai moderasi
hubungan antara disregulasi emosi dan depresi (Feng et al, 2009:4) Dengan
demikian remaja harus memiliki kemampuan dalam mengelola emosi serta
mengekspresikan emosi secara tepat. Seperti pada penjelasan Asri (2014:6) yang
mengutip gagasan Silk, Steinberg dan Morris (2003) menyebutkan beberapa alasan
pentingnya regulasi emosi pada masa remaja yaitu : (1) Proses transisi pada
masa remaja meliputi fisik, psikis, dan sosial menimbulkan banyak pengalaman
akan dorongan emosi (2) Penelitian menemukan bahwa pengalaman emosi remaja
lebih intens dibandingkan individu yang lebih muda maupun lebih tua (3) Periode
remaja merupakan periode proses pematangan pada sistem hormonal, neural, dan kognitif
yang mendasari regulasi emosi (4) Pada 14 masa remaja ada kecenderungan
meningkatnya gangguan afektif dan perilaku. Penelitian yang telah dilakukan
oleh Ridhayati Faridh (2008) dengan judul Hubungan antara Regulasi Emosi dengan
Kecenderungan Kenakalan Remaja. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa remaja
mempunyai regulasi emosi yang baik maka kemungkinan kecil adanya kecenderungan
kenakalan remaja. Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Umasugi (tt)
tentang hubungan antara regulasi emosi dan religiusitas dengan kecenderungan
perilaku bullying pada remaja. Menunjukkan, bahwa remaja ketika memiliki
regulasi emosi serta didukung dengan religiusitas yang baik maka ada
kemungkinan lebih kecil dalam melakukan bullying dan begitu pula sebaliknya,
ketika remaja kurang memiliki regulasi emosi dan religiusitas yang kurang baik
maka cenderung akan melakukan bullying. Penelitian yang dilakukan oleh Putri
(2013) tentang Hubungan antara Komunikasi Orang tua Remaja dengan Regulasi
Emosi Pada Remaja Di Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui, bahwa komunikasi yang telah dilakukan oleh ibu dan ayah
terhadap para remajanya sama-sama dapat mempunyai hubungan positif dengan
regulasi emosi pada remaja. Yaitu ketika ayah, ibu dan anaknya mampu membangun
komunikasi yang baik maka remaja tersebut akan lebih mampu dalam meregulasi
emosinya ketika mengalami situasi yang tertekan.
Seseorang ketika mampu dalam
mengelola emosi-emosi secara efektif, maka ia akan mempunyai daya tahan yang
baik dalam menghadapi masalah. Hurlock (2007) berpendapat bahwa remaja
cenderung memiliki emosi yang bergejolak. Di usia remaja, kemampuan untuk
mengelola emosi belum berkembang secara matang. Hal ini membuat remaja
cenderung mengikuti emosinya dalam berbagai tindakan. Dengan demikian, setiap
individu harus belajar dalam meregulasi emosinya. Regulasi emosi dapat
diajarkan ketika anak masih kecil oleh orangtuanya dengan memberikan contoh
emosi yang positif. Pratisti (2012:121) yang mengutip pendapat Morris et al, menyatakan
bahwa regulasi emosi seorang anak sampai usia remaja dipengaruhi oleh keluarga,
media belajar (melalui observasi: modeling dan penularan emosi, serta referensi
sosial) serta karakteristik anak itu sendiri. Keluarga dapat dibedakan menjadi
parenting practices; emotional climate of the family; serta parent
characteristics. Parenting practices contohnya adalah emotion coaching dan
reactions to emotion. Sedangkan emotional climate of the family dapat dilihat
dari attachment atau parenting style, marital relation dan expressivity.
Kemudian dapat dikelompokkan dalam karakteristik orang tua yaitu reaktivitas
dan regulasi terhadap emosi, kesehatan mental, familial history. Penelitian ini
dilakukan di SMA Yayasan Pandaan yang berlokasi di Jl. Pahlawan Sunaryo no.2,
Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur. Alasan mengadakan penelitian di lokasi ini
karena di SMA Yayasan Pandaan 16 sangat disiplin dalam membentuk karaktek
individu yang baik serta cerdas. Seperti halnya ketika kita memasuki kawasan
lokasi SMA Yayasan Pandaan, di depan sekolah telah tertera tulisan yang besar
“Anda Memasuki Kawasan Rapi, Tertib dan Sopan”. Akan tetapi dari beberapa siswa
masih kurang adanya kesadaran akan pentingnya kedisiplinan dan makna dari
tulisan tersebut. Demikian yang menjadikan siswa-siswi tersebut masih melakukan
bentuk-betuk perilaku bermasalah. Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti
tertarik melakukan penelitian dalam memahami kaitannya tentang kualitas
attachment dan regulasi emosi pada remaja. Hal ini penting untuk diteliti,
supaya dari pihak keluarga, sekolah akan lebih mengetahui seberapa tingkat
kualitas attachment remaja terhadap orang tua (ibu dan ayah) serta teman sebaya
dan seberapa tinggi regulasi emosi remaja sekarang ini khususnya di SMA Yayasan
Pandaan. Dengan demikian peneliti tertarik untuk meneliti Hubungan antara
Kualitas Attachment dengan Regulasi Emosi Pada Remaja Di SMA Yayasan Pandaan.
B. Rumusan Masalah Dari gambaran latar belakang yang telah diuraikan di atas,
maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana tingkat
kualitas attachment remaja terhadap ibu, ayah dan teman sebaya pada siswa di
SMA Yayasan Pandaaan?
2. Bagaimana tingkat regulasi emosi siswa di SMA Yayasan pandaan?
17 3. Adakah hubungan antara kualitas attachment remaja terhadap ibu, ayah dan
teman sebaya dengan regulasi emosi siswa di SMA Yayasan Pandaan?
C. Tujuan Penelitian
Dari penelitian ini terdapat beberapa tujuan, diantaranya sebagai
berikut: 1. Untuk mengetahui tingkat kualitas attachment remaja terhadap ibu, ayah
dan teman sebaya pada siswa di SMA Yayasan Pandaan. 2. Untuk mengetahui tingkat
regulasi emosi siswa di SMA Yayasan Pandaan. 3. Untuk membuktikan hubungan
antara kualitas attachment remaja terhadap ibu, ayah dan teman sebaya dengan
regulasi emosi siswa di SMA Yayasan pandaan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini
diharapkan, dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis bagi pengembangan
keilmuan diantaranya:
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
tambahan khazanah keilmuan psikologi, khususnya bidang psikologi perkembangan
remaja dan dalam pengembangan teori attachment serta regulasi emosi.
2. Manfaat Praktis a. Subjek Penelitian Supaya
dapat dijadikan bahan informasi kaitannya dengan kualitas attachment dengan
regulasi emosi pada remaja. b. Masyarakat Akademik Hasil penelitian ini akan
menambah khazanah keilmuan, terutama dalam khazanah ilmu psikologi. Dalam hal
kualitas attachment dan regulasi emosi pada remaja di SMA Yayasan pandaan. c.
Pihak Sekolah Hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi pada sekolah,
terutama dalam memahami pentingnya dalam kemampuan meregulasi emosi, khususnya
pada remaja.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Hubungan antara kualitas attachment dengan regulasi emosi pada remaja di SMA Yayasan Pandaan" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah ini
DOWNLOAD
No comments:
Post a Comment