Abstract
INDONESIA:
Kesejahteraan psikologis menekankan pentingnya perkembangan potensi nyata seseorang. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kesejahteraan psikologis para caregiver penyakit terminal. Caregiver penyakit terminal dipilih karena tugas perkembangannya terhambat oleh permasalahan menjadi caregiver penyakit terminal sehingga mempengaruhi kesejahteraan psikologis mereka. Penyakit terminal sendiri tak lain merupakan penyakit kategori kronis ataupun akut yang tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya.
Lewat paradigma kualitatif dengan pendekatan case study, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi. Informan penelitian merupakan caregiver wanita berusia 25 sampai 65 tahun, sudah menikah dan masih memiliki anak. Penelitian ini menggunakan analisis tematik. Dan analisa dikuatkan dengan triangulasi data dan triangulasi pengamat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga informan memiliki keinginan untuk kesembuhan anggota keluarga mereka, walaupun mereka belum menerima sepenuhnya akan penyakit yang diderita saudara mereka maupun tugas tambahan yang menempel pada diri mereka. Mereka belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan lingkungan tapi mereka bisa mengelola aktivitas sehari-hari, tetap menjalin hubungan baik dengan orang lain walaupun intensitasnya tidak sebanyak ketika belum menjadi caregiver. Ketiga informan dapat menentukan secara mandiri beberapa hal yang terkait dengan diri mereka, pengambilan keputusan akan pasien yang membutuhkan perawatan darurat, namun disisi lain mereka juga meminta pertimbangan keluarga terutama hal-hal yang terkait dengan keuangan keluarga. Dimensi yang cukup dominan berperan dalam diri informan adalah pencapaian tujuan (orientasi hidup) yang dengan tonggak itu dapat menguatkan pengembangan pribadi informan juga dalam menjalani kehidupan. Secara umum kesejahteraan psikologis caregiver penyakit terminal dipengaruhi oleh usia, pengalaman hidup, tingkat pendidikan, status ekonomi, dukungan sosial dan budaya.
ENGLISH:
Stressed the importance of the development of psychological wellbeing person's real potential. This study aims to describe the psychological well-being of the caregiver terminal illness. Caregiver terminal illness been hampered by problems of development tasks become a caregiver terminal illness that affects their psychological well-being. Terminal illness itself is nothing but a category of chronic or acute diseases that are not only subjected to various physical problems such as pain, shortness of breath, weight loss, interruption of activity but also the psychosocial and spiritual disorders that affect the quality of life of patients and their families.
Through the paradigm of qualitative case study approach, the researchers used data collection techniques such as observation, interviews, field notes and documentation. Informants research is caregiver women aged 25 to 65 years old, is married and still have children. This study using thematic analysis. And analysis corroborated with data triangulation and triangulation observer.
The results showed that the three informants have a desire to cure their family members, even if they have not received will fully their brother's illness and additional duties attached to them. They have yet to fully adapt to the environment but they can manage their daily activities, keep good relations with others even though its intensity was not as much as when it has not become a caregiver. Third informants could determine independently a few things associated with them, decisions will be patients who need emergency care, but on the other hand they also requested consideration of the family, especially matters related to family finances. The dimensions are quite dominant role in self informant is the achievement of objectives (life orientation) are the milestones that can strengthen personal development informant also in life. In general psychological wellbeing caregiver terminal illness is influenced by age, life experience, education level, economic status, social support and culture.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Tak ada seorang pun manusia di dunia
yang menginginkan dirinya jatuh sakit, ketidakberfungsian fisik ataupun mental
akan sangat mengganggu diri ataupun lingkungan disekitar pasien. Oleh karenanya
terkadang pasien yang divonis menderita penyakit kronis atau akut dan
kemungkinan kecil dapat disembuhkan mengalami pukulan psikis yang semakin besar
manakala tak hanya mengingat penderitaan yang dialami dirinya, namun juga
penderitaan yang akan dialami pula oleh orang lain. Pada stadium lanjut, pasien
dengan penyakit akut dan kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik
seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi
juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu
penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya
dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan
dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif (Doyle
& Mac. Donald, 2003: 5). Menjaga kesehatan di tengah gempuran beragam
produk instan serta ketahanan kesehatan baik fisik maupun mental di tengah
persaingan kehidupan yang semakin ketat menjadi tugas yang harus selalu diingat
dan dipelihara dengan baik oleh masing-masing individu. Kesehatan fisik oleh
makanan dan olah raga ataupun kesehatan mental oleh hati dan fikiran. Karena
penyakit tidak selalu disebabkan oleh sakitnya fisik saja, akan tetapi 2
disertai dengan proses pikir yang tidak seimbang atau sakitnya mental dapat
mempengaruhi kesehatan fisik pula. Seperti ungkapan Slamet Imam Santoso pendiri
Psikologi di Indonesia, Penyakit tidak bisa dimengerti tanpa mengerti
orang/jiwanya) (Maramis, 1980). Patricia dalam bukunya The Art of Dying
mengungkapkan semakin banyak penyakit yang diderita pasien yang pengobatan
terhadap penyakitnya tidak diperlukan lagi. Misalnya di Amerika, setiap tahun
lebih dari 250.000 pasien menerima diagnosis penyakit Terminal (Weenolsen,
2005: 41). Dengan kata lain, sudah tidak memungkinkan bagi suatu penyakit untuk
dihilangkan, kondisi tersebut membutuhkan perawatan terminal bagi pasien dengan
stadium akhir. Berikut beberapa penyakit/kondisi yang bisa masuk dalam kategori
penyakit terminal; Diabetes militus, Penyakit Kanker, Congestik renal falure,
Stroke, AIDS, Gagal ginjal kronik dan akibat kecelakaan fatal (Kircher, 2003).
Estimasi global menyebutkan pada tahun 2020 akan mengalami peningkatan menjadi
157 juta orang yang menderita penyakit kronis yang juga termasuk dalam kategori
penyakit terminal (Partnership for solutions, 2004, dalam Lubkin dan Larsen,
2006). Keluarga sebagai orang yang sangat dekat dengan pasien sangat berperan
dalam memberikan perawatan lanjutan dan memenuhi kebutuhan perawatan diri
pasien yang tidak dapat dilakukan sendiri olehnya. Fungsi perawatan kesehatan
ini adalah untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga (Friedman,
1998). Sedangkan Suprajitno (2004), menyatakan satu dari lima tugas pokok
keluarga dibidang kesehatan yaitu merawat keluarga yang mengalami gangguan 3
kesehatan. Bila peran tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan
mengalami gangguan, hal tersebut dapat memicu stressor yang berkepanjangan
dalam keluarga. Selain itu dalam kondisi stress yang berkepanjangan yang
dialami oleh keluarga yang merawat, maka salah satu hal yang menarik untuk
diteliti adalah bagaimana kondisi kesejahteraan psikologis dari keluarga
khususnya caregiver yang merawat penuh pasien. Kesejahteraan psikologis sendiri
menurut Ryff yaitu suatu keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan
kelemahan diri sebagaimana adanya dalam kondisi tersulitpun ketika mendampingi
pasien kronis/akut sebagai caregiver, tetap memiliki hubungan positif dengan
orang lain, mampu mengarahkan perilakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi
diri secara berkelanjutan, mampu menguasai lingkungan, serta memiliki tujuan
dalam hidupnya. Dengan well-being, diharapkan caregiver dapat meningkatkan
kualitas hidupnya, memberikan dukungan sosial pada pasien penyakit terminal
yang mengancam jiwa (Oppen, 1993; 53). Penelitian ini teramat penting
mengetahui bagaimana kesejahteraan psikologis dari caregiver karena menurut
Kusuma (2013) Caregiver adalah orang yang melakukan perawatan. Sedangkan
Oyebode (2003) mendefinisikan caregiver sebagai seseorang yang memberikan
perawatan untuk orang lain.
Perawatan tersebut diberikan kepada
orang lain yang membutuhkan pertolongan bahkan dapat dikatakan orang tersebut
bergantung kepada caregiver-nya. Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial
Amerika Serikat mendefinisikan seorang caregiver sebagai berikut; 4 “Help to
another person in need. Usually, the person receiving care has a condition such
as dementia, cancer, or brain injury and needs help with basic daily tasks.
People who are not paid to provide care are known as informal caregivers or
family caregivers. The most common type of informal caregiving relationship is
an adult child caring for an elderly parent. Caregivers help with many things
such as: grocery shopping, house cleaning, cooking, shopping, paying bills,
giving medicine, bathing, using the toilet, dressing, and eating”
(U.S.Department of Health and Human Services. 2007, National Cancer Institute)
Kusuma (2013) juga menjelaskan caregiver sebagai orang yang memberikan
perawatan atau caregiving kepada individu yang tidak mandiri, memiliki
keterbatasan fisik, mental, ekonomi atau terganggu kesehatannya karena penyakit
dan usia tua. Jadi, seorang informal caregiver biasanya seorang wanita dewasa
madya, bisa istri pasien ataupun dari anak pasien penyakit terminal tersebut.
Namun, caregiver di luar negeri sudah lebih tersistem dan bersifat profesional
dengan pembayaran (www.Aupair.com) karena ciri khas antara dunia barat dan
timur berbeda, dari yang individualis di dunia barat dan dunia timur yang lebih
komunal dan menjunjung tinggi nilai, moral serta kekeluargaaan. Berikut
misalnya ketika seseorang didiagnosa sakit dengan sebuah sakit yang tergolong
berat dan berstadium lanjut dimana pengobatan medis sudah tidak mungkin
diterimakan kepada si pasien, maka kondisi pasien tersebut akan mengalami
sebuah goncangan yang hebat. Kematian adalah salah satu jawaban pasti bagi para
pasien terminal illness. Berjalannya waktu baik itu pendek atau panjang, bagi
para pasien terminal illness adalah hari-hari yang sangat menyiksa karena
mereka harus menantikan kematian sebagai jawaban pasti dengan penderitaan rasa
nyeri yang sangat hebat (Megawe; 1998). Seperti terungkap dalam preliminary
study: 5 “Nangkleti mbak, seumpomo aku raono, mengko samean rabi neh po yo
opo?,kan kulo nangis ta mbak, ngomong ngono kui aku susah, mbok ojo ngomong
aneh-aneh, istighfar seng akeh”. (S3.2b.23/04/2014) Bahwa kondisi terminal
seringkali membuat pasien berfikir macam-macam dan banyak hal. Kerap kali
sebagai caregiver tidak siap untuk menerima keadaan tersebut. Berbagai macam
peran hidup yang dijalani selama ini pasti akan menghadapi kendala baik itu
disebabkan karena kendala fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Demikian
pula, prognosis akan kematian pada para pasien terminal illness akan lebih
memberikan dampak konflik psikologis, sosial, kultural maupun spiritual yang
unik. Pasien-pasien dengan penyakit terminal memerlukan perawatan paliatif.
Fauzi (2014) mengatakan bahwa tujuan perawatan paliatif adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup yang seoptimal mungkin bagi penderita dan
keluarganya. Pola dasar pemikiran perawatan paliatif adalah meningkatkan
kualitas hidup dan menganggap bahwa kematian adalah proses yang normal, serta
tidak mempercepat atau menunda kematian. Selain itu, dalam perawatan paliatif
juga diperhatikan bagaimana menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual
pasien, serta berusaha agar pasien tetap aktif hingga akhir hayatnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007
tantangan yang dihadapi pada di hari-hari kemudian nyata sangat besar.
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik
pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit
paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung
/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/ AIDS yang
memerlukan perawatan paliatif. Karena pada 6 dasarnya pasien-pasien dengan
penyakit diatas ataupun masyarakat luas memerlukan disamping kegiatan promotif,
preventif, dan kuratif, juga rehabilitatif.
Namun saat ini, pelayanan kesehatan di
Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit
disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan
tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup
yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. “Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar
Malang yang banyak mendapat rujukan dari daerah Blitar, Kediri, Pasuruan, Batu,
lumajang, Probolinggo sampai hari ini belum memiliki perawatan khusus Paliatif,
pasien dengan penyakit terminal pada hakikatnya sangat membutuhkan perawatan
tersebut untuk memantau perkembangan penyakit, pengetahuan perawatan oleh
keluarga, dan juga pendampingan psikologis yang penting untuk dapat meingkatkan
imunitasnya”. (Ob, NW, 25/06/2014) “Untuk menyiasati pasien-pasien dengan
penyakit stadium terminal sebenarnya RSUD Saiful Anwar sudah melakukan upaya
seperti memberikan pelatihan pada keluarga pasien sambil menunggu pasien yang
diperiksa, namun sejauh ini belum maksimal karena waktu dan materi yang
terbatas”. (Ww, CI, 20/11/2014). Perawatan paliatif di Indonesia sendiri sudah
dimulai sejak dibukanya poliklinik Perawatan Paliatif & Bebas Nyeri RSUD
Dr. Soetomo pada 19 Februari 1992, namun sampai tahun 2014 ini baru di lima
kota besar Rumah sakit yang menyedikan perawatan paliatif, diantaranya RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, RS Dr. Moewardi Solo, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan RS
Kanker Dharmais Jakarta. Ditinjau dari besarnya kebutuhan dari pasien, jumlah
dokter yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih terbatas.
Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata
sedangkan pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu,
komprehensif dan holistik, maka diperlukan kebijakan perawatan paliatif di
Indonesia yang 7 memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk
menyelenggarakan pelayanan perawatan paliatif (Kepmenkes RI Nomor: 812, 2007).
Selain masih langkanya rumah sakit yang memiliki perawatan paliatif, tenaga
kesehatan memadai dan biaya perawatan menjadi beban sendiri bagi masyarakat
untuk memilih perawatan tersebut.
Akhirnya, banyak keluarga pasien yang lebih
memilih merawat sendiri pasien di rumah masing-masing. Dari sanalah caregiver
informal mulai membantu pasien dalam keseharian. Caregiver merupakan istilah
yang biasa digunakan dalam bidang perawatan dan pelayanan. Oyebode (2003dalam
Losada, 2005) mendefinisikan caregiver sebagai seseorang yang memberikan
perawatan untuk orang lain.
Perawatan tersebut diberikan kepada orang lain
yang membutuhkan pertolongan bahkan dapat dikatakan orang tersebut bergantung
kepada caregiver-nya. Data di Poli Perawatan Paliatif RSUD DR. Soetomo Surabaya
menyebutkan bahwa pasien di Poli Perawatan Paliatif RSUD DR. Soetomo Surabaya
ini semakin hari jumlahnya semakin bertambah dari 3.962 pasien di tahun 1993
menjadi sekitar 4.298 di tahun 2001, meningkat 11,34%. Sekitar 26,14% pasien
berusia 45-54 tahun dan 13,56% berusia 30-44 tahun, jadi sekitar 39,7% pasien Poli
Perawatan Paliatif RSUD DR. Soetomo adalah orang-orang yang berada pada usia
produktif. Dampak lanjutan adalah stress yang dapat muncul baik pada pasien
maupun anggota keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Steiner, dkk (2008)
mengenai dukungan emosional, bantuan fisik dan kesehatan keluarga pasien,
mereka menyimpulkan bahwa tanpa adanya dukungan, keluarga dari pasien
kemungkinan akan menjadi 8 “pasien kedua dalam keluarga”. Beberapa studi telah
dilakukan lebih dari dua dekade untuk rentang stress pada caregiver, yang
dikenal dengan tekanan hati dan beban (strain & burden) serta kelelahan dan
menyerah (burned out & giving up) pada caregiver. Caregiver mengalami
perubahan pola dalam kehidupan yang berlangsung lama dan berujung pada
munculnya gejala depresi (Lubkin & Larsen, 2006). Caregiver seringkali
adalah seorang wanita (Stuart, 2009). Wanita sendiri menurut Stuart (2009)
menyatakan bahwa ia lebih sering terpapar stress dengan jangka panjang, seperti
dalam perawatan pasien terminal ini. Peran wanita yang begitu kompleks baik
sebagai caregiver bagi anak-anaknya, pasangannya, maupun orang tuanya membuat
seorang wanita cenderung mengalami ketegangan peran saat dihadapkan pada
situasi yang penuh tekanan. Kasuya, Polgar – Bailey dan Takeuchi (dalam Yamada,
1997) menyatakan seringkali caregiver menghabiskan sumber daya emosional, fisik
dan finansial secara tidak seimbang. Moryz (1980) mengatakan bahwa tekanan
sebagai caregiver dapat disebabkan oelh konflik peran dan kelebihan peran yang
diemban. Climo (1999) menambahkan tekanan sebagai caregiver juga termasuk
tekanan ekonomi dan keterbatasan dalam kegaiatan sosial dan rekreasional.
Caregiver informal seringkali terpilih karena suatu “keterpaksaan” untuk
memikul tanggung jawab sebagai caregiver, yaitu memberikan dukungan fisik,
emosional dan finansial kepada anggota keluarga yang tingkat ketergantungannya
semakin tinggi akibat suatu penyakit (Yamada, 1997). 9 Pada tahun 2007, sekitar
34 juta orang menjadi perawat bagi keluarga mereka pada satu hari, dan sekitar 52
juta menyediakan perawatan kepada anggota keluarganya yang sakit sampai pada
beberapa tahun. Estimasi nilai ekonomi yang telah terbayarkan sekitar 375
milyar dolar di tahun 2007 dan 350 milyar dolar pada tahun 2006 dalam proses
perawatan tersebut. 75 % diantara perawat tersebut adalah wanita. Mereka
menghabiskan waktu rata-rata 50 % jam lebih setiap minggunya untuk merawat
anggota keluarga tersebut (Mandell, 2010). Dari riset Stuart (2009) juga
mengemukakan bahwa mereka yang melakukan perawatan kepada orang tua dengan usia
65 tahun atau lebih tua dari itu, melaporkan mayoritas mengalami depresi. Dua
dari tiga caregiver informal dalam gangguan kesehatan, seperti ungkapan dan
asumsi yang sudah lama bertahan di Indonesia, bahwa orang yang merawat anggota
keluarga yang sakit, nanti juga akan sakit. Survey pada tahun 2009 yang
dilakukan oleh Natinal Alliance for Caregiving pada 1005 caregiver menemukan
satu dari 6 diantara mereka telah kehilangan pekerjaan tetapnya, 21 persen
mengatakan mereka tidak bisa menabung hasil kerjanya. Juga dikutip, mereka
mengatakan, “For People who quit to take care of their parents, there’s no
stimulus plan for us” (Mandell, 2010). Beberapa caregiver berfikir bahwa mereka
harus memberikan semua perawatan kepada pasien tanpa meminta bantuan ke yang
lain. Alasan yang mereka kemukakakan antara lain tidak ingin mengganggu saudara
yang lain, mereka tidak ingin memberitahukan perkembangan perawatan pasien
kepada saudara yang lain, dan tidak ingin merubah model perawatan yang selama
ini telah diberikan. Kebiasaan ini mempengaruhi fakta bahwa 90 persen mereka
melakukan hal tersebut karena 10 pertimbangan bahwa merekalah yang harus
bertanggung jawab untuk semuanya (Inserso, 1995). Seperti yang tampak dari
penggalian data berikut; “Yah, otomatis lah mbak, semuanya berubah. Gimana ya
mbak ya, kan juga sudah kewajiban, bapak itu kan saya harus mendampingi full,
merawat, di rumah terus, siaga, dari bangun sampai tidur lagi,”.
(S1.126.21/12/2014) Riset yang berbeda diungkapkan oleh Biegel (1999, dalam
Stuart 2003), bahwa perilaku caregiver tersebut memang sengaja mereka lakukan
sebagai wujud hormat dan tanggung jawab dalam merawat keluarga. Banyak
caregiver, yang meskipun mereka berada di level yang signifikan dalam
distressnya, dan terindikasikan mereka juga membutuhkan pertolongan namun
mereka tetap bersikeras semua baik saja, karena mereka berfikir hanya merekalah
yang dapat melakukan perawatan terbaik untuk pasien (Arai, Sugiura, Miura,
Washio, & Kudo, 2000 dalam Yamada 1997). Alasan lain bahwa saudara, anak,
ataupun teman telah sibuk dengan kehidupan mereka, dan dia tidak bisa
menganggunya. Pikiran-pikiran tersebut telah menjadi keyakinan dan terkadang
mereka merasakan perasaan marah, lelah, dan keraguan (Gruetxner, 1992). Sejalan
dengan penelitian yang disampaikan oleh Gruetxner (1992), Berikut preliminary
study yang dilakukan peneliti terhadap caregiver informal pasien Kanker usus
stadium IV di Malang. Dengan kondisi pasien berusia 35 tahun dan memiliki 2
anak laki-laki (kelas 3 SMP dan 2 SD). “Buat njaga mas mbak, saya keluar dari
Pabrik, saya coba-coba buka laundry, saya sudah nggak bisa ninggal-ninggal
lagi, setelah operasi yang kedua kemarin tidak bisa karena ususnya sudah
nempel. Jadi ya dari nyuapin makanan yang halus-halus, buang kotoran, nganter
terapi ke Lawang, dan setiap ada yang nyarankan alternatif apapun langsung saya
datengin mbak, pokoke usaha maksimal. Gusti Allah mboten merem mbak, njagi
setiap 11 makhlukke, tinggal ingkang diuji kiat nunopo mboten”. (Ww. BN,
14/04/14) Paparan di atas menggambarkan bagaiman perjuangan caregiver dari
pengambilan keputusannya ketika akhirnya berhenti bekerja di pabrik sampai pada
mendirikan laundry.
Prose perawatan kesehatan harian oleh
caregiver juga sangat berpengaruh dalam perubahan fisik, psikologis, finansial,
spiritual caregiver itu sendiri. Bahwa di akhir kalimat caregiver dapat
mengambil kesimpulan bahwa apa yang dilakukannya dengan tulus ikhlas pasti akan
diberikan yang terbaik olehNya, karena Gusti Allah mboten sare. Proses
penerimaan menghadapi penyakit hampir sama dengan proses penerimaan dalam
menghadapi kematian, karena sakit adalah kematian kecil dari salah satu atau
beberapa organ yang ada dalam tubuh setiap individu. Berdasarkan Kubler Ross
(1969) dalam Yosep Iyus (2007, 175) ada beberapa tahapan reaksi pasien ataupun
keluarga ketika mendengar penyakit yang diderita yaitu Denial (Pasien menolak
keadaan), Anger (Pasien tidak dapat mengontrol kondisi emosinya), Bargaining
(Pasien mulai mencoba berdialog dengan perasaannya), Depression (Pasien sudah
mulai dapat beradaptasi tetapi belum cukup motivasi sehingga masuk fase sense
of hopelessness) dan Acceptance (Pasien menerima kenyataan dan patuh terhadap
rencana tindak lanjut). Menurut Frankl makna hidup hanya ada satu di dalam
setiap situasi. Individu akan dipandu oleh suara hati secara intuisi untuk
menemukan makna hidup sebenarnya. Keadaan mendesak secara kuat mempengaruhi
dalam mencapai makna hidup sebagian besar bergantung pada sikap individu
terhadap keadaan mereka. Selaras dengan Kubler Ross tentang tahapan 12 menerima
sakit yang diderita pasien ataupun tanggapan dari keluarga begitupulalah
menurut Bastaman (1996) dalam proses keberhasilan mencapai makna hidup adalah
urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan
hidup tak bermakna menjadi bermakna. Tahap-tahap penemuan makna hidup oleh
Bastaman (1996) dikategorikan atas lima yaitu Tahap derita (peristiwa tragis,
penghayatan tanpa makna) Individu berada dalam kondisi hidup tidak bermakna.
Berlanjut pada tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap) ketika
muncul kesadaran diri untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi.
Biasanya muncul kesadaran diri ini disebabkan banyak hal, misalnya perenungan
diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil doa
dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain atau peritiwaperistiwa tertentu.
Selanjutnya didapatlah tahap penemuan makna hidup (penemuan makna) dengan
semakin menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting
dalam hidup, yang kemudian ditetapkan atau mengubah arah tujuan hidup.
Dilanjutkan tahap realisasi makna (keikatan diri, kegiatan terarah dan penemuan
makna hidup) Semangat hidup dan gairah hidup kerja meningkat, kemudian secara
sadar membuat komitmen diri untuk melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih
terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat, kemampuan dan
ketrampilan. Klimaksnya ketika telah mencapai tahap kehidupan bermakna
(penghayatan bermakna, kebahagiaan). “Iya, baru pertama ini. Dulu kan ndak
pernah sakit bapak itu. Ya baru kali pertama sakit, eh langsung diberi sakit
yang berat gini, Saya kan dulunya memang sering pingsan, dulu itu bapak sebelum
13 sakit itu saya yang lebih sering sakit diobatkan kesana kemari,” (S1.9.12/12/2014),
(S1.112. 21/12/2014) “Selama di RS saya kan di support terus, ya sama temen,
sodara, mereka yang besuk itu kan nyupport trus selama disana sama budhenya
anak-anak sama anak saya, akhirnya ya saya memang harus pasrah ya gitu, mungkin
sekitar 5 hari itu, sebelumnya ya sempet pingsan mbak” (S1.124a.10/01/2015)
Terlihat bahwa proses penerimaan sakit pasien oleh caregiver bukanlah hal yang
mudah, pertama bahwa caregiver akan menolak keadaan. Penelitian sebelumnya
tentang psychological well-being pada caregiver penyakit terminal belum banyak
dijumpai di Indonesia. Konsep riset yang dilakukan mayoritas tentang dukungan
keluarga terhadap pasien penyakit terminal, dan kualitas hidup pasien dengan
penyakit terminal, namun belum sampai bagaimana mengetahui kondisi
kesejahteraan psikologis orang yang merawat (caregiver). Berikut penelitian
sebelumnya dari Amerika yang melihat distress caregiver dari ranah kognitifnya
dan hasil riset tersebut menunjukkan bahwa caregiver-caregiver tersebut juga
memiliki pikiran-pikiran negatif yang otomatis ketika menghadapi pasien, yang
mana dari pikiran tersebut dapat berpengaruh pada respon afektif dan tingkah
laku individu ketika memberikan perawatan kepada pasien (Losada, 2006; 116). Mc
Naughton, (1995 dalam Losada 2005) mempelajari hubungan antara stres, depresi,
kesehatan fisik dan keyakinan irasional dalam pengasuh Alzheimer.
Mereka menemukan bahwa keyakinan
irasional terkait pasien yang menyebabkan depresi, dan akhirnya berpengaruh
pada locus of control eksternal dan kesehatan yang lebih buruk pada caregiver.
Hipotesis peneliti dari 6 bulan follow-up mengungkapkan bahwa kepatuhan dan
keyakinan mempengaruhi kesehatan 14 pengasuh dalam menghadapi situasi stres,
meningkatkan kemungkinan bahwa pengasuh akan mengalami dampak negatif dan
perubahan fisiologis yang mempengaruhi mereka pada kesehatan fisik dan mental
yang lebih buruk seiring waktu (Gonorazky, 2011; 2). Riset lain yang dilakukan
oleh Caregiver UI Jantung, Wijayati (2012) dalam Tesisnya yang berjudul
Pengaruh Terapi kognitif dan latihan asertif terhadap depresi dan kemampuan
mengubah persepsi diri caregiver penyakit Jantung di RS Jantung harapan kita
Jakarta didapatkan hasil bahwa ternyata caregiver yang mendapatkan terapi
kognitif menunjukkan penurunan depresi dibandingkan caregiver yang mendapatkan
terapi kognitif dan latihan asertif lebih tinggi dibandingkan caregiver yang
mendapatkan terapi kognitif saja. Mazidah (2012) dalam risetnya yang berjudul
kesejahteraan Psikologis Tunanetra Dewasa Dini (Studi Fenomenologi pada
mahasiswa tunanetra buta total di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) didapatkan
bahwa faktor paling penting yang harus ada untuk membentuk kesejahteraan
psikologis menurut informan VD adalah cinta dan keimanan, informan SF adalah
adanya cinta dan kasih sayang yang tidak membedabedakan difabel dan bukan dan
informan DN berpendapat yang terpenting adalah pengakuan terhadap kondisi
ketunanetraan dari ayahnya. Faktor kelengkapan fasilitas perkuliahan juga
dianggap penting oleh mereka untuk dapat meningkatkan kesejahteraan
psikologisnya dalam menjalani perkuliahan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selain itu, dalam Tesis Prasetyo (2014) yang berjudul Program Intervensi Narima
Ing Pandum; Upaya Peningkatan Kesejahteraan Psikologis family caregiver 15
orang dengan skizofrenia, dalam riset terbitan Fakultas Psikologi UGM dibawah
bimbingan Prof. Subandi tersebut yang ditemukan hasil bahwa program tersebut
mampu mempertahankan perilaku sabar dan narima sampai intervensi berakhir
dikarenakan munculnya makna hidup dalam proses pencapaiannya (Prasetyo, 2014).
Maka berdasar uraian diatas, menjadi menarik untuk mengetahui lebih dalam
bagaimana caregiver dalam mencoba mewujudkan kesejahteraan psikologisnya
apalagi dalam menanggung beban yang ditimpakan padanya dalam proses
pendampingan merawat pasien dengan kondisi penyakit berada di stadium terminal.
Oleh karenanya, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul
“Psychological Well-Being pada Caregiver Penyakit Terminal”.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah
diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana gambaran
Psychological well-being pada Caregiver Penyakit Terminal?
C.
TUJUAN
PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
lebih dalam dan memahami bagaimana gambaran Psychological well-being pada
Caregiver Penyakit Terminal.
D.
MANFAAT
PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
Manfaat
Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
mengenai kebermaknaan hidup bagi pengembangan disiplin ilmu Psikologi pada
umumnya 16 dan Psikologi sosial serta klinis pada khususnya. Serta Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang gambaran psychological
well-being pada caregiver penyakit terminal.
2.
Manfaat
Praktis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: Pembaca, guna memberi
pengalaman dan pelajaran berharga untuk menjalani kehidupan serta mampu
meningkatkan kualitas pribadi dengan lebih memahami makna hidup. Selain itu,
diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai proses pencapaian
kebermaknaan hidup meskipun dalam situasi yang tidak biasa, atau dalam kondisi
kurang sempurna/tidak sehat. Subjek, Memberi motivasi bagi caregiver dan pasien
agar tetap mengupayakan memiliki kesejahteraan psikologis dalam hidupnya.
Sehingga bagi pasien mampu menjalani kehidupan terakhirnya dengan lebih baik
dan bermakna. Begitu pula pada caregivernya, melalui pendampingan penderitaan
yang dialami pasien selama menjalani sakitnya mampu untuk lebih menemukan makna
hidupa dalam proses upaya mencapai kesejahteraan psikologis. Pada Rumah Sakit,
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan pada pasien dengan pemberian
treatmen/pelatihan pada caregiver agar lebih mampu mengoptimalkan diri dalam
proses pendampingan pada pasien sehingga dapat diraih kesejahteraan bagi
caregiver maupun pasien dalam proses menjalani fase terberat dalam
kehidupannya.
Untuk Mendownload Skripsi "Skripsi Psikologi" :Psychological well-being pada caregiver penyakit terminal di Kota Malang" Untuk Mendownload skripsi ini silakan klik link dibawah iniDOWNLOAD
No comments:
Post a Comment